Oleh : Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA
Sudah
suatu kelaziman dalam berbagai bidang keahlian maupun produk tertentu
harus memenuhi standarnya; sehingga keabsahan, kualitas dan validasinya
terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau tidak demikian halnya,
tentu semua orang bisa berkata atau berbohong dan melanggar berbagai
aturan main dan kaidah yang sudah baku yang ditetapkan dan disepakati
para ahli pada setiap bidang keilmuan.
Demikian pula halnya
pemahaman terhadap agama, harus sesuai dengan standarisasi yang berlaku
dalam Islam; agar kita tidak terbalik dalam berjalan, kita ingin maju
tapi malah mundur jadinya, maju dalam pemikiran tapi mundur dalam
keimanan.
Karena pada akhir-akhir ini terjadi semacam kerancuan
dalam standarisasi keabsahan pemahaman agama. Sehingga timbul berbagai
asumsi dan opini-opini yang menyesatkan dalam keyakinan beragama.
Maka
selayaknyalah seorang Muslim mampu memilih dan memilah mana yang harus
di terima dan mana yang harus ditolak. Agar tidak terbalik dalam menilai
sebuah permasalahan, yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap
benar.
Tentu untuk sampai pada titik penentuan pilihan tersebut
harus mengenali standarisasinya. Dewasa ini banyak orang menjadikan
gelar, kedudukan, kekayaan, ketenaran, kesepuhan, peninggalan kuno dan
galian fosil sebagai standarisasi. Padahal itu bukan standarisasi untuk
menentukan kebenaran dalam Islam.
Islam memiliki standar yang
valid dan akurat dalam menilai sebuah pandangan dan pendapat. Sehingga
pandangan dan pendapat itu berlaku kebenarannya di mana dan kapan saja;
tanpa dibatasi oleh masa dan tempat tertentu. Karenanya, berbagai
pandangan dan pendapat para Ulama dapat diadobsi dan diterima di zaman
sekarang; walaupun masa mereka sudah amat jauh berlalu. Yang dimaksud di
sini adalah pendapat-pendapat yang benar-benar sesuai dengan
standarisasi yang terdapat dalam Islam.
Berikut ini dipaparkan
sebagian dari standarisasi kebenaran dalam Islam, sesuai dengan apa yang
diamalkan dan dipraktekkan oleh generasi terbaik umat ini; yang
selanjutnya diikuti oleh para Ulama terkemuka pada setiap generasi
mereka.
1. Berpegang Kepada Al-Qur’ân. Meyakininya Sebagai Wahyu
Yang Mutlak Kebenarannya. Maka Segala Pendapat Dan Pandangan Yang
Bertentangan Dan Berseberangan Dengan Kebenaran Al-Qur’ân Dinyatakan
Sesat Dan Batil Secara Mutlak.
قاَلَ الشَّافِعِيُّ : «كُلُّ
مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ
يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ
فَهُوَ هَذَيَانٌ» (أخرجه البيهقي في «مناقب الإمام الشافعي(
Imam
Syafi’i berkata: “Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur’ân dan
Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan
setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada al-Qur’ân dan
Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan”[1]
.
قَالَ
الْمُزَنِيْ وَالرَّبِيْعُ كُنَّا يَوْماً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ إِذْ جَاءَ
شَيْخٌ فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ قاَلَ الشَّافِعِيُّ سَلْ قاَلَ إِيْشٌ
الْحُجَّةُ فِيْ دِيْنِ اللهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ كِتَابُ اللهِ، قاَلَ
وَمَاذَا قاَلَ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ…”
Al Muzany dan ar-Rabî’
berkata: “Pada suatu hari saat kami berada di samping Imam Syâfi’i,
tiba-tiba datang seorang orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syâfi’i:
“Aku ingin bertanya.” Jawab Imam Syâfi’i: “Silakan.” Lalu ia berkata:
“Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla ?” Maka Imam Syâfi’i
menjawab: “Kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’ân).” Ia bertanya lagi:
“Kemudian apa?” Jawab Syâfi’i: “Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ” “[2]
Di sini terlihat bahwa Imam Syâfi’i sangat
mengagungkan al-Qur’ân dalam berdalil. Menurut Imam Syâfi’i mestinya
setiap orang menjadikan al-Qur’ân sebagai pedoman saat menentukan sebuah
hukum atau berpendapat. Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya
berhak untuk diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah
kebingungan. Orang tersebut adalah sibingung yang membuat kebingungan di
tengah masyarakat.
Betapa banyaknya orang zaman sekarang yang
membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya.
Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang
terlintas di benaknya, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
Bahkan
menurut Imam Syâfi’i pendapat dan pemahaman yang tidak berdasarkan
kapada dalil al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah bisikan-bisikan setan.
Betapa banyak di zaman
sekarang orang yang mengikuti bisikan-bisikan setan. Semoga Allah Azza
wa Jalla melindungi kaum Muslimin dari fitnah mereka.
قَالَ الْمُزَنِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ “مَنْ تَعَلَّم َاْلقُرآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ”
Berkata al-Muzany: aku mendengar Syâfi’i berkata: “Barangsiapa yang mempelajari al-Qur’ân telah tinggi kedudukannya”[3] .
Demikianlah,
Imam Syâfi’i rahimahullah sangat menghargai orang-orang yang
mempelajari al-Qur’ân, sebagai motivasi bagi mereka agar
bersungguh-sungguh untuk mempelajari al-Qur’ân. Sekaligus menegaskan
kepada kita untuk menghormati orang yang mempelajari dan mengamalkan
hukum-hukum al-Qur’ân. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mengangkat
derajat orang yang mempelajari al-Qur’ân dan merendahkan derajat orang
yang tidak mau mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا اْلكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
Sesungguhnya
Allah meninggikan dengan kitab ini (al-Qur’ân) kedudukan beberapa kaum
dan merendahkan dengannya kedudukan yang lain. [HR. Muslim]
Allah
Azza wa Jalla mengangkat derajat orang mau menerima ajaran al-Qur`ân
dan berjuangan untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Sebaliknya Allah Azza wa Jalla hinakan dan rendahkan derajat orang yang
menetang ajaran al-Qur’ân atau merendahkan orang-orang mengamalkannya
dan berjuang untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Sebagian
orang di masa sekarang ada yang meremehkan orang-orang yang mempelajari
dan mengamalkan al-Qur’ân dalam berakidah, beribadah, bermu’alah dan
berakhlak. Apalagi yang mengajak untuk menjalankan al-Qur’ân dalam
segala aspek kehidupan. Mereka dianggap sebagai kaum terbelakang dan
anti moderenisme. Mereka diejek dengan berbagai tuduhan-tuduhan dusta.
Sebaliknya, orang-orang yang merusak ajaran al-Qur’ân justru disanjung
dan dipuji. Bahkan sebahagian mereka berani mengatakan bahwa sebab
keterbelakangan adalah akibat menjalankan al-Qur’ân. Mereka menganggap
teori-teori mereka jauh lebih jitu dan lebih hebat daripada al-Qur’ân.
Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ini adalah suatu kekufuran dan
kebohongan yang nyata terhadap al-Qur’ân.
Hal ini tidak beda
dengan sikap kaum kafir, mereka sudah merasa cukup dengan ilmu
pengetahuan yang ada pada mereka. Mereka tidak merasa perlu lagi dengan
ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh rasul-rasul. Justru, mereka
memandang enteng dan memperolok-olok keterangan yang dibawa rasul-rasul
itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ
رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ
وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Maka tatkala
datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan
membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan
yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang senantiasa
mereka perolok-olokkan [al-Mukmin/40:83]
Banyak sekali ayat
maupun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
tentang wajibnya berpegang kepada al-Qur’ân.
Di antaranya, firman Allah Azza wa Jalla :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya). [al-A`râf/7:3]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ
Dan
sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kalian sesuatu, kalian tidak
akan sesat selamanya jika kalian berpegang dengannya, yaitu kitab Allah.
[HR. Muslim]
2. Berpegang Pada Sunnah.
Sunnah adalah sejoli al-Qur’ân; kedua-duanya adalah wahyu yang wajib kita ikuti, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ
*Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`ân) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).* [an-Najm/53:3-5]
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
*Seandainya
dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya
benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya.* [al-Haqqah/69:54-56]
Dua ayat
di atas menjelaskan kepada kita tentang kevalidan sunnah sebagai hujjah
dalam agama Islam. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mewajibkan kita
berpegang teguh kepada sunnah.
Dalam pengamalan, seorang Muslim
tidak boleh membedakan-bedakan antara al-Qur’ân dan sunnah. Orang yang
membeda-bedakan antara al-Qur’ân dan Sunnah dalam hal pengamalannya,
sesungguhnya ia telah membeda-bedakan pula antara taat kepada Allah Azza
wa Jalla dan taat kepada Rasul-Nya. Ini adalah sikap yang dianggap
menyelisihi al-Qur’ân itu sendiri, berdasarkan firman Allah Azza wa
Jalla.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ
نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا
بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
”Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir
terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),
merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”.
[an-Nisâ/4/150-151]
Sebagai konsekuensi ketaatan kita kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kita wajib menerima semua yang beliau
perintahkan dan beliau sampaikan, termasuk hadits-hadits yang
berkategori ahad. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
*Apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.*[al-Hasyr/59:7]
Orang
yang menolak sunnah, niscaya mereka akan ditimpa oleh fitnah kesesatan
waktu di dunia dan diancam azab yang pedih di akhirat. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
*Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.* [an-Nûr/24:63]
Tidak Membedakan Dalam Masalah Ibadah Dan Masalah Akidah.
Dalam
mengamalkan dan menerima sunnah kita tidak boleh membedakan-bedakan
antara hadits ahad dalam masalah akidah dan masalah ibadah, sebagaimana
pandangan orang-orang ahli kalam.
Firman Allah Azza wa Jalla :
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.[an-Nisâ`/4:65]
Dalam segala
hal yang kita berbeda pandangan baik secara akidah maupun ibadah dan
seterusnya; maka kita wajib mengembalikannya kepada al-Qur’ân dan sunnah
berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
*Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.*[an-Nisâ`/4:59]
3. Dalam Memahami Al-Qur’ân Dan Sunnah Merujuk Kepada Pemahaman Para Sahabat.
Dalil
yang mewajibkan kita untuk merujuk dalam memahami kitab dan sunnah
sesuai dengan pemahaman salafus shaleh, berikut di antaranya :
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
*Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.[at-Taubah/9:100]*
*Imam Ibnu Katsîr berkata ketika
menafsirkan ayat di atas: “Maka sesungguhnya Allah yang Maha agung telah
memberitahu, bahwa Allah Azza wa Jalla telah ridha terhadap generasi
terkemuka yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.*
Maka celakalah
orang yang membenci dan mencela mereka. Atau membenci dan mencela
sebagian mereka. terutama penghulu para Sahabat yang terbaik dan paling
mulia setelah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang aku maksud
as-Shiddîq yang mulia, khalifah yang agung, Abu Bakar bin Quhafah
Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya kelompok yang hina dari orang-orang
Rafidhah memusuhi para Sahabat yang mulia, mereka membenci dan mencaci
para Sahabat. Kita berlindung dengan dari hal yang demikian. Ini
menunjukkan bahwa akal mereka terbalik, dan hati mereka tertelungkup. Di
mana keimanan mereka kepada al-Qur’ân, ketika mereka mencaci maki
orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ?! Adapun Ahlus
sunnah ; mereka meridhai orang yang diridhai Allah Azza wa Jalla dan
mencela orang yang dicela oleh Allah Azza wa Jalla . Mereka
berolayalitas kepada orang yang cintai Allah Azza wa Jalla dan memusuhi
orang yang memusuhi Allah Azza wa Jalla . Mereka mengikuti tidak
melakukan bid’ah. Karena itu mereka adalah golongan Allah Azza wa Jalla
yang menang, hamba-hamba-Nya yang beriman”[4] .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia dalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka [Muttafaq`alaihi]
Peringkat
kebaikan tertinggi yang diberikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallambagi para Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ ut Tâbi’în dalam hadits ini
adalah dalam segi pemahaman dan pengamalan ilmu serta dalam hal
menyampaikannya kepada umat. Secara tidak langsung terkandung di
dalamnya perintah bagi umat untuk menjadikan mereka sebagai panutan dan
acuan dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah; serta untuk
menyampaikannya kepada umat manusia.
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang lain disebutkan yang artinya:
Dari
‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu anhu Pada suatau hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimani kami shalat subuh.
Kemudian beliau menghadap kami (setelah salam) dan memberi nasehat yang
sangat dalam; membuat air mata bercucuran, membuat hati bergetar
ketakutan. Salah seorang berkata: “Ini bagaikan nasehat perpisahan wahai
Rasulullah! Apa wasiat engkau kepada kami?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Aku wasiatkan, dengar dan patuhlah kepada
penguasa sekalipun ia seorang budak Habasyi yang cacat. Sesungguhnya
barangsiapa di antara kalian yang hidup lama setelahku, pasti akan
melihat perpecahan yang banyak. Maka berpeganglah kalian dengan sunnahku
dan sunnah khulafâ’ ar-râsyidîn al-mahdiyîn. Peganglah erat-erat dan
gigitlah dengan geraham. Dah hati-hatilah kalian terhadap
perkara-perkara yang baru dalam hal beragama. Karena perkara yang baru
dalam hal beragama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dalam
hadits ini Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya
menegaskan agar kita berpegang dengan sunnah beliau; tetapi juga
menekankan agar kita berpegang kepada sunnah para Sahabat. Karena sudah
semestinya seorang yang mengaku sebagai Muslim berpegang kepada
al-Qur’ân dan Sunnah. Namun amat jarang orang memperhatikan sunnah para
Sahabat dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah tersebut.
Terlebih lagi ketika terdapat perbedaan pendapat dalam permasalahan
agama. Sering mereka kemukakan pemahamannya sendiri atau pendapat tuan
guru, figur dan pimpinan organisasinya.
Demikian pula dalam hadits yang menerangkan tentang perpecahan umat ini ke dalam tujuh puluh tiga golongan:
إِنَّ
الْيَهُوْدَ اخْتَلَفُوْا عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَإِنَّ
النَّصَارَى اخْتَلَفُوْا عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأَمَّةِ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً،
كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً . قَالُوْا: مَنْ هُمْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: “ماَ أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ”
Sesungguhnya
orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan dan orang
terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruhnya masuk neraka kecuali satu.
Sahabat bertanya siapa mereka ya Rasulullah ? Jawab beliau: “Apa yang
aku berada di atasnya dan para Sahabatku”.[HR at-Tirmidzi dan selainnya,
di hasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Dalam hadits yang di atas
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan golongan yang
selamat dari tujuh puluh tiga golongan tersebut, yaitu orang yang
pemahaman, amalan dan dakwahnya sesuai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak hanya mengatakan orang yang berpegang dengan sunnah semata tapi
juga memahami dan mengamalkan sunnah tersebut sesuai dengan pemahaman
dan pengamalan para Sahabat.
Umar bin Abdul ‘Azîz rahimahullah berkata:
سَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ وَوُلاَةُ اْلأُمُوْرِ بَعْدَهُ سُنَنًا اْلأَخْذُ بِهَا
تَصْدِيْقٌ لِكِتَابِ اللهِ وَاسْتِكْمَالٍ لِطَاعَةِ اللهِ وَقُوَّةٍ
عَلَى دِيْنِ اللهِ لَيْسَ ِلأَحَدٍ تَبْدِيْلُهَا وَلاَ تَغْيِيْرُهَا
وَلاَ النَّظَرُ فِيْمَا خَالَفَهَا مَنِ اقْتَدَى بِهَا فَهُوَ مُهْتَدٍ
وَمَنِ اسْتَنْصَرَ بِهَا فَهُوَ مَنْصُوْرٌ وَمَنْ خَالَفَهَا وَاتَّبَعَ
غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَّهُ الله ُمَا تَوَلَّى وَأَصْلاَهُ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
Rasulullah dan para penguasa
setelahnya telah menetapkan sunnah-sunnah. Mengambilnya adalah
pembenaran terhadap kitab Allah dan penyempurnaan bagi ketaatan kepada
Allah serta memberi kekuatan di atas agama Allah. Tidak ada seorang pun
yang berhak untuk merubahnya, dan tidak pula menukarnya, dan tidak pula
melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa yang mengambil
petunjuk dengannya maka dia akan mendapat petunjuk. Barangsiapa yang
mencari kemenangan dengannya maka dia akan ditolong. Barangsiapa yang
menyelisihinya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin,
niscaya Allah memalingkannya kemana dia berpaling. Dan akan
memasukkannya ke dalam neraka Jahanam yang sejelek-jelek tempat [5]
Betapa indahnya ungkapan Imam Syâfi’i rahimahullah tentang kedudukan Sahabat Radhiyallahu anhum:
هُمْ
فَوْقَنَا فِيْ كُلِّ عِلْمٍ وَعَقْلٍ وَدِيْنٍ وَفَضْلٍ وَكُلِّ سَبَبٍ
يُنَالُ بِهِ عِلْمٌ أَوْ يُدْرَكُ بِهِ هُدًى وَرَأُيُهُمْ لَنَا خَيْرٌ
مِنْ رَأْيِنَا ِلأَنْفُسِنَا
Mereka di atas kita dalam segala
bidang ilmu, pemikiran, agama dan keutamaan. Serta dalam segala sebab
yang diperoleh dengannya ilmu atau diketahui dengan petunjuk. Pendapat
mereka lebih baik untuk kita, daripada pendapat kita sendiri untuk diri
kita[6]”
4. Meneliti Keshahîhan Dalil.
Hal ini hanya berlaku
ketika menjadikan hadits sebagai dalil, maka hadits yang dijadikan dalil
selemah-lemah derajatnya adalah hasan lighairih. Sebaliknya tidak
berpegang kepada hadits-hadits dhaîf, apalagi kepada mimpi dan khayalan
dan akal yang rusak.
Di antara sebab timbulnya sebuah kesesatan
dan bid’ah adalah karena berpegang kepada hadits-hadits yang lemah atau
palsu. Seperti hadits yang menjadi pegangan orang-orang Ahlulkalam
(Rasionalisme) :
أَوَّلُ مَا خَلَقَهُ الله ُالْعَقْلُ
Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal
Sebagian
orang ada pula yang berpegang kepada mimpi dalam melestarikan sebuah
kesesatan dan bid’ah. Seperti bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallamatau orang shaleh lalu mengajarkan sesuatu kepadanya
dalam mimpi tersebut. Ini suatu kekeliruan yang amat nyata, sebab mimpi
tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam agama, apalagi menentang
sesuatu yang sudah baku dalam agama. Jika dalam mimpi ia diperintahkan
kepada sesuatu yang sesuai dengan tuntunan agama, maka ia mengambilnya
bukan sebagai dalil utama tetapi sebagai pendukung saja. Kenapa kita
harus termotivasi dengan mimpi! Tetapi tidak termotivasi dengan perintah
yang secara tegas disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sewaktu beliau hidup.
Apalagi kebanyakan orang yang mengaku
bermimpi tersebut tidak jujur, cuma demi untuk membuatnya tenar dan
disanjung di depan orang ramai serta di anggap memiliki keistimewaan.
Dan yang lebih sesat lagi bermimpi mendapat ajaran baru atau dibebaskan
dari menjalankan perintah-perintah agama.
5. Keshahîhan Dalam
Beristidlâl (Menempatkan Dalil). Tidak Sebatas Keshahîhan Dalil Tetapi
Perlu Lagi Keshahîhan Dalam Beristidlal Ketika Mengambil Sebuah Hukum
Dari Dalil Tersebut.
Di antara hal yang penting lagi setelah
meneliti keshahîhan dalil adalah meneliti keshahîhan dalam beristilal
yaitu benar dalam mengambil hukum dari sebuah dalil tersebut. Betapa
banyak sekali kelompok sesat yang memutarbalikkan pengertian dalil yang
shahîh.
Berikut ini beberapa contoh tindakan gegebah orang-orang sesat dalah mengambil sebuah hukum dari sebuah dalil.
Dalam sebuah buletin orang tarekat menyebutkan tentang kebenaran bertarekat adalah firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap istiqamah di atas jalan itu
(tharîqah), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang
segar (rezki yang banyak).[al-Jinn/72:16]
Kata-kata *Tharîqah*
mereka terjemahkan dengan sesukanya saja, yaitu tarikat. Padahal semua
orang Muslim tahu bahwa tarikat tersebut tidak pernah ada di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula di masa tâbi’în
dan tâbi’ tâbi”în. Yang *dimaksud dengan tharîqah dalam ayat tersebut
adalah jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu agama
Islam*.
Tidak ada seorangpun Ulama yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran sesat ahli tarikat tersebut.
Dalam tafsir Jalalain yaitu tafsir kebanggaan orang-orang tarekat di sebutkan:
لَوِ اسْتَقَامُوْا عَلىَ الطَّرِيْقَةِ أَيْ طَرِيْقَةُ اْلإِسْلاَمِ
Dan jika mereka tetap istiqâmah di atas at-tharîqah (jalan) maksudnya adalah “Tharîqah (jalan) Islam [7] “.
Dan
masih banyak lagi contoh-contoh lain, seperti orang-orang eling
(Jawa-ingat) yang berhujjah dengan firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku [Thaha/20:14]
Mereka
memahami ayat tersebut, bahwa bila sudah ingat Allah Azza wa Jalla
berarti sudah shalat. Semua orang Islam mengetahui tentang kesesatan
penafsiran mereka tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabat tidak pernah memahami ayat tersebut seperti
penafsiran sesat mereka. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajarkan bahwa shalat ada tata caranya, ada waktunya, ada
bacaa-bacaannya, ada rukunnya, ada syaratnya, ada hal-hal yang
membatalkannya.
6. Berpegang Kepada Ijmâ’.
Sebuah pendapat
dan pemahaman tidak boleh bertentangan dengan ijmâ’ para Ulama.
*Ijmâ’adalah kesepakatan para Ulama dalam satu masa terhadap sebuah
hukum*. Sumber ijmâ’ adalah al-Qur’ân dan Sunnah. Terjadinya ijmâ’
karena begitu banyak dalil dan penjelasan persoalan tersebut dalam agama
ini.
Tidak ada lagi keraguan tentang hal tersebut. Sehingga
semua orang yang berilmu bersepakat dalam hal tersebut. Ini menunjukkan
tentang kevalitannya untuk dijadikan hujjah. Karena tidak ada perbedaan
dalam menetapkannya. Seperti ijmâ’ tentang bahwa al-Qur’ân terjaga
keasliannya dan kemurniannya sampai hari kiamat. Bila ada orang yang
melanggar kesepakantan ijmâ’ maka ia telah bertolak belakang dengan
banyak dalil dan banyak Ulama.
Oleh sebab itu Imam Syâfi’i menyebutkan tentang hujjah ijmâ’ dalam al-Qur’ân, yaitu firman Allah Azza wa Jalla : [8]
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
*Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami palingkan ia kemana ia hendak
berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.[an-Nisâ`/4:115]*
Dalam ayat yang mulia ini terdapat beberapa ancaman bagi orang yang melanggar ijmâ’:
1. Waktu di dunia ia akan dibiarkan Allah Azza wa Jalla bergelimang dan terombang-ambing dalam kesesatannya.
2. Di akhirat kelak ia kan dikembalikan kepada tempat yang sejelek-jeleknya yaitu neraka Jahannam yang menyala-nyala.
Demikian pula dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:
إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Sesungguhnya
Umatku tidak akan pernah bersepakat di atas sebuah kesesatan. [HR. Abu
Dâwud 4253; at-Tirmidzi 2167 dan Ibnu Mâjah 3590. dishahîhkan al-Albâni
dalam dhilâlul jannah]
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa
kesepakatan para Ulama dalam menetapkan sebuah hukum amat jauh dari
kesesatan. Bahkan telah dijamin oleh Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak akan pernah terjadi ijmâ’ dalam sebuah kesesatan.
قَالَ
الشَّافِعِيُّ فِيْ الرِّسَالَةِ وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ
جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ، وَمَنْ خَالَفَ
مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمُ
الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا، وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةِ فِيْ
الفُرْقَةِ، فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَّةَ
غَفْلَةٍ عَنْ مَعْنَى كِتَاٍب وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِياَسٍ، إِنْ شَاءَ
الله.ُ انْتَهَى
Berkata Imam Syâfi’i: “Barang yang berkata sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh jamaah (ijmâ’) orang Islam, maka berarti
dia tetap konsiten dalam jamaah mereka. Dan barang siapa yang
menyelisihi apa yang dikatakan oleh jamaah (ijmâ’) orang Islam, maka
berarti dia telah keluar dari jamaah mereka yang diperintahkan untuk
tetap di dalamnya. Sesungguhnya kesalahan itu terdapat dalam berpecah
belah. Adapun jamaah maka tidak akan mungkin seluruhnya tersalah dalam
memahami makna al-Qur’ân dan Sunnah begitu pula Qiyâs. Insya Allâh”.
[“Ar Risâlah” hal: 475]
7. Bertopang Kepada Qiyâs Yang Shahîh, Sebaliknya Tidak Menyadarkan Sebuah Pemahaman Kepada Qiyâs Al-Fâsid.
Seperti
mengqiyâskan sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk,
menqiyâskan alam barzakh dengan alam dunia, menqiyâskan
kejadian-kejadian pada hari akhirat dengan kejadian di dunia ini.
Demikian beberapa contoh standarisasi kebenaran dalam Islam yang dapat disajikan, semoga bermanfaat.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: “Manâqib Asy Syâfi’i”: 470.
[2]. Lihat: “Ahkâmul Qur’ân”: 39.
[3]. Lihat: “Al-Muntazhim”: 10/137 & “Shafwatush shafwah”: 2/254.
[4]. Lihat “tafsir Ibnu Katsîr”: 4/203.
[5]. Lihat “As-Sunnah”/`Abdullah bin Ahmad”: 1/357.
[6]. Ungkapan ini sangat masyhur dinukilkan dari Imam Syâfi’i. lihat “Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah”: 4/158.
[7]. Lihat “Tafsir Jalalain”: 771.
[8]. Lihat “Ahkâmul Qur’ân”: 28.
sumber: https://almanhaj.or.id/3439-
Silakan disebar Artikel ini dengan tidak menambah atau mengurangi isi tulisan dan yang berkaitan dengannya
Semoga Allaah selalu mudahkan kita istiqomah dijalanNya
SEMOGA BERMANFAAT
STANDARISASI KEBENARAN DALAM ISLAM
Apakah Orang Kafir Akan Ditanya Di Alam Kubur?
Terdapat dalil bahwa semua mayit akan mengalami fitnah (ujian) kubur, yaitu mendapatkan pertanyaan dari malaikat di alam kubur. Apakah pertanyaan malaikat ini khusus hanya untuk setiap orang yang beriman atau juga dialami oleh orang kafir? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dan terbagi dalam dua pendapat.
Pendapat pertama, orang kafir tidak ditanya di alam kubur. Ini adalah pendapat ‘Ubaid bin ‘Umair (ulama terkemuka dari kalangan tabi’in) dan juga pendapat Ibnu Abdil Barr rahimahumullah.
‘Ubaid bin ‘Umair berkata,”Yang mendapatkan pertanyaan kubur hanya dua orang, yaitu orang mukmin dan orang munafik. Adapun orang kafir, maka mereka tidak ditanya tentang Muhammad dan mereka juga tidak mengenalnya” (Fathul Baari, 3/238).
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Hadis-hadis dalam masalah ini (fitnah kubur) hanyalah menunjukkan bahwa fitnah kubur tidaklah dialami kecuali hanya bagi orang beriman dan orang munafik yang ketika di dunia menisbatkan (mengaku) dirinya sebagai orang Islam yang terjaga darahnya karena mengucapkan dua kalimat syahadat. Adapun orang kafir yang ingkar, maka tidaklah termasuk orang-orang yang ditanya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Nabi-nya. Yang ditanya tentang hal itu hanyalah orang muslim saja” (At-Tamhid, 22/251).
Pendapat ini dapat dibantah dengan mengatakan bahwa justru orang kafir itu lebih layak untuk ditanya daripada selain mereka. Allah Ta’ala memberitakan bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat,
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)” (QS. Al-A’raf [7]: 6).
Jika mereka ditanya di hari kiamat, bagaimana mungkin mereka tidak ditanya di kubur mereka?
Pendapat ke dua, orang kafir akan ditanya di kubur mereka. Pendapat ini dipilih oleh Abu Abdillah Al-Qurthubi (dalam kitab At-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuuril Akhiroh, 1/415), Ibnul Qayyim (dalam kitab Ar-Ruh, hal. 228), dan Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahumullah (dalam kitab Fathul Baari, 3/238). Mereka berdalil dengan keumuman dalil yang menunjukkan adanya pertanyaan (fitnah) kubur bagi mayit.
Pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah pendapat kedua, bahwa orang kafir akan ditanya di alam kubur mereka. Hal ini karena beberapa alasan berikut ini:
Alasan pertama, yaitu keumuman dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan ditanya di alam kubur dan tidak dibedakan apakah mayit tersebut muslim atau orang kafir.
Alasan ke dua, yaitu hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولاَنِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا، قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ
“Sesungguhnya seorang hamba jika telah dimakamkan di kuburnya, dan sahabat-sahabatnya (yang mengiring jenazahnya) telah pulang, maka sungguh dia akan mendengar suara langkah sandal mereka. Kemudian dua orang malaikat mendatanginya dan mendudukkannya. Dua orang malaikat tersebut berkata kepadanya,
‘Apa yang dulu Engkau katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’
Adapun orang beriman, maka dia akan menjawab, ’Aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah hamba dan utusan-Nya.’
Maka dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka. Sungguh Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga.’ Maka dia melihat dua-duanya sekaligus.
Adapun orang munafik dan orang kafir, maka ditanyakan kepada mereka, ‘Apa yang dulu Engkau katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’
Maka mereka berkata, ‘Aku tidak tahu. Aku dulu mengatakan apa yang dikatakan oleh kebanyakan manusia.’
Malaikat berkata, ‘Engkau tidak tahu dan Engkau tidak mengikuti.’ Malaikat kemudian memukulnya dengan palu dari besi, dia pun berteriak sampai-sampai didengar oleh makhluk yang berada di atasnya, selain jin dan manusia” (HR. Bukhari no. 1374).
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa orang kafir akan ditanya di kubur mereka. Maka jelaslah bahwa pendapat yang benar adalah bahwa orang kafir akan ditanya di alam kuburnya dan orang kafir justru lebih layak ditanya daripada orang beriman. Jika telah pasti bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat, maka tidak ada penghalang bagi mereka untuk juga ditanya di alam kuburnya. [1]
Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat apakah pertanyaan di alam kubur bersifat umum, yaitu bagi kaum muslimin, orang munafik, dan orang kafir atau hanya khusus bagi orang muslim dan orang munafik? Ada yang berpendapat, (fitnah kubur) hanya khusus bagi muslim dan munafik dan bukan untuk orang kafir. Ada juga yang berpendapat bahwa fitnah kubur bersifat umum bagi orang kafir dan orang muslim. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan mengecualikan orang kafir dari fitnah kubur adalah (pendapat yang) tidak berdasar.” [2]
Wallahu a’lam.
***
Selesai disusun ba’da isya’ di Masjid Nasuha ISR Rotterdam, 12 Shafar 1436
Yang selalu mengharap ampunan Rabb-nya,
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.
Catatan kaki:
[1] Disarikan dari Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut: Masaail wa Dalaail, karya Ahmad bin Muhammad bin Shadiq An-Najar, Daar An-Nashihah, cetakan pertama, tahun 1434, hal. 43-46.
[2] Dikutip dari Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqod, karya Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, tahqiq: Abu Hafz Al-Atsary, Maktabah Salsabila, cetakan pertama, hal. 220.
Sumber: https://muslim.or.id/24017-apakah-orang-kafir-akan-ditanya-di-alam-kubur.html
Pertanyaan Di Alam Kubur Beserta Penjelasannya
Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, tanpa ada pengecualian. Hanya Allah Yang Maha Hidup tidak akan mati, semua makhluk hidup di alam semesta ini, jika Allah Yang Maha Kuasa menghendaki hilangnya nafas kehidupan mereka, maka tak ada satupun yang bisa berpaling dan berlepas diri.
Allah Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
(QS. Ali Imran/3: 185).
Salah satu rukun iman yang enam adalah beriman tentang adanya hari akhir. Iman kepada hari akhir maknanya adalah beriman terhadap segala peristiwa yang terjadi setelah kematian yang telah dijelaskan secara umum dalam Al Qur’an atau pun yang telah disampaikan secara rinci oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melalui lisan beliau. Dengan demikian, iman kepada hari akhir mencakup juga iman terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di alam kubur, diantaranya adalah pertanyaan dua malaikat, juga iman terhadap nikmat dan siksa kubur. Inilah akidah Ahlus sunnah wal jama’ah.
1. Kengerian Alam Kubur
Gelapnya alam kubur, himpitannya yang sangat mengerikan menjadi kengerian tersendiri bagi para penghuni kubur. Dalam sebuah riwayat adalah Hani radhiallahu ‘anhu, bekas budak sahabat mulia ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu pernah berkisah, beliau menceritakan keadaan tuannya pada waktu itu,
“Kebiasaan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu jika berhenti di sebuah kuburan, beliau menangis sampai membasahi janggutnya. Lalu beliau radhiallahu ‘anhu ditanya, ‘Disebutkan tentang surga dan neraka tetapi engkau tidak menangis. Namun engkau menangis dengan sebab ini melihat kuburan, mengapa demikian?’
Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ، فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ، وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ
“Sesungguhnya kuburan adalah fase pertama alam akhirat. Jika seseorang selamat di fase pertama ini, selanjutnya akan lebih mudah. Tetapi jika gagal di fase pertama ini, fase setelahnya akan semakin berat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda;
مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلَّا وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ
“Aku tidak melihat suatu pemandangan pun yang lebih menakutkan daripada kubur.”
(HR. At-Tirmidzi, no. 2308, Ibnu Majah, no. 3461, dan lainnya; dinilai hasan oleh Al hafizh Ibnu Hajar dalam Al futuhat Rabbaniyyah, 4/192)
2. Fitnah Kubur, Ujian Pertama Di Akhirat
Kebanyakan manusia tidak mau tahu bahwa kelak di dalam kubur setiap jenazah bakal mengalami fitnah (ujian) berat. Sedemikian beratnya fitnah itu sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkannya sebagai fitnah yang menyerupai fitnah Dajjal. Inilah peristiwa besar pertama di alam akhirat yang akan dilalui oleh manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
قَدْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ تُفْتَنُونَ فِي الْقُبُورِ قَرِيبًا مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
“Sungguh telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan diuji di kubur kalian setara atau hampir sama dengan fitnah Dajjal”
(HR. Bukhari, no. 1373 secara ringkas, dan An Nasai, no. 2062).
3. Apa Itu Fitnah Kubur?
Fitnah kubur adalah ujian untuk ruh berupa pertanyaan dua orang malaikat, Munkar dan Nakir.
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihiy rahimahullah menjelaskan
ﻭﺍﻟﻔﺘﻨﺔ : ﺍﻻﺧﺘﺒﺎﺭ ﻭﺍﻻﻣﺘﺤﺎﻥ ، ﻓﻴﺄﺗﻲ ﻧﻜﻴﺮ ﻭﻣﻨﻜﺮ ﻳﺒﺘﻠﻴﺎﻧﻪ ﻭﻳﺨﺘﺒﺮﺍﻧﻪ ﺑﺎﻟﺴﺆﺍﻝ : ﻣﻦ ﺭﺑﻚ؟ ﻣﺎ ﺩﻳﻨﻚ؟ ﻭﻣﻦ ﻧﺒﻴﻚ؟ ﺛﻢ ﺗﺄﺗﻲ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ، ﻓﻴﻔﺘﻦ ﺑﺎﻟﺴﺆﺍﻝ ﺛﻢ ﻳﻌﺬﺏ ، ﻓﺎﻟﻌﺬﺍﺏ ﺷﻲﺀ ﻭﺍﻟﻔﺘﻨﺔ ﺷﻲﺀ
Fitnah kubur adalah ujian, di mana malaikat Nakir dan Mungkir menguji dengan memberikan pertanyaan: ‘Siapa Rabb-mu, Apa agama-mu dan siapa Nabi-mu’, lalu memberikan hukuman setelahnya (apabila tidak bisa menjawab). Adzab kubur dan fitnah kubur adalah suatu hal yang berbeda.
(lihat Syarh Sunnah Al-Barbahary, sumber link: (http://majles.alukah.net/t89962
Hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan adanya fitnah kubur mencapai derajat mutawatir dari segi makna, diriwayatkan dari sejumlah sahabat semisal Al Baraa bin ‘Azib, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan selain mereka radhiallahu ‘anhum ajma’in.
4. Pertolongan Menjawab Pertanyaan Di Alam Kubur
Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah Ta’ala, fitnah kubur adalah ujian yang tidak biasa. Sebab, bukan semata lisan dan pengetahuan yang akan menjawabnya. Namun, keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya yang akan menjadi penentunya. Orang yang beriman akan ditolong untuk bisa menjawab pertanyaan dengan “qaulus tsabit”, sedangkan orang kafir dan munafik tidak bisa menjawab dan diadzab. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Ta’ala;
ﻳُﺜَﺒِّﺖُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻘَﻮْﻝِ ﺍﻟﺜَّﺎﺑِﺖِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻓِﻲ ﺍﻵﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻳُﻀِﻞُّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ ﻭَﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﺎ ﻳَﺸَﺎﺀُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di Akhirat. Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”
(QS. Ibrahim: 27).
Jangan pernah menyamakan antara menjawab pertanyaan fitnah kubur dengan menjawab pertanyaan biasa, walaupun kita hapal jawabannya, belum tentu kita mampu menjawab. Karena perkara dunia berbeda dengan perkara di alam akhirat.
5. Apakah Mayat Yang Tidak Dikubur Juga Ditanya?
Seseorang yang meninggal karena dimangsa hewan buas, atau tenggelam di lautan dan mayatnya tidak ditemukan, ia akan tetap mendapatkan pertanyaan kubur beserta siksa atau nikmat kubur. Akan tetapi, bagaimana caranya dan dimana dia ditanya, wallaahu a’lam, kita tidak tahu. Beriman terhadap hal ini termasuk beriman terhadap hal yang ghaib sehingga tidak ada ruang bagi akal untuk menerka-nerka.
6. Perjalanan Panjang Ruh Di Akhirat
Dalam sebuah hadits yang panjang dari sahabat Al Baraa bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan perjalanan pertama ruh di alam barzakh, “Sesungguhnya hamba yang beriman bila bersiap menghadapi alam akhirat dan meninggalkan dunia, malaikat-malaikat akan turun kepadanya seakan-akan wajah mereka seperti matahari. Mereka membawa kain kafan dan wewangian dari surga.
Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk di sisi kepalanya lantas berkata, “Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan dan ridha Allah!”. Keluarlah ruhnya mengalir (dari jasadnya) seperti mengalirnya air dari wadah.
Kemudian rombongan malaikat (yang membawa kafan dan wewangian dari surga) langsung mengambil ruh tersebut dan tidak membiarkannya tetap di tangan malaikat maut walau sekejap mata. Kemudian mereka memakaikan ruh tersebut kafan dan wewangian dari surga. Terciumlah bau kasturi yang paling wangi yang pernah ada di atas muka bumi dari ruh tersebut.
Para malaikat lalu naik membawa ruh tersebut. Tibalah rombongan malaikat tersebut ke langit. Mereka meminta izin supaya pintu langit dibukakan untuk mereka. Kemudian dibukalah pintu langit. Maka seluruh malaikat yang ada di langit itu ikut mengantarkannya menuju langit berikutnya.
Hingga tibalah para malaikat ke langit yang di atasnya ada Allah. Allah ‘Azza wa Jalla lalu berfirman, “Tulislah nama hamba-Ku ini di ‘illiyyin. Kemudian kembalikanlah ia ke bumi. Karena darinyalah Aku menciptakan mereka, kepadanya Aku mengembalikan mereka, dan darinya pula Aku membangkitkan mereka di kesempatan yang lain” Lalu ruh tersebut pun dikembalikan ke jasadnya.
ﻓَﻴَﺄْﺗِﻴﻪِ ﻣَﻠَﻜَﺎﻥِ ﻓَﻴُﺠْﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ : ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ : ﻣَﻦْ ﺭَﺑُّﻚَ ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ : ﻣَﺎ ﺩِﻳﻨُﻚَ ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺩِﻳﻨِﻲَ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡُ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ : ﻣَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺑُﻌِﺚَ ﻓِﻴﻜُﻢْ ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ ﻫُﻮَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ : ﻭَﻣَﺎ ﻳُﺪْﺭِﻳْﻚَ ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﻗَﺮَﺃْﺕُ ﻛِﺘَﺎﺏَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﺂﻣَﻨْﺖُ ﺑِﻪِ ﻭَﺻَﺪَّﻗْﺖُ ﻓَﻴُﻨَﺎﺩِﻱ ﻣُﻨَﺎﺩٍﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ : ﺃَﻥْ ﻗَﺪْ ﺻَﺪَﻕَ ﻋَﺒْﺪِﻳﻔَﺄَﻓْﺮِﺷُﻮﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ( ﻭَﺃَﻟْﺒِﺴُﻮﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ) ﻭَﺍﻓْﺘَﺤُﻮﺍ ﻟَﻪُ ﺑَﺎﺑًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ , ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴَﺄْﺗِﻴﻪِ ﻣِﻦْ ﺭَﻭْﺣِﻬَﺎ ﻭَﻃِﻴﺒِﻬَﺎ ﻭَﻳُﻔْﺴَﺢُ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﻗَﺒْﺮِﻩِ ﻣَﺪَّ ﺑَﺼَﺮِﻩِ ﻗَﺎﻝَ ﻭَﻳَﺄْﺗِﻴﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﺣَﺴَﻦُ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﺣَﺴَﻦُ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏِ ﻃَﻴِّﺐُ ﺍﻟﺮِّﻳﺢِ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺃَﺑْﺸِﺮْ ﺑِﺎﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺴُﺮُّﻙَ ﻫَﺬَﺍ ﻳَﻮْﻣُﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻛُﻨْﺖَ ﺗُﻮﻋَﺪُ , ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ ﻟَﻪُ : ﻣَﻦْ ﺃَﻧْﺖَ , ﻓَﻮَﺟْﻬُﻚَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪُ ﻳَﺠِﻲﺀُ ﺑِﺎﻟْﺨَﻴْﺮِ , ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺃَﻧَﺎ ﻋَﻤَﻠُﻚَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢُ , ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺭَﺏِّ ﺃَﻗِﻢِ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔَ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺭْﺟِﻊَ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻠِﻲ ﻭَﻣَﺎﻟِﻲ
Artinya :
Kemudian dua malaikat mendatanginya dan mendudukannya, lalu keduanya bertanya, “Siapakah Rabbmu?” Dia (si mayyit) menjawab, “Rabbku adalah Allâh”. Kedua malaikat itu bertanya, “Apa agamamu? “Dia menjawab: “Agamaku adalah al-Islam”.
Kedua malaikat itu bertanya, “Siapakah laki-laki yang telah diutus kepada kamu ini?” Dia menjawab, “Beliau utusan Allâh”.
Kedua malaikat itu bertanya, “Apakah ilmumu?” Dia menjawab, “Aku membaca kitab Allâh, aku mengimaninya dan membenarkannya”.
Lalu seorang penyeru dari langit berseru, “HambaKu telah (berkata) benar, berilah dia hamparan dari surga, (dan berilah dia pakaian dari surga), bukakanlah sebuah pintu untuknya ke surga.
Maka datanglah kepadanya bau dan wangi surga. Dan diluaskan baginya di dalam kuburnya sejauh mata memandang. Dan datanglah seorang laki-laki berwajah tampan kepadanya, berpakaian bagus, beraroma wangi, lalu mengatakan, “Bergembiralah dengan apa yang menyenangkanmu, inilah harimu yang engkau telah dijanjikan (kebaikan)”.
Maka ruh orang Mukmin itu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan?”
Dia menjawab, “Aku adalah amalmu yang shalih”.
Maka ruh itu berkata, “Rabbku, tegakkanlah hari kiamat, sehingga aku akan kembali kepada istriku dan hartaku”.
Pertanyaan ini juga dilontarkan kepada orang kafir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya):
“Sesungguhnya hamba yang kafir jika akan berpisah dengan dunia dan menghadapi akhirat, turunlah rombongan malaikat berwajah hitam kepadanya sambil membawa kain wol kasar.
Datanglah malaikat maut dan duduk di dekat kepalanya, lantas berkata, “Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju murka dan amarah Allah!”. Maka ruhnya terpencar-pencar di dalam jasadnya. Malaikat maut kemudian mencabut nyawanya seperti orang yang menarik besi beruji yang menempel di kapas basah. Setelah malaikat mau mencabutnya, rombongan malaikat berwajah hitam langsung mengambil ruh tersebut dalam sekejap dan membungkusnya dengan kain wol kasar. Keluarlah bau paling busuk yang pernah tercium di atas muka bumi.
Lalu ruh tadi di bawa ke langit. Hingga sampailah mereka ke langit dunia, lalu meminta izin agar dibukakan pintu langit, namun tidak diizinkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian membaca ayat (yang artinya), “Tidak akan dibukakan bagi mereka (orang-orang kafir) pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk surga sampai unta bisa memasuki lubang jarum” (QS. Al A’raaf: 40)
Lalu Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Tulislah namanya di Sijjin di bumi paling bawah”. Dicampakkanlah ruh tersebut.
Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat (yang artinya), “Barang siapa mempersekutukan Allah (dengan sesuatu), seolah-olah ia jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al Hajj: 31)
ﻭَﻳَﺄْﺗِﻴﻪِ ﻣَﻠَﻜَﺎﻥِ ﻓَﻴُﺠْﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ : ﻣَﻦْ ﺭَﺑُّﻚَ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﻫَﺎﻩْ ﻫَﺎﻩْ ﻟَﺎ ﺃَﺩْﺭِﻱ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ : ﻣَﺎ ﺩِﻳﻨُﻚَ ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﻫَﺎﻩْ ﻫَﺎﻩْ ﻟَﺎ ﺃَﺩْﺭِﻱ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟَﺎﻥِ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺑُﻌِﺚَ ﻓِﻴﻜُﻢْ ؟ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﻫَﺎﻩْ ﻫَﺎﻩْ ﻟَﺎ ﺃَﺩْﺭِﻱ ﻓَﻴُﻨَﺎﺩِﻱ ﻣُﻨَﺎﺩٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻛَﺬَﺏَ ﻓَﺎﻓْﺮِﺷُﻮﺍ ﻟَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﺍﻓْﺘَﺤُﻮﺍ ﻟَﻪُ ﺑَﺎﺑًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻓَﻴَﺄْﺗِﻴﻪِ ﻣِﻦْ ﺣَﺮِّﻫَﺎ ﻭَﺳَﻤُﻮﻣِﻬَﺎ ﻭَﻳُﻀَﻴَّﻖُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻗَﺒْﺮُﻩُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺨْﺘَﻠِﻒَ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺿْﻠَﺎﻋُﻪُ ﻭَﻳَﺄْﺗِﻴﻪِ ﺭَﺟُﻞٌ ﻗَﺒِﻴﺢُ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﻗَﺒِﻴﺢُ ﺍﻟﺜِّﻴَﺎﺏِ ﻣُﻨْﺘِﻦُ ﺍﻟﺮِّﻳﺢِ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺃَﺑْﺸِﺮْ ﺑِﺎﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺴُﻮﺀُﻙَ ﻫَﺬَﺍ ﻳَﻮْﻣُﻚَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻛُﻨْﺖَ ﺗُﻮﻋَﺪُ , ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﻣَﻦْ ﺃَﻧْﺖَ ﻓَﻮَﺟْﻬُﻚَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪُ ﻳَﺠِﻲﺀُ ﺑِﺎﻟﺸَّﺮِّ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ : ﺃَﻧَﺎ ﻋَﻤَﻠُﻚَ ﺍﻟْﺨَﺒِﻴﺚُ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ ﺭَﺏِّ ﻟَﺎ ﺗُﻘِﻢِ ﺍﻟﺴَّﺎﻋَﺔَ
Artinya :
Lalu ruh tadi dikembalikan ke jasadnya. Datanglah dua malaikat dan memerintahkannya untuk duduk. Keduanya bertanya, “Siapa Rabb-mu?”. Dia menjawab, “Hah…hah… Tidak tahu”
Malaikat bertanya lagi, “Apa agamamu?”. Ia menjawab, “Hah … hah … Tidak tahu”
Malaikat bertanya lagi, “Siapa orang yang telah diutus kepada kalian?”. Ia kembali menjawab, “Hah…hah… Tidak tahu”
Kemudian terdengar suara dari langit, “Hamba-ku berdusta. Hamparkanlah neraka untuknya dan bukakanlah pintu menuju neraka”. Maka hawa panas dan bau busuk neraka menghampiri orang tersebut. Kemudian kuburnya disempitkan sampai tulang rusuknya patah dan bersilangan.”
Dan datanglah seorang laki-laki berwajah buruk kepadanya, berpakaian buruk, beraroma busuk, lalu mengatakan, “Terimalah kabar yang menyusahkanmu ! Inilah harimu yang telah dijanjikan (keburukan) kepadamu”. Maka ruh orang kafir itu bertanya kepadanya, “Siapakah engkau, wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan?”
Dia menjawab, “Aku adalah amalmu yang buruk”. Maka ruh itu berkata, “Rabbku, janganlah Engkau tegakkan hari kiamat”
(HR. Ahmad, no. 18557, Abu Daud, no. 4753 dan lainnya secara ringkas; dinilai shahih oleh ahli hadits syaikh Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1672).
7. Berlindung Dari Fitnah Kubur
Diantara cara untuk berlindung dari fitnah kubur adalah dengan mengucapkan doa berikut di penghujung shalat, selepas tasyahhud akhir sebelum salam,
وعن أَبي هريرة رضي الله عنه : أنَّ رسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنْ أرْبَعٍ ، يقول : اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian bertasyahud, hendaklah ia meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara dengan mengucapkan,
‘ALLAHUMMA INNI A’UDZU BIKA MIN ‘ADZAABI JAHANNAM, WA MIN ‘ADZABIL QOBRI, WA MIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT, WA MIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAAL’
(Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari kejahatan fitnah Al-Masih Ad-Dajjal).” (HR. Muslim, no. 588).
Dan setelah fitnah kubur, seseorang akan mendapatkan nikmat atau adzab kubur sesuai dengan kemampuannya menjawab pertanyaan dua malaikat; Munkar dan Nakir, sembari menunggu keputusan Allah ‘Azza Wa Jalla akan datangnya hari kebangkitan. Semoga Allah Yang Maha Pemurah meneguhkan hati kita semua baik ketika di dunia maupun di akhirat. Wallaahul muwaffiq.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Disusun oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 11 Rabiul Awal 1442 H / 27 oktober 2020 M
Read more https://bimbinganislam.com/pertanyaan-di-alam-kubur-beserta-penjelasannya/
SESEORANG DI WAFATKAN DIATAS APA YANG DI CINTAINYA
Suatu saat aku mengisi kajian di sebuah masjid di kota fulan, datanglah Imam Masjid tersebut dan berkata : Wahai Syaikh ! Di kota ini, tepatnya 2 pekan yang lalu, telah terjadi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan, aku balik bertanya : Peristiwa apa yang terjadi ya akhi ? Maka Imam Masjid tersebut mulai bercerita: Kami mendengar ada seorang pemuda yang tertabrak kereta api saat melintas di rel kereta api maka aku langsung pergi ke tempat kejadian tersebut dan aku dapatkan pemuda tersebut dalam keadaan sangat kritis, ususnya berhamburan keluar dari perutnya dan tangan kirinya juga telah putus.
Maka aku berkata kepadanya : Wahai anakku ! Ucapkan kalimat Laa ilaaha illa Allah. Lalu pemuda itu memandang kepadaku, aku pun mengulang kembali perkataanku, wahai anakku ucapkan kalimat Laa ilaaha illa Allah ! Maka pemuda tersebut berkata : Laa ilaaha illa Allahu kemudian nafasnya terhenti dan meninggal, lalu aku berusaha mencari kartu identitasnya di salah satu kantong di bajunya untuk mengetahui nama dan alamatnya.
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah salib ditangannya, ternyata pemuda ini seorang nashrani, maka Imam Masjid tadi berkata : Kita akan pergi ke rumah pemuda tersebut untuk menyampaikan kisah ini kepada keluarganya, semoga bisa menjadi pelajaran bagi mereka.
Maka kami bersama dengan kaum muslimin yang lainnya, sekitar kurang lebih 2000 orang, berangkat menuju rumah keluarga pemuda tersebut untuk berta’ziah dan mengabarkan tentang keadaannya sebelum meninggal, ketika kami sampai di rumahnya, bapak pemuda tersebut berkata : Sungguh anakku senang sekali mendengarkan Al-Qur’an dan berkehendak masuk Islam akan tetapi aku selalu melarangnya, maka kami pun bertakbir dan mengatakan : Sungguh Allah telah memberikan taufiq kepadanya ketika melihat kejujurannya.
Hikmah dari peristiwa ini adalah :
Ketika seseorang jujur dengan Allah dan mengikhlaskan niat hanya kepada-Nya maka Allah akan memberikan taufiq sesuai dengan apa yang diinginkan dan dicintainya. Nabi kita yang mulia telah bersabda yang artinya : "Barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan diwafatkan diatasnya"
Wahai saudaraku ! Kembalilah kepada Allah dan bertanyalah kepada dirimu sendiri, amal perbuatan apa yang paling engkau cintai? Apakah amal tersebut mendekatkan dirimu kepada Allah dan menjauhkanmu dari neraka atau malah sebaliknya, menjauhkan dirimu dari Allah dan mendekatkanmu kepada neraka?
Kita hanya bisa memohon kepada Allah husnul-khotimah, pungkasan yang terbaik bagi kehidupan kita di dunia sebelum di akherat.
By: Ust. Abu Sa'ad dan jangan lupa untuk diSHARE semoga kisah ini mengharukan teman dan saudara Anda juga...
(Ummu Adam Zakariya )
🌐 Sumber Artikel : https://Muslim.or.id
☕ Silahkan disebarkan, mudah2an anda mendapatkan bagian dari pahalanya ☕
Barakallah fikum.
✒ Ditulis oleh Ustadz Abu Sa'ad Muhammad Nurhuda Rahimahullah.
▪┈┈◈❂◉❖ ❁ ❖◉❂◈┈┈▪