Ada suatu perkataan sekilas
tampak logis seperti halnya :
"Mending tak usah belajar agama
agar jika tidak tahu,
maka kalau melanggar tidak bersalah."
Sebenarnya :
Ketidaktahuan yang di sengaja
adalah perbuatan dosa.
Nabi ﷺ bersabda :
“Menuntut ilmu (agama)
adalah kewajiban bagi setiap muslim.“
(HR. Ibnu Majah no 224, di shahihkan oleh syeikh Albani)
Patut jadi renungan yaitu
Allah ﷻ berfirman :
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia,
sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. Ar Ruum: 7)
Imam Ath Thobari رَحِمَهُ الله
menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه
yang menerangkan
mengenai maksud ayat di atas :
Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang² kafir.
Mereka benar² mengetahui berbagai seluk beluk dunia.
Namun terhadap urusan agama,
mereka benar² jahil (bodoh).
(Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Penulis Al Jalalain رَحِمَهُ الله menafsirkan :
“Mereka mengetahui yang zhohir
(yang nampak saja dari kehidupan dunia),
yaitu mereka mengetahui bagaimana
mencari penghidupan mereka melalui :
perdagangan,
pertanian,
pembangunan,
bercocok tanam,
dan selain itu.
Sedangkan mereka terhadap akhirat benar² lalai.”
(Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Itulah gambaran dalam ayat
yang awalnya menerangkan
mengenai kondisi kaum kuffar.
Namun keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin.
Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia,
sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang.
Allah ﷻ berfirman :
“Maka ilmuilah (ketahuilah) !
Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu”
(QS. Muhammad: 19)
Dalam ayat ini,
Allah memulai dengan :
‘ilmuilah’
lalu mengatakan :
‘mohonlah ampun’.
Dari Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
ketika menjelaskan biografi Sufyan
dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya,
bahwa Sufyan رَحِمَهُ الله
membaca ayat ini lalu
mengatakan :
“Tidakkah engkau mendengar
bahwa Allah memulai ayat ini
dengan mengatakan :
‘ilmuilah’,
kemudian Allah memerintahkan untuk beramal ?”
(Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Seperti halnya
melakukan amalan ibadah
tanpa ada dasarnya/ ilmunya
inipun juga terlarang/ dosa.
Nabi ﷺ bersabda :
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu.
Barangsiapa yang mengambilnya,
maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”
(HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682)
Al Muhallab رَحِمَهُ الله berkata :
“Amalan yang bermanfaat adalah
amalan yang terlebih dahulu
di dahului dengan ilmu.
Amalan yang di dalamnya :
• tidak terdapat niat,
• ingin mengharap² ganjaran,
• dan merasa telah berbuat ikhlas,
maka ini bukanlah amalan
(karena tidak di dahului dengan ilmu).
Sesungguhnya yang di lakukan
hanyalah seperti amalannya orang gila
yang pena diangkat dari dirinya.“
(Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه berkata :
“Ilmu adalah pemimpin amal
dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
(Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Beramal tanpa ilmu
membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul ﷺ
akhirnya amalan itu jadi sia² dan tertolak.
Nabi ﷺ bersabda :
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang bukan ajaran kami,
maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini
yang tidak ada asalnya,
maka perkara tersebut tertolak.”
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang ujung²nya terjadi
bukan maslahat yang akan di hasilkan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz رَحِمَهُ الله berkata :
“Barangsiapa
yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu,
maka dia akan
membuat banyak kerusakan
daripada mendatangkan kebaikan.”
(Al Amru bil Ma’ruf hal. 15, Az-Zuhud 1/301 Karya Imam Ahmad)
Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله berkata :
“Orang berilmu yang rusak
(karena tidak mengamalkan
apa yang dia ilmui)
memiliki keserupaan dengan orang Yahudi.
Sedangkan ahli ibadah yang rusak
(karena beribadah tanpa dasar ilmu)
memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.”
(Majmu’ Al Fatawa, 16/567)
Semoga bermanfaat.
إِنْ شَاءَ اللّٰهُ
#UstadzMuhammadAbduhTuasikalحفظه الله تعالى
#HambaAllah
Sumber : @Rumaysho
IG : @qories.dnbpartner
BERAMAL TANPA ILMU
Berikut ini dialog panjang antara Syaikh Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh al-Albani
Jika kita menyebut sosok Syaikh Al al-Bani tentu pikiran kita tertuju pada satu sekte yang berpaham dengan pemahaman yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Ibnul Wahab).
Syaikh al-Bani tidak segan-segan mengkritisi siapa saja yang tidak cocok menurutnya.
Berikut kami paparkan beberapa pernyataan beliau yang menurut kami patut untuk dicermati;
“Hadits-hadits shahih yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim bukan karena diriwayatkan oleh mereka tapi karena hadits-hadits tersebut sendiri shahih”. Tetapi dia (Albani) telah nyata berlawanan dengan kenyataannya sendiri karena pernah melemahkan hadits dari dua syeikh tersebut."
📚 Syarh Al-Aqidah at-Thahawiyah hal.27-28
Kontroversi Syaikh al-Albani dapat dilihat dalam kitabnya, "Silsilah al-Ahadits ad-Dha’īfah wa al-Maudhu’at wa Atsaruha fī al-Sayyi’" atau kitab "Dhaif Al-jami wa Ziyadatuh."
Alasan disusunnya kitab tersebut adalah untuk memurnikan akidah dan pemikiran umat Islam. Menurutnya cara yang ia lakukan dalam menilai hadits-hadits palsu telah sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam ilmu hadis.
ℹ️ Ada beberapa hadits shahih dari Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini yang dilemahkan oleh Syaikh al-Albani:
Sabda Rasulallah bahwa Allah berfirman: "Aku musuh dari 3 orang pada hari kebangkitan, Orang yang mengadakan perjanjian atas NamaKu, tetapi dia sendiri melakukan pengkhianatan atasnya, Orang yang menjual orang yang merdeka sebagai budak dan makan harta hasil penjualan tersebut, orang yang mengambil buruh untuk dikerjakan dan bekerja penuh untuk dia, tapi dia tidak mau membayar gajinya."
(HR. Bukhari no. 2114)
Syaikh Al-Albani berkata dalam "Dhaif Al-jami wa Ziyadatuh 4/111" bahwa hadits ini lemah.
Rasulullah bersabda;
“Kurbanlah satu sapi muda kecuali kalau itu sukar buatmu maka kurbanlah satu domba jantan.”
(HR. Muslim no. 1963)
Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir Radhiallahu 'Anhu, tapi Syaikh Al-Albani berkata hadits ini dhaif dalam kitab "Al-Jami wa Ziyadatuh, 6/64."
Rasulullah bersabda;
"Siapa yang membaca 10 surat terakhir dari Surah Al-Kahfi, akan dilindungi dari kejahatan Dajjal."
(HR. Muslim nr. 809).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i dari Abi Darda,
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin 2/1021, juga mengutip hadits ini,
Namun dalam kitab "Dhaif Al-Jami wa Ziyadatuh, 5/233 Syaikh Al Bani menyatakan hadits ini lemah.
ℹ️ Berikut ini dialog panjang antara Syaikh Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh al-Albani, yang terangkum dalam kitab beliau "Al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah."
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Syaikh Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”
Syaikh Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Disini Syaikh al-Albani kebingungan untuk menjawab.
📚 Al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah.
Kami mengajak anda yang selama ini gemar menyudutkan ulama-ulama tidak sepaham dengan anda untuk berpikir, apakah jalur pikiran anda sudah sesuai dengan sunnah Nabi atau sesuai dengan prinsip Syaikh Al Bani?
Anda yang gemar menuduh orang lain melakukan bid'ah sering kali menunjukkan sikap sempit, arogan, dan kurangnya ilmu.
Seolah-olah sekte anda yang memiliki monopoli kebenaran agama, padahal pemahamannya kerap dangkal dan terpaku pada interpretasi literal tanpa konteks. Menuduh bid'ah tanpa dasar kuat seperti dalil yang jelas atau pemahaman mendalam tentang usul fiqh hanya mencerminkan kebodohan yang diselimuti kesombongan.
Sikap semacam ini bukan saja memecah belah umat, tetapi juga bertentangan dengan akhlak mulia Islam yang menjunjung dialog, toleransi, dan husnuzan. Anda dan sekte anda telah lupa, bahwa menilai niat dan amal orang lain adalah hak Allah, bukan anda dan sekte anda. Jika tuduhan bid'ah dilontarkan sembarangan, justru berisiko jatuh ke dalam dosa ghibah dan fitnah, yang lebih berbahaya daripada bid'ah itu sendiri. Introspeksi dan belajar sebelum menuding adalah langkah yang lebih bijak.
Wallahu A'lam, semoga bermanfaat.
Follow kami, sebagai bentuk dukungan terhadap kami.
Bagikan keteman, saudara atau sanak famili anda agar mereka juga menambah ilmu.
TAJASSUS
Jangan sampai sibuk mengorek aib orang lain tapi lupa dengan aib sendiri,
🌴 Allah Ta'ala berfirman :
وَلَا تَجَسَّسُوا
"dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain"
(QS. Al-Hujurat: 12)
✔ Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
"Para ahli tafsir mengatakan, tajassus adalah mencari-cari keburukan dan cacat kaum Muslimin. Maka makna ayat di atas adalah janganlah salah seorang diantara kamu mencari-cari keburukan saudaranya untuk diketahuinya, padahal Allah Azza wa Jalla menutupinya."
📖 (Al-Kabair, hlm.159)
🍃 Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara."
📖 (HR. Al-Bukhari, no.6064, Muslim, no.2563)
🍃 Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat."
📖 (HR. Bukhari, no.7042)
🍃 Aun bin Abdullah rahimahullah berkata:
"Saya menganggap orang yang selalu sibuk mengorek aib orang lain adalah orang yang lalai terhadap aibnya sendiri."
📖 (Shifatush Shafwah, III/101)
🍃 Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata:
"Kurangilah rasa ingin tahumu tentang urusan manusia niscaya akan berkurang perbuatan ghibahmu."
📖 (Siyarul A'lam An-Nubala, 5/62)
🍃 Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
"Wajib bagi orang yang berakal mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), hendaklah ia senantiasa sibuk memperbaiki aibnya sendiri.
Karena sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan aibnya sendiri dan melupakan aib orang lain, maka hatinya akan tenteram, dan tidak akan merasa lelah. Maka setiap kali dia melihat aib yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat aib yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk dengan mencari aib orang lain dan melupakan aibnya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya."
📖 (Raudhatul 'Uqala wa Nuzhatul Fudhala', hlm.131)
➖️➖️➖️ Wallahu A'lam ➖️➖️➖️PENGIKUT SUNNAH SELALU SEDIKIT
(1). Imam Hasan al-Bashri رحمه الله berkata :
“Sesungguhnya "AHLUSSUNNAH" adalah yg paling sedikit dari manusia pada zamannya yang telah lewat, dan mereka paling sedikit dari manusia pada zamannya yang tersisa. Mereka adalah orang2 yang tidak ikut2-an dengan orang2 yang bermewah-mewahan, dan tidak juga ikut dengan ahli bid’ah dalam kebid’ahan mereka. Dan mereka sabar di dalam menjalankan "SUNNAH" (ajaran Nabi ﷺ yang murni) hingga mereka bertemu Rabb mereka” (Sunan ad-Darimi 1/83)
(2). Imam Sufyan ats-Tsauri رحمه الله brkata :
إِذَا بَلَغَكَ عَنْ رَجُلٍ بِالْمَشْرِقِ صَاحِبِ سُنَّةٍ وَآخَرَ بِالْمَغْرِبِ، فَابْعَثْ إِلَيْهِمَا بِالسَّلَامِ وَادْعُ لَهُمَا، مَا أَقَلَّ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
"Apabila sampai kepadamu (kabar) tentang seorang pengikut sunnah, yang satu berada di daerah timur dan yang lain di barat, maka kirimkanlah salam kepada mereka berdua, & doakan kebaikan untuk mereka. "SUNGGUH BETAPA SEDIKITNYA AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH" (lihat Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah Wal Jama’ah oleh Al-Lalika'i I/64 no.50, dan juga Hilyatul Auliyaa' VII/347)
(3). Imam al-Bukhari رحمه الله berkata :
أفضلُ المُسلِمِينَ رجلٌ أحْيَا سُنَّةً مِن سُنَنِ الرَّسُولِ ﷺ قَد أُمِيتَت، فاصْبِرُوا يَا أصحابَ السُّنَنِ رَحِمَكُمُ اللهُ فإِنَّكُم أقلُّ النَّاسِ
"Kaum muslimin yang paling utama adalah seseorang yang menghidupkan "SUNNAH" Nabi ﷺ yang telah mati. Oleh sebab itu, bersabarlah wahai "Para Pengikut Sunnah" Nabi ﷺ, semoga Allah merahmati kalian. Sebab sesungguhnya kalian adalah golongan minoritas" (Al-Jaami' Li Akhlaq Ar-Raawi Wa Aadab As-Saami' 1/112)
(4). Imam al-Auza’i berkata tentang sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم : "Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali juga dalam keadaan asing". Adapun Islam tidak akan pergi, akan tetapi Ahlus Sunnah itu yang akan pergi sehingga tidak tersisa pada sebuah negeri melainkan satu orang. Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji "SUNNAH", dan mensifatinya dengan asing, serta mensifati pengikutnya dengan kata "SEDIKIT" (Ahlul Hadiits Hum at-Thaa-ifah al-Manshuurah hal 103-104)
✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar