}

SEJARAH KESYIRIKAN DI MUKA BUMI

 Syarhus Sunnah: Allah itu Mahatinggi, Tidak Seperti Diyakini Jahmiyah -  Rumaysho.Com
oleh Abu Azmi ·

Imam Ibnu Abi Al-Izzi rahimahullahu berkata:
Sesungguhnya tauhid yang diserukan oleh para rasul dan karenanya diturunkan kitab-kitab Allah adalah tauhid uluhiyah yang mengandung tauhid rububiyah. (Tauhid uluhiyah adalah) beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Sesungguhnya orang-orang musyrikin dari kalangan arab (jahiliyah) mereka mengikrarkan tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah lah satu-satunya yang menciptakan langit dan bumi. Sebagaimana yang telah Allah kabarkan dalam firman-Nya:

وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ قُلِ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِۚ بَلۡ أَكۡثَرُهُمۡ لَا يَعۡلَمُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”. Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Luqmân: 25)

قُل لِّمَنِ ٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهَآ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٨٤ سَيَقُولُونَ لِلَّهِۚ قُلۡ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Katakanlah: “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak ingat?”. (QS. Al-Mukminûn: 84-85)

Dan ayat yang semisal dengan ini banyak dalam Al-Quran.
Orang-orang musyrikin jahiliyah tidak pernah meyakini bahwa berhala-berhala mereka itu bersekutu dengan Allah dalam menciptakan alam semesta. Bahkan keadaan mereka tidak jauh berbeda dengan orang-orang musyrikin dari India, Turki, Barbar dan selain mereka. Yaitu meyakini bahwa berhala-berhala itu adalah patung-patung kaum yang shalih baik dari kalangan nabi dan orang-orang shalih. Mereka menjadikannya sebagai pemberi syafaat dan bertawassul dengan orang-orang shalih tersebut (menjadikannya sebagai perantara dalam ibadah/doa) kepada Allah. Inilah sumber kesyirikan orang-orang Arab (jahiliyah). Allah berfirman:

وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (QS. Nûh: 23)

Telah shahih dalam Shahîh Bukhâri, kitab-kitab tafsir, kisah-kisah para nabi dan selainnya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan selainnya dari salaf bahwa lima nama tersebut adalah nama orang-orang yang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, pengikut mereka pun beri’tikaf di kuburan mereka, kemudian menggambar patung-patungnya. Ketika waktu berjalan lama, mereka pun menyembah orang-orang shalih tersebut. Dan berhala-berhala itu pun beralih ke tangan kabilah-kabilah arab.

(Syarhu Al-Aqîdah Ath-Thahâwiyah 1/28-29)
Share:

PEMBAGIAN TAUHID MENJADI TIGA KARANGAN WAHABI?!

 Beberapa Keyakinan Firqoh-Firqoh tentang Malaikat - jahmiyah - Kitab  Al-Ushul Ats-Tsalatsah ( Ustadz Abu Haidar As-Sundawy ) - Radio Tarbiyah  Sunnah 1476 AM

    Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: Penelitian di dalam Al-Quran Al-‘Azhim menunjukkan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga:

    Tauhid rububiyah. Allah berfirman:

وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”.” (QS. Az-Zukhrûf: 87)

    Tauhid ibadah (uluhiyah). Allah berfirman:

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (sesembahan selain Allah) itu.” (QS. An-Nahl: 36)

    Tauhid asma’ dan sifat. Allah berfirman:

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. Asy-Syura: 11) [1]

    Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu berkata: Pembagian (tauhid menjadi tiga) yang merupakan hasil penelitian para ulama salaf terdahulu ini telah disebutkan oleh Ibnu Mandah (wafat tahun 395 H), Ibnu Jarir Ath-Thabari (wafat tahun 310 H) dan selain keduanya.

Dan hal ini juga diikrarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Al-Qayyim serta Az-Zabidi dalam Tâju Al-‘Arûs dan guru kami Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwâ’ Al-Bayân –rahimahumullahu-.

Dan ini adalah penelitian yang sempurna terhadap nash-nash syariat. Dan hal ini sudah dimaklumi oleh setiap pakar ilmu. Sebagaimana dalam penelitian ahli nahwu terhadap ucapan orang arab (ditemukan) bahwa kata itu ada (tiga) ismun (kata benda), fi’lun (kata kerja) dan harfun (huruf/kata yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang lainnya). Orang arab tidak ada yang menentang dan mencela akan pembagian ini. Demikianlah setiap penelitian (ilmiah). [2]

    Diantara ulama salaf yang membagi tauhid menjadi tiga adalah Imam Abu Hanifah (meninggal tahun 150 H) rahimahullahu. Beliau berkata: (Kita) berdoa kepada Allah yang ada di atas bukan di bawah, karena bawah itu tidak layak sama sekali bagi rububiyah ataupun uluhiyah (Nya). [3]

Apakah Imam Abu Hanifah wahabi?!

    Demikian pula Imam Ibnu Baththah (meninggal tahun 387 H) rahimahullahu juga berkata: Sesungguhnya pondasi keimanan kepada Allah yang wajib diyakini oleh setiap manusia itu ada tiga:
    a. Meyakini akan rububiyah-Nya agar terbedakan dengan kelompok yang mengingkari Sang Pencipta.
    b. Meyakini akan keesaan-Nya (dalam ibadah) agar terbedakan dengan kaum musyrikin yang meyakini adanya Sang Pencipta namun menyekutukan-Nya dalam ibadah.
    c. Meyakini bahwa Allah tersifati dengan sifat-sifat yang ada pada diri-Nya seperti ilmu, kekuasaan, hikmah dan selainnya yang tercantum di dalam Al-Quran. [4]

Apakah Imam Ibnu Baththah wahabi?!

[*] Dinukil dan diringkas dari kitab Al-Qaul As-Sadîd fi Ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsîma At-Tauhîd oleh Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr.

[1] Adhwâ’ Al-Bayân 3/410-414.

[2] At-Tahdzîr min Mukhtasharât Ash-Shâbûni fi At-Tafsîr hal. 30.

[3] Fiqh Al-Absâth hal. 51.

[4] Al-Ibânah hal. 693-694.

Share:

AQIDAH JAHMIYAH

11. Aqidah Jahmiyah & Syubhat Dalam Masalah Sifat – assunahsalafushshalih


 1. Siapakah Jahmiyah itu ?

Jahmiyah adalah pengikut atau orang-orang yang menisbatkan diri kepada Jahm bin Shafwan At-Tirmidzi yang muncul pada awal abad kedua hijriyah.[1]

2. Mata Rantai Kelompok Jahmiyah

a. Jahm bin Shafwan (meninggal tahun 128 H)

b. Ja’ad bin Dirham (meninggal tahun 124 H)

c. Abaan bin Sam’aan (meninggal tahun 119 H)

d. Thalut

e. Labiid bin Al-A’shaam Al-Yahudi

-. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: Sesungguhnya asal muasal ucapan ta’thil (mengingkari) sifat-sifat (Allah) itu diambil dari murid-murid Yahudi dan orang-orang musyrikin serta para penyembah bintang-bintang. Dan sesungguhnya yang pertama kali diketahui berpegang dengan ucapan tersebut di dalam Islam adalah Ja’ad bin Dirham. Kemudian Jahm bin Shafwan mengambilnya dari Ja’ad dan dialah yang menyebarkannya hingga dinisbatkan kepadanya aqidah kelompok Jahmiyah. Dan dikatakan bahwa Ja’ad mengadopsi ucapannya dari Abaan (Bayaan) bin Sam’aan dan Abaan mengadopsinya dari Thalut yang merupakan keponakan dari Labiid bin Al-A’shaam. Dan Thalut mengadopsinya dari Labiid bin Al-A’shaam Al-Yahudi yang menyihir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2]

-. Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullahu berkata: Ketika kelompok Jahmiyah ini sudah mulai banyak di akhir-akhir zaman para Tabi’in, mereka inilah yang pertama kali menentang wahyu dengan akal pikiran. Akan tetapi mereka masih minoritas, terhina dan tercela dimata para imam-imam (ahlussunnah). Guru besar mereka adalah Ja’ad bin Dirham dan dia disegani oleh sebagian manusia karena dia merupakan guru bagi Marwan bin Muhammad. Oleh karenanya dia dinamakan Marwan Al-Ja’di. Dan pada saat itulah Allah mencabut kekuasaan dan kekhalifahan dari Bani Umayyah dan mencerai beraikan mereka di seluruh pelosok negeri dan menghancurkan mereka sehancur-hancurnya dengan sebab barakah syaikh mu’aththilah (Ja’ad bin Dirham).

Ketika ajarannya sudah menyebar luas ditengah kaum muslimin maka Khalid bin Abdillah Al-Qasri yang merupakan gubernur di Iraq memburunya hingga berhasil menangkapnya. Beliau pun berkhutbah di hari raya idul adha dan diakhir khutbahnya beliau berkata: Wahai manusia, sembelihlah hewan-hewan kurban kalian!  Semoga Allah menerima sesembelihan kalian. Sedangkan aku akan menyembelih Ja’ad bin Dirham karena dia meyakini bahwa Allah tidak berbicara dengan Nabi Musa dan tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasihnya. Maha tinggi Allah dari apa yang dia ucapkan. Kemudian beliau pun turun dari mimbar dan menyembelih Ja’ad. [3]

3. Aqidah Sesat dan Kufur Jahmiyah

a. Mengingkari nama dan sifat Allah.

b. Mengingkari ketinggian Allah di atas ‘Arsy dan bahwa makna istiwa’ adalah istiila’/menguasai.

c. Meyakini bahwa Al-Qur’an adalah makhluk atau bacaan Al-Qur’an ku adalah makhluk atau mengatakan tidak tahu Al-Qur’an itu makhluk atau bukan.

d. Menyatakan bahwa Allah ada dimana-mana.

e. Mengatakan bahwa iman itu hanya sekedar mengenal Allah.

f. Menyatakan bahwa manusia itu dipaksa dalam berbuat dan dia tidak punya kehendak dan kemampuan dalam berbuat.

g. Mengatakan bahwa surga dan neraka itu tidak kekal.

h. Mengatakan bahwa ilmu Allah itu baru dan Allah tidak mengetahui sesuatu melainkan setelah terjadinya sesuatu itu.

i. Mengingkari kabar berita tentang hari akhir, semisal orang beriman melihat kepada wajah Allah pada hari kiamat, adanya telaga, timbangan, jembatan, syafaat dan lain sebagainya.

j. Mengarang kata-kata jism dan jihah/arah.[4]

-. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari rahimahullahu berkata: Yang merupakan ucapan Jahm adalah surga dan neraka itu pasti musnah dan binasa, iman adalah sekedar mengenal Allah, kekufuran hanyalah ketidaktahuan tentang Allah dan pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang berbuat melainkan hanya Allah. Allah lah yang berbuat dan ketika disandarkan perbuatan kepada manusia itu hanyalah majaz. Seperti dikatakan: Pohon bergerak, bumi berputar, matahari tergelincir. Sesungguhnya yang berbuat demikian itu adalah Allah….dia juga mengatakan bahwa ilmunya Allah itu baru dan bahwasanya Al-Qur’an adalah makhluk dan tidak boleh dikatakan bahwa Allah senantiasa mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya.[5]

4. Apakah kelompok Jahmiyah itu masih kaum muslimin?

-. Imam Ibnu Abi Al-‘Izzi rahimahullahu berkata: Para ulama berbeda pendapat tentang kafirnya kelompok Jahmiyah. Apakah mereka masih dalam kategori 72 golongan (dari kaum muslimin) atau tidak? Mereka terbagi menjadi dua pendapat: Diantara yang mengatakan mereka bukan termasuk 72 golongan adalah Abdullah bin Mubarak dan Yusuf Al-Asbaath.[6]

-. Syaikh DR.Ghalib Al-‘Awaaji hafidzahullahu berkata: Mayoritas ulama salaf condong kepada pengkafiran kelompok Jahmiyah dan mengeluarkannya dari kaum muslimin. Diantara mereka adalah Imam Ad-Daarimi.[7]

5. Ucapan ulama salaf tentang Jahmiyah.

-. Imam Abu Hatim Ar-Razi dan Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahumallahu berkata: Kelompok Jahmiyah adalah kafir.[8]

-. Wahb bin Jarir rahimahullahu berkata: Kelompok Jahmiyah adalah zindiq. Mereka menginginkan bahwa Allah tidak istiwa’/tinggi diatas ‘Arsy.[9]

-. Abdullah bin Mubarak rahimahullahu berkata: Kita tidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh kelompok Jahmiyah yaitu bahwasanya Allah di atas muka bumi. Akan tetapi kita mengatakan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy.[10]

-. Sa’id bin ‘Amir rahimahullahu berkata: Ucapan kelompok Jahmiyah lebih jelek daripada Yahudi dan Nashara. Yahudi, Nashara dan semua agama mengatakan bahwa Allah ada di atas ‘Arsy sedangkan Jahmiyah mengatakan Dia tidak di atas ‘Arsy.[11]

-. Ali bin Hasan berkata: Aku mendengar Ibnu Mush’ab berkata: Kelompok Jahmiyah kafir karena (mengingkari) beberapa ayat di dalam Al-Qur’an. Mereka berkata: Sesungguhnya surga itu akan sirna. Sedangkan Allah berfirman:

إِنَّ هَـٰذَا لَرِزۡقُنَا مَا لَهُ ۥ مِن نَّفَادٍ

Sesungguhnya ini adalah benar-benar rizki dari Kami yang tiada habis-habisnya. (QS. Shaad : 54)…[12]

-. Waki’ rahimahullahu berkata: Barangsiapa yang mendustakan hadits Isma’il dari Qais dari Jarir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ru’yah (orang beriman melihat kepada wajah Allah disurga) maka dia adalah Jahmiy maka jauhilah.[13]

-. Zuhair As-Sajistani rahimahullahu berkata: Aku mendengar Ibnu Abi Muthii berkata: Kelompok Jahmiyah adalah kafir.[14]

-. Waki’ rahimahullahu berkata: Kelompok Jahmiyah adalah kafir. Al-Marisi adalah Jahmiy. Dan kalian tahu bagaimana mereka ini bisa kafir, karena mereka mengatakan bahwa cukup bagimu mengenal Allah dan ini adalah kekafiran.[15]

-. Imam Bukhari rahimahullahu berkata: Aku tidak membedakan apakah aku shalat dibelakang pengikut Jahmiyah, Syiah Rafidhah atau shalat dibelakang Yahudi dan Nashrani. Tidak boleh mengucapkan salam kepada mereka, tidak boleh menjenguk mereka, tidak boleh menikahkan dengan mereka, tidak boleh mereka dijadikan saksi dan tidak boleh dimakan sesembelihan mereka.[16]

—————————————————–

[1] Syarah Aqidah Thahawiyah 2/794 oleh Ibnu Abi Al-Izzi Al-Hanafi dan Al-Intishar hal.336 oleh Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr.

[2] Al-Fatwa Al-Hamawiyah Al-Kubra 243-245.

[3] Ash-Shawaa’iq Al-Mursalah 3/1070-1072.

[4] Al-Inthishar hal.336-337.

[5] Maqaalaat Al-Islamiyyin 1/338.

[6] Syarah Aqidah Thahawiyah 2/795.

[7] Firaq Mu’ashirah 3/1158.

[8] Ashlu As-Sunnah wa I’tiqaduddin point 29.

[9] Khalqu Af’aal Al-‘ibaad no.6 hal.6 oleh Imam Bukhari.

[10] Idem no.11 hal.7.

[11] Idem no. 13 hal.7.

[12] Idem no.19 hal.8.

[13] Idem no.25 hal.9

[14] Idem no. 32 hal.10

[15] Idem no.34 hal.10.

[16] Idem no.40 hal.11.
Share:

JIKA SEMUA DIAM, KAPAN ORANG JAIL BISA MENGETAHUI YANG HAQ DAN YANG BATIL

Beda Antara Haq Batil dengan Halal Haram - Kompasiana.com

Allah mengaitkan antara kejayaan umat Islam, bahkan menjadi karakteristik utama Umat ini sebagai Umat terbaik,  dengan tugas amar ma’ruf dan nahi mungkar ini. Allah menyebutkan dalam firman-nya:

كُنتُمۡ خَیۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَـٰبِ لَكَانَ خَیۡرࣰا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَـٰسِقُونَ.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
[Surat Ali 'Imran 110]

Berkata yang benar walau itu pahit merupakan prinsip amar Ma'ruf dan nahi Munkar yang harus dipikul dipundak setiap muslim  Kebenaran tetap diterapkan walau ada celaan dan ada yang tidak suka. Inilah prinsip yang diajarkan dalam Islam oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat ini tidak sedikit mereka yang membisu untuk menyatakan kebenaran, sehingga fungsi Al Qur’an sebagai Al Furqon (pembeda) mana yang haq dan mana yang bathil (Al Baqarah,2:185) kini sudah sangat kabur karena bisunya orang-orang yang berilmu untuk menyatakan kebenaran.
Allah berfirman,

وَلَا تَلۡبِسُوا۟ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَـٰطِلِ وَتَكۡتُمُوا۟ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ.
"Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui."
[Surat Al-Baqarah 42]

Dan kebenaran itu mutlak milik Allah.
Allah berfirman,
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)."[Al-Anam: 116].
Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata:
"Kebenaran itu berdasarkan dalil dan bukanlah kebenaran itu berdasarkan apa yang dilakukan manusia." (Majmu al-Fatawa 7/367)

Jangan berharap akan hilangnya kebatilan jika para pembela kebenaran itu terdiam dan tidak bergerak untuk menyampaikan. Jika kebenaran disampaikan, maka kebatilan pasti akan binasa.

وَقُلۡ جَاۤءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَـٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَـٰطِلَ كَانَ زَهُوقࣰا..
"Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap."
[Surat Al-Isra' 81]

Kebenaran itu akan menang walaupun sedikit pengikutnya. Dan kebatilan itu akan kalah (terhinakan) walaupun banyak pengikutnya." (Syarah al-Kafiyah asy- Syafiyah 1/178, Syaikh Ibnu Utsaimin).

Kebenaran harus disampaikan, dan harus ada yang berani menyampaikan. Kebatilan juga haruslah dijelaskan, dan harus ada yang berani menhelaskan, karena jika semua diam, maka orang jahil tidak akan pernah tahu antara yang hak dan yang batil.
Orang yang berdiam diri dari menyampaikan kebenaran (padahal ia mampu menyampaikannya) adalah seperti Syaithon Akhros (Setan yang Bisu).”
(Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Ada ungkapan yang sangat bagus untuk menjadi renungan, jika semua terdiam dari kebatilan yang merajalela sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ahmad رحمه الله.

قال أحمد بن حنبل رحمه الله:
إذا سكتَّ أنتَ، وسكتُّ أنا، فمتى يعرف الجاهلُ الصّحيحَ من السقيم.

📚العلل لأحمد بن حنبل : ج.١، ص. ٢٢
(mqaall.com)

Berkata Imam Ahmad bin Hambal رحمه الله,
Bila kamu diam, aku juga diam, maka kapan orang yang jahil akan bisa mengetahui antara yang benar dari yang batil.

📚Al-'ilal okeh Imam Ahmad bin Hambal: j. 1, h. 22.
(mqaall.com)

🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc

       ✏📚✒.✨..

Share:

BALASAN BAGI PARA PELAKU BID’AH BALASAN BAGI PARA PELAKU BID’AH

Pelaku Bidah Sulit Bertaubat ! - Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra - YouTube

Sungguh rugi di dunia dan di akhirat bagi para pelaku bid’ah. Di dunia rugi karena mereka melakukan amalan-amalan bid’ahnya tidak terlepas dari pengorbanan waktu dan tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit yang mereka keluarkan untuk membiayai acara-acara bid’ah mereka. Padahal apabila biaya yang mereka keluarkan digunakan untuk membiayai syi’ar Islam yang di syari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka tentu saja mereka akan mendapatkan keuntungan berupa balasan pahala. Selain rugi di dunia, mereka juga akan mengalami kerugian di akhirat kelak, karena mereka telah melakukan kesesatan dalam agama. Mereka mendekatkan diri (taqorrub ilallah) dengan cara-cara yang tidak di syari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.

Manusia yang berakal ketika beribadah kepada Allah Ta’ala yang di harapkan tentu saja adalah balasan pahala yang melimpah. Tidak ada orang yang beribadah menghendaki kesia-sia’an. Oleh karena itu hendaklah manusia beribadah sesuai dengan yang di syari’atkan. Tidak membuat-buat syari’at baru yang tidak di ajarkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Karena apabila beribadah dengan cara-cara yang tidak di syari’atkan, maka bukan pahala yang akan di peroleh tapi justru akan mendapatkan kerugian. Amalan mereka para pelaku bid’ah akan tertolak. Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak“. (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak”. (H.R Muslim).
Dan lebih dari itu, selain amalan mereka di tolak juga akan mendapatkan adzab neraka sebagai akibat dari kesesatannya.

 • Akibat Buruk dari Bid’ah
Dalam beberapa kesempatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya untuk tidak berbuat bid’ah. Karena bid’ah adalah kesesatan.
Diantara peringatannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat”. (HR. Muslim no. 867).
Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang suatu perkara, kalau bukan perkara tersebut mendatangkan banyak keburukan. Dan berikut ini beberapa akibat buruk dari prilaku bid’ah berdasarkan keterangan dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya,

1. Pelaku bid’ah akan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.

Pelaku bid’ah yang dimaksud adalah mereka yang gemar melakukan kebid’ahan, bukan mereka yang tidak sengaja berbuat bid’ah. Maka balasan bagi mereka adalah laknat dari Allah Ta’ala. Sebagaimana yang di sabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”. (HR Bukhary,1870 dan Muslim, 1370).

Sungguh rugi para pelaku bid’ah, padahal mereka beribadah mengharapkan pahala, akan tetapi malah justru mendapatkan laknat.

2. Pelaku bid’ah akan semakin jauh dari Allah Ta’ala.

Tujuan dari ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (taqorrub ilallah). Namun dengan berbuat bid’ah justru malah sebaliknya akan menjadikan jauh dari Allah Ta’ala.

Sebagaimana yang di riwayatkan dari Ayyub As-Sikhtiyani, salah seorang tokoh tabi’in, bahwa beliau mengatakan :

مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً – (حلية الأولياء، ج 1/ص 392).

“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah”. (Hilyatul Auliya’, 1/392).

3. Pelaku bid’ah terhalang untuk mendapatkan syafa’at.

Pada sa’at menghadapi beratnya keada’an di hari kiamat nanti, semua manusia membutuhkan syafa’at untuk menghilangkan penderita’an. Namun celaka bagi para pelaku bid’ah, mereka justru akan di usir dan tidak akan mendapatkan syafa’at.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ – (متفق عليه).

“Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihissalam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri, maka kutanyakan : Ya Rabbi, mereka adalah sahabatku ? Akan tetapi jawabannya ialah : Kamu tidak tahu yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. (Muttafaq ‘Alaih).

4. Pelaku bid’ah akan menanggung dosa orang yang mengikutinya.

Kecelaka’an lainnya dari para pelaku bid’ah adalah di bebankannya kepada mereka sebagian dari dosa-dosa orang-orang yang di sesatkannya.

– Allah Ta’ala berfirman :

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ

“(ucapan mereka) Menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan)”. (QS. An-Nahl: 25).

– Allah Ta’ala juga berfirman :

وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ

“Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan”. (QS. Al-Ankabut: 13).

Imam Mujahid berkata : “Mereka memikul beban-beban dosa mereka, dan dosa-dosa orang yang menta’ati mereka, dan hal itu tidak meringankan siksa terhadap orang yang menta’ati mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ankabut: 13).

Ayat-ayat di atas di tujukan kepada orang-orang kafir namun hakekatnya di tujukan kepada siapapun secara umum. Yaitu mereka yang menyesatkan manusia, maka akan menanggung sebagian dari dosa-dosa orang-orang yang di sesatkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مثلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ من آثامهم شيئًا

“Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosanya semisal dengan dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun”. (HR. Muslim no 1017).

5. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat.

Masih beruntung bagi setiap manusia ketika melakukan perbuatan dosa kemudian menyadari dan bertaubat lalu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosanya. Namun ternyata para pelaku bid’ah mereka akan sangat sulit untuk bertaubat.

– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ حَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ – (رواه أبو الشيخ والطبراني والبيهقي وغيرهم).

“Sesungguhnya Allah mencegah setiap pelaku bid’ah dari taubat”. (H.R. Abu Syaikh dalam Tarikh Ashbahan, At Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman dan lainnya).

– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ – (رواه أبو داود وأحمد وغيرهما بسند حسن).

“Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan”. (H.R. Abu Dawud no 4597).

Para pelaku bid’ah di gambarkan dalam hadits di atas seperti anjing yang terkena penyakit rabies. Maksudnya sangat sulit anjing yang terkena penyakit rabies tersebut untuk di sembuhkan.

– Imam Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah (w. 161 H) berkata :

اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا

“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan. Dan pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya”. (Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, no. 238).

Sulitnya para pelaku bid’ah untuk bertaubat, dan kemudian meninggalkan amalan-amalan atau acara-acara bid’ahnya, karena mereka meyakini bahwa bid’ah-bid’ah yang di lakukannya sebagai amal ibadah.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Ahlul bid’ah tidak akan bertaubat selama ia menilai bahwa itu merupakan amalan yang baik. Karena taubat berpijak dari adanya kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan itu buruk. Sehingga dengan itu ia bisa bertaubat darinya. Jadi, selama perbuatan itu dianggap baik padahal pada hakikatnya jelek, maka ia tidak akan bertaubat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi taubat adalah sesuatu yang mungkin (dilakukan) dan terjadi, yaitu jika Allah Subhanahu wata’ala memberikan hidayah dan bimbingan kepadanya hingga ia dapat mengetahui kebenaran”. (At Tuhfatul Iraqiyyah, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah).

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : ”Rujuknya ahli bid’ah dari kesesatannya adalah hal yang paling sulit bagi mereka, karena mereka menganggap bahwa bid’ah yang mereka lakukan adalah bagian dari agama, mereka bertaqarrub kepada Allah dengan bid’ah tersebut. Ini yang mendorong mereka sulit bertaubat, menentang dan bahkan sombong”. (Fadhilatus Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali-Twit Ulama).

Bagaimana para pelaku bid’ah punya keinginan untuk bertaubat, sementara bid’ah-bid’ah yang di lakukannya di yakini sebagai ibadah.

Bukankah taubat itu berawal dari kesadaran, bahwa apa yang dilakukannya sebagai perbuatan dosa ?, sementara para pelaku bid’ah memandang segala rupa bid’ah yang di lakukannya sebagai amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

6. Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Al-Haud pada hari kiamat.

Pada hari kiamat manusia akan di giring dan di kumpulkan di Mauqif (Padang mahsyar). Sa’at itu manusia mengalami penderita’an yang berat sesuai dengan amal buruk yang mereka lakukan di dunia. Pada sa’at itu Allah Ta’ala menyediakan telaga (Al-Haudh) kepada setiap para Nabi supaya umatnya bisa minum dari setia telaga tersebut untuk menghilangkan penderita’an mereka.

Telaga yang diperuntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dari madu, lebih harum daripada minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh perjalanan sebulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka kaum Mukminin dari ummat beliau akan meminum seteguk air dari Al-Haudh (telaga) ini, maka ia tidak akan merasa haus lagi setelah itu selamanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا

“Airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih harum dibandingkan minyak misik. Bejananya bagaikan bintang-bintang di langit. Barang siapa minum darinya; niscaya ia tidak akan pernah merasa dahaga selamanya”. (HR. Bukhari no: 7579 dan Muslim no: 2292).

Itulah telaga (Al-Haud) yang di peruntukkan untuk umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata tidak semua umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat minum di telaga tersebut. Ada sebagian dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang justru akan di usir supaya menjauh. Diantara mereka yang di usir adalah para pelaku bid’ah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا – (رواه مسلم وابن ماجه وأحمد)

“Aku akan mendahului kalian menuju telaga. Sungguh, akan ada beberapa orang yang dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya onta yang kesasar. Aku memanggil mereka : “Hai datanglah kemari…!” namun dikatakan kepadaku : “Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu”. Maka kataku : “Menjauhlah kesana… menjauhlah kesana (kalau begitu)”. (HR. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306).

Begitulah keada’an mereka para pelaku bid’ah di Padang Mahsyar. Sa’at mereka menderita menahan dahaga dan ketika hendak minum dari Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka di halau seperti unta.

5. Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam kea…
[17.05, 9/6/2021] B. Purwantara (Abu Aish): Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal
Sekarang masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu Benarkah Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Untuk menjawab masalah ini kita harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.

Siapakah Asy’ariyah?
Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Benarkah pengakuan mereka? Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari akidah Ahlus Sunnah.
Allah l berfirman:
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111)
Kata pepatah Arab:
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila
Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya

Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah
Telah kita ketahui bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali al-Jubba’i, padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir, bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i t.
Berarti, di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah kita ketahui pula bahwa Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal t.
Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!

Sumber Ilmu Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah l dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka mengutamakan ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil).
Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah hujah dalam masalah akidah.
Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan hadits ahad dalam mengenal Allah l tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil
Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan lainnya
Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”
3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama dan sifat Allah l.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat), ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka sepeti Ihya Ulumudin.
(Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah)

Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah
Allah l menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu, Allah l berfirman:
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (al-Anam: 153)
Rasulullah n menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya, beliau n bersabda:
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di neraka dan 1 yang selamat. Mereka adalah al-jama’ah.”
dalam riwayat lain:
”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku.” merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.
Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah maka mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama.
Di antara penyimpangan mereka:
 
1. Dalam masalah tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah l. Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariat: 56)
 
2. Dalam masalah iman
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati).
Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan.
 
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah n.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
 
3. Dalam masalah asma wa sifat
Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
 
Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dan lainnya).
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah l dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
 
4. Dalam masalah al-Qur’an
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah l berfirman:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni al-Qur’an).” (at-Taubah: 6)
Rasulullah n bersabda:
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku (al-Qur’an).”
 
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat.
Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai akidah resmi dan memaksa semua orang untuk mempunyai keyakinan ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dengan dipenjara).
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam mushaf, dihafal di dada adalah al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
 
Al-Imam Ahmad t berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah l, dan sesuatu yang berasal dari Dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul bid’ah sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah)
 
Mu’tazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan Mu’tazilah karena mereka menyatakan al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.
Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi dan menyepakati Mu’tazilah dari sisi lainnya.
Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah, adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.”
Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah l tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah l berbicara tapi hanya dalam jiwanya, tidak terdengar.
 
5. Dalam masalah takdir
Mereka jabriyah dalam masalah takdir, hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.
 
6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah takwil/penyelewengan
Sebagai contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah. (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah dzat.” (Ushuluddin)
 
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah. (Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah l
Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah l lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.
 
8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l di atas makhluk-Nya.
 
9. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
 
10. Menetapkan Allah l dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di akhirat).
 
11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.
 
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu.
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Share:

HADIST TENTANG BAHAGIANYA ALLAH DENGAN TAUBATNYA SEORANG HAMBA

  Demi Allah, Allah Lebih Bahagia Dengan Taubatnya Seorang Hamba - Islampos

keutamaan dan faedah bertaubat dan beristighfar: Orang yg bertaubat meraih kecintaan Allah.
Allah berfirman

✅“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS Albaqoroh : 222)

✅dari Abu Hamzah Anas bin Maalik al-Anshoriy rodhiyallahu anhu –pelayan Rasulullah sholallahu alaihi wa salam- beliau berkata, Rasulullah sholallahu alaihi wa salam bersabda : “Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya, dibandingkan kegembiraan seseorang yang kehilangan Untanya dan tersesat di padang pasir

🎀Sungguh Allah sangat gembira dengan bertaubatnya seorang hamba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sungguh Allah lebih bergembira dengan taubat hambaNya tatkala bertaubat kepadaNya, daripada gembiranya salah seorang dari kalian yang bersama tunggangannya di padang pasir tiba-tiba tunggangannya tersebut hilang, padahal makanan dan minuman (perbekalan safarnya) berada di tunggangannya tersebut. Ia pun telah putus asa dari tunggangannya tersebut, lalu iapun mendatangi sebuah pohon lalu berbaring dibawah pohon tersebut (menunggu ajal menjemputnya). Tatkala ia sedang demikian tiba-tiba tunggangannya muncul kembali dan masih ada perbekalannya, maka iapun segera memegang tali kekang tunggangannya, lalu ia berkata karena sangat gembiranya, “Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanmu”
Ia salah berucap karena sangat gembiranya” (HR Muslim 2747)

✅omongan orang ini Terbalik, saking senangnya Seharusnya dia berkata ya Allah  Sesungguhnya engkau Adalah tuhanku Dan Aku Adalah hambamu

وعن أبي حمزةَ أنسِ بنِ مالكٍ الأنصاريِّ- خادِمِ رسولِ الله – صلى الله عليه وسلم – – – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – : (( للهُ أفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيرهِ وقد أضلَّهُ في أرضٍ فَلاةٍ مُتَّفَقٌ عليه .

وفي رواية لمُسْلمٍ : (( للهُ أَشَدُّ فَرَحاً بِتَوبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يتوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتهِ بأرضٍ فَلاةٍ ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابهُ فأَيِسَ مِنْهَا ، فَأَتى شَجَرَةً فاضطَجَعَ في ظِلِّهَا وقد أيِسَ مِنْ رَاحلَتهِ ، فَبَينَما هُوَ كَذَلِكَ إِذْ هُوَ بِها قائِمَةً عِندَهُ ، فَأَخَذَ بِخِطامِهَا ، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الفَرَحِ : اللَّهُمَّ أنْتَ عَبدِي وأنا رَبُّكَ ! أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الفَرَحِ ))

🎀nasehat Ibn Rajab, “Jika tak mampu bersaing dengan para shalihin dalam ibadahnya, berlombalah dengan para pendosa dalam istighfarnya.”

🎀Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Az Zumar: 53)

🎀“Tidakkah salah seorang di antara kami malu”, tanya seseorang di majelis Imam Hasan Al Bashri, “Jika dia berdosa lalu bertaubat. Tapi berdosa lagi lalu bertaubat lagi. Dan melakukan maksiat lagi kemudian beristighfar lagi?”

🎀Sang Imam tersenyum. “Tahukah kalian maksud terbesar syaithan?”, ujarnya. “Yakni agar kalian berputus asa dari rahmat Allah dan berhenti memohon ampun setelah mengulangi dosa. Maka jika dosa terjadi lagi, teruslah bertaubat. Maka jika maksiat terulang kembali, teruslah beristighfar.”

🎀Taubat bukan hanya menghapuskan dosa-dosa, bahkan merupakan sebab masuk surga
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS At-Tahriim delapan (8))

🎀Taubat merupakan sebab datangnya kemenangan. Allah berfirman :
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS An-Nuur : 31)

🎀Bertaubat menyebabkan terhalangnya adzab. Allah berfirman
وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun”
(QS Al-Anfaal : 33)

Disusun oleh Humaira medina
Share:

MENYIKAPI PENGUASA YANG KEJAM

Tafsir Tunggal, Hegemoni Penguasa, dan Intelektual Organik

Catatan sejarah membuktikan, setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i selalu melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang zalim.

Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 163)

Itulah salah satu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terlupakan atau tidak diketahui oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh kelompok pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip ini. Entah karena lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.

Barangkali akan ada yang mengatakan, “Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”

Untuk menjawab pernyataan itu, seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi rahimahullah berkata, “Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).

Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ نُوَلِّي بَعۡضَ ٱلظَّٰلِمِينَ بَعۡضَۢا بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ١٢٩

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)[1]

Dahulu juga dikatakan, ‘Apa yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh amalmu’.”

Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)

Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan perbuatan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!

Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian, namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.
Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.

Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi penguasa.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dan azab Allah subhanahu wa ta’ala itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah subhanahu wa ta’ala jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri rahimahullah, hlm. 38, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).

Perlu pula diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai al-Mubir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.

tumpah-darah

Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekadar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)

Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam sejarah selalu ada orang semacam ini. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengabarkan akan adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda beliau berikut ini:

يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.”

(Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?”

Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَاْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.”

Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?”

Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُوْنَ حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ … قَالَ: اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”…

Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR. Muslim)

Maknanya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di antara manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika mereka melakukannya, mendapat pahala; dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 119)

شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.”

Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?”

Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)

Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu:

قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ –فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا

Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)

Sabar
Itulah penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar, taat, menunaikan hak, dan sebagainya, sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang lebih baik selain itu.

Menyikapi penguasa yang zalim jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah (kecemburuan) keagamaan tanpa mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena bagaimanapun, kita tidak lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat maksiat dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu, Allah haramkan hal-hal yang keji, baik yang tampak maupun yang tidak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah radhiallahu ‘anhu)

Ketika Abu Dzar radhiallahu ‘anhu keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman radhiallahu ‘anhu disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.”

Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Arsip Blog

Cari