}

Mencaci Maki Pemimpin adalah Ciri Kaum Khawarij

 Manusia diutus di dunia ialah sebagai khalifah (pemimpin), minimal memimpin dirinya sendiri. Begitu juga dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, dari tingkat desa hingga keatas yang dipimpin oleh seorang presiden sebagaimana di negara kita.


Sosok pemimpin itu juga seorang manusia biasa yang tidak maksum dan tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan dalam menjalankan roda kepemimpinan.

Namun, ada sebagian manusia langsung mencaci dan menghina pemimpin kala dianggapnya ia melakukan kesalahan ataupun kala sang pemimpin dirasa tak sejalan dengan keinginannya.

Jika pun pemimpin atau pemerintah melakukan kesalahan, tentunya ada prosedur tersendiri dalam memperingatkan atau mengkritiknya baik dengan perspektif hukum agama maupun hukum negara.

Maka, mencaci pemimpin tidaklah bisa dibenarkan dari sisi manapun. Bahkan, mencaci atau menghina pemimpin merupakan salah satu ciri manhaj kaum khawarij, kaum yang jauh dari tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.

__

Mungkin awalnya mereka ini hanya sekedar mengkritik dan membeberkan aib pemimpin dimuka umum di atas mimbar dan media-media lainnya. Namun ujung-ujungnya bisa membengkak hingga akhirnya menggiring masyarakat untuk membenci pemimpin, yang kemudian arahnya mengajak manusia melawan dan memberontak pada pemimpin.

Manhaj khawarij seperti ini tentu saja menyelisihi petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena mengingkari dan melawan penguasa merupakan sumber segala fitnah atau kerusakan sepanjang sejarah peradaban islam.

Bukti sejarah bahwa cara-cara seperti itu adalah cara yang digunakan para kaum khawarij, salah satunya berdasarkan riwayat Imam Tirmidzi dan selainnya dari Ziyad bin Kusaib Al-Adawi,

“Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata: Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq. Abu Bakrah menegurnya seraya berkata: Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya“” (Lihat Shahih Sunan Tirmidzi: 1812 )

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan,

“Qa’adiyyah adalah orang-orang yang memperindah pemberontakan kepada pemerintah sekalipun mereka tidak memberontak secara langsung”. Kemudian dalam sebuah ayat Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَكَذلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظَّالِمِيْنَ بَعْضًا بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ. (الأنعام : 129).

“Demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang yang dzolim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”. (QS. al-An’am : 129).

Dalam menafsirkan ayat di atas, al-Imam Fakhruddin al-Razi berkata,

“Ayat di atas menunjukkan bahwa apabila rakyat melakukan kedzoliman, maka Allah akan mengangkat seorang yang dzolim seperti mereka sebagai penguasa. Sehingga jika mereka ingin melepaskan diri dari pemimpin yang dzolim tersebut, hendaknya mereka meninggalkan perbuatan dzolim.

Diriwayatkan dari Malik bin Dinar: “Dalam sebagian kitab-kitab Allah, bahwasanya Allah berfirman: “Akulah Allah, Penguasa raja-raja di dunia. Hati dan ubun-ubun mereka berada dalam kekuasaan-Ku. Barangsiapa yang taat kepada-Ku, aku jadikan raja-raja itu sebagai rahmat baginya. Dan barangsiapa yang durhaka kepada-Ku, aku jadikan raja-raja itu sebagai azab atas mereka. Janganlah kalian menyibukkan diri dengan memaki-maki para penguasa karena kezaliman mereka. Akan tetapi, bertaubatlah kalian kepada-Ku, maka akan Aku jadikan mereka mengasihi kalian.” (Al-Imam Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 13, hal. 159. Ibnu Abil-‘Izz al-Hanafi dalam Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah).

Maka dari keterangan ayat dan penjelasan para ulama diatas dapat ditarik benang merah sebagai berikut :

▪️Kita wajib meyakini bahwa pemimpin yang terpilih semata-mata adalah takdir Allah.

▪️Pemimpin yang dzolim ialah cerminan masyarakatnya yang juga dzolim.

▪️Anjuran bertobat bagi masyarakat atau rakyat dari kedzoliman mereka.

Karena meskipun seorang pemimpin itu dzolim, kita tetap dilarang menghujat atau menghina pemimpin tersebut. Sebagaimana Sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam,

مَنْ أَهَانَ السُّلْطَانَ أَهَانَهُ اللهُ. رواه الترمذي وقال: حديث حسن

“Barangsiapa yang menghina seorang penguasa, maka Allah akan menghinakannya.” (HR at-Tirmidzi [2224], dan berkata: “Hadits hasan”).

Hadits di atas memberikan pesan :

▪️Larangan menghina seorang pemimpin dan dianjurkan menasehati dengan baik serta bersabar atasnya.

▪️Maksud pemimpin dalam hadits tersebut, ialah setiap orang yang memiliki kekuasaan dan tanggungjawab terhadap kaum Muslimin seperti khalifah, presiden, amir, raja, dan semisalnya..

▪️Allah akan menghinakan orang yang menghina pemimpin di dunia, karena telah berusaha menghina seseorang yang diberi kemuliaan oleh Allah.

▪️Di akhirat kelak Allah akan menghinakan orang yang menghina seorang pemimpin, hal itu karena telah durhaka kepada Allah.

(Al-Imam Ibnu ‘Illan al-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li-Thuruq Riyadh al-Shalihin, 3/124).

__

Abu Usman az-Zahid mengatakan,

“Nasihatilah para pemimpin, perbanyakanlah doa untuk mereka agar mereka melakukan kebaikan dan kebenaran dalam beramal dan menjalankan hukum. Sesungguhnya jika mereka baik, maka akan baiklah rakyat. Hati-hatilah kamu! Jangan sampai kamu mendoakan keburukan atau melaknat mereka, karena yang demikian hanya akan menambah kerusakan keadaan orang-orang Islam. Tetapi mintakanlah ampunan kepada Allah untuk penguasa (pemerintah dan pemimpin), semoga mereka meninggalkan perbuatan yang tidak baik, kemudian dihilangkanlah musibah dari kaum Muslimin”. (Al-Jamii Li Syu’abil Iman. 13/99. Al-Baihaqi. Cetakan Dar as-Salafiyah).

Wajib dipahami bahwa sebenarnya Islam mengajarkan untuk bersikap santun dan taat terhadap pemimpin. Karena seorang pemimpin itu merupakan representasi dari rakyat atau masyarakatnya sendiri.

Apabila masyarakatnya baik maka sangat mungkin pemimpinnya juga baik dan begitu juga sebaliknya.

Maka dari itu, islam melarang untuk menghujat dan menghina pemimpin meskipun ia pemimpin yang dzolim sekalipun, karena hal tersebut termasuk mengindikasikan bahwa dirinya sendiri juga termasuk orang yang dzolim.

Wallahua’lam Bisshawab..

[sebagian tulisan diambil dari tulisan seseorang (semoga Allah menjaganya)]

◾ 
Share:

MARI LURUSKAN AQIDAH KITA !

Diantara keyakinan sesat Jahm'iyah ialah, mereka mengingkari keberada'an Allah Ta'ala di atas 'Arsy dan meyakini bahwa Allah Ta'ala berada di setiap tempat, Allah Ta'ala ada di mana-mana.


~ Imam Abul-Hasan Al-Asy'ari (260 – 324 H) rahimahullah di dalam kitabnya berkata :

وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق

"Dan telah berkata orang-orang dari kalangan mu'tazillah, jahm'iyah, dan haruriyyah (khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa' adalah : menguasai (istilaa'), memiliki, dan mengalahkan. ALLAH TA'ALA BERADA DI SETIAP TEMPAT. MEREKA MENGINGKARI KEBERADA'AN ALLAH DI ATAS 'ARSY-NYA, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah)".
(Al-Ibaanah, hal. 34-37).

~ Imam al-Zahabi (673–748 H) berkata :

وَمَقَالَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتعَالَى فِيْ جَمِيْعِ الأَمْكِنَةِ تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ

“Adapun perkata'an Jahm'iyah (bahwa) Allah Tabaraka wa Ta'ala ada BERADA DI SEMUA TEMPAT, Maha Tinggi Allah dari perkata'an (rendahan) mereka itu".
(Al-'Uluww hlm. 143).

~ Al Hafizh Abu Ja'far Muhammad bin 'Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah Al 'Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana beliau telah menulis tentang masalah 'Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata,

وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان

"Jahm'yyah mengingkari 'Arsy dan mengingkari keberada'an Allah di atas 'Arsy. JAHM'IYAH KATAKAN BAHWA ALLAH BERADA DI SETIAP TEMPAT".
(Al 'Uluw, hal. 220 dan Mukhtashor Al 'Uluw, hal. 220-221).

Keyakinan sesat Jahm'iyah yang mengingkari keberada’an Allah Ta'ala di atas 'Arsy dan meyakini Allah Ta'ala berada di setiap tempat, maka konsekuensinya Allah Ta'ala berarti berada di tempat-tempat kotor dan juga tempat-tempat najis.

Imam Abu Hasan Al-Asy'ari rahimahullah berkata :

وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ، فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ، وَهَذَا خِلَافُ الدِّيْنِ، تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ

"Dan kaum Mu'tazilah, Haruriyyah, dan Jahm'iyah beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala BERADA DI SETIAP TEMPAT. HAL INI MELAZIMKAN MEREKA BAHWA ALLAH BERADA DI PERUT MARYAM, TEMPAT SAMPAH DAN WC. PAHAM INI MENYELISIHI AGAMA. Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka".
(Al-Ibanah fi Uṣul Diyanah hlm. 26).

Maha suci Allah Ta'ala dari keyakinan rusak dan perkata'an buruk orang-orang Jahm'iyah. Maka pantas apabila di sebutkan sekte Jahm'iyah lebih buruk daripada yahudi dan nasrani.

Sa'id bin 'Amir Adh Dhuba'i (122-208 H) Ulama Bashroh berkata :

هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء

"Jahm'iyah lebih jelek dari yahudi dan nashrani. Telah diketahui bahwa yahudi dan nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah 'azza wa jalla menetap tinggi di atas 'Arsy. Sedangkan Jahm'iyah, mereka katakan bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun".
(Al 'Uluw lil 'Aliyyil Ghoffar, hal. 157 dan Mukhtashor Al 'Uluw hal. 168).

YANG DIMAKSUD ALLAH BERADA DI SETIAP TEMPAT ADALAH ILMUNYA

Menurut para Ulama Shalaf, yang dimaksud Allah Ta'ala berada di setiap tempat, Allah Ta'ala ada dimana-mana adalah ilmunya.

~ Imam Ibnu Katsir rahimahullah (w 774 H) ketika menafsirkan surat Al Hadiid ayat 4 berkata :

"Dia bersama kamu" IALAH ILMU-NYA, PENGAWASAN-NYA, PENJAGA'AN-NYA bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas 'Arsy di langit".
(Tafsir Qur'anil Azhim: 4/317).

~ Imam Malik bin Anas (93-179 H) berkata :

الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه شيء.

"Allah berada di atas langit, DAN ILMUNYA BERADA DI SETIAP TEMPAT. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu".
(Mukhtashar Al-'Ulluw, hal. 140 no. 130].

~ Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) pernah ditanya,

ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم

Apa makna firman Allah, "Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada".
(QS. Al Hadiid: 4) dan "Tiada pembicara'an rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya".
(Q.S Al Mujadilah: 7) ?

Imam Ahmad bin Hambal menjawab :

قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض

Yang dimaksud dengan kebersama'an tersebut adalah ILMU ALLAH. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. ILMU ALLAH MELIPUTI SEGALA SESUATU YANG NAMPAK DAN YANG TERSEMBUNYI. NAMUN RABB KITA TETAP MENETAP TINGGI DI ATAS 'ARSY, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi".
(Itsbat Sifatil 'Uluw, hal. 116).

~ Adh-Dhahhaak berkata :

هو على العرش وعلمه معهم

"Allah berada di atas 'Arsy, DAN ILMU-NYA BERSAMA MEREKA".
(As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80).

~ Ibnul Mubarok bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah 'azza wa jalla,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

"Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada".
(QS. Al Hadid: 4).

روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه

Sufyan Ats Tsauri menyatakan BAHWA YANG DI MAKSUDKAN ADALAH ILMU ALLAH (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah)”. (Al 'Uluw lil 'Aliyyil Ghoffar, 137-138).

~ Imam Abul Hasan Al-'Asy'ari rahimahullah [260 – 324 H] dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr berkata : Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu. Hal ini telah ditunjukan oleh Allah 'Azza wa Jalla dengan firman-Nya,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

Dia bersama kamu dimana saja kamu berada
(QS Al-Hadiid : 4).

Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini dengan ta'wil yaitu BAHWASANYA ILMU ALLAH MELIPUTI MEREKA DI MANA SAJA MEREKA BERADA".
(Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234).


------

(1). Ketika Mereka Menolak Sifat ‘Uluw dan Istiwa’

Di manakah Allah?

Di antara masalah yang disepelekan dan diremehkan oleh kaum muslimin adalah jawaban dari sebuah pertanyaan yang sederhana yaitu, ”Di manakah Allah?” Buktinya, kalau kita sampaikan pertanyaan ini kepada mereka maka mungkin akan kita dapati dua jawaban yang batil dan kufur. Pertama, mereka mengatakan bahwasanya Allah ada di mana-mana atau di segala tempat. Ke dua, mereka mengatakan bahwasanya Allah ada dalam diri atau hati kita. Sedangkan yang lain mungkin akan menjawab, ”Saya tidak tahu.”

Padahal kalau mereka mau berfikir sejenak, orang yang yang mengatakan bahwasanya Allah Ta’ala berada di setiap tempat atau Allah Ta’ala berada di mana-mana, konsekuensinya adalah menetapkan keberadaan Allah di jalan-jalan, di pasar, bahkan di tempat-tempat kotor seperti di parit, WC, tempat sampah, dan lainnya. Oleh karena itu, kita katakan kepada mereka,

سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يَصِفُونَ

“Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan.”

(QS. Al-Mu’minun [23]: 91)

Kalau memang Allah Ta’ala itu berada di mana-mana, lalu buat apa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas langit untuk menerima perintah shalat dalam peristiwa isra’ mi’raj?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup menemui Allah Ta’ala di pojok kamarnya atau di ruang tamu rumahnya, dan tidak perlu repot-repot menempuh perjalanan yang jauh (dan tidak masuk akal bagi kaum musyrikin ketika itu) untuk bertemu dengan Allah Ta’ala dalam rangka menerima perintah shalat.

Mengapa mereka tidak memperhatikan hal ini, padahal hampir setiap tahun mungkin mereka memperingati peristiwa isra’ mi’raj ini?

Dan sama halnya juga dengan orang yang mengatakan bahwasanya Allah Ta’ala ada dalam setiap diri kita, karena konsekuensinya Allah Ta’ala itu banyak, sebanyak bilangan makhluk. Kalau jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, maka sebanyak itu pula jumlah Allah di Indonesia, karena Allah berada dalam diri setiap hamba-Nya. Sehingga kalau kita cermati, aqidah seperti ini lebih kufur daripada aqidah kaum Nasrani yang “hanya” mengakui adanya tiga tuhan (aqidah trinitas).

Kalau Allah Ta’ala itu ada dalam setiap diri kita dan menyatu dengan diri kita, maka konsekuensinya adalah “Allah adalah saya dan saya adalah Allah!” Kalau sudah begini, siapa memerintahkan siapa? Maka aqidah inilah yang menjadi senjata orang-orang Sufi untuk menolak menjalankan kewajiban yang dibebankan syari’at. Karena dia meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menyatu dengan dirinya, maka dia tidak perlu shalat, puasa, dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya, karena dialah Allah! Na’udzu billah min dzalika.

Lebih-lebih lagi mereka yang mengatakan bahwa Allah Ta’ala itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kanan, tidak di kiri, tidak di depan, tidak di belakang karena konsekuensinya berarti Allah itu tidak ada (??). Maka siapa Tuhan yang mereka sembah selama ini?

Adapun orang yang “diam” dengan mengatakan, “Kami tidak tahu Dzat Allah di atas ‘Arsy atau di bumi”, mereka ini adalah orang-orang yang memelihara kebodohan. Karena Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang diri-Nya dengan sifat-sifat yang salah satunya adalah bahwa Dia ber-istiwa’ (tinggi) di atas ‘arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu “diam” darinya dengan ucapan “kami tidak tahu” nyata-nyata telah berpaling dari maksud Allah Ta’ala.

Yang mengherankan adalah, bagaimana mungkin kaum muslimin tidak mengetahui di mana Allah Ta’ala, padahal Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang tinggi di atas ‘arsy.” (QS. Thaha [20]: 5)

Dalam Tafsir Jalalain disebutkan ketika menjelaskan ayat ini,

اسْتِوَاء يَلِيق بِهِ

“Istiwaa’ yang sesuai dengan (keagungan dan kebesaran) Allah Ta’ala.” (Tafsir Jalalain, 1/406)

Dan dalam banyak ayat Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Dia ber-istiwa’ di atas ‘arsy.” (QS. Al-A’raf [7]: 54)

’Arsy adalah makhluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali. [1]

(2). Meyakini Sifat Allah Ta’ala: Al-‘Uluw dan Istiwa’

Keyakinan “di manakah Allah?” termasuk masalah besar yang berkaitan dengan sifat-sifat-Nya yaitu sifat Al-‘Uluw (ketinggian Allah Ta’ala yang mutlak dari segala sisi dan bahwa Dia adalah Dzat Yang Maha tinggi di atas seluruh mahluk-Nya) dan penetapan sifat istiwa’ (tinggi) di atas al-‘arsy, berpisah dan tidak menyatu dengan makhluk-Nya.

Dalil-dalil yang menunjukkan penetapan sifat ini sangatlah banyak, sangat lengkap dan jelas, baik dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, akal, dan fitrah manusia. Sehingga para ulama menganggapnya sebagai perkara yang bisa diketahui secara mudah oleh setiap orang dalam agama yang agung ini.

Dalil-Dalil dari Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki banyak metode untuk mengungkapkan ketinggian Allah Ta’ala di atas  makhluk-Nya. Setiap metode ditunjukkan oleh banyak ayat. Di antara ayat yang menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala adalah firman-Nya,

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى

“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al-A’laa [87]: 1)

Allah Ta’ala berfirman,

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah [32]: 5)

Allah Ta’ala berfirman,

تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 4)

Dalam bahasa apa pun, “naik” itu selalu dari bawah ke atas.

Dan sebaliknya, Allah Ta’ala juga menyebutkan turunnya Al-Qur’an dari sisi-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

تَنْزِيلُ الْكِتَابِ مِنَ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Kitab (Al-Qur’an ini) diturunkan oleh Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Az Zumar : 1)

“Turun” tentunya dari atas ke bawah.

Juga dalil tegas bahwa Allah Ta’ala di atas langit, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

”Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang ada di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersamamu, sehingga tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al-Mulk [67]: 16)

Masih banyak dalil Al-Qur’an yang lainnya, namun kami mencukupkan dengan dalil-dalil yang kami sebutkan di atas.

Dalil-Dalil dari As-Sunnah

Sedangkan dalil dari As-Sunnah, maka jumlahnya tidak terhitung. Di antaranya adalah pertanyaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak perempuan sebagai ujian keimanan baginya sebelum dimerdekakan oleh tuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak perempuan itu,

أَيْنَ اللَّه ؟ قَالَتْ فِي السَّمَاء قَالَ : مَنْ أَنَا ؟ قَالَتْ : أَنْتَ رَسُول اللَّه قَالَ : أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَة

“Di manakah Allah?” Budak perempuan tersebut menjawab, ”Di atas langit.” Beliau bertanya lagi, ”Siapakah aku?” Jawab budak perempuan, ”Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan dia! Karena sesungguhnya dia seorang mukminah (perempuan yang beriman).” (HR. Muslim no. 1227)

Juga isyarat dengan jari telunjuk yang mengarah ke atas, sebagaimana hadits yang panjang tentang haji Wada’ ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat,

قَالُوا نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ « اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

“Mereka (para sahabat) yang hadir berkata, ‘Kami benar-benar bersaksi bahwa Engkau telah menyampaikan, menunaikan dan menyampaikan nasihat.’  Sambil beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang diarahkan ke langit lalu beliau mengarahkannya kepada manusia (di hadapannya), (seraya berkata) ‘Ya Allah, saksikanlah (beliau menyebutnya tiga kali).’” (HR. Muslim no. 1218)

Sungguh ajaib, ketika sebagian orang menolak bahwa Allah Ta’ala di atas langit dengan mulutnya, namun di kesempatan yang lain jarinya menunjuk ke atas ketika menyebut nama Allah Ta’ala.

Dalil Berdasarkan Ijma’ (Konsensus) para Sahabat

Adapun dalil berdasarkan ijma’ adalah para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan seluruh tabi’in menyatakan bahwa Dzat Allah Ta’ala berada di atas segala sesuatu, tidak ada satu pun di antara mereka yang mengingkari hal itu.

Di antaranya perkataan salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab radhiyallahu ‘anha kepada istri-istri Nabi yang lainnya,

زَوَّجَكُنَّ أَهَالِيكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ تَعَالَى مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ

“Kalian semua dinikahkan oleh keluarga kalian. Sedangkan aku dinikahkan oleh Allah dari atas langit yang tujuh.” (HR. Bukhari no. 7420)

Demikian pula ketika Allah Ta’ala menurunkan surat An-Nuur ayat 11-26 sebagai pembelaan terhadap ‘Aisyah yang dituduh berzina, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

وَلَقَدْ نَزَلَ عُذْرِي مِنَ السَّمَاءِ، وَلَقَدْ خُلِقْتُ طَيِّبَةٌ وَعِنْدَ طَيِّبٍ، وَلَقَدْ وُعِدْتُ مَغْفِرَةً، وَرِزْقًا كَرِيمًا

“Pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilahirkan dari dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengan ampunan dan rizki yang mulia.” (Al-Hujjah fi Bayan Al-Mahajjah, 2/398)

Dalil Berdasarkan Akal dan Fitrah Manusia

Akal kita pun menyatakan ketinggian Dzat Allah Ta’ala. Karena kalau kita tanyakan kepada orang-orang yang berakal, apakah sifat Maha tinggi itu termasuk sifat kesempurnaan atau sifat tercela? Maka tidak ragu lagi bahwa mereka akan menjawab sifat kesempurnaan. Dan Allah Ta’ala telah menetapkan seluruh sifat kesempurnaan bagi-Nya dalam firman-Nya,

وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Dan Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi. Dan Dia-lah yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. An-Nahl [16]: 60)

Dan kalaulah mereka masih mengingkari dalil-dalil yang menunjukkan ketinggian Allah Ta’ala, maka hendaklah mereka meminta fatwa kepada dirinya sendiri. Karena fitrah setiap manusia mengakui bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit, meskipun orang kafir. Seandainya orang kafir tersebut berdoa kepada Tuhannya, maka kita akan lihat bahwa mereka mengarahkan hatinya ke arah langit. Dan setiap manusia yang berdoa tentu akan mengarahkan hatinya ke langit. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُل يُطِيل السَّفَر أَشْعَث أَغْبَر يَمُدّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء يَا رَبّ يَا رَبّ

“Kemudian beliau (Rasulullah) menceritakan tentang seorang laki-laki yang menempuh perjalanan jauh, berambut kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa, ’Ya Rabb, Ya Rabb!’” (HR. Muslim no. 2393)

Siapakah yang menuntunnya untuk berdoa seperti itu? Tidak lain adalah fitrah, meskipun dia belum pernah mempelajari kitab ‘Aqidah Wasithiyyah atau ‘Aqidah Thahawiyyah. Akan tetapi, ketika berdoa kepada Rabb-nya maka otomatis dia akan melihat ke arah langit. Maka ini adalah dalil fitrah yang tidak membutuhkan kajian dan penelitian terlebih dahulu.

Oleh karena itu, ketika Abul Ma’ali Al-Juwaini menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak berada tinggi di atas ‘Arsy (karena beliau adalah pengikut paham Asy’ariyyah), maka muridnya, Abu Ja’far Al-Hamzani, berkata kepadanya,

”Wahai ustadz, kita tidak perlu bicara tentang ‘arsy atau istiwa’ di atas ‘arsy. Bagaimana pendapatmu dengan fitrah ini, yaitu tidak ada satu pun hamba yang berdoa, ’Ya Allah!’ kecuali akan didapatkan hatinya otomatis akan mengarah ke atas?”

Maka Abul Ma’ali Al-Juwaini mengatakan bahwa dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu karena pertanyaan itu telah membuatnya bingung. [1]

Demikianlah aqidah yang dibangun di atas kebatilan, karena ujung-ujungnya hanya membuat orang menjadi bingung dan linglung karena tidak sesuai dengan akal dan fitrah manusia. Sebaliknya, aqidah ahlus sunnah adalah aqidah yang mudah dipahami, sangat jelas dan gamblang, dan sesuai dengan akal dan fitrah manusia, baik orang awam maupun ulama, baik anak kecil maupun orang dewsa.

Hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Khuzaimah rahimahullahu Ta’ala,

كما أخبرنا في محكم تنزيله وعلى لسان نبيه وكما هو مفهوم في فطرة المسلمين علمائهم وجهالهم أحرار هم ومماليكهم ذكراهم وإناثهم بالغيهم وأطفالهم كل من دعا الله جل وعلا فإنما يرفع رأسه إلى السماء ويمد يدية إلى الله إلى اعلاة لا إلى أسفل.

“Sebagaimana yang Allah kabarkan kepada kita di dalam Al-Qur’an dan melalui lisan (penjelasan) Nabi-Nya, dan sebagaimana hal ini telah dipahami oleh fitrah seluruh kaum muslimin, baik dari kalangan ulama ataupun orang awam (orang bodoh) di antara mereka, orang-orang merdeka ataupun budak, lelaki dan wanita, orang dewasa maupun anak kecil. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan ke arah bawah.” [2]

----------
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1]     Lihat Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2/437-449; Syarh ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 50-55.

[2]     Kitaabut Tauhiid 1/161, karya Ibnu Khuzaim
Share:

TIRULAH CARA BERAGAMANYA ORANG-ORANG YANG TELAH DIJAMIN MASUK SURGA⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣

Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:⁣⁣⁣


⁣⁣⁣
من كانَ منكم مُتأسياً فليتأسَّ بأصحابِ رسول ِاللهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ, فإنهم كانوا أبرَّ هذهِ الأمةِ قلوباً، وأعمقـُها عِلماً، وأقلـُّهَا تكلـُّفَا، وأقومُها هَديَا، وأحسنـُها حالاً، اختارَهُمُ اللهُ لِصُحبةِ نبيِّهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ وإقامَةِ دينِهِ، فاعرفوا لهم فضلـَهُم، واتـَّبـِعُوهم في آثارِهِم، فإنهم كانوا على الهُدى المُستقيم⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
“Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)” [Tafsir Al Qurthubi (1/60)]⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Beliau juga berkata:⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
“Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum Mu’minin,itulah yang buruk di sisi Allah” [HR. At Thabrani]⁣⁣⁣
⁣⁣⁣
Share:

Menyikapi Penguasa Yang Kejam

Catatan sejarah membuktikan, setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i selalu melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang zalim.

Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 163)

Itulah salah satu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terlupakan atau tidak diketahui oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh kelompok pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip ini. Entah karena lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.

Barangkali akan ada yang mengatakan, “Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”

Untuk menjawab pernyataan itu, seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi rahimahullah berkata, “Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).

Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعۡضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعۡضَۢا بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ١٢٩

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)[1]

Dahulu juga dikatakan, ‘Apa yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh amalmu’.”

Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)

Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan perbuatan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!

Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian, namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.

Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.

Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi penguasa.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan azab Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah subhanahu wa ta’ala jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri rahimahullah, hlm. 38, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).

Perlu pula diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai al-Mubir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.

Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekadar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)

Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam sejarah selalu ada orang semacam ini. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan akan adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda beliau berikut ini:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.”

(Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?”

Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَاْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”

Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?”

Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُوْنَ حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ … قَالَ: اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”…

Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR. Muslim)

Maknanya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di antara manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika mereka melakukannya, mendapat pahala; dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 119)

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.”

Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?”

Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)

Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu:

قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ –فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا

Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)

Sabar

Itulah penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar, taat, menunaikan hak, dan sebagainya, sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang lebih baik selain itu.

Menyikapi penguasa yang zalim jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah (kecemburuan) keagamaan tanpa mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bagaimanapun, kita tidak lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat maksiat dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu, Allah haramkan hal-hal yang keji, baik yang tampak maupun yang tidak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu)

Ketika Abu Dzar radhiallahu ‘anhu keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.”

Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)




Wallahu a’lam.




Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Cari