بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Sahabat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita masuk pada hadits yang ke-20.
وَعَنْ أَبِي صِرْمَةَ – رضى الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -{ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ اَلله, وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ اَللَّهُ عَلَيْهِ } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.
Dari shahabat Abi Shirmah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
(( “Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allah akan menyusahkan dia.” ))
(HR. Abu Dawud no. 3635, At-Tirmidzi no. 1940 dan dihasankan oleh Imam At-Tirmidzi).
Makna dari hadits ini tanpa diragukan lagi adalah makna yang benar apalagi ada hadits-hadits lain yang menguatkan (semakna) dengan hadits ini.
Contohnya seperti hadits yang shahih dalam Shahih Muslim no. 1828, Nabi pernah berdoa:
اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
(( “Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku, maka susahkanlah dia.” ))
Hadits ini menunjukan akan dua perkara penting dalam syari’at, yaitu:
⑴ Kaedah yang sangat agung:
الجزاء مماثلا للعمل من جنسه في الخير والشر
“Bahwasanya balasan sesuai dengan jenis amalan dan ini berlaku dalam kebaikan maupun dalam keburukan.”
Dan inilah hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah memberikan balasan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh seorang hamba.
Barangsiapa melakulan amalan yang dicintai oleh Allah, Allah akan mencintainya.
Barangsiapa melakukan amalan yang dibenci oleh Allah, Allah akan membencinya.
Barangsiapa memudahkan seorang muslim, maka Allah akan mudahkan urusannya di dunia maupun diakhirat.
Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan penderitaannya di dunia dan juga di akhirat.
Barangsiapa seorang hamba membantu seorang hamba untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantu untuk memenuhi kebutuhannya.
Ini semua dalam kebaikan, sebaliknya dalam keburukan pun demikian…
Barangsiapa memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allah akan memberikan kemudharatan kepada dia.
Barangsiapa membuat makar, maka Allah akan membuat makar kepada dia.
Barangsiapa membuat susah, menimbulkan kesulitan bagi saudaranya, maka Allah akan membuat dia susah juga.
Ini berlaku dalam segala hal, jadi balasan sesuai dengan perbuatan, ini berlaku pada kebaikan maupun keburukan.
⑵ Kaedah yang sangat agung yang disebutkan para ulama dengan istilah:
الضرر يزال
“Bahwasanya kemudharatan harus dihilangkan.”
Dan ini sesuai dengan hadits yang lain, yang mashyur hadits hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لاضَرَرَ وَلاضِرَارَ
“Tidak boleh memberi kemudharatan sama sekali baik memberi kemudharatan kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain.”
Intinya kemudharatan harus dihilangkan sama sekali.
Kemudharatan di sini sama dengan hadits yang sedang kita bahas, “Barangsiapa memberi kemudhatan kepada orang lain, maka Allah akan memberi kemudharatan kepada dia.”
Kemudharatan itu dalam dua bentuk :
Bentuk pertama | Menghalangi mashlahat yang seharusnya diterima oleh orang lain, kemaslahatan dia akhirnya tidak dia dapatkan. Berarti kita memberikan kemudharatan kepada dia.
Bentuk kedua | Memberi kemudharatan secara langsung kepada dia, seperti mengganggunya, menyakitinya dan yang lainnya.
Oleh karenanya hadits ini umum:
مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ
“Barangsiapa memberi kemudharatan kepada seorang muslim yang lain.”
Dan berlaku dalam segala hal. Apakah memberi kemudharatan yang berkaitan dengan hartanya, jiwanya (tubuhnya), harga dirinya, anaknya, istrinya, orang tuanya, semua kemudharatan tidak boleh kita berikan kepada orang lain, berkaitan dengan apapun dia.
Banyak bentuk-bentuk muamalah (transaksi-transaksi) yang diharamkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena akan memberikan kemudharatan kepada orang lain.
Seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan ghisy (penipuan dalam jual beli). Demikian juga an-najasy (jual beli) tidak boleh juga seorang jual beli dengan menutupi aib-aib barang yang hendak dijual. Ini semua dilarang.
Semua perkara yang bisa mendatangkan kemudharatan kepada saudara maka dilarang dalam syari’at berkaitan dengan hadits ini.
Demikian pula tatkala seseorang bersyarikat dengan saudaranya dalam jual beli (menjadikan dia patner atau teman dalam jual beli) maka tidak boleh dia memberi kemudharatan kepada patnernya dalam praktek jual beli.
Demikian juga seorang tidak boleh mengganggu tetangganya baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Demikian juga tidak boleh seseorang memberi kemudharatan kepada orang yang memberi hutang kepada dia (orang yang telah membantunya) kemudian dia tunda-tunda pembayarannya padahal dia mampu untuk membayarnya.
Ini semua kemudharatan, dan dilarang dalam syari’at, bahkan tidak boleh seseorang memberi wasiat yang memberi kemudharatan kepada ahli warisnya.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
)(( “Bahwasanya harta waris itu dibagi setelah wasiat yang diwasiatkan (setelah membayar hutang) dengan syarat tidak boleh memberi kemudharatan.” ))
(QS. An-Nisaa’: 12).
Misalnya:
Seorang sebelum meninggal dia menulis wasiat, dia mengkhususkan sebagian harta kepada sebagian ahli warisnya lebih daripada yang lainnya, maka ini memberi kemudharatan kepada ahli waris yang lain.
Ini memberi kemudharatan kepada ahlu waris yang lain karena dia khususkan sebagian harta kepada sebagian ahli waris, sementara yang lainnya tidak diberikan.
Atau dia sengaja mengurangi harta warisan, atau dia memberi wasiat kepada selain ahli waris dalam rangka untuk memberi kemudharatan kepada ahli waris.
Ini semua dilarang karena memberi kemudharatan.
Demikian juga tidak boleh seorang suami memberi kemudharatan kepada istrinya dengan segala bentuk.
Misalnya:
Dia menahan istrinya, istrinya tidak dia cerai sehingga istrinya sakit hati dan hidupnya terkatung-katung (seakan-akan tidak memiliki suami).
Atau istrinya sudah dia cerai kemudian menjelang selesai masa ‘iddah kemudian suami tersebut kembali lagi (rujuk lagi) dengan niatnya bukan untuk mengembalikan kemaslahatan pernikahan, namun untuk menyakiti hati mantan istrinya dengan tujuan agar mantan istrinya tidak bisa menikah lagi dengan orang lain.
Demikian juga jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu kemudian dia lebih condong kepada salah satu istrinya, maka ini memberi kemudharatan kepada istri yang lain, Ini semua dilarang.
Dan diantara kemudharatan yang sangat berat telah kita sebutkan di awal bahwasanya tidak boleh seorang memberi kemudharatan kepada muslim yang lain dalam segala hal, baik yang berkaitan dengan hartanya, jiwanya dan juga berkaitan dengan harga dirinya.
Diantara kemudharatan yang sangat besar yang sangat mungkin seorang terlupakan yaitu menjatuhkan harga diri orang lain.
Seorang tatkala mencuri harta orang lain dia tahu bahwa dia telah memberi kemudharatan kepada orang tersebut, atau dia pukul orang lain dan dia tahu dia memberi kemudharatan kepada orang tersebut.
Tapi kalau dia mengghibah, menjatuhkan atau mengungkap kejelekan aib orang dan dia merasa dia tidak memberi kemudharatan, padahal itu merupakan kemudharatan yang lebih besar daripada kemudharatan yang berkaitan dengan harta dan jiwa.
Oleh karenanya sebagaimana seorang penyair pernah berkata:
جراحات السنان لها إلتئام ولا يلتام ما جرح اللسان
"Bahwasanya luka yang disebabkan sayatan pedang masih bisa diperbaiki (bisa sembuh) akan tetapi luka yang disebabkan oleh sayatan lisan maka susah untuk disembuhkan."
Sahabat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala…Jadi, seluruh bentuk memberi kemudharatan kepada orang lain maka dilarang.
Demikian juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits ini:
وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ الله عَلَيْهِ
(( “Barangsiapa memberatkan seorang muslim maka dia akan diberi keberatan (kesulitan) juga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” ))
Terutama orang-orang yang bekerja di instansi pemerintah atau yang berkaitan dengan urusan orang banyak (rakyat), hendaknya dia berusaha untuk bekerja dengan baik agar tidak merepotkan kaum muslimin.
Urusan yang berkaitan dengan kenegaraan hendaknya dikerjakan dengan baik agar tidak merepotkan orang lain, tapi kalau dia sengaja merepotkan orang lain maka dia akan mendapatkan kerepotan dari Allah di dunia maupun di akhirat.
Wallahu Ta’ala A’lam bish Shawwab…
®📝Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja Abidin, MA. Hafidzhahullah
@🌐binbaz.or.id
©Rizfanandy Al-Ghafiqy
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar