}

KISAH WANITA YANG KEMATIANNYA DISAMBUT BERIBU-RIBU MALAIKAT

 
Danau Dadakan Muncul di Gurun Arab Saudi

Kisah ini mungkin telah sering kita dengar. Namun, sekedar mengingatkan kembali tentang perjuangan wanita mulia ini, semoga dapat mengembalikan ghirah kita untuk juga bisa menteladani beliau, wanita yang ‘berhati baja’.

Nusaibah Binti Ka’ab radhiyallahu anha, namanya tercatat dalam tinta emas penuh kemuliaan. Bahkan kematiannya mengundang ribuan malaikat untuk menyambutnya.

Hari itu Nusaibah sedang berada di dapur. Suaminya, Said sedang beristirahat di bilik tempat tidur. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh bagaikan gunung-gunung batu yang runtuh. Nusaibah menerka, itu pasti tentara musuh. Memang, beberapa hari ini ketegangan memuncak di kawasan Gunung Uhud. Dengan bergegas, Nusaibah meninggalkan apa yang sedang dilakukannya dan masuk ke bilik. Suaminya yang sedang tertidur dengan halus dan lembut dikejutkannya.

“Suamiku tersayang”, Nusaibah berkata, “Aku mendengar pekik suara menuju ke Uhud. Mungkin orang-orang kafir telah menyerang.”

Said yang masih belum sadar sepenuhnya, tersentak. Dia menyesal mengapa bukan dia yang mendengar suara itu. Malah isterinya. Dia segera bangun dan mengenakan pakaian perangnya. Sewaktu dia menyiapkan kuda, Nusaibah menghampiri. Dia menyodorkan sebilah pedang kepada Said.

“Suamiku, bawalah pedang ini. Jangan pulang sebelum menang.”

Said memandang wajah isterinya. Setelah mendengar perkataannya itu, tak pernah ada keraguan padanya untuk pergi ke medan perang. Dengan sigap dinaikinya kuda itu, lalu terdengarlah derap suara langkah kuda menuju ke utara. Said langsung terjun ke tengah medan pertempuran yang sedang berkecamuk. Di satu sudut yang lain, Rasulullah melihatnya dan tersenyum kepadanya. Senyum yang tulus itu semakin mengobarkan keberanian Said.

Di rumah, Nusaibah duduk dengan gelisah. Kedua anaknya, Amar yang baru berusia 15 tahun dan Saad yang dua tahun lebih muda, memperhatikan ibunya dengan pandangan cemas. Ketika itulah tiba-tiba muncul seorang penunggang kuda yang nampaknya sangat gugup.

“Ibu, salam dari Rasulullah,” berkata si penunggang kuda, “Suami Ibu, Said baru sahaja gugur di medan perang. 
Beliau syahid…”

Nusaibah tertunduk sebentar, 
“Inna lillah…..” gumamnya,
“Suamiku telah menang perang. Terima kasih, ya Allah.”

Setelah pemberi kabar itu meninggalkan tempat, Nusaibah memanggil Amar. Ia tersenyum kepadanya di tengah tangis yang tertahan,

“Amar, kaulihat Ibu menangis?.. Ini bukan air mata sedih mendengar ayahmu telah Syahid. Aku sedih karena tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan pagi para pejuang Nabi. Maukah engkau melihat ibumu bahagia?”

Amar mengangguk. Hatinya berdebar-debar.

“Ambillah kuda di kandang dan bawalah tombak. Bertempurlah bersama Nabi hingga kaum kafir terhapus.”

Mata Amar bersinar-sinar. “Terima kasih, Ibu. Inilah yang aku tunggu sejak dari tadi. Aku ragu, seandainya Ibu tidak memberi peluang kepadaku untuk membela agama Allah.”

Putera Nusaibah yang berbadan kurus itu pun terus menderapkan kudanya mengikut jejak sang ayah. Tidak terlihat ketakutan sedikitpun dalam wajahnya. Di hadapan Rasulullah, ia memperkenalkan diri.

“Ya Rasulullah, aku Amar bin Said. Aku datang untuk menggantikan ayahku yang telah gugur.”

Rasul dengan terharu memeluk anak muda itu. “Engkau adalah pemuda Islam yang sejati, Amar. Allah memberkatimu….”

Hari itu pertempuran berlalu cepat. Pertumpahan darah berlangsung hingga petang. Pagi-pagi seorang utusan pasukan Islam berangkat dari perkemahan di medan tempur, mereka menuju ke rumah Nusaibah.

Setibanya di sana, wanita yang tabah itu sedang termangu-mangu menunggu berita, “Ada kabar apakah gerangan?..” serunya gemetar ketika sang utusan belum lagi membuka suaranya, “Apakah anakku gugur?..”

Utusan itu menunduk sedih, “Betul….”

“Inna lillah….” Nusaibah bergumam kecil. Ia menangis.
“Kau berduka, ya Ummu Amar?..”

Nusaibah menggeleng kecil. “Tidak, aku gembira. Hanya aku sedih, siapa lagi yang akan kuberangkatkan?.. Saad masih kanak-kanak.”

Mendengar itu, Saad yang sedang berada tepat di samping ibunya, menyela, “Ibu, jangan remehkan aku. Jika engkau izinkan, akan aku tunjukkan bahwa Saad adalah putera seorang ayah yang gagah berani.”

Nusaibah terperanjat. Ia memandang puteranya. “Kau tidak takut, nak?..”

Saad yang sudah meloncat ke atas kudanya menggeleng, yakin. Sebuah senyum terhias di wajahnya. Ketika Nusaibah dengan besar hati melambaikan tangannya, Saad hilang bersama utusan tentara itu.

Di arena pertempuran, Saad betul-betul menunjukkan kemampuannya. Pemuda berusia 13 tahun itu telah banyak menghempaskan nyawa orang kafir. Hingga akhirnya tibalah saat itu, yakni ketika sebilah anak panah menancap di dadanya. Saad tersungkur mencium bumi dan menyerukan, “Allahu Akbar!..”

Kembali Rasulullah memberangkatkan utusan ke rumah Nusaibah.

Mendengar berita kematian itu, Nusaibah meremang bulu tengkuknya. “Hai utusan,” ujarnya, “Kau saksikan sendiri aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya masih tersisa diriku yang tua ini. Untuk itu izinkanlah aku ikut bersamamu ke medan perang.”

Sang utusan mengerutkan keningnya. “Tapi engkau wanita, ya Ibu….”

Nusaibah tersinggung, “Engkau meremehkan aku karena aku wanita?.. Apakah wanita tidak ingin pula masuk ke Syurga melalui jihad?..”

Nusaibah tidak menunggu jawaban dari utusan tersebut. Ia bergegas menghadap Rasulullah dengan mengendarai kuda yang ada.

Tiba di sana, Rasulullah mendengarkan semua perkataan Nusaibah. Setelah itu, Rasulullah pun berkata dengan senyum.

“Nusaibah yang dimuliakan Allah. Belum masanya wanita mengangkat senjata. Untuk sementara engkau kumpulkan saja obat-obatan dan rawatlah tentara yang luka-luka. Pahalanya sama dengan yang bertempur.”

Mendengar penjelasan Nabi demikian, Nusaibah pun segera menenteng obat-obatan dan berangkatlah ke tengah pasukan yang sedang bertempur.

Dirawatnya mereka yang mengalami luka-luka dengan cermat. Pada suatu saat, ketika ia sedang menunduk dan memberi minum seorang prajurit muda yang luka-luka, tiba-tiba rambutnya terkena percikan darah. Nusaibah lalu memandang. Ternyata kepala seorang tentara Islam tergolek, tewas terbabat oleh senjata orang kafir.

Timbul kemarahan Nusaibah menyaksikan kekejaman ini.

Apalagi ketika dilihatnya Rasulullah terjatuh dari kudanya akibat keningnya terserempet anak panah musuh. Nusaibah tidak dapat menahan diri lagi, menyaksikan hal itu.

Ia bangkit dengan gagah berani. Diambilnya pedang prajurit yang tewas itu.
Dinaiki kudanya. 
Lantas bagaikan singa betina, ia mengamuk.

Musuh banyak yang terbirit-birit menghindarinya. Puluhan jiwa orang kafir pun tumbang.

Hingga pada suatu waktu ada seorang kafir yang mengendap dari arah belakang, dan langsung menebas putus lengan kirinya. Nusaibah pun terjatuh, terinjak-injak oleh kuda. Peperangan terus berjalan. Medan pertempuran makin menjauh, sehingga tubuh Nusaibah teronggok sendirian.

Tiba-tiba Ibnu Mas’ud menunggang kudanya, mengawasi kalau-kalau ada orang yang bisa ditolongnya. Sahabat itu, begitu melihat ada tubuh yang bergerak-gerak dengan susah payah, dia segera mendekatinya. Dipercikannya air ke muka tubuh itu.

Akhirnya Ibnu Mas’ud mengenalinya, “Isteri Said-kah engkau?..”

Nusaibah samar-sama memperhatikan penolongnya. Lalu bertanya, “Bagaimana dengan Rasulullah?.. Selamatkah baginda?..”

“Baginda Rasulullah tidak kurang suatu apapun…”

“Engkau Ibnu Mas’ud, bukan?.. Pinjamkan kuda dan senjatamu kepadaku….”

“Engkau masih terluka parah, Nusaibah….”

“Engkau mau menghalangi aku untuk membela Rasulullah?..”

Terpaksa Ibnu Mas’ud menyerahkan kuda dan senjatanya. Dengan susah payah, Nusaibah menaiki kuda itu, lalu menderapkannya menuju ke medan pertempuran. Banyak musuh yang dijungkirbalikkannya. Namun karena tangannya sudah buntung, akhirnya tak urung juga lehernya terbabat putus oleh sabetan pedang musuh.

Gugurlah wanita perkasa itu ke atas pasir. Darahnya membasahi tanah yang dicintainya.

Tiba-tiba langit berubah mendung, hitam kelabu. Padahal tadinya langit tampak cerah dan terang benderang. Pertempuran terhenti sejenak.

Rasul kemudian berkata kepada para sahabatnya,

“Kalian lihat langit tiba-tiba menghitam bukan?.. Itu adalah bayangan para malaikat yang beribu-ribu jumlahnya. Mereka berduyun-duyun menyambut kedatangan arwah Nusaibah, wanita yang perkasa.”

Subhanallah..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..
Allahu Akbar..

Tanpa pejuang sejati seperti dia, mustahil agama Islam bisa sampai dengan damai kepada kita yang hidup di jaman sekarang.

Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla menempatkan mereka, dan kita semua di Syurga-Nya disamping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aamiin..

Apa yang telah kita perbuat untuk menegakkan Dienullah Islam ?

Kisah penuh inspiratif ini seharusnya dapat menggugah jiwa juang kita, agar tidak cengeng melepas anak -anak yang sedang berjuang.

KALAU INGIN ANAK KITA MENJADI KUAT,  MAKA KITA HARUS MENJADI IBU YG KUAT TERLEBIH DAHULU.

Semoga bermanfaat 🙏 

TULISAN SESEORANG 
SEMOGA ALLAH MENJAGA NYA 🤲



Share:

SETELAH MANUSIA MASUK SURGA DAN MASUK NERAKA TIDAK ADA LAGI KEMATIAN

 Arab Saudi Siapkan Wisata Perkemahan Gurun Pasir
🎙️Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ahlus Sunnah mengimani bahwa setelah manusia masuk Surga atau masuk Neraka tidak ada lagi kematian. Kematian adalah masalah maknawi yang tidak bisa dilihat dengan indera. Namun di akhirat, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai sesuatu yang berbentuk kambing dan dapat dilihat oleh indera, kemudian disembelih di antara Surga dan Neraka, lalu dikatakan:

…يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ، وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ.

“…Wahai penghuni Surga, kalian kekal (selamanya) dan tidak akan mati. (Demikian pula kepada penghuni Neraka), Wahai penghuni Neraka kalian kekal dan tidak akan mati.”[1]

Rangkaian peristiwa yang terjadi di akhirat, seperti hisab, pemberian pahala, siksaan, Surga, Neraka, dan rincian semua hal itu sudah disebutkan dalam kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, serta disebutkan dalam riwayat-riwayat yang diwariskan oleh para Nabi, sedangkan yang terkandung dalam Sunnah yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah ini sudah cukup serta memadai. Siapa yang mencarinya (mempelajarinya), ia pasti akan mendapatkannya.[2]

Beriman kepada hari Akhir, yaitu hari dibangkitkannya semua makhluk dan apa yang terjadi padanya akan mengingatkan seorang Mukmin bahwa ia akan kembali kepada Allah, maka ia berusaha untuk melakukan amal yang terbaik dengan ikhlas dan ittiba’ didasari dengan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta menumbuhkan raja’ (harapan) kepada rahmat Allah dan khauf (takut) terhadap siksa Allah, dan selalu bertaubat dari segala dosa.

Baca Juga  Apakah Sekarang Sudah Ada Jannah Dan Naar ?
Allah Ta’ala menegaskan penyebutan tentang hari Akhir di dalam Kitab-Nya, mengulang-ulang penyebutannya di setiap tempat, mengingatkan atasnya dalam setiap saat dan menegaskan kejadiannya, banyak menyebutkannya, dan mengaitkan bahwa keimanan kepada hari Akhir berkaitan erat dengan keimanan kepada Allah Ta’ala.

Dia Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ

“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” [Al-Baqarah/2: 4]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]

Footnote
[1] HR. Al-Bukhari, Kitaabut Tafsiir (no. 4730), dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu
[2] At-Tanbiihatul Lathiifah (hal. 74) dan Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (II/182). Bagi yang ingin membaca dengan lengkap silakan baca Shahiihul Bukhari: Kitaabur Riqaaq, Shahiih Muslim: Kitaabul Iimaan dari bab 80, Kitaabul Jannah dengan semua babnya, Sunan Abi Dawud: Kitaabus Sunnah dan Sunan at-Tirmidzi: Kitaab Shifaatil Qiyaamah dengan semua babnya, dan yang lainnya.

Referensi : 
Sumber
https://almanhaj.or.id/80665-setelah-manusia-masuk-surga-dan-masuk-neraka-tidak-ada-lagi-kematian.html


Share:

POSISI DUDUK TASYAHUD PADA SHOLAT QOSHOR ( SHOLAT DUA RAKAAT)

 Sejarah dan Temuan Rahasia di Gurun Sahara

Pertanyaan :

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Bismillah afwan ana ada pertanyaan jika kita sedang melakukan qoshor dalam sholat pada saat safar bagaimana posisi saat duduk tasyahud akhir? tawaruk atau iftirosi…?

جَزَاك اللهُ خَيْرًا

(Dari Hamba Alloh Anggota Grup WA Bimbingan Islam)

Sumber: http://bimbinganislam.com/konsultasi/27-fiqih/764-amalan-untuk-suami-yang-sudah-meninggal

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبر كاته

Kesimpulan:
Perlu dijelaskan diawal bahwa ini adalah masalah khilafiyah yang masih bisa kita saling toleransi. Sehingga tidak tepat jika menjadikan masalah ini sebagai masalah manhajiyah, yang jadi barometer seseorang ahlus sunnah salafy ataukah bukan.
Pembahasan ini menunjukkan bahwa pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirosy. Ketika tasyahud akhir -baik yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk.
Permasalahan ini adalah permasalahan fiqhiyah dan khilafiyah yang seringkali diperdebatkan. Sebenarnya kita bisa saling tolelir dalam masalah ini jika memang didukung oleh dalil yang sama-sama kuat.
Beberapa perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama;

Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk. Hal ini sama antara pria dan wanita.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ketiga ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam -baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk tawarruk.
Selain itu duduk tawarruk pada raka’at terakhir juga karena disaat itu terdapat do’a, sehingga lebih lama duduknya, sebab cara duduk tawarruk lebih ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.

Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara duduk tersebut. Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat yang satu ini.

Dalil Pendapat Pertama dan Kedua
Pendapat pertama: Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى

“Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu (tawarruk)”

Pendapat kedua: Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada tasyahud awwal dan akhir dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya”

Dalam riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu berkata,

قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قُلْتُ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِى – لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Aku tiba di Madinah. Aku berkata, “Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan tangan kiri di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya.”

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah bin Zubair), ia berkata,

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Rasulullah jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki yang kiri, dan menegakkan

Riwayat di atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika shalat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir atau di pertengahan.

Dalil Pendapat Ketiga dan Keempat
Pendapat ketiga (Imam Asy Syafi’i) dan pendapat keempat (Imam Ahmad), masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat tersebut menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama-sama diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy.

Sedangkan perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.

Maka jelaslah bahwa alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Sa’idi berkata,

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk)”

Dalam riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.”

Sanggahan Pendapat
Pendapat pertama dan kedua memiliki kelemahan karena berpegang pada satu macam dalil dan meninggalkan yang lainnya. Kedua pendapat ini disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah,

علي وكلا القولين خطأ وخلاف للسنة الثابتة التي أوردنا

“Dan kedua pendapat tersebut kurang tepat dan menyelisihi ajaran (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah kami sebutkan

Ditambah lagi kedua pendapat tersebut menyelisihi hadits Abu Humaid yang membedakan tata cara duduk tasyahud awwal dan akhir. Lihat saja dalam hadits Abu Humaid jelas-jelas terbedakan,

فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”

Lalu bagaimana dengan Pendapat Imam Asy Syafi’i?
Imam Asy Syafi’i menggunakan landasan hadits Abu Humaid yang membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhir shalat. Tatkala menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafazh “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy)”. Dari lafazh ini menunjukkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di pertengahan shalat dan bukan akhir shalat. Lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah “raka’at yang bukan akhir shalat”.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ . وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ، وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ ” فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ

“Ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.”

Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits,

فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة

“Di raka’at terakhir.”

Pendapat Imam Asy Syafi’i ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

فَفِيْ الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا. وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها, إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ

“Di dalam shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat), duduk tasyahud setelah raka’at kedua (bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim [orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya), dan duduk untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan pantat kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, menegakkan kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (melakukan duduk iftirasy). Kecuali untuk duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya adalah dengan duduk di lantai, dan bukan duduk di atas telapak kaki kirinya (melakukan duduk tawarruk).”
Allahu a’lam


Wabillahit taufiq
Konsultasi Bimbingan Islam
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah

Sumber: https://bimbinganislam.com/salat-yang-memiliki-satu-tasyahud-dengan-shalat-yang-memiliki-dua-tasyahud/

Share:

BERAMAL TANPA ILMU

Poster Islami Beramal tanpa ilmu itu ...

Ada suatu perkataan sekilas
tampak logis seperti halnya :
"Mending tak usah belajar agama
agar jika tidak tahu,
maka kalau melanggar tidak bersalah."

Sebenarnya :
Ketidaktahuan yang di sengaja
adalah perbuatan dosa.

Nabi ﷺ bersabda :
“Menuntut ilmu (agama) 
adalah kewajiban bagi setiap muslim.“
(HR. Ibnu Majah no 224, di shahihkan oleh syeikh Albani)

Patut jadi renungan yaitu
Allah ﷻ berfirman :
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia,
sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. Ar Ruum: 7)

Imam Ath Thobari رَحِمَهُ الله 
menyebutkan sebuah riwayat dari
Ibnu ‘Abbas رضي الله عنه
yang menerangkan 
mengenai maksud ayat di atas :
Yang dimaksud dalam ayat itu adalah orang² kafir. 
Mereka benar² mengetahui berbagai seluk beluk dunia.
Namun terhadap urusan agama,
mereka benar² jahil (bodoh).
(Tafsir Ath Thobari, 18/462)

Penulis Al Jalalain رَحِمَهُ الله menafsirkan :
“Mereka mengetahui yang zhohir
(yang nampak saja dari kehidupan dunia),
yaitu mereka mengetahui bagaimana
mencari penghidupan mereka melalui :
perdagangan,
pertanian,
pembangunan,
bercocok tanam,
dan selain itu.
Sedangkan mereka terhadap akhirat benar² lalai.”
(Tafsir Al Jalalain, hal. 416)

Itulah gambaran dalam ayat
yang awalnya menerangkan
mengenai kondisi kaum kuffar.
Namun keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin.
Mereka lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia, 
sedangkan kewajiban menuntut ilmu agama menjadi yang terbelakang.

Allah ﷻ berfirman :
“Maka ilmuilah (ketahuilah) !
Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
dan mohonlah ampunan bagi dosamu”
(QS. Muhammad: 19) 

Dalam ayat ini,
Allah memulai dengan :
‘ilmuilah’
lalu mengatakan :
‘mohonlah ampun’.

Dari Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
ketika menjelaskan biografi Sufyan
dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya,
bahwa Sufyan رَحِمَهُ الله 
membaca ayat ini lalu 
mengatakan :
“Tidakkah engkau mendengar
bahwa Allah memulai ayat ini
dengan mengatakan : 
‘ilmuilah’, 
kemudian Allah memerintahkan untuk beramal ?”
(Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Seperti halnya
melakukan amalan ibadah 
tanpa ada dasarnya/ ilmunya
inipun juga terlarang/ dosa.

Nabi ﷺ bersabda :
“Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham,
mereka hanyalah mewariskan ilmu. 
Barangsiapa yang mengambilnya,
maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.”
(HR Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682)

Al Muhallab رَحِمَهُ الله berkata :
“Amalan yang bermanfaat adalah
amalan yang terlebih dahulu
di dahului dengan ilmu.
Amalan yang di dalamnya : 
• tidak terdapat niat,
• ingin mengharap² ganjaran,
• dan merasa telah berbuat ikhlas,
maka ini bukanlah amalan 
(karena tidak di dahului dengan ilmu). 
Sesungguhnya yang di lakukan
hanyalah seperti amalannya orang gila
yang pena diangkat dari dirinya.“
(Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Mu’adz bin Jabal رضي الله عنه berkata :
“Ilmu adalah pemimpin amal
dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
(Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Beramal tanpa ilmu 
membawa akibat amalan tersebut jauh dari tuntunan Rasul ﷺ
akhirnya amalan itu jadi sia² dan tertolak.

Nabi ﷺ bersabda :
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
yang bukan ajaran kami,
maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini
yang tidak ada asalnya,
maka perkara tersebut tertolak.”
(HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718) 

Kerusakanlah yang ujung²nya terjadi
bukan maslahat yang akan di hasilkan.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz رَحِمَهُ الله berkata :
“Barangsiapa
yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu,
maka dia akan
membuat banyak kerusakan
daripada mendatangkan kebaikan.”
(Al Amru bil Ma’ruf hal. 15, Az-Zuhud 1/301 Karya Imam Ahmad)

Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله berkata :
“Orang berilmu yang rusak 
(karena tidak mengamalkan
apa yang dia ilmui)
memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. 
Sedangkan ahli ibadah yang rusak
(karena beribadah tanpa dasar ilmu) 
memiliki keserupaan dengan orang Nashrani.”
(Majmu’ Al Fatawa, 16/567)

Semoga bermanfaat.
إِنْ شَاءَ اللّٰهُ

#UstadzMuhammadAbduhTuasikalحفظه الله تعالى
#HambaAllah

Sumber     : @Rumaysho
IG               : @qories.dnbpartner

Share:

Berikut ini dialog panjang antara Syaikh Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh al-Albani

 Belajar Ilmu Agama Itu Penting

 Jika kita menyebut sosok Syaikh Al al-Bani tentu pikiran kita tertuju pada satu sekte yang berpaham dengan pemahaman yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (Ibnul Wahab).

Syaikh al-Bani tidak segan-segan mengkritisi siapa saja yang tidak cocok menurutnya.

Berikut kami paparkan beberapa pernyataan beliau yang menurut kami patut untuk dicermati;

“Hadits-hadits shahih yang dikumpulkan oleh Bukhari dan Muslim bukan karena diriwayatkan oleh mereka tapi karena hadits-hadits tersebut sendiri shahih”. Tetapi dia (Albani) telah nyata berlawanan dengan kenyataannya sendiri karena pernah melemahkan hadits dari dua syeikh tersebut."

📚 Syarh Al-Aqidah at-Thahawiyah hal.27-28

Kontroversi Syaikh al-Albani dapat dilihat dalam kitabnya, "Silsilah al-Ahadits ad-Dha’īfah wa al-Maudhu’at wa Atsaruha fī al-Sayyi’" atau kitab "Dhaif Al-jami wa Ziyadatuh."
Alasan disusunnya kitab tersebut adalah untuk memurnikan akidah dan pemikiran umat Islam. Menurutnya cara yang ia lakukan dalam menilai hadits-hadits palsu telah sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam ilmu hadis.

ℹ️ Ada beberapa hadits shahih dari Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini yang dilemahkan oleh Syaikh al-Albani:

Sabda Rasulallah bahwa Allah berfirman: "Aku musuh dari 3 orang pada hari kebangkitan, Orang yang mengadakan perjanjian atas NamaKu, tetapi dia sendiri melakukan pengkhianatan atasnya, Orang yang menjual orang yang merdeka sebagai budak dan makan harta hasil penjualan tersebut, orang yang mengambil buruh untuk dikerjakan dan bekerja penuh untuk dia, tapi dia tidak mau membayar gajinya."
(HR. Bukhari no. 2114) 

Syaikh Al-Albani berkata dalam "Dhaif Al-jami wa Ziyadatuh 4/111" bahwa hadits ini lemah.

Rasulullah bersabda;
“Kurbanlah satu sapi muda kecuali kalau itu sukar buatmu maka kurbanlah satu domba jantan.” 
(HR. Muslim no. 1963) 

Walaupun hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir Radhiallahu 'Anhu, tapi Syaikh Al-Albani berkata hadits ini dhaif dalam kitab "Al-Jami wa Ziyadatuh, 6/64."

Rasulullah bersabda;
"Siapa yang membaca 10 surat terakhir dari Surah Al-Kahfi, akan dilindungi dari kejahatan Dajjal."
(HR. Muslim nr. 809).
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i dari Abi Darda,
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin 2/1021, juga mengutip hadits ini,
Namun dalam kitab "Dhaif Al-Jami wa Ziyadatuh, 5/233 Syaikh Al Bani menyatakan hadits ini lemah.

ℹ️ Berikut ini dialog panjang antara Syaikh Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh al-Albani, yang terangkum dalam kitab beliau "Al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah."

Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”

Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Syaikh Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Syaikh Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Disini Syaikh al-Albani kebingungan untuk menjawab.

📚 Al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah.

Kami mengajak anda yang selama ini gemar menyudutkan ulama-ulama tidak sepaham dengan anda untuk berpikir, apakah jalur pikiran anda sudah sesuai dengan sunnah Nabi atau sesuai dengan prinsip Syaikh Al Bani?

Anda yang gemar menuduh orang lain melakukan bid'ah sering kali menunjukkan sikap sempit, arogan, dan kurangnya ilmu.
Seolah-olah sekte anda yang memiliki monopoli kebenaran agama, padahal pemahamannya kerap dangkal dan terpaku pada interpretasi literal tanpa konteks. Menuduh bid'ah tanpa dasar kuat seperti dalil yang jelas atau pemahaman mendalam tentang usul fiqh hanya mencerminkan kebodohan yang diselimuti kesombongan.

Sikap semacam ini bukan saja memecah belah umat, tetapi juga bertentangan dengan akhlak mulia Islam yang menjunjung dialog, toleransi, dan husnuzan. Anda dan sekte anda telah lupa, bahwa menilai niat dan amal orang lain adalah hak Allah, bukan anda dan sekte anda. Jika tuduhan bid'ah dilontarkan sembarangan, justru berisiko jatuh ke dalam dosa ghibah dan fitnah, yang lebih berbahaya daripada bid'ah itu sendiri. Introspeksi dan belajar sebelum menuding adalah langkah yang lebih bijak.

Wallahu A'lam, semoga bermanfaat.

Follow kami, sebagai bentuk dukungan terhadap kami.
Bagikan keteman, saudara atau sanak famili anda agar mereka juga menambah ilmu.

Share:

TAJASSUS

Dalam Islam, Tajasus itu Dilarang

Jangan sampai sibuk mengorek aib orang lain tapi lupa dengan aib sendiri,

🌴  Allah Ta'ala berfirman : 
 وَلَا تَجَسَّسُوا

"dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain" 

(QS. Al-Hujurat: 12) 

✔  Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: 
"Para ahli tafsir mengatakan, tajassus adalah mencari-cari keburukan dan cacat kaum Muslimin. Maka makna ayat di atas adalah janganlah salah seorang diantara kamu mencari-cari keburukan saudaranya untuk diketahuinya, padahal Allah Azza wa Jalla menutupinya." 

📖  (Al-Kabair, hlm.159)

🍃  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
"Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara." 

📖  (HR. Al-Bukhari, no.6064, Muslim, no.2563) 

🍃  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
"Barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat." 

📖  (HR. Bukhari, no.7042)

🍃  Aun bin Abdullah rahimahullah berkata: 
"Saya menganggap orang yang selalu sibuk mengorek aib orang lain adalah orang yang lalai terhadap aibnya sendiri." 

📖  (Shifatush Shafwah, III/101) 

🍃  Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata: 
"Kurangilah rasa ingin tahumu tentang urusan manusia niscaya akan berkurang perbuatan ghibahmu."

📖  (Siyarul A'lam An-Nubala, 5/62)

🍃  Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata: 
"Wajib bagi orang yang berakal mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), hendaklah ia senantiasa sibuk memperbaiki aibnya sendiri.

Karena sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan aibnya sendiri dan melupakan aib orang lain, maka hatinya akan tenteram, dan tidak akan merasa lelah. Maka setiap kali dia melihat aib yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat aib yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk dengan mencari aib orang lain dan melupakan aibnya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih, dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya."

📖  (Raudhatul 'Uqala wa Nuzhatul Fudhala', hlm.131) 

➖️➖️➖️   Wallahu A'lam   ➖️➖️➖️PENGIKUT SUNNAH SELALU SEDIKIT

(1). Imam Hasan al-Bashri رحمه الله berkata :
“Sesungguhnya "AHLUSSUNNAH" adalah yg paling sedikit dari manusia pada zamannya yang telah lewat, dan mereka paling sedikit dari manusia pada zamannya yang tersisa. Mereka adalah orang2 yang tidak ikut2-an dengan orang2 yang bermewah-mewahan, dan tidak juga ikut dengan ahli bid’ah dalam kebid’ahan mereka. Dan mereka sabar di dalam menjalankan "SUNNAH" (ajaran Nabi ﷺ yang murni) hingga mereka bertemu Rabb mereka” (Sunan ad-Darimi 1/83)

(2). Imam Sufyan ats-Tsauri رحمه الله brkata :

إِذَا بَلَغَكَ عَنْ رَجُلٍ بِالْمَشْرِقِ صَاحِبِ سُنَّةٍ وَآخَرَ بِالْمَغْرِبِ، فَابْعَثْ إِلَيْهِمَا بِالسَّلَامِ وَادْعُ لَهُمَا، مَا أَقَلَّ أَهْلَ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ

"Apabila sampai kepadamu (kabar) tentang seorang pengikut sunnah, yang satu berada di daerah timur dan yang lain di barat, maka kirimkanlah salam kepada mereka berdua, & doakan kebaikan untuk mereka. "SUNGGUH BETAPA SEDIKITNYA AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH" (lihat Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlis Sunnah Wal Jama’ah oleh Al-Lalika'i I/64 no.50, dan juga Hilyatul Auliyaa' VII/347)

(3). Imam al-Bukhari رحمه الله berkata :

أفضلُ المُسلِمِينَ رجلٌ أحْيَا سُنَّةً مِن سُنَنِ الرَّسُولِ ﷺ  قَد أُمِيتَت، فاصْبِرُوا يَا أصحابَ السُّنَنِ رَحِمَكُمُ اللهُ فإِنَّكُم أقلُّ النَّاسِ

"Kaum muslimin yang paling utama adalah seseorang yang menghidupkan "SUNNAH" Nabi ﷺ yang telah mati. Oleh sebab itu, bersabarlah wahai "Para Pengikut Sunnah" Nabi ﷺ, semoga Allah merahmati kalian. Sebab sesungguhnya kalian adalah golongan minoritas" (Al-Jaami' Li Akhlaq Ar-Raawi Wa Aadab As-Saami' 1/112)

(4). Imam al-Auza’i berkata tentang sabda Rasulullah صلى الله عليه و سلم : "Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali juga dalam keadaan asing". Adapun Islam tidak akan pergi, akan tetapi Ahlus Sunnah itu yang akan pergi sehingga tidak tersisa pada sebuah negeri melainkan satu orang. Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji "SUNNAH", dan mensifatinya dengan asing, serta mensifati pengikutnya dengan kata "SEDIKIT" (Ahlul Hadiits Hum at-Thaa-ifah al-Manshuurah hal 103-104)

✍ Ustadz Najmi Umar Bakkar

Share:

ADA GAK SICH BERDOA USAI SHOLAT (FARDHU) WAJIB ?

sunnahstori | HUKUM BERDO'A SETELAH SHALAT FARDHU Fatwa Asy-Syaikh Muhammad  bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah ta'ala 🎙 Pertanyaan : Fadhilatus... |  Instagram

Bismillahirrohmanirrohiim,

Kebanyakan umat muslim tahunya berdoa yang baik atau mustajab adalah setelah sholat wajib (fardhu), padahal hal tersebut tidaklah benar alias salah besar.
Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan berdoa sambil mengangkat tangan selesai sholat wajib (fardhu), baik berdoa sendiri-sendiri maupun secara berjama’ah, akan tetapi beliau memerintahkan untuk berdzikir. Di dalam Al Qur’an pun tidak pernah ada perintah berdoa usai sholat wajib {fardhu).
BERIKUT INI DALIL-DALILNYA :

💜 Allah Ta’ala berfirman :

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

"Bila kamu telah menyelesaikan sholatmu, ingatlah {berdzikirlah} kepada Allah waktu berdiri, di waktu duduk dan berbaring. Apabila kamu telah aman, maka kerjakanlah sholat itu seperti biasanya. Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya terhadap orang-orang yang beriman.”
(QS. An Nisa 103)

❤️ Hadits riwayat Muslim,

وَعَنْ كَعْبٍ بْنِ عُجْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ :(( مُعَقِّباتٌ لاَ يَخِيبُ قَائِلُهُنَّ – أَوْ فَاعِلُهُنَّ – دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوبَةٍ: ثَلاثٌ وَثَلاثونَ تَسْبِيحَةً. وَثَلاثٌ وثَلاَثونَ تَحْمِيدَةً ، وَأرْبَعٌ وَثَلاَثونَ تَكْبِيرَةً )) . رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Ka’ab bin ‘Ujroh rodhiyallahu ‘anhu, bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada beberapa kalimat pengikut yang tidak akan merugikan orang yang mengucapkannya atau melakukannya usai setiap sholat wajib {yaitu}, tiga puluh tiga kali tasbih, tiga puluh tiga kali tahmid, dan tiga puluh tiga kali takbir.” 
(HR. Muslim No. 597)

💙 Rosulullah shollallahu alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلِ

"Jika kalian bertekad mengerjakan suatu perkara, maka kerjakanlah sholat selain sholat wajib {fardhu} lalu bacalah doa…..”
(HR. Bukhori No. 7390)

💚 Berdoa usai baca doa tahiyat (sebelum salam) dalam sholat
Dari Abu Umamah rodhiyallahu anhuma bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya :

أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الآخِرِ وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ

"Doa apakah yang paling didengar {dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla} ? Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Doa di tengah malam {akhir malam} dan di ujung {akhir} sholat-sholat {lima waktu} yang wajib."
(HR. At Tirmidzi No. 9936 dan An Nasa'i , 6/32. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi dan Syaikh Al Albani)

📚 WAKTU-WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA

Allah memberikan masing-masing waktu dengan keutamaan dan kemuliaan yang berbeda-beda, diantaranya ada waktu-waktu tertentu yang sangat baik untuk berdoa, akan tetapi kebanyakan orang menyia-nyiakan kesempatan baik tersebut. Mereka mengira bahwa seluruh waktu memiliki nilai yang sama dan tidak berbeda. Bagi setiap muslim seharusnya memanfaatkan waktu-waktu yang utama dan mulia untuk berdoa agar mendapatkan kesuksesan, keberuntungan, kemenangan dan keselamatan. Adapun waktu-waktu mustajabah tersebut antara lain :

(1). BERDOA PADA HARI JUM'AT

Hadits dari Abu Said Al Khudri dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيهَا خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَهِيَ بَعْدَ الْعَصْرِ

"Di hari Jumat terdapat suatu waktu, dimana jika ada seorang hamba muslim yang memanjatkan doa kepada Allah bertepatan dengan waktu tersebut, Allah akan memberi apa yang dia minta. Waktu itu adalah seteah asar." 
(HR. Ahmad No. 7631 dan dinilai shohih Syuaib Al Arnauth)

(2). BERDOA PADA SEPERTIGA MALAM

Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman : "Siapa yang berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan doanya, siapa yang meminta-Ku akan Aku beri dia, dan siapa yang minta ampunan kepada-Ku akan Aku ampuni dia.” 
(HR. Bukhori No. 1145, Muslim No. 758, Abu Daud No. 1315, dan yang lainnya)

(3). BERDOA PADA WAKTU SAHUR

Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya :

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُون

“Ketika waktu sahur {akhir-akhir malam}, mereka berdoa memohon ampunan.” 
(QS. Adz Dzariyat 18)

(4). BERDOA KETIKA BERBUKA PUASA

Rosulullah shollallahu ’alaihi wa sallam bersabda :

ثلاث لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم

”Ada tiga doa yang tidak tertolak. Doanya orang yang berpuasa ketika berbuka, doanya pemimpin yang adil dan doanya orang yang terzholimi.” 
(HR. Tirmidzi No. 2528, Ibnu Majah No.1752, Ibnu Hibban No. 2405, dishohihkan Al Albani di Shohih At Tirmidzi)

(5). BERDOA ANTARA ADZAN DAN IQOMAH

Waktu jeda antara adzan dan iqomah adalah juga merupakan waktu yang dianjurkan untuk berdoa, berdasarkan sabda Rosulullah shollallahu ’alaihi wa sallam :

الدعاء لا يرد بين الأذان والإقامة
“Doa di antara adzan dan iqomah tidak tertolak.” 
(HR. Tirmidzi No. 212, ia berkata : “Hasan Shohih”)

(6). BERDOA KETIKA TURUN HUJAN

Hujan adalah nikmat Allah Ta’ala. Oleh karena itu tidak boleh mencelanya. Sebagian orang merasa jengkel dengan turunnya hujan, padahal yang menurunkan hujan tidak lain adalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, daripada tenggelam dalam rasa jengkel lebih baik memanfaatkan waktu hujan untuk berdoa memohon apa yang diinginkan kepada Allah Ta’ala :

ثنتان ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر

“Doa tidak tertolak pada 2 waktu, yaitu ketika adzan berkumandang dan ketika hujan turun.” 
(HR. Hakim no. 2534, dishohihkan Al Albani di Shohih Al Jami’, 3078)

(7). BERDOA KETIKA MALAM LAILATUL QODAR

Malam lailatul qodar adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Malam ini lebih utama dari 1000 bulan.

💦 Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam Lailatul Qodr lebih baik dari 1000 bulan.” 
(QS. Al Qodr 3)

💦 Pada malam ini dianjurkan memperbanyak ibadah termasuk memperbanyak doa. Sebagaimana yang diceritakan oleh Ummul Mu’minin Aisyah rodhiyallahu ’anha :

قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني

“Aku bertanya kepada Rosulullah : "Wahai Rosulullah, menurutmu apa yang sebaiknya aku ucapkan jika aku menemukan malam Lailatul Qodar ?
Lalu beliau bersabda : Berdoalah :

اللهم إنك عفو كريم تحب العفو فاعف عني

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan menyukai sifat pemaaf, maka ampunilah aku."
(HR. Tirmidzi No. 3513, Ibnu Majah, 3119, At Tirmidzi berkata : “Hasan Shohih”)

💥 HADITS DHO’IF

Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Di dalam sholat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah sholat), lalu katakanlah : “Wahai Robb-ku ! Wahai Robb-ku !” 
(Hadits ini adalah hadits yang dho’if {lemah}), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya)

Semoga bermanfaat

Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Cari