Ibnul Qayyim Rahimahullah Mengisahkan
Dari 7,266 miliar populasi dunia hari ini, alhamdulillah kita beruntung karena “terpilih” untuk hidup sebagai seorang muslim. Dari jumlah tersebut, populasi “muslim”–menurut statistik dunia–hanya 23% (sekitar 1,67 miliar orang). Lagi-lagi kita beruntung, tidak termasuk dalam 10%-13% dari 23% tersebut, karena mereka adalah penganut Syi’ah. (Sumber: worldometers.info)
Kemudian dari 1,67 miliar muslim tersebut, kita, lagi-lagi terpilih sebagai insan yang mengenal sunnah, ajaran Nabi yang murni. Bukankah ini adalah keberuntungan di atas keberuntungan? Belum lagi jika kita memikirkan fakta, bahwa:
.: | kita dilahirkan jauh dari era Nubuwwah, masa hidup Nabi dimana segenap orang-orang mukmin mengenal dan mempraktikkan Islam secara murni tanpa susupan ajaran asing sedikitpun.
.: | mayoritas kita, tidak memahami bahasa al-Qur’an dan Hadist (yakni Bahasa Arab), dua sumber utama kemurnian ajaran Islam.
.: | kita berada di tengah komunitas mainstream yang minim pengetahuannya tentang kemurnian Islam.
.: | kita adalah konsumen tetap dari aksi para tokoh agama yang praktik beragamanya justru berseberangan dengan kemurnian ajaran Islam.
Sungguh nikmat mengenal sunnah adalah nikmat yang tiada tara dan bandingnya setelah nikmat Islam. Sampai-sampai Abul ‘Aliyah rahimahullah mengungkapkan:
ما أدري أي النعمتين عَلِيّ أفضل : نعمة أن هداني الله عز وجل للإسلام ، ونعمة إذ لم يجعلني حروريا
“Aku tak tahu, nikmat mana yang paling istimewa di antara dua nikmat yang kuraih; apakah nikmat hidayah Allah (lantas) aku memeluk Islam, ataukah nikmat (hidayah sunnah, sehingga) Dia tidak menjadikanku seorang Haruriy (pengikut Khawarij, sekte pertama yang menyeleweng dari kemurnian Islam).”
[Tarikh Dimasyq no. 16494, Ibnu Asakir]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengisahkan:
ودخلت يوما على بعض أصحابنا ، وقد حصل له وجد أبكاه . فسألته عنه ؟ فقال : ذكرت ما من الله به علي من السنة ومعرفتها ، والتخلص من شبه القوم وقواعدهم الباطلة ، وموافقة العقل الصريح ، والفطرة السليمة ، لما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم . فسرني ذلك حتى أبكاني.
“Suatu hari aku menziarahi salah seorang sahabat kami. Ia tengah mengalami wajd (gejolak hati akan akhirat), yang lantas membuatnya menangis. Aku pun bertanya padanya ada apa gerangan. Ia menjawab: “aku teringat akan anugerah Allah padaku berupa; anugerah sunnah dan mengenal sunnah, anugerah terbebas dari syubhat pemikiran sekte dan prinsip-prinsip mereka yang batil, juga anugerah pemikiran yang selaras dengan akal yang gamblang dan nurani yang selamat, dikarenakan (kemurnian) ajaran yang datang dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengingat itu, aku jadi haru bahagia, hingga aku menangis.”
[Madarijus Salikin: 3/147]
📝 Ustadz Abu Ziyan Johan Saputra Halim, MHI hafizhahullahu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar