Sungguh rugi di dunia dan di akhirat bagi para pelaku bid’ah. Di dunia rugi karena mereka melakukan amalan-amalan bid’ahnya tidak terlepas dari pengorbanan waktu dan tenaga bahkan biaya yang tidak sedikit yang mereka keluarkan untuk membiayai acara-acara bid’ah mereka. Padahal apabila biaya yang mereka keluarkan digunakan untuk membiayai syi’ar Islam yang di syari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, maka tentu saja mereka akan mendapatkan keuntungan berupa balasan pahala. Selain rugi di dunia, mereka juga akan mengalami kerugian di akhirat kelak, karena mereka telah melakukan kesesatan dalam agama. Mereka mendekatkan diri (taqorrub ilallah) dengan cara-cara yang tidak di syari’atkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Manusia yang berakal ketika beribadah kepada Allah Ta’ala yang di harapkan tentu saja adalah balasan pahala yang melimpah. Tidak ada orang yang beribadah menghendaki kesia-sia’an. Oleh karena itu hendaklah manusia beribadah sesuai dengan yang di syari’atkan. Tidak membuat-buat syari’at baru yang tidak di ajarkan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Karena apabila beribadah dengan cara-cara yang tidak di syari’atkan, maka bukan pahala yang akan di peroleh tapi justru akan mendapatkan kerugian. Amalan mereka para pelaku bid’ah akan tertolak. Sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam perkara kami ini yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak“. (H.R al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْه ِأَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah kami, maka tertolak”. (H.R Muslim).
Dan lebih dari itu, selain amalan mereka di tolak juga akan mendapatkan adzab neraka sebagai akibat dari kesesatannya.
• Akibat Buruk dari Bid’ah
Dalam beberapa kesempatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya untuk tidak berbuat bid’ah. Karena bid’ah adalah kesesatan.
Diantara peringatannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat”. (HR. Muslim no. 867).
Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dan melarang suatu perkara, kalau bukan perkara tersebut mendatangkan banyak keburukan. Dan berikut ini beberapa akibat buruk dari prilaku bid’ah berdasarkan keterangan dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya,
1. Pelaku bid’ah akan mendapatkan laknat Allah Ta’ala.
Pelaku bid’ah yang dimaksud adalah mereka yang gemar melakukan kebid’ahan, bukan mereka yang tidak sengaja berbuat bid’ah. Maka balasan bagi mereka adalah laknat dari Allah Ta’ala. Sebagaimana yang di sabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah atau melindungi/membantu pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia”. (HR Bukhary,1870 dan Muslim, 1370).
Sungguh rugi para pelaku bid’ah, padahal mereka beribadah mengharapkan pahala, akan tetapi malah justru mendapatkan laknat.
2. Pelaku bid’ah akan semakin jauh dari Allah Ta’ala.
Tujuan dari ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala (taqorrub ilallah). Namun dengan berbuat bid’ah justru malah sebaliknya akan menjadikan jauh dari Allah Ta’ala.
Sebagaimana yang di riwayatkan dari Ayyub As-Sikhtiyani, salah seorang tokoh tabi’in, bahwa beliau mengatakan :
مَا ازْدَادَ صَاحِبُ بِدْعَةٍ اِجْتِهَاداً، إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللهِ بُعْداً – (حلية الأولياء، ج 1/ص 392).
“Semakin giat pelaku bid’ah dalam beribadah, semakin jauh pula ia dari Allah”. (Hilyatul Auliya’, 1/392).
3. Pelaku bid’ah terhalang untuk mendapatkan syafa’at.
Pada sa’at menghadapi beratnya keada’an di hari kiamat nanti, semua manusia membutuhkan syafa’at untuk menghilangkan penderita’an. Namun celaka bagi para pelaku bid’ah, mereka justru akan di usir dan tidak akan mendapatkan syafa’at.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
.
أَلَا وَإِنَّ أَوَّلَ الْخَلَائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاءُ بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِي فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ – (متفق عليه).
“Sesungguhnya manusia pertama yang diberi pakaian pada hari kiamat ialah Ibrahim ‘alaihissalam. Ingatlah, bahwa nanti akan ada sekelompok umatku yang dihalau ke sebelah kiri, maka kutanyakan : Ya Rabbi, mereka adalah sahabatku ? Akan tetapi jawabannya ialah : Kamu tidak tahu yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. (Muttafaq ‘Alaih).
4. Pelaku bid’ah akan menanggung dosa orang yang mengikutinya.
Kecelaka’an lainnya dari para pelaku bid’ah adalah di bebankannya kepada mereka sebagian dari dosa-dosa orang-orang yang di sesatkannya.
– Allah Ta’ala berfirman :
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“(ucapan mereka) Menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun (bahwa mereka disesatkan)”. (QS. An-Nahl: 25).
– Allah Ta’ala juga berfirman :
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ
“Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri, dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan”. (QS. Al-Ankabut: 13).
Imam Mujahid berkata : “Mereka memikul beban-beban dosa mereka, dan dosa-dosa orang yang menta’ati mereka, dan hal itu tidak meringankan siksa terhadap orang yang menta’ati mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ankabut: 13).
Ayat-ayat di atas di tujukan kepada orang-orang kafir namun hakekatnya di tujukan kepada siapapun secara umum. Yaitu mereka yang menyesatkan manusia, maka akan menanggung sebagian dari dosa-dosa orang-orang yang di sesatkannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مثلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ من آثامهم شيئًا
“Dan barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosanya semisal dengan dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun”. (HR. Muslim no 1017).
5. Pelaku bid’ah sangat sulit untuk bertaubat.
Masih beruntung bagi setiap manusia ketika melakukan perbuatan dosa kemudian menyadari dan bertaubat lalu meninggalkan perbuatan-perbuatan dosanya. Namun ternyata para pelaku bid’ah mereka akan sangat sulit untuk bertaubat.
– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ حَجَزَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ – (رواه أبو الشيخ والطبراني والبيهقي وغيرهم).
“Sesungguhnya Allah mencegah setiap pelaku bid’ah dari taubat”. (H.R. Abu Syaikh dalam Tarikh Ashbahan, At Thabrani dalam Al Mu’jamul Ausath, Al Baihaqy dalam Syu’abul Iman dan lainnya).
– Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَإِنَّهُ سَيَخْرُجُ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ تَجَارَى بِهِمْ تِلْكَ الْأَهْوَاءُ كَمَا يَتَجَارَى الْكَلْبُ بِصَاحِبِهِ لَا يَبْقَى مِنْهُ عِرْقٌ وَلَا مَفْصِلٌ إِلَّا دَخَلَهُ وَاللَّهِ يَا مَعْشَرَ الْعَرَبِ لَئِنْ لَمْ تَقُومُوا بِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَغَيْرُكُمْ مِنْ النَّاسِ أَحْرَى أَنْ لَا يَقُومَ بِهِ – (رواه أبو داود وأحمد وغيرهما بسند حسن).
“Nanti akan muncul pada umatku sekelompok orang yang kerasukan bid’ah dan hawa nafsu sebagaimana anjing kerasukan rabies, tak tersisa satu pun dari urat dan sendinya melainkan telah kerasukan”. (H.R. Abu Dawud no 4597).
Para pelaku bid’ah di gambarkan dalam hadits di atas seperti anjing yang terkena penyakit rabies. Maksudnya sangat sulit anjing yang terkena penyakit rabies tersebut untuk di sembuhkan.
– Imam Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah (w. 161 H) berkata :
اَلْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيْسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ وَالْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا وَالْبِدْعَةُ لاَ يُتَابُ مِنْهَا
“Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiatan. Dan pelaku kemaksiatan masih mungkin ia untuk bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya”. (Riwayat al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, no. 238).
Sulitnya para pelaku bid’ah untuk bertaubat, dan kemudian meninggalkan amalan-amalan atau acara-acara bid’ahnya, karena mereka meyakini bahwa bid’ah-bid’ah yang di lakukannya sebagai amal ibadah.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata : “Ahlul bid’ah tidak akan bertaubat selama ia menilai bahwa itu merupakan amalan yang baik. Karena taubat berpijak dari adanya kesadaran bahwa perbuatan yang dilakukan itu buruk. Sehingga dengan itu ia bisa bertaubat darinya. Jadi, selama perbuatan itu dianggap baik padahal pada hakikatnya jelek, maka ia tidak akan bertaubat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi taubat adalah sesuatu yang mungkin (dilakukan) dan terjadi, yaitu jika Allah Subhanahu wata’ala memberikan hidayah dan bimbingan kepadanya hingga ia dapat mengetahui kebenaran”. (At Tuhfatul Iraqiyyah, Syaikhul Islam ibnu Taimiyah).
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : ”Rujuknya ahli bid’ah dari kesesatannya adalah hal yang paling sulit bagi mereka, karena mereka menganggap bahwa bid’ah yang mereka lakukan adalah bagian dari agama, mereka bertaqarrub kepada Allah dengan bid’ah tersebut. Ini yang mendorong mereka sulit bertaubat, menentang dan bahkan sombong”. (Fadhilatus Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali-Twit Ulama).
Bagaimana para pelaku bid’ah punya keinginan untuk bertaubat, sementara bid’ah-bid’ah yang di lakukannya di yakini sebagai ibadah.
Bukankah taubat itu berawal dari kesadaran, bahwa apa yang dilakukannya sebagai perbuatan dosa ?, sementara para pelaku bid’ah memandang segala rupa bid’ah yang di lakukannya sebagai amal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
6. Pelaku bid’ah akan di usir dari telaga Al-Haud pada hari kiamat.
Pada hari kiamat manusia akan di giring dan di kumpulkan di Mauqif (Padang mahsyar). Sa’at itu manusia mengalami penderita’an yang berat sesuai dengan amal buruk yang mereka lakukan di dunia. Pada sa’at itu Allah Ta’ala menyediakan telaga (Al-Haudh) kepada setiap para Nabi supaya umatnya bisa minum dari setia telaga tersebut untuk menghilangkan penderita’an mereka.
Telaga yang diperuntukkan bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam airnya lebih putih daripada susu, lebih manis dari madu, lebih harum daripada minyak kesturi, panjang dan lebarnya sejauh perjalanan sebulan, bejana-bejananya seindah dan sebanyak bintang di langit. Maka kaum Mukminin dari ummat beliau akan meminum seteguk air dari Al-Haudh (telaga) ini, maka ia tidak akan merasa haus lagi setelah itu selamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَوْضِي مَسِيرَةُ شَهْرٍ مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا
“Airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih harum dibandingkan minyak misik. Bejananya bagaikan bintang-bintang di langit. Barang siapa minum darinya; niscaya ia tidak akan pernah merasa dahaga selamanya”. (HR. Bukhari no: 7579 dan Muslim no: 2292).
Itulah telaga (Al-Haud) yang di peruntukkan untuk umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun ternyata tidak semua umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat minum di telaga tersebut. Ada sebagian dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang justru akan di usir supaya menjauh. Diantara mereka yang di usir adalah para pelaku bid’ah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ أَلَا لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا – (رواه مسلم وابن ماجه وأحمد)
“Aku akan mendahului kalian menuju telaga. Sungguh, akan ada beberapa orang yang dihalau dari telagaku sebagaimana dihalaunya onta yang kesasar. Aku memanggil mereka : “Hai datanglah kemari…!” namun dikatakan kepadaku : “Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu”. Maka kataku : “Menjauhlah kesana… menjauhlah kesana (kalau begitu)”. (HR. Muslim no 249, Ibnu Majah no 4306).
Begitulah keada’an mereka para pelaku bid’ah di Padang Mahsyar. Sa’at mereka menderita menahan dahaga dan ketika hendak minum dari Telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka di halau seperti unta.
5. Pelaku bid’ah dikhawatirkan akan mati dalam kea…
[17.05, 9/6/2021] B. Purwantara (Abu Aish): Setelah kita menelusuri sosok Imam Abul Hasan al-Asy’ari, ternyata beliau adalah salah seorang ulama Ahlus Sunnah, bahkan dengan tegas beliau menyatakan berakidah seperti akidah al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal
Sekarang masih ada satu pertanyaan yang perlu kita jawab, yaitu Benarkah Asy’ariyah termasuk golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah?
Untuk menjawab masalah ini kita harus mengetahui hakikat kelompok ini dan pemikiran-pemikirannya.
Siapakah Asy’ariyah?
Kelompok Asy’ariyah adalah kelompok yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah dan menganut paham al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Benarkah pengakuan mereka? Karena banyak yang mengaku dirinya sebagai Ahlus Sunnah, padahal akidahnya jauh dari akidah Ahlus Sunnah.
Allah l berfirman:
“Datangkanlah bukti kalian, jika kalian orang-orang yang benar.” (al-Baqarah: 111)
Kata pepatah Arab:
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila
Padahal Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya
Sejarah Munculnya Paham Asy’ariyah
Telah kita ketahui bahwa bibit pemikiran Asy’ariyah muncul ketika Abul Hasan al-Asy’ari mengkritisi pemikiran Mu’tazilah ayah tirinya yakni Abu Ali al-Jubba’i, padahal itu terjadi jauh setelah masa generasi utama berakhir, bahkan setelah zaman Imam Ahlus Sunnah al-Imam Syafi’i t.
Berarti, di zaman sahabat, tabiin, tabiut tabiin, bahkan di zaman al-Imam Malik, Abu Hanifah, dan al-Imam Syafi’i, belum ada yang namanya paham Asy’ariyah. Telah kita ketahui pula bahwa Abul Hasan al-Asy’ari sendiri telah rujuk dari pendapatnya, menegaskan bahwa beliau di atas akidah al-Imam Ahmad bin Hanbal t.
Jadi siapakah panutan Asy’ariyah, jika imam yang empat saja tidak mengenal paham mereka?!
Sumber Ilmu Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah satu kelompok ahlul kalam, yakni mereka yang berbicara tentang Allah l dan agama-Nya tidak berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, mereka mengutamakan ra’yu (akal) mereka dalam membahas perkara agama. Oleh karena itu, kita akan mendapatkan penyimpangan mereka dalam ber-istidlal (pengambilan dalil).
Di antara prinsip mereka yang menyimpang dalam berdalil:
1. Dalil-dalil sam’i adalah dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah mutawatir, bukan hadits-hadits ahad, karena hadits ahad bukanlah hujah dalam masalah akidah.
Ar-Razi berkata dalam Asasut Tadqis, “Adapun berpegang dengan hadits ahad dalam mengenal Allah l tidaklah diperbolehkan.”
2. Mendahulukan akal daripada dalil
Hal ini telah disebutkan oleh al-Juwaini, ar-Razi, al-Ghazali, dan lainnya
Sebagai contoh: Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”
3. Nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah dhaniyatud dalalah (kandungannya hanya bersifat kira-kira), tidak menetapkan keyakinan dan kepastian.
4. Menakwil nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah tentang nama-nama dan sifat Allah l.
5. Sering menukil ucapan falasifah (orang-orang filsafat), ini kental sekali dalam kitab-kitab mereka sepeti Ihya Ulumudin.
(Lihat Ta’kid Musallamat Salafiyah, Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asyairah)
Penyimpangan-Penyimpangan Asy’ariyah
Allah l menjelaskan bahwa jalan kebenaran hanya satu, Allah l berfirman:
“Dan inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia.” (al-Anam: 153)
Rasulullah n menjelaskan bahwa jalan tersebut adalah jalannya dan jalan yang telah ditempuh para sahabatnya, beliau n bersabda:
“Umatku terpecah menjadi 73 golongan: 72 di neraka dan 1 yang selamat. Mereka adalah al-jama’ah.”
dalam riwayat lain:
”(mereka adalah yang berjalan) di atas jalanku dan jalan sahabatku.” merekalah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Hadits.
Ketika Asy’ariyah menyelisihi jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah maka mereka pun terjatuh dalam penyimpangan-penyimpangan dalam prinsip agama.
Di antara penyimpangan mereka:
1. Dalam masalah tauhid
Asy’ariyah menyatakan tauhid adalah (sekadar) menafikan berbilangnya pencipta… sehingga umumnya mereka menafsirkan kalimat tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah, yaitu tidak ada pencipta atau tidak ada yang bisa mencipta selain Allah l. Mayoritas mereka tidak mengenal tauhid uluhiyah.
Adapun Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid ada tiga: tauhid rububiyah, uluhiyah, dan asma wa sifat.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa tauhid adalah kewajiban pertama atas seorang hamba, terkhusus tauhid uluhiyah, karena untuk itulah manusia diciptakan. Allah l berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariat: 56)
2. Dalam masalah iman
Asy’ariyah dalam masalah iman di atas mazhab Murji’ah Jahmiyah. Mereka menyatakan iman hanyalah tasdiq bilqalbi (pembenaran dengan hati).
Mereka menyatakan bahwa iman hanyalah membenarkan. Mereka tidak menyatakan amal termasuk dari iman dan tidak memvonis seseorang telah terjatuh dalam kekafiran dengan semata kesalahan amalan anggota badan.
Mereka pun akhirnya terjatuh dalam menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah n.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan bahwa iman adalah keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan, bisa bertambah dan berkurang. Iman bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan sebab perbuatan maksiat.
3. Dalam masalah asma wa sifat
Asy’ariyah memiliki kebid’ahan dengan menetapkan sifat ma’ani tujuh sifat saja. Dasar mereka dalam menetapkannya adalah akal. Tujuh sifat yang mereka tetapkan pun tidak bermakna seperti makna yang ditetapkan Ahlus Sunnah.
Kemudian ditambah oleh seorang tokoh mereka yakni as-Sanusi menjadi dua puluh. Mereka mengingkari sifat-sifat lainnya yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka tidak menetapkan satu pun sifat fi’liyah bagi Allah l (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dan lainnya).
Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan semua nama Allah l dan sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa tahrif, takwil (penyelewengan), dan tamtsil (penyerupaan dengan makhluk).
4. Dalam masalah al-Qur’an
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Dalil-dalil tentang masalah ini sangatlah banyak. Allah l berfirman:
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah (yakni al-Qur’an).” (at-Taubah: 6)
Rasulullah n bersabda:
“Adakah kaum yang mau membawa dan melindungiku, karena sesungguhnya Quraisy telah mencegahku untuk menyampaikan kalam Rabbku (al-Qur’an).”
Dalam masalah inilah para ulama Ahlus Sunnah dizalimi. Al-Imam Ahmad dan para ulama Ahlus Sunnah lainnya mendapatkan cobaan yang dahsyat.
Orang-orang Mu’tazilah berhasil menghasut penguasa ketika itu sehingga menjadikan paham Mu’tazilah sebagai akidah resmi dan memaksa semua orang untuk mempunyai keyakinan ini.
Berapa banyak para ulama Ahlus Sunnah meninggal dalam mempertahankan akidah Ahlus Sunnah dan sebagian lainnya terzalimi (di antaranya dengan dipenjara).
Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa semua yang tertulis dalam mushaf, dihafal di dada adalah al-Qur’an. Ahlus Sunnah meyakini bahwa kalamullah adalah dengan huruf dan suara, dapat didengar dan dapat dimengerti.
Al-Imam Ahmad t berkata, “Al-Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Jangan engkau lemah untuk mengatakan, ‘Bukan makhluk.’ Sesungguhnya kalamullah itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dzat Allah l, dan sesuatu yang berasal dari Dzatnya itu bukanlah makhluk. Jauhilah berdebat dengan orang yang hina dalam masalah ini dan golongan lafzhiyah (ahlul bid’ah yang mengatakan, ‘Lafadzku ketika membaca al-Qur’an adalah makhluk’) dan lainnya atau dengan orang yang tawaquf (abstain) dalam masalah ini yang berkata, ‘Aku tidak tahu al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk, tetapi yang jelas al-Qur’an itu adalah kalamullah’. Orang ini (yang tawaquf) adalah ahlul bid’ah sebagaimana halnya orang yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ketahuilah, (keyakinan Ahlus Sunnah adalah) al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.” (Lihat Ushulus Sunnah)
Mu’tazilah telah sesat dalam masalah ini dan lainnya. Kesesatan Mu’tazilah karena mereka menyatakan al-Qur’an adalah makhluk bukan kalamullah.
Adapun penyimpangan Asy’ariyah karena mereka mencocoki Ahlus Sunnah dari satu sisi dan menyepakati Mu’tazilah dari sisi lainnya.
Kaum Asy’ariyah berkata, “Al-Qur’an maknanya adalah kalamullah, adapun lafadznya adalah hikayat (ungkapan) dari kalamullah, artinya lafadz al-Qur’an, menurut mereka, adalah makhluk.”
Hal ini karena dalam pandangan Mu’tazilah, Allah l tidak berbicara, dan dalam pandangan Asy’ariyah Allah l berbicara tapi hanya dalam jiwanya, tidak terdengar.
5. Dalam masalah takdir
Mereka jabriyah dalam masalah takdir, hanya menetapkan iradah (kehendak) kauniyah dan tidak menetapkan iradah syar’iyah. Menurut mereka, seorang hamba tidak memiliki qudrah (kuasa), mereka hanya menetapkan kemampuan dan qudrah seorang hamba ketika berbuat saja, mereka menafikan adanya qudrah hamba sebelum berbuat.
Adapun Ahlus Sunnah menetapkan adanya iradah kauniyah dan syar’iyah, menetapkan masyiah dan qudrah bagi hamba.
6. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah takwil/penyelewengan
Sebagai contoh, ar-Razi dan al-Amidy menakwilkan makna istiwa menjadi: menguasai, mengalahkan, serta pasti terjadinya takdir dan hukum ilahiyah. (Asasut Taqdis dan Ghayatul Maram)
Contoh lain, menakwilkan sifat wajah. Al-Baghdadi berkata, “Yang sahih menurut kami yang dimaksud wajah adalah dzat.” (Ushuluddin)
Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa takwil yang ada di tengah-tengah manusia seperti takwil yang disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar ar-Razi dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid al-Ghazali, takwil-takwil tersebut adalah takwil yang bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah. (Lihat Majmu Fatawa: 5/23)
7. Penyimpangan Asy’ariyah dalam masalah illat (sebab/hikmah) dalam perbuatan Allah l
Mereka tidak menetapkan ‘ilat (sebab) dan hikmah bagi perbuatan Allah l.
Adapun Ahlus Sunnah menyatakan semua yang Allah l lakukan mengandung hikmah yang sangat tinggi.
8. Orang-orang Asy’ariyah setelah masa Abul Ma’ali al-Juwaini mengingkari bahwa Allah l di atas makhluk-Nya.
9. Mereka memperluas permasalahan karamah hingga menyatakan bahwa mukjizat para nabi mungkin saja terjadi atas para wali.
10. Menetapkan Allah l dilihat tanpa dari arah. Hingga akhir ucapan mereka mengingkari ru’yah (bahwa kaum mukminin akan melihat Allah l di akhirat).
11. Menyatakan akal tidak bisa menetapkan baik buruknya sesuatu.
12. Menyatakan tidak sah keislaman seseorang setelah mukallaf sampai ragu terlebih dahulu.
(Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hlm. 35—36, dan Mauqif Ibnu Taimiyah minal Asya’irah)
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)