Oleh : Ustadz DR Ali Musri Semjan Putra MA
Sudah
suatu kelaziman dalam berbagai bidang keahlian maupun produk tertentu
harus memenuhi standarnya; sehingga keabsahan, kualitas dan validasinya
terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau tidak demikian halnya,
tentu semua orang bisa berkata atau berbohong dan melanggar berbagai
aturan main dan kaidah yang sudah baku yang ditetapkan dan disepakati
para ahli pada setiap bidang keilmuan.
Demikian pula halnya
pemahaman terhadap agama, harus sesuai dengan standarisasi yang berlaku
dalam Islam; agar kita tidak terbalik dalam berjalan, kita ingin maju
tapi malah mundur jadinya, maju dalam pemikiran tapi mundur dalam
keimanan.
Karena pada akhir-akhir ini terjadi semacam kerancuan
dalam standarisasi keabsahan pemahaman agama. Sehingga timbul berbagai
asumsi dan opini-opini yang menyesatkan dalam keyakinan beragama.
Maka
selayaknyalah seorang Muslim mampu memilih dan memilah mana yang harus
di terima dan mana yang harus ditolak. Agar tidak terbalik dalam menilai
sebuah permasalahan, yang benar dianggap salah, dan yang salah dianggap
benar.
Tentu untuk sampai pada titik penentuan pilihan tersebut
harus mengenali standarisasinya. Dewasa ini banyak orang menjadikan
gelar, kedudukan, kekayaan, ketenaran, kesepuhan, peninggalan kuno dan
galian fosil sebagai standarisasi. Padahal itu bukan standarisasi untuk
menentukan kebenaran dalam Islam.
Islam memiliki standar yang
valid dan akurat dalam menilai sebuah pandangan dan pendapat. Sehingga
pandangan dan pendapat itu berlaku kebenarannya di mana dan kapan saja;
tanpa dibatasi oleh masa dan tempat tertentu. Karenanya, berbagai
pandangan dan pendapat para Ulama dapat diadobsi dan diterima di zaman
sekarang; walaupun masa mereka sudah amat jauh berlalu. Yang dimaksud di
sini adalah pendapat-pendapat yang benar-benar sesuai dengan
standarisasi yang terdapat dalam Islam.
Berikut ini dipaparkan
sebagian dari standarisasi kebenaran dalam Islam, sesuai dengan apa yang
diamalkan dan dipraktekkan oleh generasi terbaik umat ini; yang
selanjutnya diikuti oleh para Ulama terkemuka pada setiap generasi
mereka.
1. Berpegang Kepada Al-Qur’ân. Meyakininya Sebagai Wahyu
Yang Mutlak Kebenarannya. Maka Segala Pendapat Dan Pandangan Yang
Bertentangan Dan Berseberangan Dengan Kebenaran Al-Qur’ân Dinyatakan
Sesat Dan Batil Secara Mutlak.
قاَلَ الشَّافِعِيُّ : «كُلُّ
مُتَكَلِّمٍ عَلَى اْلكِتاَبِ وَالسُّنَّةِ فَهُوَ الْحَدُّ الَّذِيْ
يَجِبُ، وَكُلُّ مُتَكَلِّمٍ عَلىَ غَيْرِ أَصْلِ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ
فَهُوَ هَذَيَانٌ» (أخرجه البيهقي في «مناقب الإمام الشافعي(
Imam
Syafi’i berkata: “Setiap orang yang berbicara berdasarkan al-Qur’ân dan
Sunnah, maka (ucapan) itu adalah ketentuan yang wajib diikuti. Dan
setiap orang yang berbicara tidak berlandaskan kepada al-Qur’ân dan
Sunnah, maka (ucapannya) itu adalah kebingungan”[1]
.
قَالَ
الْمُزَنِيْ وَالرَّبِيْعُ كُنَّا يَوْماً عِنْدَ الشَّافِعِيِّ إِذْ جَاءَ
شَيْخٌ فَقَالَ لَهُ أَسْأَلُ قاَلَ الشَّافِعِيُّ سَلْ قاَلَ إِيْشٌ
الْحُجَّةُ فِيْ دِيْنِ اللهِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ كِتَابُ اللهِ، قاَلَ
وَمَاذَا قاَلَ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ…”
Al Muzany dan ar-Rabî’
berkata: “Pada suatu hari saat kami berada di samping Imam Syâfi’i,
tiba-tiba datang seorang orang tua lalu ia berkata kepada Imam Syâfi’i:
“Aku ingin bertanya.” Jawab Imam Syâfi’i: “Silakan.” Lalu ia berkata:
“Apakah hujjah dalam agama Allah Azza wa Jalla ?” Maka Imam Syâfi’i
menjawab: “Kitab Allah Azza wa Jalla (al-Qur’ân).” Ia bertanya lagi:
“Kemudian apa?” Jawab Syâfi’i: “Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ” “[2]
Di sini terlihat bahwa Imam Syâfi’i sangat
mengagungkan al-Qur’ân dalam berdalil. Menurut Imam Syâfi’i mestinya
setiap orang menjadikan al-Qur’ân sebagai pedoman saat menentukan sebuah
hukum atau berpendapat. Jika hal ini ia dilakukan, maka pendapatnya
berhak untuk diterima. Sebaliknya bila tidak pendapatnya adalah sebuah
kebingungan. Orang tersebut adalah sibingung yang membuat kebingungan di
tengah masyarakat.
Betapa banyaknya orang zaman sekarang yang
membuat kebingungan di tengah masyarakat dengan pendapat-pendapatnya.
Baik dalam hal keyakinan beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
Setiap orang seolah-olah bebas melontarkan segala pendapat yang
terlintas di benaknya, tanpa pertimbangan terlebih dahulu.
Bahkan
menurut Imam Syâfi’i pendapat dan pemahaman yang tidak berdasarkan
kapada dalil al-Qur’ân dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah bisikan-bisikan setan.
Betapa banyak di zaman
sekarang orang yang mengikuti bisikan-bisikan setan. Semoga Allah Azza
wa Jalla melindungi kaum Muslimin dari fitnah mereka.
قَالَ الْمُزَنِيْ يَقُوْلُ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ “مَنْ تَعَلَّم َاْلقُرآنَ عَظُمَتْ قِيْمَتُهُ”
Berkata al-Muzany: aku mendengar Syâfi’i berkata: “Barangsiapa yang mempelajari al-Qur’ân telah tinggi kedudukannya”[3] .
Demikianlah,
Imam Syâfi’i rahimahullah sangat menghargai orang-orang yang
mempelajari al-Qur’ân, sebagai motivasi bagi mereka agar
bersungguh-sungguh untuk mempelajari al-Qur’ân. Sekaligus menegaskan
kepada kita untuk menghormati orang yang mempelajari dan mengamalkan
hukum-hukum al-Qur’ân. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mengangkat
derajat orang yang mempelajari al-Qur’ân dan merendahkan derajat orang
yang tidak mau mempelajari dan mengamalkan al-Qur’ân. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا اْلكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
Sesungguhnya
Allah meninggikan dengan kitab ini (al-Qur’ân) kedudukan beberapa kaum
dan merendahkan dengannya kedudukan yang lain. [HR. Muslim]
Allah
Azza wa Jalla mengangkat derajat orang mau menerima ajaran al-Qur`ân
dan berjuangan untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Sebaliknya Allah Azza wa Jalla hinakan dan rendahkan derajat orang yang
menetang ajaran al-Qur’ân atau merendahkan orang-orang mengamalkannya
dan berjuang untuk menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Sebagian
orang di masa sekarang ada yang meremehkan orang-orang yang mempelajari
dan mengamalkan al-Qur’ân dalam berakidah, beribadah, bermu’alah dan
berakhlak. Apalagi yang mengajak untuk menjalankan al-Qur’ân dalam
segala aspek kehidupan. Mereka dianggap sebagai kaum terbelakang dan
anti moderenisme. Mereka diejek dengan berbagai tuduhan-tuduhan dusta.
Sebaliknya, orang-orang yang merusak ajaran al-Qur’ân justru disanjung
dan dipuji. Bahkan sebahagian mereka berani mengatakan bahwa sebab
keterbelakangan adalah akibat menjalankan al-Qur’ân. Mereka menganggap
teori-teori mereka jauh lebih jitu dan lebih hebat daripada al-Qur’ân.
Demi Allah Azza wa Jalla , sesungguhnya ini adalah suatu kekufuran dan
kebohongan yang nyata terhadap al-Qur’ân.
Hal ini tidak beda
dengan sikap kaum kafir, mereka sudah merasa cukup dengan ilmu
pengetahuan yang ada pada mereka. Mereka tidak merasa perlu lagi dengan
ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh rasul-rasul. Justru, mereka
memandang enteng dan memperolok-olok keterangan yang dibawa rasul-rasul
itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ
رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ
وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Maka tatkala
datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan
membawa keterangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan
yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh azab Allah yang senantiasa
mereka perolok-olokkan [al-Mukmin/40:83]
Banyak sekali ayat
maupun hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
tentang wajibnya berpegang kepada al-Qur’ân.
Di antaranya, firman Allah Azza wa Jalla :
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari rabbmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya). [al-A`râf/7:3]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَقَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ كِتَابَ اللَّهِ
Dan
sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kalian sesuatu, kalian tidak
akan sesat selamanya jika kalian berpegang dengannya, yaitu kitab Allah.
[HR. Muslim]
2. Berpegang Pada Sunnah.
Sunnah adalah sejoli al-Qur’ân; kedua-duanya adalah wahyu yang wajib kita ikuti, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَىٰ
*Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`ân) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).* [an-Najm/53:3-5]
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ
*Seandainya
dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya
benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar
Kami potong urat tali jantungnya.* [al-Haqqah/69:54-56]
Dua ayat
di atas menjelaskan kepada kita tentang kevalidan sunnah sebagai hujjah
dalam agama Islam. Oleh sebab itu Allah Azza wa Jalla mewajibkan kita
berpegang teguh kepada sunnah.
Dalam pengamalan, seorang Muslim
tidak boleh membedakan-bedakan antara al-Qur’ân dan sunnah. Orang yang
membeda-bedakan antara al-Qur’ân dan Sunnah dalam hal pengamalannya,
sesungguhnya ia telah membeda-bedakan pula antara taat kepada Allah Azza
wa Jalla dan taat kepada Rasul-Nya. Ini adalah sikap yang dianggap
menyelisihi al-Qur’ân itu sendiri, berdasarkan firman Allah Azza wa
Jalla.
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ
نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا
بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا أُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا ۚ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
”Sesungguhnya
orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir
terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu)
mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir),
merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”.
[an-Nisâ/4/150-151]
Sebagai konsekuensi ketaatan kita kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kita wajib menerima semua yang beliau
perintahkan dan beliau sampaikan, termasuk hadits-hadits yang
berkategori ahad. Karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
*Apa yang dibawa Rasul kepada kalian, maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.*[al-Hasyr/59:7]
Orang
yang menolak sunnah, niscaya mereka akan ditimpa oleh fitnah kesesatan
waktu di dunia dan diancam azab yang pedih di akhirat. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
*Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.* [an-Nûr/24:63]
Tidak Membedakan Dalam Masalah Ibadah Dan Masalah Akidah.
Dalam
mengamalkan dan menerima sunnah kita tidak boleh membedakan-bedakan
antara hadits ahad dalam masalah akidah dan masalah ibadah, sebagaimana
pandangan orang-orang ahli kalam.
Firman Allah Azza wa Jalla :
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi rabbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.[an-Nisâ`/4:65]
Dalam segala
hal yang kita berbeda pandangan baik secara akidah maupun ibadah dan
seterusnya; maka kita wajib mengembalikannya kepada al-Qur’ân dan sunnah
berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
*Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.*[an-Nisâ`/4:59]
3. Dalam Memahami Al-Qur’ân Dan Sunnah Merujuk Kepada Pemahaman Para Sahabat.
Dalil
yang mewajibkan kita untuk merujuk dalam memahami kitab dan sunnah
sesuai dengan pemahaman salafus shaleh, berikut di antaranya :
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
اْلأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلأَنْصَارِ وَالَّذِينَ
اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ
وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
*Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar.[at-Taubah/9:100]*
*Imam Ibnu Katsîr berkata ketika
menafsirkan ayat di atas: “Maka sesungguhnya Allah yang Maha agung telah
memberitahu, bahwa Allah Azza wa Jalla telah ridha terhadap generasi
terkemuka yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.*
Maka celakalah
orang yang membenci dan mencela mereka. Atau membenci dan mencela
sebagian mereka. terutama penghulu para Sahabat yang terbaik dan paling
mulia setelah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang aku maksud
as-Shiddîq yang mulia, khalifah yang agung, Abu Bakar bin Quhafah
Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya kelompok yang hina dari orang-orang
Rafidhah memusuhi para Sahabat yang mulia, mereka membenci dan mencaci
para Sahabat. Kita berlindung dengan dari hal yang demikian. Ini
menunjukkan bahwa akal mereka terbalik, dan hati mereka tertelungkup. Di
mana keimanan mereka kepada al-Qur’ân, ketika mereka mencaci maki
orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla ?! Adapun Ahlus
sunnah ; mereka meridhai orang yang diridhai Allah Azza wa Jalla dan
mencela orang yang dicela oleh Allah Azza wa Jalla . Mereka
berolayalitas kepada orang yang cintai Allah Azza wa Jalla dan memusuhi
orang yang memusuhi Allah Azza wa Jalla . Mereka mengikuti tidak
melakukan bid’ah. Karena itu mereka adalah golongan Allah Azza wa Jalla
yang menang, hamba-hamba-Nya yang beriman”[4] .
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia dalah generasiku, kemudian orang-orang setelah mereka, kemudian orang-orang setelah mereka [Muttafaq`alaihi]
Peringkat
kebaikan tertinggi yang diberikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallambagi para Sahabat, Tâbi’în dan Tâbi’ ut Tâbi’în dalam hadits ini
adalah dalam segi pemahaman dan pengamalan ilmu serta dalam hal
menyampaikannya kepada umat. Secara tidak langsung terkandung di
dalamnya perintah bagi umat untuk menjadikan mereka sebagai panutan dan
acuan dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah; serta untuk
menyampaikannya kepada umat manusia.
Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang lain disebutkan yang artinya:
Dari
‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu anhu Pada suatau hari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimani kami shalat subuh.
Kemudian beliau menghadap kami (setelah salam) dan memberi nasehat yang
sangat dalam; membuat air mata bercucuran, membuat hati bergetar
ketakutan. Salah seorang berkata: “Ini bagaikan nasehat perpisahan wahai
Rasulullah! Apa wasiat engkau kepada kami?” Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Aku wasiatkan, dengar dan patuhlah kepada
penguasa sekalipun ia seorang budak Habasyi yang cacat. Sesungguhnya
barangsiapa di antara kalian yang hidup lama setelahku, pasti akan
melihat perpecahan yang banyak. Maka berpeganglah kalian dengan sunnahku
dan sunnah khulafâ’ ar-râsyidîn al-mahdiyîn. Peganglah erat-erat dan
gigitlah dengan geraham. Dah hati-hatilah kalian terhadap
perkara-perkara yang baru dalam hal beragama. Karena perkara yang baru
dalam hal beragama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Dalam
hadits ini Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya
menegaskan agar kita berpegang dengan sunnah beliau; tetapi juga
menekankan agar kita berpegang kepada sunnah para Sahabat. Karena sudah
semestinya seorang yang mengaku sebagai Muslim berpegang kepada
al-Qur’ân dan Sunnah. Namun amat jarang orang memperhatikan sunnah para
Sahabat dalam memahami dan mengamalkan al-Qur’ân dan Sunnah tersebut.
Terlebih lagi ketika terdapat perbedaan pendapat dalam permasalahan
agama. Sering mereka kemukakan pemahamannya sendiri atau pendapat tuan
guru, figur dan pimpinan organisasinya.
Demikian pula dalam hadits yang menerangkan tentang perpecahan umat ini ke dalam tujuh puluh tiga golongan:
إِنَّ
الْيَهُوْدَ اخْتَلَفُوْا عَلىَ إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَإِنَّ
النَّصَارَى اخْتَلَفُوْا عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً
وَسَتَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأَمَّةِ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً،
كُلُّهَا فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً . قَالُوْا: مَنْ هُمْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: “ماَ أَناَ عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ”
Sesungguhnya
orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan dan orang
terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan. Seluruhnya masuk neraka kecuali satu.
Sahabat bertanya siapa mereka ya Rasulullah ? Jawab beliau: “Apa yang
aku berada di atasnya dan para Sahabatku”.[HR at-Tirmidzi dan selainnya,
di hasankan oleh Syaikh al-Albâni]
Dalam hadits yang di atas
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan golongan yang
selamat dari tujuh puluh tiga golongan tersebut, yaitu orang yang
pemahaman, amalan dan dakwahnya sesuai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak hanya mengatakan orang yang berpegang dengan sunnah semata tapi
juga memahami dan mengamalkan sunnah tersebut sesuai dengan pemahaman
dan pengamalan para Sahabat.
Umar bin Abdul ‘Azîz rahimahullah berkata:
سَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ وَوُلاَةُ اْلأُمُوْرِ بَعْدَهُ سُنَنًا اْلأَخْذُ بِهَا
تَصْدِيْقٌ لِكِتَابِ اللهِ وَاسْتِكْمَالٍ لِطَاعَةِ اللهِ وَقُوَّةٍ
عَلَى دِيْنِ اللهِ لَيْسَ ِلأَحَدٍ تَبْدِيْلُهَا وَلاَ تَغْيِيْرُهَا
وَلاَ النَّظَرُ فِيْمَا خَالَفَهَا مَنِ اقْتَدَى بِهَا فَهُوَ مُهْتَدٍ
وَمَنِ اسْتَنْصَرَ بِهَا فَهُوَ مَنْصُوْرٌ وَمَنْ خَالَفَهَا وَاتَّبَعَ
غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَّهُ الله ُمَا تَوَلَّى وَأَصْلاَهُ
جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
Rasulullah dan para penguasa
setelahnya telah menetapkan sunnah-sunnah. Mengambilnya adalah
pembenaran terhadap kitab Allah dan penyempurnaan bagi ketaatan kepada
Allah serta memberi kekuatan di atas agama Allah. Tidak ada seorang pun
yang berhak untuk merubahnya, dan tidak pula menukarnya, dan tidak pula
melihat kepada sesuatu yang menyelisihinya. Barangsiapa yang mengambil
petunjuk dengannya maka dia akan mendapat petunjuk. Barangsiapa yang
mencari kemenangan dengannya maka dia akan ditolong. Barangsiapa yang
menyelisihinya dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang Mukmin,
niscaya Allah memalingkannya kemana dia berpaling. Dan akan
memasukkannya ke dalam neraka Jahanam yang sejelek-jelek tempat [5]
Betapa indahnya ungkapan Imam Syâfi’i rahimahullah tentang kedudukan Sahabat Radhiyallahu anhum:
هُمْ
فَوْقَنَا فِيْ كُلِّ عِلْمٍ وَعَقْلٍ وَدِيْنٍ وَفَضْلٍ وَكُلِّ سَبَبٍ
يُنَالُ بِهِ عِلْمٌ أَوْ يُدْرَكُ بِهِ هُدًى وَرَأُيُهُمْ لَنَا خَيْرٌ
مِنْ رَأْيِنَا ِلأَنْفُسِنَا
Mereka di atas kita dalam segala
bidang ilmu, pemikiran, agama dan keutamaan. Serta dalam segala sebab
yang diperoleh dengannya ilmu atau diketahui dengan petunjuk. Pendapat
mereka lebih baik untuk kita, daripada pendapat kita sendiri untuk diri
kita[6]”
4. Meneliti Keshahîhan Dalil.
Hal ini hanya berlaku
ketika menjadikan hadits sebagai dalil, maka hadits yang dijadikan dalil
selemah-lemah derajatnya adalah hasan lighairih. Sebaliknya tidak
berpegang kepada hadits-hadits dhaîf, apalagi kepada mimpi dan khayalan
dan akal yang rusak.
Di antara sebab timbulnya sebuah kesesatan
dan bid’ah adalah karena berpegang kepada hadits-hadits yang lemah atau
palsu. Seperti hadits yang menjadi pegangan orang-orang Ahlulkalam
(Rasionalisme) :
أَوَّلُ مَا خَلَقَهُ الله ُالْعَقْلُ
Yang pertama kali diciptakan Allah adalah akal
Sebagian
orang ada pula yang berpegang kepada mimpi dalam melestarikan sebuah
kesesatan dan bid’ah. Seperti bermimpi bertemu dengan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallamatau orang shaleh lalu mengajarkan sesuatu kepadanya
dalam mimpi tersebut. Ini suatu kekeliruan yang amat nyata, sebab mimpi
tidak layak untuk dijadikan hujjah dalam agama, apalagi menentang
sesuatu yang sudah baku dalam agama. Jika dalam mimpi ia diperintahkan
kepada sesuatu yang sesuai dengan tuntunan agama, maka ia mengambilnya
bukan sebagai dalil utama tetapi sebagai pendukung saja. Kenapa kita
harus termotivasi dengan mimpi! Tetapi tidak termotivasi dengan perintah
yang secara tegas disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sewaktu beliau hidup.
Apalagi kebanyakan orang yang mengaku
bermimpi tersebut tidak jujur, cuma demi untuk membuatnya tenar dan
disanjung di depan orang ramai serta di anggap memiliki keistimewaan.
Dan yang lebih sesat lagi bermimpi mendapat ajaran baru atau dibebaskan
dari menjalankan perintah-perintah agama.
5. Keshahîhan Dalam
Beristidlâl (Menempatkan Dalil). Tidak Sebatas Keshahîhan Dalil Tetapi
Perlu Lagi Keshahîhan Dalam Beristidlal Ketika Mengambil Sebuah Hukum
Dari Dalil Tersebut.
Di antara hal yang penting lagi setelah
meneliti keshahîhan dalil adalah meneliti keshahîhan dalam beristilal
yaitu benar dalam mengambil hukum dari sebuah dalil tersebut. Betapa
banyak sekali kelompok sesat yang memutarbalikkan pengertian dalil yang
shahîh.
Berikut ini beberapa contoh tindakan gegebah orang-orang sesat dalah mengambil sebuah hukum dari sebuah dalil.
Dalam sebuah buletin orang tarekat menyebutkan tentang kebenaran bertarekat adalah firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap istiqamah di atas jalan itu
(tharîqah), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang
segar (rezki yang banyak).[al-Jinn/72:16]
Kata-kata *Tharîqah*
mereka terjemahkan dengan sesukanya saja, yaitu tarikat. Padahal semua
orang Muslim tahu bahwa tarikat tersebut tidak pernah ada di masa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian pula di masa tâbi’în
dan tâbi’ tâbi”în. Yang *dimaksud dengan tharîqah dalam ayat tersebut
adalah jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu agama
Islam*.
Tidak ada seorangpun Ulama yang menafsirkan ayat tersebut dengan penafsiran sesat ahli tarikat tersebut.
Dalam tafsir Jalalain yaitu tafsir kebanggaan orang-orang tarekat di sebutkan:
لَوِ اسْتَقَامُوْا عَلىَ الطَّرِيْقَةِ أَيْ طَرِيْقَةُ اْلإِسْلاَمِ
Dan jika mereka tetap istiqâmah di atas at-tharîqah (jalan) maksudnya adalah “Tharîqah (jalan) Islam [7] “.
Dan
masih banyak lagi contoh-contoh lain, seperti orang-orang eling
(Jawa-ingat) yang berhujjah dengan firman Allah Azza wa Jalla :
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku [Thaha/20:14]
Mereka
memahami ayat tersebut, bahwa bila sudah ingat Allah Azza wa Jalla
berarti sudah shalat. Semua orang Islam mengetahui tentang kesesatan
penafsiran mereka tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para Sahabat tidak pernah memahami ayat tersebut seperti
penafsiran sesat mereka. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengajarkan bahwa shalat ada tata caranya, ada waktunya, ada
bacaa-bacaannya, ada rukunnya, ada syaratnya, ada hal-hal yang
membatalkannya.
6. Berpegang Kepada Ijmâ’.
Sebuah pendapat
dan pemahaman tidak boleh bertentangan dengan ijmâ’ para Ulama.
*Ijmâ’adalah kesepakatan para Ulama dalam satu masa terhadap sebuah
hukum*. Sumber ijmâ’ adalah al-Qur’ân dan Sunnah. Terjadinya ijmâ’
karena begitu banyak dalil dan penjelasan persoalan tersebut dalam agama
ini.
Tidak ada lagi keraguan tentang hal tersebut. Sehingga
semua orang yang berilmu bersepakat dalam hal tersebut. Ini menunjukkan
tentang kevalitannya untuk dijadikan hujjah. Karena tidak ada perbedaan
dalam menetapkannya. Seperti ijmâ’ tentang bahwa al-Qur’ân terjaga
keasliannya dan kemurniannya sampai hari kiamat. Bila ada orang yang
melanggar kesepakantan ijmâ’ maka ia telah bertolak belakang dengan
banyak dalil dan banyak Ulama.
Oleh sebab itu Imam Syâfi’i menyebutkan tentang hujjah ijmâ’ dalam al-Qur’ân, yaitu firman Allah Azza wa Jalla : [8]
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
*Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami palingkan ia kemana ia hendak
berpaling dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.[an-Nisâ`/4:115]*
Dalam ayat yang mulia ini terdapat beberapa ancaman bagi orang yang melanggar ijmâ’:
1. Waktu di dunia ia akan dibiarkan Allah Azza wa Jalla bergelimang dan terombang-ambing dalam kesesatannya.
2. Di akhirat kelak ia kan dikembalikan kepada tempat yang sejelek-jeleknya yaitu neraka Jahannam yang menyala-nyala.
Demikian pula dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:
إِنَّ أُمَّتِيْ لاَ تَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Sesungguhnya
Umatku tidak akan pernah bersepakat di atas sebuah kesesatan. [HR. Abu
Dâwud 4253; at-Tirmidzi 2167 dan Ibnu Mâjah 3590. dishahîhkan al-Albâni
dalam dhilâlul jannah]
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa
kesepakatan para Ulama dalam menetapkan sebuah hukum amat jauh dari
kesesatan. Bahkan telah dijamin oleh Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak akan pernah terjadi ijmâ’ dalam sebuah kesesatan.
قَالَ
الشَّافِعِيُّ فِيْ الرِّسَالَةِ وَمَنْ قَالَ بِمَا تَقُوْلُ بِهِ
جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ لَزِمَ جَمَاعَتَهُمْ، وَمَنْ خَالَفَ
مَا تَقُوْلُ بِهِ جَمَاعَةُ الْمُسْلِمِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ جَمَاعَتَهُمُ
الَّتِيْ أُمِرَ بِلُزُوْمِهَا، وَإِنَّمَا تَكُوْنُ الْغَفْلَةِ فِيْ
الفُرْقَةِ، فَأَمَّا الْجَمَاعَةُ فَلاَ يُمْكِنُ فِيْهَا كَافَّةَ
غَفْلَةٍ عَنْ مَعْنَى كِتَاٍب وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ قِياَسٍ، إِنْ شَاءَ
الله.ُ انْتَهَى
Berkata Imam Syâfi’i: “Barang yang berkata sesuai
dengan apa yang dikatakan oleh jamaah (ijmâ’) orang Islam, maka berarti
dia tetap konsiten dalam jamaah mereka. Dan barang siapa yang
menyelisihi apa yang dikatakan oleh jamaah (ijmâ’) orang Islam, maka
berarti dia telah keluar dari jamaah mereka yang diperintahkan untuk
tetap di dalamnya. Sesungguhnya kesalahan itu terdapat dalam berpecah
belah. Adapun jamaah maka tidak akan mungkin seluruhnya tersalah dalam
memahami makna al-Qur’ân dan Sunnah begitu pula Qiyâs. Insya Allâh”.
[“Ar Risâlah” hal: 475]
7. Bertopang Kepada Qiyâs Yang Shahîh, Sebaliknya Tidak Menyadarkan Sebuah Pemahaman Kepada Qiyâs Al-Fâsid.
Seperti
mengqiyâskan sifat Allah Azza wa Jalla dengan sifat makhluk,
menqiyâskan alam barzakh dengan alam dunia, menqiyâskan
kejadian-kejadian pada hari akhirat dengan kejadian di dunia ini.
Demikian beberapa contoh standarisasi kebenaran dalam Islam yang dapat disajikan, semoga bermanfaat.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: “Manâqib Asy Syâfi’i”: 470.
[2]. Lihat: “Ahkâmul Qur’ân”: 39.
[3]. Lihat: “Al-Muntazhim”: 10/137 & “Shafwatush shafwah”: 2/254.
[4]. Lihat “tafsir Ibnu Katsîr”: 4/203.
[5]. Lihat “As-Sunnah”/`Abdullah bin Ahmad”: 1/357.
[6]. Ungkapan ini sangat masyhur dinukilkan dari Imam Syâfi’i. lihat “Majmû’ Fatâwa Ibnu Taimiyah”: 4/158.
[7]. Lihat “Tafsir Jalalain”: 771.
[8]. Lihat “Ahkâmul Qur’ân”: 28.
sumber: https://almanhaj.or.id/3439-
Silakan disebar Artikel ini dengan tidak menambah atau mengurangi isi tulisan dan yang berkaitan dengannya
Semoga Allaah selalu mudahkan kita istiqomah dijalanNya
SEMOGA BERMANFAAT
Home »
» STANDARISASI KEBENARAN DALAM ISLAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar