}

Meraih Derajat Ihsan

Hasil gambar untuk melihat wajah allahDerajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk di dalamnya.

Antara Islam, Iman, dan Ihsan

Suatu ketika Malaikat Jibril ‘alaihis sallam datang di majelis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam rupa manusia, kemudian menanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beberapa pertanyaan. Di antara pertanyaannya adalah tentang makna islam, iman, dan ihsan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dan dibenarkan oleh Jibril. Berdasarkan hadist ini [1], para ulama membagi agama Islam menjadi tiga tingkatan yaitu islam, iman, dan ihsan.

Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin. Pelaku ihsan adalah hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam al Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang lainnya.[2]

Makna Ihsan

Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.

Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :

قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »

“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]

Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan dan rukunnya.

Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.[4]

Tingkatan Ihsan

Syaikh Sholeh Al Uthaimi  hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :

Pertama, tingkatan muroqobah.

Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu).Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,

وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ …{61}

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)

Kedua, tingkatan musyahadah

Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi  أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan.[5]

Keutamaan Ihsan

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ {128}

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. An Nahl: 128).

Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin yang bertakwa kepada Allah, yang tidak meninggalkan kewajibannya dan menjauhi segala yang haram. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan yang khusus. Kebersamaan khusus yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan petunjuk jalan yang lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang umum (yakni pengilmuan Allah). Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ   ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.[6]

Dalam ayat lain Allah berfirman,

وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al Baqarah:195)

Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa ihsan pada ayat ini mencakup seluruh jenis ihsan. Hal ini karena tidak ada pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta, kemuliaan, pertolongan, perbuatan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan ihsan lain yang diperintahkan oleh Allah. Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam firman-Nya  لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya.[7].

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا {29}

“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)

Penerapan Makna Ihsan dalam Kehidupan

Pembaca yang dirahmati Allah, sikap ihsan ini harus berusaha kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita berbuat amalan kataatan, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika terbesit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka kita tidak mengerjakannya karena sikap ihsan yang kita miliki. Seseorang yang sikap ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya. Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ke tingkat ihsan dalam seluruh amalannya. Kalau kita cermati pembahasan di atas, untuk meraih  derajat ihsan, sangat erat kaitannya dengan benarnya pengilmuan seseorang tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Semoga kita semua dapat mewujudkan ihsan dalam diri kita, sebelum Allah mengambil ruh ini dari jasad kita. Semoga bermanfaat. Allahul musta’an..

Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id


[1]. Hadist yang dimaksud adalah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim (102). Terdapat pula dalam Hadist Arba’in No 2.

[2]. Lihat Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul 140-141, Syaikh Sholeh al Fauzan.

[3]. Lihat Syarh Tsalaatsatil Ushuul 95-96, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.

[4]. Lihat Bahjatu Qulubil Abraar 168-169, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.

[5]. Lihat Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadist ke 2, Syaikh Sholeh Alu Syaikh.

[6]. Husuulul Ma’muul 41.

[7]. Taisiirul Kariimir Rahmaan tafsir surat al Baqarah 195, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.

Baca selengkapnya https://muslim.or.id/4101-meraih-derajat-ihsan.html

Share:

ORANG MUKMIN AKAN MELIHAT ALLAH DI AKHIRAT

Hasil gambar untuk melihat wajah allahOleh : Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin

Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas, bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.

Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al Aqidah Al Wasithiyah [1]. Dan ini merupakan kesepakatan Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum.

Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal Jama’ah. [2]

Mengapa demikian? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di Saudi Arabia, menjelaskan [3] : “Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memberitakannya dalam Sunnahnya. Barangsiapa yang tidak mengimani kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang diberitakannya”.

Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah [4]

DALIL DARI AL QUR’AN AL KARIM
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat.. [Al Qiyamah : 22-23].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah [5] menerangkan maksudnya, yaitu mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya [6] yang akan diketengahkan di bawah nanti –Insya Allah-.

Imam Ibnu Abi Al Izz rahimahullah mengatakan: “Ayat di atas termasuk salah satu dalil yang paling nyata”. Selanjutnya, setelah beliau mengemukakan akibat rusaknya tahrif (ta’wil), beliau mengatakan: “Dihubungkannya kata-kata nazhar (nazhirah, memandang) dengan wajah (wujuh) yang merupakan letak pandangan. Ditambah dengan idiom “ilaa” yang secara tegas menunjukkan pandangan mata, disamping tidak adanya qarinah yang menunjukkan makna lain, maka jelas dengan ayat itu, Allah memaksudkannya sebagai pandangan mata yang ada di wajah manusia, memandang Allah Azza wa Jalla“ [7]

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

عَلَى اْلأَرَآئِكِ يَنظُرُونَ

Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. [Al Muthaffifin : 35].

Ibnu Katsir rahimahullah kembali menjelaskan arti memandang, yakni mereka melihat Allah Azza wa Jalla. [8]

Selanjutnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. [Yunus:26].

Syaikh Shalih Al Fauzan menjelaskan: ziyadah (tambahan dari pahala yang terbaik) dalam ayat di atas, maksudnya ialah melihat Wajah Allah, sebagaimana tafsir yang dikemukakan oleh Rasulullah n tentangnya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim (haditsnya akan di ketengahkan di bawah, Insya Allah, Pen). Para Ulama Salaf juga menegaskan tafsir yang demikian itu [9].

Berikutnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَهُم مَّايَشَآءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ

Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami adalah tambahannya. [Qaf : 35]

Syaikh Shalih Al Fauzan juga menjelaskan makna tambahan pada ayat di atas, artinya ialah melihat Wajah Allah Azza wa Jalla [10]. Begitu juga Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: Ayat ini, seperti firman Allah

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. [Yunus:26].

Yaitu seperti dalam riwayat Muslim dari Shuhaib bin Sinan Ar Rumi, bahwa maksud ayat tersebut adalah melihat Wajah Allah Yang Mulia [11].

Demikianlah beberapa dalil dari Al Qur’an yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah tentang melihatnya kaum mu’minin pada wajah Allah.

Sementara itu, berkaitan dengan mafhum dari firman Allah:

كَلآَّإِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ

Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. [Al Muthaffifin:15].

Imam Syafi’i rahimahullah, seperti dinukil oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya [12] menegaskan : “Dalam ayat ini terdapat dalil, bahwa kaum mu’minin akan melihat Rabb-nya pada hari (akhirat) itu”.

Di tempat lain (yaitu pada tafsir surat Al Qiyamah ayat 22-23), Ibnu Katsir menukil perkataan Imam Syafi’i lainnya berkenaan dengan surat Al Muthaffifin ayat 15. Yaitu: “Orang kafir tidak tertutup pandangannya dari melihat Allah, kecuali karena sudah difahami bahwa orang-orang abrar (kaum mu’minin) akan melihat Allah Azza wa Jalla.”

DALIL-DALIL DARI HADITS NABI SHALALLLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Sebenarnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir [13] dan lain lain, hadits yang menyatakan bahwa kaum mu’minin akan melihat Allah di akhirat secara nyata dan dengan mata kepala mereka, adalah merupakan hadits mutawatir. Bahkan Ibnu Katsir menyatakan, bahwa kenyataan ini tidak mungkin dapat ditolak. Hanya saja, disini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mencukupkan pemaparan satu hadits saja. Yaitu hadits yang muttafaq ‘alaih.

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تَضَامُّوْنَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اْستَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَصَلاَةٍ قَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا

Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini (dalam permulaan hadits, diceritakan; waktu itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang melihat bulan yang tengah purnama). Kalian tidak berdesak-desakan ketika melihatNya (ada yang membaca la tudhamuna tanpa tasydid dan di dhammah ta’nya, artinya: kalian tidak akan ditimpa kesulitan dalam melihatNya). Oleh karena itu, jika kalian mampu, untuk tidak mengabaikan shalat sebelum terbit matahari (Subuh) dan shalat sebelum terbenam matahari (Ashar), maka kerjakanlah. [14]

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menerangkan makna hadits di atas, (yaitu) kalian akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata kepala kalian. Dan hadits-hadits tentang ini adalah mutawatir [15].

Begitu pula Imam Ibnu Hajar Al Asqalani serta Imam Nawawi, dalam mensyarah hadits-hadits yang dipaparkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menegaskan secara jelas, bahwa kaum mu’minin di akhirat kelak akan melihat Allah semata-mata dengan pandangan mata [16]. Bahkan dalam menafsirkan hadits:

أَمَا إِنَّكُمْ سَتُعْرَضُوْنَ عَلَى رَبِّكُمْ فَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ

Ketahuilah, sesungguhnya kalian akan di hadapkan kepada Rabb kalian, maka kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini. [HR Muslim].

Imam Nawawi mengatakan, artinya kalian akan melihat Allah secara nyata, tidak ada keraguan dalam melihatNya, dan tidak pula ada kesulitan padanya. Seperti halnya kalian melihat bulan (purnama) ini secara nyata, tidak ada kesulitan dalam melihatnya. Yang diserupakan disini adalah cara melihatnya, bukan Allah diserupakan dengan bulan [17].

Di samping hadits muttafaq ‘alaih yang berasal dari hadits Jarir bin Abdillah serta hadits riwayat Muslim di atas, masih banyak hadits lainnya, antara lain:
Sabda Rasulullah n yang juga berasal dari Jarir bin Abdillah:

إنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا

Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian dengan semata-mata. [HR Bukhari] [18].

Diantaranya lagi hadits dari Shuhaib bin Sinan, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda:

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، قَالَ : يَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى : تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا أَزِيْدُكُمْ؟ فَيَقُولُوْنَ : أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ : فَيُكْشَفُ الْحِجَابُ فَمَا أُعْطُوْا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ .

Apabila penghuni surga telah masuk surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,”Apakah kalian menginginkan sesuatu yang dapat Aku tambahkan?” Mereka menjawab,”Bukankah Engkau telah menjadikan wajah-wajah kami putih berseri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Nabi bersabda,”Maka disingkapkanlah tabir penutup, sehingga tidaklah mereka dianugerahi sesuatu yang lebih mereka senangi dibandingkan anugerah melihat Rabb mereka Azza wa Jalla.”

Dalam riwayat lain dari riwayat Abu Bakar bin Abi Syaibah, ada tambahan riwayat : Kemudian Rasulullah membacakan ayat :

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya [19].

Jadi hadits tersebut jelas menunjukkan, bahwa maksud ziyadah (tambahan) pada ayat di atas ialah melihat Allah Azza wa Jalla, seperti telah dipaparkan di muka.

Juga hadits Abu Hurairah berikut:

أَن النَّاسَ قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هَلْ تُضَارُّوْنَ فِى الْقَمَرِ لَيِلَةَ الْبَدْرِ ؟ قَالُوْا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : فَهَلْ تُضَارُّوْنَ فِى الشَّمْسِ لَيْسَ دُوْنَهَا سَحَابٌ؟ قَالُوْا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ : فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَهُ كَذَلِكَ…الحديث.

Sesungguhnya orang-orang (para sahabat) bertanya,”Wahai, Rasulullah. Apakah kami akan melihat Rabb kami pada hari kiamat nanti?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya,”Apakah kalian akan mengalami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat bulan pada malam purnama?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi,”Apakah kalian juga akan mengalami bahaya (karena berdesak-desakan) ketika melihat matahari yang tanpa diliputi oleh awan?” Mereka menjawab,”Tidak, wahai Rasulullah.” Maka Beliau bersabda,”Sesungguhnya, begitu pula ketika kalian nanti melihat Rabb kalian”…sampai akhir hadits. [20]

Demikianlah sebagian kecil hadits shahih diantara sekian banyak hadits shahih lainnya, yang semuanya menyatakan bahwa kaum mu’minin kelak akan melihat Allah dengan mata kepala sendiri di akhirat. Sebelumnya, beberapa ayat Al Qur’anpun telah dipaparkan untuk membuktikan hal itu. Sungguh suatu nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada kaum mu’minin, sebagai tambahan nikmat kepada mereka.

Sebenarnya, masih banyak hadits-hadits lainnya, baik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim di beberapa tempat dalam kitab shahih masing-masing, maupun yang diriwayatkan oleh imam-imam lain, seperti Imam Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain. Namun di sini cukuplah kiranya pemaparan beberapa dalil di atas.

Intinya, para ulama menyatakan bahwa hadits-hadits tentang melihatnya kaum mu’minin kepada Allah pada hari kiamat mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, wajib bagi setiap insan yang beriman kepada Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, untuk mengimani masalah ini. Barangsiapa tidak mengimaninya, sama artinya dengan mendustakan Allah, kitab-kitabNya serta rasul-rasulNya, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan pada permulaan tulisan ini.

Melihat wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan dambaan setiap insan yang benar-benar beriman dan cinta kepadaNya. Ternyata kelak akan menjadi kenyataan. Bukankah itu merupakan nikmat luar biasa?.Nas’alullah Al Jannah wan nazhar ila wajhihi Al Karim.

Maraji’
1. Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan.
2. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, Imam Ibnu Abi Al Izz.
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari.
5. Shahih Muslim Syarah Nawawi, (Tahqiq: Khalil Ma’mun Syiha).
6. Shahih Sunan At Tirmidzi.
7. Shahih Sunan Ibnu Majah.

(Diangkat dari kitab utama; Syarh Aqidah Wasithiyah, karya Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan. Dilengkapi keterangan dari beberapa kitab rujukan lain.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan, hlm. 140, terbitan Maktabah Al Ma’arif Li An Nasyr Wat Tauzi’- Riyadh, Cet. VI-1413 H/1993 M.
[2]. Lihat Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyah, tahqiq: Jama’ah minal Ulama dengan takhrij dari Syaikh Al Albani rahimahullah, hlm. 189, Al Maktab Al Islami, Cet. IX 1408 H/1988 M
[3]. Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan, hlm. 140.
[4]. Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Shalih Al Fauzan, hlm. 140
[5]. Ini keterangan tambahan dari penyusun. Bukan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
[6]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz IV berkenaan dengan ayat di alas
[7]. Syarh Al Aqidah Ath Thahawiyah, hlm. 189
[8]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, IV, berkaitan dengan ayat di atas
[9]. Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, hlm. 98 dengan terjemah bebas
[10]. Lihat Syarah Al Aqidah Al Wasithiyah, hlm. 98
[11]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, IV, tentang tafsir surat Qaf ayat 35
[12]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, IV, berkaitan dengan ayat tersebut
[13]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, IV, tentang tafsir surat Al Qiyamah ayat 22-23
[14]. Shahih Bukhari, Fathul Bari, XIII/419, hadits no. 7434, dan Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, V/135, hadits no. 1432, Bab Fadhli Shalati Ash Shubhi Wal ‘Ashri Wal Muhafazhah ‘Alaihima. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, no. 2551; Shahih Sunan At Tirmidzi, III; Ibnu Majah, Shahih Sunan Ibni Majah, I, no. 147/176, dll
[15]. Lihat Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah, hlm. 121
[16]. Lihat Fathul Bari, XIII/419-433, dan Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, V/134-137
[17]. Syarh Shahih Muslim, Nawawi, hlm. 136-137
[18]. Fathul Bari, XIII/419, no. 7435
[19]. Lihat Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq Khalil Ma’mun Syiha, III/19-20, hadits no. 448 & 449, Bab Itsbat Ru’yatil Mu’minin Fil Akhirah Rabbahum Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu juga Shahih Sunan Tirmidzi, kitab Shifatil Jannah, Bab Ma Ja’a fi Ru’yatir Rabbi Tabaraka Wa Ta’ala, jilid III, no. 2552 dan Shahih Ibnu Majah, I, no. 155/186, hml. 80
[20]. Hadits yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dalam Shahih-nya, no. 7437; Fathul Bari, XIII/419

Read more https://almanhaj.or.id/2984-orang-mukmin-akan-melihat-allah-di-akhirat.html

Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Cari