Oleh: Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah[1]
Allah berfirman:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas 'Arsy. (QS. Thaha : 5)
Allah berfirman seperti ayat diatas pada tujuh ayat Al-Qur’an dan istiwa’ Allah disini sesuai hakikatnya (yaitu Allah tinggi di atas 'Arsy) menurut semua kelompok kaum muslimin melainkan kelompok Jahmiyah dan yang sesuai dengan mereka. Mereka mengatakan bahwa Istiwa’ diatas itu majaz (kiasan), kemudian mereka berselisih tentang makna majaznya. Tapi yang masyhur dari mereka adalah apa yang diceritakan oleh (Imam Abul Hasan) Al-Asy’ari dari mereka dan beliau membid’ahkan mereka serta menyesatkan mereka, yaitu mereka mentakwil makna Istiwa’ dengan menguasai. Apa yang mereka ucapkan ini batil dilihat dari 42 sisi (tapi kita sebutkan 10 saja-pent):
1. Sesungguhnya kata istiwa’ di dalam bahasa arab yang Allah berbicara dengan kita lewat bahasa mereka dan Dia menurunkan kitab-Nya dengannya ada dua bentuk: mutlak dan muqayyad (terikat). Yang mutlak adalah yang tidak bersambung dengan huruf, seperti firman-Nya:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ ۥ وَٱسۡتَوَىٰٓ
Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya. (QS. Al-Qashash : 14)
Makna istawa disini adalah sempurna.
Adapun yang muqayyad, maka ada tiga bentuk:
A. Muqayyad dengan huruf إلى (ilaa)seperti dalam firman-Nya:
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعً۬ا ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia tinggi di atas langit. (QS. Al-Baqarah : 29)
Maka ini bermakna tinggi, sesuai kesepakatan para salaf.
B. Muqayyad dengan huruf على ('ala) seperti dalam firman-Nya:
لِتَسۡتَوُ ۥاْ عَلَىٰ ظُهُورِهِ
Supaya kamu duduk di atas punggungnya. (QS. Az-Zukhruf : 13)
Maka ini juga bermakna tinggi sesuai kesepakatan ahli bahasa.
C. Muqayyad dengan huruf و (wawu) (ma’a) seperti dikatakan: Istawa al-maau (air) wa Al-Khasyabah (kayu), maknanya setara dengannya. Inilah makna Istiwa’ yang benar menurut bahasa arab dan tidak ada yang bermakna menguasai sama sekali. Tidak ada satu ahli bahasa arab yang bisa dijadikan referensi yang menukilkan makna Istiwa’ itu menguasai. Sesunguhnya yang mengatakan Istiwa’ bermakna menguasai adalah sekelompok ahli nahwu yang terkontaminasi dengan pemikiran kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah.
2. Sesungguhnya yang mengatakan Istiwa’ bermakna menguasai tidaklah memiliki dalil, namun hanya dusta belaka. Mereka hanya berdalil dengan ucapan seorang penyair.
قد استوى بشر على العراق من غير سيف أو دم مهراق
Sungguh Bisyir telah menguasai Irak Tanpa (hunusan) pedang atau pertumpahan darah
Bait syair ini bukan dari syair arab (yang bisa dijadikan referensi).
3. Sesungguhnya para pakar bahasa arab ketika mendengar takwil mereka tersebut langsung mengingkarinya dengan keras. Ibnu Al-A’raabi pernah ditanya: Apakah benar jika Istawa ditafsirkan dengan Istaula/menguasai? beliau menjawab: Orang arab tidak mengetahui makna tersebut. Dan beliau adalah senior imam bahasa arab.
4. Al-Khaththaabi pernah berkata di dalam kitabnya “Syiar Ad-Diin”: Ucapan bahwa Allah ada di atas Arsy. Kemudian beliau membawakan dalil dari ayat-ayat Al-Qur’an seraya berkata: Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah ada di atas langit, tinggi di atas Arsy. Dan telah menjadi sesuatu yang lumrah dalam diri kaum muslimin baik yang awam atau yang alim untuk mereka berdoa kepada Rabb mereka ketika bermunajat dengan mengangkat kedua tangan mereka ke atas langit. Itu semua dikarenakan ilmu tentang Allah (yang dimunajati) ada di atas langit. Kemudian beliau juga berkata: Sebagian orang mengira bahwa maknanya adalah menguasai dengan berdasarkan kepada bait syair yang misterius, yang tidak diucapkan oleh seorang penyair arab yang masyhur yang bisa dijadikan sebagai hujjah. Seandainya makna Istiwa’ adalah menguasai, maka ucapan (ayat di atas) itu tidak ada faidahnya. Hal ini karena ilmu dan kekuasaan Allah meliputi segala sesuatu, meliputi semua tempat baik di langit maupun di bumi dan yang di bawah Arsy. Maka adakah makna pengkhususan disebutkannya Arsy? Kemudian ada makna yang tersirat dari Istiila’/menguasai yaitu adanya perebutan. Apabila telah menang (merebut), maka dikatakan dia telah menguasainya (apakah terjadi perebutan arsy antara Allah dan selain-Nya- pent). Inilah ucapan beliau dan beliau termasuk imam bahasa arab.
5. Sesungguhnya menafsirkan Istiwa’ dengan menguasai termasuk menafsirkan Kalamullah/firman Allah dengan akal semata yang tidak pernah dilakukan oleh seorang sahabat Nabi atau tabi’in, atau imam kaum muslimin atau salah seorang dari ahli tafsir yang mereka meriwayatkan dari para salaf.
6. Sesungguhnya menafsirkan Al-Qur’an yang menyelisihi penafsiran para salaf mengandung dua kemungkinan:
a. Itu penafsiran yang salah
b. Ucapan salaf itu yang salah. Orang yang berakal tidak meragukan lagi bahwa ucapan yang menyelisihi ucapan salaf itulah yang keliru.
7. Sesungguhnya kata Istiwa’ ini telah disebutkan berulang-ulang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan tidak disebutkan sama sekali dengan kata Istiila’/menguasai. Seandainya maknanya adalah Istiila’/menguasai maka akan disebut di banyak tempat dengan kata Istiila’/Istaula. Dan apabila dalam salah satu tempat disebutkan dengan kata Istiwa’ maka dimaknai dengan Istiila’ karena itu yang sudah dikenal. Adapun kalau suatu kata itu disebutkan berulang kali dengan istilah/bahasa yang sama lalu dipalingkan kepada makna yang lain yang tidak pernah disebutkan, maka ini adalah puncak kesalahan dan ini bukanlah yang dimaksudkan oleh yang menginginkan penjelasan.
8. Di dalam ayat tersebut ada kata ثم yang artinya adalah kemudian. Jika Istiwa’ disitu dimaknai menguasai, maka tidak mungkin Allah menguasai Arsy setelah penciptaan langit dan bumi. Karena Arsy sudah ada 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
9. Sesungguhnya telah terjadi ijma’/kesepakatan (diantara ulama ahlussunnah wal jamaah) bahwa Allah tinggi di atas Arsy secara hakikatnya bukan majaz.
- Berkata Imam Abu Umar Ath-Thalamanki –salah seorang ulama Malikiyah dan beliau juga guru dari imam Abu Umar ibnu Abdi Al-Barr- di dalam kitabnya Al-Wushul ila ma’rifah Al-Ushul: Ahlussunnah telah bersepakat bahwa Allah ada di atas Arsy-Nya sesuai dengan hakikatnya dan bukan majaz.
- Imam Ibnu Abdi Al-Barr di dalam kitabnya At-Tamhiid berkata tentang hadits turunnya Allah (ke langit dunia): Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Allah di atas langit di atas Arsy yang ada di atas langit yang ke tujuh, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama.
- Imam Al- Qurthubi berkata di dalam kitab tafsirnya yang masyhur tentang firman-Nya:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Allah yang Maha Pemurah tinggi di atas 'Arsy. (QS. Thaha : 5)
Tidak ada seorang pun dari para salafusshalih yang mengingkari bahwa Allah tinggi di atas Arsy secara hakikatnya. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bagaimananya Istiwa’ Allah itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik: Makna Istiwa’ itu sudah dimaklumi dan bagaimananya tidak diketahui.
10. Sesungguhnya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari telah meriwayatkan ijma’ ahlissunnah akan kebatilan tafsir Istiwa’ dengan Istiila’ (menguasai).
-----------------------------------------------
[1] Diringkas dan diterjemahkan dari kitab Mukhtashar As-Sawaa’iq Al-Mursalah hal.352-359.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar