أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? [al-Kahfi/18:9].
PENDAHULUAN
Sangat banyak kisah dari umat terdahulu yang difirmankan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia, Al-Qur`ânil-Karim. Yang secara nyata menunjukkan betapa besar faidahnya untuk menuntun umat manusia kepada hidayah. Tidak mengherankan, karena paparan kisah termasuk media pembelajaran yang penting. Apalagi, biasanya seseorang mempunyai kecenderungan lebih mudah untuk meresapi pesan-pesan moral dari sebuah cerita yang shahih.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyampaikan ada empat faktor yang telah menyebabkan kisah dari Allah Subhanahu wa Ta’alamenjadi sarana pelajaran yang terbaik lagi paling sempurna.[1] Yaitu: (1) karena kisah tersebut bersumber dari ilmu Allah, (2) berisi kejujuran, (3) diungkapkan dengan gaya bahasa sastra yang tinggi, jelas lagi terang. Tidak ada perkataan yang lebih jelas dibandingkan Kalamullah, kecuali bagi orang yang hatinya sudah disesatkan Allah, sehingga ketika mendengar kisah-kisah yang dituturkan Allah dalam kitab-Nya, ia mengatakan: “Ini adalah dongeng-dongeng masa lalu”. (4) muncul karena merupakan kehendak Allah. Dengan kisah-kisah tersebut, Allah tidak menginginkan kesesatan ada pada diri kita, atau berbuat curang terhadap hukum yang telah ditetapkan. Namun dengan kisah tersebut, Allah menginginkan agar kita mendapatkan hidayah dan berdiri tegak di atas keadilan.
KISAH ASH-HABUL-KAHFI, MERUPAKAN TANDA KEBESARAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Dalam surat Al-Kahfi, Allah menyampaikan salah satu kisah kehidupan masa lalu. Yakni yang dikenal dengan ashhabul-kahfi, yaitu para pemuda penghuni gua, yang dikisahkan secara global .
Dalam sebuah keterangan disebutkan, bahwa mereka memeluk agama Nabi ‘Isa bin Maryam. Akan tetapi, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah merajihkan, bahwa pemuda-pemuda itu hidup sebelum perkembangan millah Nashraniyah. Seandainya mereka memeluk agama Nashrani, sudah tentuk para pendeta Yahudi tidak memiliki data tentang mereka. Sedangkan peristiwa ashhabul-kahfi, merupakan tema yang dikemukakan oleh Yahudi kepada kaum Quraisy untuk “menguji” kebenaran kenabian Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain pertanyaan tentang Dzul-Qarna-in dan roh. Ini menunjukkan bila peristiwa tersebut sudah terbukukan dalam kitab-kitab ahli kitab, dan terjadi sebelum kemunculan agama Nashrani. Wallahu a’lam. [2]
Bentuk istifham (kata tanya) pada ayat di atas, bermakna penafian dan larangan. Maksudnya, janganlah engkau menyangka kisah ashhabul-kahfi (penghuni gua) dan peristiwa yang terjadi pada mereka adalah perkara yang aneh untuk menjadi sebuah tanda kekuasaan Allah dan perkara yang mengagumkan pada ketentuan hikmah-Nya. Hingga beranggapan tidak ada kisah dan peristiwa lain yang sepadan dengannya.
Tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan lagi aneh, setaraf dengan tanda-tanda kebesaran-Nya pada ash-habul-kahfi, bahkan yang lebih besar dari peristiwa tersebut sangat banyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memperlihatkan kepada para hamba-Nya tanda-tanda kebesaran-Nya di langit, bahkan pada diri mereka sendiri, sehingga kebenaran menjadi jelas dari kebathilan, menjadi jelas pula antara petunjuk dibandingkan dengan kesesatan. Penafian ini tidak ditujukan, kalau kisah ash-habul- kahfi ini termasuk perkara yang menakjubkan. Justru, kisah ini termasuk salah satu tanda kekuasaan Allah yang mengagumkan.
Akan tetapi, sekali lagi maksud peniadaan ini ialah, bahwa peristiwa semacam itu sangat banyak. Jika kekaguman tersebut hanya terpaku dengan kisah ini saja, maka itu berarti mencerminkan kedangkalan ilmu dan akal. Karena seorang mukmin, semestinya merenungi seluruh tanda-tanda kekuasaan-Nya, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengajak para hamba-Nya agar memikirkannya. Karena, memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’alamerupakan kunci keimanan, jalan menuju ilmu dan keyakinan.[3]
Ibnu Katsir rahimahullah juga menuturkan pengertian yang tidak berbeda, yaitu: “Peristiwa yang terjadi terhadap diri mereka tersebut bukan sesuatu yang menakjubkan dalam kemampuan dan kekuasaan Kami. Sesungguhnya penciptaan langit, bumi, pergantian malam dan siang, pengendalian matahari, bulan, bintang-bintang dan lain sebagainya, (semua itu) termasuk tanda kebesaran (Allah) yang agung, yakni menandakan kekuasaan Allah Ta’ala. Dan sesungguhnya, Ia Mahakuasa atas segala yang Ia kehendaki. Tidak ada suatu kejadian yang lebih mengagumkan dari kejadian-kejadian para penghuni gua yang dapat melemahkan (kekuasaan)-Nya”. Ungkapan ini, ialah sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Juraij dan Mujahid.[4]
Arti Al-Kahfi, yaitu sebuah gua di gunung, dan menjadi tempat pelarian para pemuda tersebut. Sedangkan Ar-Raqim, pengertiannya diperdebatkan oleh para ulama. Adapun pendapat yang menjadi pilihan Al-Imam Ath-Thabari, yang juga diikuti oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, Ar-Raqim adalah kitab yang berisi tulisan. Syaikh As-Sa’di rahimahullah menambah dengan keterangan, yaitu sebuah kitab, yang di dalamnya telah tertulis nama-nama dan kisah-kisah mereka, dari awal sampai akhir.[5]
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu, dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”. [al-Kahfi/18 : 10].
Al-Fityah jamak dari kata al fata, yaitu pemuda yang berada dalam puncak kekuatan dan ambisi.
Allah Ta’ala mengabarkan, mereka ialah para pemuda yang lari untuk menyelamatkan keyakinan dari kaum mereka yang sudah terjerat oleh kesyirikan dan pengingkaran terhadap hari Kebangkitan, supaya fitnah itu tidak menimpa mereka. Maka, mereka pun mengungsi ke sebuah gua yang berada di gunung, dengan maksud untuk menyembunyikan diri dari kaum mereka.[6]
Ketika memasuki gua tersebut, mereka berdoa kepada Allah memohon rahmat dan belas-kasih-Nya.
رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً, memiliki arti, berilah kami rahmat dari sisi-Mu, agar Engkau mengasihi dan menjaga kami dari (fitnah yang menimpa) kaum kami.
وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا, maksudnya, tetapkanlah bagi kami hidayah. Yakni, jadikan kesudahan kami bermuara pada hidayah yang lurus.[7]
Dikatakan oleh Syaikh Asy-Syinqithi rahimahullah, bahwa permohonan mereka tersebut merupakan doa yang agung dan mencakup seluruh kebaikan.
Dari doa para pemuda itu, terdapat satu sisi yang ditekankan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah, yakni, mereka telah menggabungkan antara lari dari fitnah dengan menuju ke suatu tempat yang bisa menjadi persembunyian dengan ketundukan dan permintaan kepada Allah agar dimudahkan urusan-urusannya, dan tidak menyandarkan urusan-urusan kepada diri mereka sendiri dan kepada sesama makhluk lainnya.[8]
فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu) [al-Kahfi/18 : 11-12].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak agar mereka tertidur ketika memasuki goa tersebut. Mereka pun tidur di dalamnya selama bertahun-tahun. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan mereka dari kelelapan. Selanjutnya, salah seorang dari mereka mengambil beberapa uang dirham untuk membeli makanan untuk mereka, yang nanti akan dijelaskan secara lebih terperinci.
Terbangunnya para pemuda tersebut dari tidur, diistilahkan dengan al ba’tsu (kebangkitan), karena seperti kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan mereka untuk mengetahui siapakah yang lebih benar perhitungannya tentang masa tinggal mereka (di dalam goa). Sebab para pemuda itu telah berselisih pendapat mengenai lamanya mereka tinggal di dalam goa.[9]
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. [al-Kahfi/18 : 13]
Inilah kisah mereka. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisahkan kepada Nabi Muhammad n dengan benar sesuai kenyataan yang terjadi, tidak ada keraguan padanya, dan tidak pula terdapat kerancuan sedikit pun. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, mereka adalah sekumpulan pemuda yang menerima kebenaran dan lebih lurus jalannya daripada generasi tua dari kalangan mereka, yang justru menentang dan bergelimang dengan agama yang batil.
Pemuda-pemuda tersebut hanya beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak seperti kaum mereka. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyukuri keimanan mereka, dan kemudian menambahkan hidayah atas diri mereka. Maksudnya, disebabkan hidayah kepada keimanan, maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka, yakni berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
dan Allah akan menambahi petunjuk kepada mereka yang telah mendapatkan petunjuk. [Maryam/19:76].[10]
Sebuah kesimpulan menarik dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, yaitu bertolak dari penegasan bahwa mereka merupakan sekumpulan pemuda, maka kata beliau rahimahullah : “Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menyambut dakwah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya berasal dari kalangan para pemuda. Sedangkan para orang tua dari kaum Quraisy, kebanyakan masih memegangi agama mereka, tidak memeluk Islam kecuali sedikit saja. Demikianlah Allah mengabarkan, bahwa mereka itu adalah para pemuda”.[11]
Ayat ini termasuk yang dijadikan dalil oleh banyak ulama, seperti Al-Bukhari rahimahullah, untuk menunjukkan sebuah hakikat, yakni pertambahan dan tingkatan keimanan berbeda-beda, dan iman itu naik dan turun. [12]
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: “Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. [al-Kahfi/18 : 14].
Tentang maksud ayat ini, Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah menyatakan: “Dan Kami (Allah) mengilhamkan kesabaran kepada mereka dan mengokohkan hati mereka dengan cahaya keimanan, hingga jiwa mereka berlepasa diri dari sebelumnya, yaitu kebiasaan hidup yang menyenangkan.[13]
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkaruniakan atas mereka keteguhan dan kekuatan untuk bersabar, sehingga mereka berani memaklumatkan di hadapan orang-orang kafir: “”Rabb kami adalah Rabb langit dan bumi, kami sekali-kali tidak menyeru ilah selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran “.[14]
Kemantapan dan keteguhan hati bagi mereka sangat dibutuhkan. Karena, seluruh penduduk memusuhi mereka, sedangkan usia mereka pada waktu itu masih muda, yang bisa saja dipengaruhi oleh orang tua. Akan tetapi Allah telah meneguhkan hati mereka. Demikian menurut tinjauan Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah [15].
Pengertian (إِذًا) pada ayat di atas, yaitu seandainya kami memohon kepada sesembahan selain Allah, niscaya perkataan kami telah menyimpang, dan kami terjermus ke dalam kekufuran. Mereka benar. Seandainya mereka berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, berarti mereka telah mengucapkan dengan perkataan yang salah dan menjerumuskan kepada kekufuran. [16]
Dalam pernyataan itu, para pemuda tersebut telah memadukan antara ikrar terhadap tauhid rububiyyah dengan tauhid uluhiyyah dan konsisten dengannya, disertai dengan penjelasan bahwa Allah-lah Dzat yang Haq, dan selain-Nya merupakan kebatilan. Ini menunjukkan, mereka benar-benar mengenal Rabb dan adanya tambahan hidayah pada mereka.[17]
هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah. [al-Kahfi/18 :15].
Para pemuda itu ingin menunjukkan argumentasi, mengapa mereka mengasingkan diri dari kaumnya. Kata mereka: “Orang-orang menjadikan sesembahan selain Allah, menyembah selain Allah. (Mengapa) mereka tidak membuktikan bahwa sesembahan itu benar, dan menunjukkan faktor yang menjadi penyebab mereka menyembahnya?”
Jadi, ada dua tuntutan pada kaum mereka. Yaitu: (1) meminta pembuktian bahwa sesembahan mereka adalah ilah (sesembahan yang haq), (2) meminta pembuktikan, bahwa ibadah yang mereka lakukan adalah benar. Dan dua hal ini, mustahil dapat dibuktikan oleh orang-orang tersebut.
Selanjutnya, kata مَنْ (man) dalam bentuk tanya pada ayat di atas bermakna naif (peniadaan). Maksudnya, tidak ada orang yang lebih aniaya dibandingkan orang yang memalsukan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, memuat unsur lain, yaitu berupa tantangan. Jadi, seolah-olah Anda menyatakan, beritahukan kepadaku, atau carikan bagiku orang yang lebih aniaya dari orang yang berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Siapakah orang yang paling aniaya dari orang yang berdusta atas nama Allah dengan menisbatkan sekutu bagi Allah dan lain sebagainya? Maka setiap orang yang berdusta atas nama Allah, maka tidak ada seorang pun yang melebihi kezhalimannya. Jika Anda berdusta atas nama seseorang, ini adalah kezhaliman. Bila Anda melakukan kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya, maka tentunya lebih berat tingkat kezhalimannya dari orang pertama. Bagaimana pula jika kedustaan ini Anda palsukan atas nama Allah? Niscaya tingkat kezhalimannya semakin tinggi.[18]
Dalam kondisi demikian, jika muncul fitnah yang mengancam agama seseorang, maka disyariatkan bagi seseorang untuk menyingkirkan diri dari khalayak demi keselamatan agamanya.[19] Itulah yang dilakukan oleh para pemuda tadi, sebagaimana disebutkan pada ayat berikut ini.
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu. [16].
Sebagian pemuda berkata kepada yang lain: “Jika kalian berhasil mengasingkan diri dari kaum kalian dengan jasad-jasad dan agama, maka tidak tersisa (sikap) kecuali menyelamatkan diri dari keburukan mereka dan menempuh langkah-langkah yang dapat mewujudkannya. Lantaran para pemuda tersebut tidak memiliki kekuatan untuk memerangi kaumnya, dan tidak mungkin pula mereka tinggal bersama di tengah kaumnya dengan keyakinan yang berbeda”.[20] Sehingga cara yang mereka tempuh ialah berlindung di dalam goa[21] dengan harapan dapat mereguk rahmat dan kemudahan dari Allah.
Tidaklah disangkal, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’alatelah mencurahkan sebagian rahmat-Nya dan memudahkan urusan mereka dengan petunjuk yang lurus dalam urusan mereka. Karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga agama dan fisik mereka, serta menjadikannya termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya di hadapan makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebarluaskan citra yang baik bagi mereka yang termasuk curahan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan segala faktor pendukung bagi mereka. Bahkan tempat untuk tidur mereka, berada dalam pemeliharaan yang tinggi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. [al-Kahfi/18 :17]
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga mereka dari sengatan matahari, menyediakan sebuah gua. Dan apabila matahari terbit, posisinya menyerong ke arah kanan gua. Adapun ketika terbenam, pancaran sinar matahari menerpa sebelah kiri gua. Sehingga, sengatan panas matahari tidak menimpa mereka secara langsung, yang bisa menimbulkan kerusakan bagi tubuh-tubuh mereka.[23] Ini menunjukkan, pintu goa menghadap ke utara. Bila pintu goa menghadap ke arah timur, maka tidak akan ada sinar yang masuk saat matahari terbenam. Jika menghadap arah selatan, maka tidak ada pancaran sinar pada pagi dan sore hari. Jika menghadap arah barat, sudah tentu sinar tidak memasuki goa saat terbit matahari. [24]
Mereka berada dalam tempat yang luas dari goa itu. Keadaan demikian, supaya hawa dan arus udara mengenai mereka, dan kandungan udara yang buruk dapat keluar. [25]
Peristiwa tersebut termasuk tanda kebesaran Allah. Para pemuda tersebut mendapat bimbingan Allah untuk menuju goa tersebut, dan Allah menjadikan mereka tetap hidup, sinar matahari dan angin mengenai mereka, sehingga fisik mereka tetap terjaga. [26]
Melalui ayat ini, Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah mengambil isthimbath, terdapat bukti kalau mataharilah yang bergerak. Disebabkan gerakan itu, matahari terbit dan terbenam. Berbeda dengan yang diyakini orang-orang sekarang bahwa yang bergerak adalah bumi, sementara matahari hanya diam. Kita mempunyai sebagian (ayat dari) Kalamullah yang harus kita tetapkan apa adanya, dan tidak meninggalkan makna yang eksplisit ini kecuali dengan dalil yang jelas. Bila terjadinya malam dan siang terbukti dengan fakta yang akurat karena peredaran bumi, maka di saat itu, kita mesti mentakwilkan ayat-ayat tersebut menuju makna yang sesuai dengan realita. [27]
Di akhir ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan bahwa Dia-lah yang memberi petunjuk kepada para pemuda itu menuju hidayah di tengah kaum mereka. Siapa saja yang dianugerahi hidayah, sungguh ia telah meraih petunjuk. Dan barang siapa disesatkan, maka tidak ada seorang pun yang sanggup meluruskannya. [28]
Dalam kisah yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ini tersirat sebuah peringatan, bahwa kita tidak boleh meminta hidayah kecuali hanya kepada Allah. Begitu pula kita tidak perlu bimbang saat melihat ada orang yang tersesat. Karena kesesatan seseorang itu berada di tangan Allah. Kita mengimani takdir, tidak murka lantaran melihat kesesatan yang terjadi dari Allah. Kewajiban kita, mengarahkan mereka yang telah sesat.[29]
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. [al-Kahfi/18:18].
Syaikh ‘Abdur-Rahman as-Sa’di rahimahullah dengan mengutip keterangan para ulama tafsir, beliau mengatakan: “Hal itu karena mata mereka tetap terbuka supaya tidak rusak, sehingga orang yang melihat, menyangka mereka terjaga padahal sedang tidur. Ini juga merupakan pemeliharaan Allah terhadap tubuh-tubuh mereka. Karena umumnya gesekan bumi mampu menggerogoti tubuh yang bersentuhan dengannya. Di antara ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia membolak-balikkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri,[30] sehingga tidak menyebabkan bumi merusak tubuh mereka, meskipun Allah Maha Kuasa menjaga tubuh mereka tanpa perlu membolak-balikannya. Akan tetapi, Allah Maha Bijaksana. Dia ingin memberlakukan sunnah-Nya di alam semesta dan mengaitkan faktor-faktor sebab dan akibat.
Anjing yang menyertai ashhabul kahfi, pun tertidur seperti mereka pada waktu berjaga-jaga. Anjing tersebut mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.
Adapun penjagaan mereka dari kalangan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa mereka dijaga dengan perasaan takut yang Allah tebarkan. Seandainya ada orang melihat mereka, niscaya hatinya akan sarat dengan rasa takut dan lari tunggang langgang. Inilah faktor yang menyebabkan mereka bisa tinggal lama, dan tidak ada seorang pun yang berhasil melacak mereka, padahal keberadaannya dari kota tersebut sangat dekat sekali. Dalil yang menunjukkan dekatnya tempat mereka, yaitu tatkala mereka terbangun, dan salah seorang mengutus temannya agar membeli makanan di kota, sedangkan yang lain menunggu kedatangannya. Ini menunjukkan betapa dekat goa yang mereka tempati dari kota.[31]
Wallahu a’lam.
Maraji`:
1. Al-Jâmi’ li Ahkamil-Qur`ân, Abu ‘Abdillâh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzaq Al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Cetakan II, Tahun 1421 H/1999 M.
2. Tafsîr Ath-Thabari (Jami’ul-Bayani fi Ta`wîli Ayil-Qur`ân), Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath- Thabari (224-310 H), Dar Ibni Hazm, Cetakan I, Tahun 1423 H/2002 M.
3. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm, Tahqîq: Dr. As-Sayyid bin Muhammad As-Sayyid dkk., Daarul Hadiits, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425 – 2005 (5/146).
4. Tafsîr Sûratil-Kahfi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan I, Tahun 1423 H.
5. Taisirul-Karîmir-Rahmân fî Tafsîri Kalamil-Mannan, ‘Abdur-Râhman bin Nashîr As-Sa’di, Tahqîq: ‘Abdur-Rahmân bin Mu’alla Al-Luwaihiq, Dâr As-Salâm, Riyadh, KSA, Cetakan I, Tahun 1422 H/2001 M.
6. Zâdul-Masir fî ‘Ilmit-Tafsîr, Abul-Faraj ‘Abdur-Rahmân bin ‘Ali bin Muhammad Al-Jauzi (Ibnul- Jauzi), Al-Maktabul-Islami, Cetakan III, Tahun 1404 H 1984 M.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 25.
[2]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146) secara ringkas.
[3]. Taisirul-Karîmir-Rahman, hlm. 471.
[4]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/144). Lihat keterangan senada dalam Jami’ul-Bayani fi Ta`wîli Ayil-Qur`ân (15/226), Al-Jami’ li Ahkamil-Qur`ân (10/310).
[5]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân (471), Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 21.
[6]. Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm (5/145), Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 22.
[7]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/145)
[8]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 471.
[9]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 23.
[10]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 471, Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).
[11]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).
[12]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/146).
[13]. Jâmi’ul-Bayân (15/237).
[14]. Al-Jâmi’ li Ahkamil-Qur`ân (10/318).
[15]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 26.
[16]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 28.
[17]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[18]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 29.
[19]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/148).
[20]. Taisirul-Karîmir-Rahmân,
[21]. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan kisah mereka untuk dipahami dan direnungkan, tanpa memberitahukan letak goa tersebut. Sebab tidak ada faidah dan tujuan syar’i yang berkaitan dengannya. Andaikata penyebutan tempat goa tersebut mengandung maslahat agama, sudah tentu Allah dan Rasul-Nya menunjukkan tempatnya. Al Hafizh Ibnu Katsir secara ringkas dalam Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/149).
[22]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[23]. Lihat Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[24]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/149) secara ringkas.
[25]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
[26]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150)
[27]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 32.
[28]. Tafsîrul-Qur`ânil-‘Azhîm (5/150)
[29]. Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 34.
[30]. Kadang-kadang mereka berada di sisi kanan, kadang berada di atas sisi kiri. Allah tidak menyebutkan punggung dan perut, sebab tidur di sisi kanan atau kiri itu yang paling baik. Dengan cara itu, terjadi keseimbangan aliran darah pada tubuh. Bila tidur hanya dengan satu arah, maka dikhawatirkan bagian atas akan mengalami kekurangan aliran darah. Allah l dengan hikmah-Nya membolak-balikan tubuh mereka. Lihat Tafsîr Sûratil-Kahfi, hlm. 35.
[31]. Taisirul-Karîmir-Rahmân, hlm. 472.
Read more https://almanhaj.or.id/3514-pesan-moral-dari-kisah-ashhabul-kahfi-1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar