1. “Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju
jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau
bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6)
hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani
dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An
Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan
oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari
dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460)
mengatakan hadits ini Munkar.
2. “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah,
diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan
dilipatgandakan pahalanya.”
[Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul
Iman (3/1437)].
Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al
Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam
Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
3. Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
ketika berbuka membaca doa: "Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika
afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya
(2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalam Irsyadul
Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar
Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits
ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al
Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua
berkisar antara hadits lemah dan munkar.
4. Doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan
lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم
الراحمين
"Allahumma laka sumtu wa bika mantu wa 'ala rizkika aftartu
birohmatikayaa arhamarohimiin"
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku
beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha
Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun.
Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al
Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih:
“Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama
sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”
5. “Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari
di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan
dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di
Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di
Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya
(2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad,
Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid
(7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396),
Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557).
6. “Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah
salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam
Sunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalam Mizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam
Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan
hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As
Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan
palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa
(8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam
Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja,
sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan
‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
7. “Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan
bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib
Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib
(664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang
meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri,
keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah
puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa
tersendiri.
8. “Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku,
dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul
Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir di Mu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul
Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini
dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul
Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam
Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
9. “Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan
makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama
bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al
Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat
(2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul Hasanah (495), Al Albani dalam Dhaif At
Targhib (654).
Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka
puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi,
berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر
الصائم شيئا
“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang
lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun
mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan .
.shahih”)
10. “Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun
Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108),
oleh Ath Thabrani di Al Ausath (2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid
Dhu’afa (3/227).
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh
Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh
Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini
maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
11. "Awal bulan Ramadhan itu adalah rahmat,
tengahnya adalah maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api
neraka".
[HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asakir, Dailami dan lain-lain
lewat jalur periwayatan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu]
Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab Dha'if
Jami'is Shagir, no. 2134 dan Faidhul Qadir, no. 2815.
12. "Orang yang berpuasa itu tetap dalam ibadah
meskipun dia tidur di atas kasurnya".
Sanad hadits ini maudhu' (palsu), karena ada seorang
perawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu
hadits, sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu'afa.
Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha'ifah wal
Maudhu'ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadir, no. 5125
13. "Sekiranya manusia mengetahui apa yang ada
pada bulan Ramadhan, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhan itu sepanjang
tahun".
Maudhu'. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah
rahimahullah, no. 1886 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyub al Bajali, dari
asy-Sya'bi dari Nafi' bin Burdah, dari Abu Mas'ud al-Ghifari- ia mengatakan,
"Suatu hari, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda, "(lalu beliau menyebutkan hadits diatas).
An-Nasa'i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan,
'Matruk (orang yang haditsnya tidak dianggap).'"
Sumber :
Muraja'ah :
Ustadz Abdul Hakim Amir Abdat
Ustadz Aris Munandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar