}

PERAYAAN HARI KELAHIRAN (ULANG TAHUN)

Hasil gambar untuk lilin ulang tahunOleh: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya serta mereka yang mengikuti jejak langkahnya. Amma ba’d.

Saya telah mengkaji makalah yang diterbitkan oleh koran Al-Madinah yang terbit pada hari Senin, tanggal 28/12/1410 H. Isinya menyebutkan bahwa saudara Jamal Muhammad Al-Qadhi, pernah menyaksikan program Abna’ Al-Islam yang disiarkan oleh televisi Saudi yang menayangkan acara yang mencakup perayaan hari kelahiran. Saudara Jamal menanyakan, apakah perayaan hari kelahiran dibolehkan Islam? dst.

Jawaban.
Tidak diragukan lagi bahwa Allah telah mensyari’atkan dua hari raya bagi kaum muslimin, yang pada kedua hari tersebut mereka berkumpul untuk berdzikir dan shalat, yaitu hari raya ledul Fitri dan ledul Adha sebagai pengganti hari raya-hari raya jahiliyah. Di samping itu Allah pun mensyari’atkan hari raya-hari raya lainnya yang mengandung berbagai dzikir dan ibadah, seperti hari Jum’at, hari Arafah dan hari-hari tasyriq. Namun Allah tidak mensyari’atkan perayaan hari kelahiran, tidak untuk kelahiran Nabi dan tidak pula untuk yang lainnya. Bahkan dalil-dalil syar’i dari Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan bahwa perayaan-perayaan hari kelahiran merupakan bid’ah dalam agama dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi, Nashrani dan lainnya. Maka yang wajib atas para pemeluk Islam untuk meninggalkannya, mewaspadainya, mengingkarinya terhadap yang melakukannya dan tidak menyebarkan atau menyiarkan apa-apa yang dapat mendorong pelaksanaannya atau mengesankan pembolehannya baik di radio, media cetak maupun televisi, berdasarkan sabda Nabi Saw dalam sebuah hadits shahih.

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak.” [1]

Dan sabda beliau,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.”[2]

Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dan dianggap mu’allaq oleh Al-Bukhari namun ia menguatkannya.

Kemudian disebutkan dalam Shahih Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dalam salah satu khutbah Jum’at beliau mengatakan.

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرُ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّه وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.”[3]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna. Disebutkan pula dalam Musnad Ahmad dengan isnad jayyid dari Ibnu Umar , bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم

” Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia dari golongan mereka.”[4]

Dalam Ash-Shahihain disebutkan, dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُم شِبْرًا شِبْرًاوَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْدَخَلُوْا جُحْرَضُبٍّ تَبَعْتُمُوْهُم، قُلنَا يَا رَسُوْلَ اللَّهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

“Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biawak pun kalian mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata, “Siapa lagi.”[5]

Masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini, semuanya menunjukkan kewajiban untuk waspada agar tidak menyerupai musuh-musuh Allah dalam perayaan-perayaan mereka dan lainnya. Makhluk paling mulia dan paling utama, Nabi kita Muhammad, tidak pernah merayakan hari kelahirannya semasa hidupnya, tidak pula para sahabat beliau pun, dan tidak juga para tabi’in yang mengikuti jejak langkah mereka dengan kebaikan pada tiga generasi pertama yang diutamakan. Seandainya perayaan hari kelahiran Nabi, atau lainnya, merupakan perbuatan baik, tentulah para sahabat dan tabi’in sudah lebih dulu melaksanakannya daripada kita, dan sudah barang tentu Nabi Saw mengajarkan kepada umatnya dan menganjurkan mereka merayakannya atau beliau sendiri melaksanakannya. Namun ternyata tidak demikian, maka kita pun tahu, bahwa perayaan hari kelahiran termasuk bid’ah, termasuk hal baru yang diada-adakan dalam agama yang harus ditinggalkan dan diwaspadai, sebagai pelaksanaan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagian ahli ilmu menyebutkan, bahwa yang pertama kali mengadakan perayaan hari kelahiran ini adalah golongan Syi’ah Fathimiyah pada abad keempat, kemudian diikuti oleh sebagian orang yang berafiliasi kepada As-Sunnah karena tidak tahu dan karena meniru mereka, atau meniru kaum Yahudi dan Nashrani, kemudian bid’ah ini menyebar ke masyarakat lainnya. Seharusnya para ulama kaum muslimin menjelaskan hukum Allah dalam bid’ah-bid’ah ini, mengingkarinya dan memperingatkan bahayanya, karena keberadaannya melahirkan kerusakan besar, tersebarnya bid’ah-bid’ah dan tertutupnya sunnah-sunnah. Di samping itu, terkandung tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah dari golongan Yahudi, Nashrani dan golongan-golongan kafir lainnya yang terbiasa menyelenggarakan perayaan-perayaan semacam itu. Para ahli dahulu dan kini telah menulis dan menjelaskan hukum Allah mengenai bid’ah-bid’ah ini. Semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan dan menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Pada kesempatan yang singkat ini, kami bermaksud mengingatkan kepada para pembaca tentang bid’ah ini agar mereka benar-benar mengetahui. Dan mengenai masalah ini telah diterbitkan tulisan yang panjang dan diedarkan melalui media cetak-media cetak lokal dan lainnya. Tidak diragukan lagi, bahwa wajib atas para pejabat pemerintahan kita dan kementrian penerangan secara khusus serta para penguasa di negara-negara Islam, untuk mencegah penyebaran bid’ah-bid’ah ini dan propagandanya atau penyebaran sesuatu yang mengesankan pembolehannya. Semua ini sebagai pelaksanaan perintah loyal terhadap Allah dan para hambaNya, dan sebagai pelaksanaan perintah yang diwajibkan Allah, yaitu mengingkari kemungkaran serta turut dalam memperbaiki kondisi kaum muslimin dan membersihkannya dari hal-hal yang menyelisihi syari’at yang suci. Hanya Allah lah tempat meminta dengan nama-namaNya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang luhur, semoga Allah memperbaiki kondisi kaum muslimin dan menunjuki mereka agar berpegang teguh dengan KitabNya dan Sunnah NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta waspada dari segala sesuatu yang menyelisihi keduanya. Dan semoga Allah memperbaiki para pemimpin mereka dan menunjuki mereka agar menerapkan syari’at Allah pada hamba hambaNya serta memerangi segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas hal itu.

Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya

[Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 4.hal.81]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘Alaih: Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2]. Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3]. HR. Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[4]. HR. Abu Dawud (4031), Ahmad (5093, 5094, 5634).
[5]. HR. AI-Bukhari dalam Al-I’tisham bil Kitab was Sunnah (7320). Muslim dalam Al-Ilm (2669).

Read more https://almanhaj.or.id/498-perayaan-hari-kelahiran-ulang-tahun.html

Share:

Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun

Hasil gambar untuk ulang tahunAda hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.

Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun?

Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka kita bagi dalam dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama, perayaan tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu yang di dalam ada doa-doa atau bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar (pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang dalam agama, karena Rasul kita Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]

Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa, karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)

Kemungkinan kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan tidak dalam rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau mungkin sekedar have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui juga bahwa setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا

“Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah Ied kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari-Muslim]

Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat. Nah, jika kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk dalam 3 macam tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut? Yang pasti bukan milik kaum muslimin.
Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban]

Maka orang yang merayakan Ied yang selain Ied milik kaum Muslimin seolah ia bukan bagian dari kaum Muslimin. Namun hadits ini tentunya bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya. Karena seorang Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan ciri hamba Allah yang sejati (Ibaadurrahman) salah satunya,

والذين لا يشهدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما

“Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan Az Zuur dan bila melewatinya ia berjalan dengan wibawa” [QS. Al Furqan: 72]

Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan Az Zuur pada ayat di atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan Az Zuur dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah.

Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya”. Jawabnya, seorang muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah, sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya. Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup dalam ayat,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22]

Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –rahimahullah– menjelaskan : “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalannya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka” [Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id].

Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang tahun adalah: tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa dalam menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa kesehatan, kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan setiap tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan.
Wallahu’alam.

***

Rujukan:

    Artikel http://www.almanhaj.or.id/content/1584/slash/0
    Artikel http://www.saaid.net/Doat/alarbi/6.htm

Penulis: Yulian Purnama

Artikel www.muslim.or.id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/3793-sikap-yang-islami-menghadapi-hari-ulang-tahun.html

Share:

Jagalah Allah, Ia Akan Menjagamu

Hasil gambar untuk jagalah allah
عبْد الله بن عَبّاسٍ -رَضِي اللهُ عَنْهُما- قالَ: كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يَوْمًا، فَقَالَ: ((يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ))

Abdullah bin ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma– menceritakan, suatu hari saya berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”
Takhrij Hadits

Sejumlah ulama pengumpul hadis telah mengabadikan hadis ini di dalam karya tulis mereka. Di antaranya adalah: Imam Tirmidzi di dalam kitab beliau Sunan At Trmidzi no. 2516, Imam Ahmad bin Hambal di dalam kitab Al Musnad: 1/307, dan beberapa ulama lainnya.
Biografi Singkat Perawi Hadits

Untaian nasihat ini disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat kecil beliau, Abdullah bin Abbas. Putra pamannya inilah yang pernah beliau doakan, “Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”. Berkat berkah doa Rasulullah ini ia menjadi seorang yang pakar dalam tafsir Alquran dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli Ilmu Umat ini). Pemuda yang juga bergelar al bahru (samudera ilmu) ini dilahirkan tiga tahun menjelang peristiwa Hijrah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggal dunia pada tahun 67 atau 68 hijriyah.1
Penjelasan Hadits

Di dalam hadis ini Rasulllah shallallallahu ‘alaihi wasallammewasiatkan beberapa untai kalimat kepada Ibnu ‘Abbas,

Untaian Kalimat yang Pertama, ‘Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu’.

Melalui putra pamannya itu, Nabi mengajarkan kita semua, bila kita menjaga Allah dengan sebaik-baiknya, Allah pasti akan menjaga kita dengan penjagaan yang melebihi upaya kita.

Menurut para ulama, menjaga Allah artinya menjaga batasan-batasan-Nya, hak-hak, perintah-perintah, serta larangan-larangan-Nya. Bentuk aplikasinya adalah dengan berkomitmen untuk menjalankan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan tidak melampaui batasan yang dilarang oleh-Nya. Jika semua itu dikerjakan, maka ia termasuk orang yang menjaga Allah sebaik-baiknya.2 Pemilik kriteria inilah yang disanjung oleh Allah Ta’ala,

هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ

“(Kepada mereka dikatakan), “Inilah nikmat yang dijanjikan kepadamu, kepada setiap hamba yang senantiasa bertobat (kepada Allah) dan menjaga (segala peraturan-peraturan-Nya).” (QS. Qaf: 32)

Di antara hak-hak Allah yang paling agung yang wajib dijaga oleh seorang hamba adalah memurnikan segala bentuk ibadah hanya kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya.” (HR. Bukhari: 2856 dan Muslim: 48)

Juga termasuk upaya menjaga Allah adalah menjaga shalat agar senantiasa tepat pada waktunya.

Demikian juga termasuk dalam upaya menjaga Allah adalah menjaga lisan dari segala bentuk kedustaan, perkataan kotor, adu domba, menggunjing, dan menjaga kemaluan serta menundukkan pandangan.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda;

اضْمَنُوالِيسِتًّامِنْأَنْفُسِكُمْأَضْمَنْلَكُمْالْجَنَّةَ،اُصْدُقُواإذَاحَدَّثْتُمْ،وَأَوْفُواإذَاوَعَدْتُمْ،وَأَدُّواإذَااؤْتُمِنْتُمْ،وَاحْفَظُوافُرُوجَكُمْ،وَغُضُّواأَبْصَارَكُمْ،وَكُفُّواأَيْدِيَكُمْ

“Jika kalian bisa menjamin enam hal, maka aku akan jamin kalian masuk surga: [1] Jujurlah dalam berucap; [2] tepatilah janjimu; [3] tunaikanlah amanatmu; [4] jaga kemaluanmu; [5] tundukkan pandanganmu; [6] dan jaga perbuatanmu.” (HR. Al Hakim:8066 dan Ibnu Hibban: 107)3

Jika seseorang telah menjaga Allah dengan menjaga hak, perintah, dan larangan-Nya, maka konsekuensinya Allah akan mengganti dengan yang lebih baik. Yaitu, “Niscaya Allah akan menjagamu.” Orang yang bersedia untuk menjaga Allah maka Allah akan membalasnya dengan penjagaan pula, bahkan penjagaan Allah tentu lebih baik.

Menurut Ibnu Rajab, penjagaan Allah itu mengandung dua unsur4:

Pertama, Allah akan menjaga hamba-Nya yang saleh dengan memenuhi kebutuhan dunianya, seperti terjaga badan, anak, keluarga, dan hartanya. Di antara bentuk penjagaan jenis ini, Allah menciptakan malaikat yang bertugas menjaga manusia. Allah berfirman,

لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu bergiliran menjaganya dari depan dan dari belakang, mereka menjaganya atas perintah Allah.” (QS. Ar Ra’du: 11)

Dan ada kalanya jika Allah ingin menjaga hamba-Nya, maka Allah akan menjaga anak keturunannya, meskipun ia sudah tiada. Hal ini sebagaimana telah Allah buktikan dalam kisah dua anak yatim yang ditolong oleh Khidir. Anak tersebut ditolong lantaran orang tuanya adalah orang yang saleh. Allah berfirman,

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

“Dan ayahnya adalah seorang yang saleh” (QS. Al Kahfi: 82)

Berkenaan dengan ayat ini, imam Al Baghawi menukilkan perkataan Muhammad bin Munkadir, “Sesungguhnya berkat kesalehan seorang hamba, Allah akan menjaga anak keturunannya, sanak famili, dan keluarganya, serta orang-orang yang ada di sekitar rumahnya.5

Kedua, Allah akan menjaga agama dan imannya, inilah penjagaan yang paling agung dan mulia. Hamba itu terjaga dari perkara syubhat yang menyesatkan dan dari syahwat yang diharamkan.

Hal ini sebagaimana telah Allah buktikan pada nabi Yusuf ketika ia digoda oleh seorang perempuan jelita berdarah biru. Wanita tersebut mengajak Yusuf untuk melakukan perbuatan keji di sebuah ruangan yang sangat sepi. Meskipun Yusuf juga berhasrat kepadanya, akan tetapi Allah menjaganya sehingga ia selamat dari perbuatan keji tersebut. Allah berfirman,

كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ

“Demikianlah kami palingkan Yusuf dari keburukan dan kekejian. Sungguh dia terasuk dari hamba kami yang terpilih.” (QS. Yusuf: 24)

Itulah rahasia yang tersirat di dalam firman Allah,

وَاعْلَمُواأَنَّاللَّهَيَحُولُبَيْنَالْمَرْءِوَقَلْبِهِ

“Ketahuilah sesungguhnya Allah membatasi antara seorang hamba dan hatinya.”

(QS. Al Anfal: 24)

Imam Ath Thabari menjelaskan makna ayat ini dengan menukil perkataan Imam Adh Dhahak, “Maksudnya Allah memberi pembatas antara orang kafir dengan ketaatan, dan memberi pembatas antara orang mukmin dengan kemaksiatan.”

Itulah balasan dari Allah kepada hamba-Nya yang sudi menjaga Allah Ta’ala. Adapun orang yang tidak mau menjaga Allah, maka Allahpun juga enggan menjaganya.

Untaian Kalimat Kedua, “Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu“

Maksudnya jika engkau menjaga Allah maka Dia senantiasa di depanmu untuk membimbingmu menuju jalan-jalan kebaikan, serta mencegahmu dari segala keburukan.6

Untaian kalimat kedua ini menjadi penguat dari untaian kalimat yang pertama.

Dari penjelasan di atas, maka bisa diambil faedah bahwa orang yang menjaga Allah maka ia akan mendapatkan dua manfaat sekaligus:

    Mendapatkan penjagaan dari Allah
    Allah akan sentiasa membimbing di depannya

Ini membuktikan betapa luar biasa balasan dan apresiasi Allah kepada hamba-Nya. Kita sadari, betapa pun upaya kita menjaga Allah, tetap saja kita tidak akan pernah bisa melakukan yang terbaik sesuai dengan perintah-Nya. Tapi, Allah selalu membalas dengan balasan terbaik yang sejatinya itu jauh tak sebanding dengan usaha kita yang serba terbatas.

Sungguh tidak pantas jika kita berupaya menjaga Allah dengan segenap ibadah akan tetapi ibadah tersebut kita nodai dengan riya dan kesyirikan.

Untaian Kalimat Ketiga, “Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah.”

Artinya, jika engkau hendak menginginkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah, jangan meminta kepada makhluk, sebab Allah adalah Maha Pencipta. Dia-lah yang mampu mengabulkan segala permintaan hamba-Nya, sedangkan makhluk serba diliputi keterbatasan, seringkali tidak mampu atau tidak mau.

Di samping itu, meminta dan berdoa kepada Allah adalah ibadah yang Allah perintahkan kepada hamba-Nya. Bahkan di situlah seorang hamba menampakkan kerendahannya, mengemis, meminta kepada Allah Yang Maha Agung. Olehkarena itu Allah memerintahkan,

وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ

“Mohonlah kepada Allah sebagian karunia-Nya.” (QS. An Nisa: 32)

Lebih dari itu, bahkan Allah murka kepada orang yang tidak mau meminta kepada-Nya. Allah berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke neraka Jahanam.” (QS.Al Mu’minun: 60)

Benarlah seorang pujangga Arab mengatakan,

لاَتَسـْــألَــنَّبُنــيِّآدمَحَــاجَــةوَسَــــلِالذِيأَبْوَابُــــهُلَايُحـْجَــب

اللـهُ يَغـْضَـبُ إنْ تَرَكْـتَ سُــؤَالَهوبني آدم حيــنَ يُـسْـــأَلُ يَغْضـَــبُ

Nak, jangan pernah kau meminta kepada hamba

Mintalah kepada pemilik pintu yang sentiasa terbuka

Sungguh Allah murka jika kau tak meminta kepada-Nya

Sedangkan anak adam akan murka jika kau meminta kepadanya

Untaian Kalimat Keempat, “Jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.”

Pantas lah jika kita diperintahkan untuk meminta pertolongan kepada Allah, sebab Dia-lah yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Itulah sebabnya kita diwajibkan untuk berdoa dalam setiap shalat kita,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS. Al Fatihah: 4)

Untaian Kalimat Kelima, “Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu”

Rasulullah mengawali untaian ini dengan perkataan, “Ketahuilah”. Ini menunjukkan untaian kalimat ini merupakan kalimat yang penting untuk diketahui.7

Makna hadis ini, seandainya seluruh manusia atau bahkan seluruh makhluk bersatu untuk memberikan keuntungan kepadamu, maka hal itu tidak akan kamu dapatkan, kecuali jika Allah telah menakdirkannya di lauh mahfudz.

Dengan untaian nasihat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya kita beriman kepada takdir. Pada hakikatnya seluruh manusia tidak bisa memberikan manfaat kepada sesamanya, kecuali dengan takdir Allah. Jika demikian sudah seharusnya seluruh permintaan kita ditujukan kepada Allah semata, bukan kepada sesama manusia. Sebab pada hakikatnya yang bisa memberikan manfaat hanyalah Allah semata.8

Untaian Kalimat Keenam, “Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.”

Ini juga menunjukan bahwa seluruh mara bahaya pada hakikatnya datang dari Allah, terjadi dengan takdir dan kehendak-Nya. Jika demikian halnya maka sudah semestinya kita memohon perlindungan hanya kepada Allah, bukan kepada makhluk. Sebab pada hakikatnya hanya Dia yang mampu mencegah dan mendatangkan mara bahaya.

Untaian Kalimat Ketujuh, “Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.”

Yang dimaksud dengan “pena” di sini adalah pena yang menulis seluruh takdir manusia. Sedangkan maksud dari “lembaran-lembaran” adalah lembaran yang digunakan untuk mencatat takdir. Ini artinya seluruh perkara dan kejadian sudah ditetapkan. Apapun yang ditetapkan untuk kita, baik-buruknya pasti akan terjadi.9 Tidak ada gunanya berkeluh kesah terhadap apa yang menimpa kita. Sebab itu semua datang dari Allah Ta’ala.

Demikanlah bunga rampai nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya, sebagaimana Ibnu ‘Abbas telah banyak mengambil manfaat darinya.


Jember, 17 desember 2013
Catatan Kaki

1 Lihat biografi selengkapnya dalam Siyar A’lam an Nubabala; 4/169

2 Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 346

3 Hadis ini dinyatakan shahih oleh Imam Hakim dalam kitab mustadrak dan dinyatakan shahih juga oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Shahihah: 1470

4 Ibid, hal. 348-353

5 Tafsir al Baghawi: 3/55

6 Syaikh Utsaimin dalam Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 241-242

7 Syaikh Utsaimin dalam Syarah Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 243

8 Disarikan dari penjelasan syaikh fauzan dalam Syarh Arbain Nawawiyah, hal. 172-173

9 Disarikan dari penjelasan Syaikh ‘Utsaimin dalam Syarh Arba’in Nawawiyah, hal. 243

 
Referensi

1. Ibnu Rajab, Adur Rahman. (1429 H). Jami’ul ‘Ulum wal Hikam. Arab Saudi: Dar Ibnul Jauzi.

2. Al ‘Utsaimin, Muhammad. (1433 H). Syarh Al Arba’in An Nawawiyah. ‘Unaizah, KSA: Muassah Syaikh ‘Utsaimin.

3. Fauzan, Shalih. (2008). Syarh Al Arba’in An NAwawiyah. Riyadh, KSA: Darul ‘Ashifah.

4. Al Baghawi, Al Husain bin Mas’ud. (1432 H). Ma’alimut Tanzil. Riyadh, KSA: Dar Ath Thayyibah.

5. Al Albani, Nashiruddin. (1995). Silsilah Al Ahadits As Shahihah. Riyadh, KSA: Maktabah Al Ma’arif.


Penulis: Agus Pranowo
Murajaah: Ust. Misbahuzzulam, Lc, M.H.I
Artikel Muslim.Or.Id

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/19367-jagalah-allah-ia-akan-menjagamu.html

Share:

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar dari Dosa Berzina

Hasil gambar untuk sholatPara pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala.
Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata,  “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan  -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?

Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?

Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).

Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula  ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,

فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا

”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya shalat.
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir

Umar mengatakan,

لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya.  Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.

[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,

وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

Penutup

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota badan).

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini  hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“

Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)

Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam

***

Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 22 Jumadil Ula 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/544-dosa-meninggalkan-shalat-lima-waktu-lebih-besar-dari-dosa-berzina.html

Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Cari