}

Dasar dasar Tauhid

Hasil gambar untuk tauhidDasar dasar dalam bertauhid sangat di butuhkan agar pemahaman terhadap agama yang sempurna ini tidak salah arah untuk lebih jelas memahami dasar dasar tauhid silahkan download ling di bawah ini


Dasar dasar Tauhid
Share:

NASEHAT UNTUK PENDIRI ORGANISASI, JAMA’AH DAN PARTAI

[Tafsir Al-Qur’an Surat Al-An’am ; 159]

Oleh
Al-Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Artinya ; Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Alloh, kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” [Al-An’am ; 159]

MUQADDIMAH
Lembaga Dakwah pada zaman sekarang menyebar di mana-mana. Mereka mendirikan organisasi, partai dan beberapa jama’ah, mereka berdalih untuk memperjuangkan Islam. Akan tetapi kenyataan yang ada, mereka saling berpecah-belah. Mereka merasa kelompoknya yang paling benar, para pengikutnya pun merasa bangga dengan pemimpinnya, keputusan pemimpin seperti wahyu ilahiah yang tidak boleh dibantah dan harus ditaati, terancam jiwanya bila dikritik karena salah keputusannya, mau mengkritik akan tetapi tidak mau dikritik, kadang kala menolak da’i yang bukan golongannya apabila dianggap merugikan kelompoknya sekalipun da’i itu benar, mereka merasa sedih bila anggotanya keluar. Inilah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bagi orang yang tahu hakikatnya. Benarkah demikian cara kita memperjuangkan Islam? Insya Alloh dengan menyimak pembahasan berikut ini dan fatwa ulama Sunnah kita akan tahu jawabannya.

MAKNA AYAT SECARA UMUM
Ibnu Katsit rahimahullah berkata : “Pemeluk agama sebelumnya berselisih satu sama lain di dalam pola berfikir. Masing-masing mengaku bahwa kelompoknya yang benar, umat ini pun berselisih satu sama lain di dalam beragama, semuanya tersesat kecuali satu yaitu Ahlus Su’nnah wal Jama’ah, yaitu mereka yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan generasi pertama dari kalangan Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan para tabi’in dan para ulama kaum muslimin (salaf) dahulu dan sekarang, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrok-nya ketika Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang golongan yang selamat, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Mereka adalah orang yang mengikuti Sunnahku pada hari ini dan Sahabatku” [Tafsir Ibnu Katsir 5/282]

Ayat ini diperhatikan secara serius oleh ulama Sunnah, oleh karena itu sungguh amat beruntung apabila kita dalat mengambil ilmu mereka. Mari kita simak nasehat mereka.

FAWAID AYAT
[a]. Tanda orang musyrik, mereka suka berpecah-belah.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Orang musyrik suka mengganti dan merubah agamanya, mereka beriman terhadap sebagian akan tetapi menolak sebagian yang lain. Mereka meninggalkan agamanya seperti orang Yahudi, Nasrani, Majusi, penyembah berhala dan semua pengikut agama yang bathil sebagaimana dicantumkan di dalam ayat ini (Al-An’am ; 159)” [Tafsir Ibnu Katsir 6/282)

[b]. Hindari partai dan golongan yang merusak persatuan umat dan agama
Ibnu Jarir At-Thobari rahimahullah berkata : “Orang yang tersesat mereka meninggalkan agamanya dan sungguh partai dan golongan telah memecah belah agama yang diridhoi Alloh untuk para hamba-Nya, sehingga sebagian menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. Inilah yang dinamakan perpecahan, mereka bergolong-golongan tidak mau bersatu, mereka mengerti agama yang benar, akan tetapi meninggalkannya dan memecah-belah” [Tafsir At-Thobari 8/78]

[c]. Pemecah-belah umat bukan golongan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Syaikh dari As-Sudi bahwa maksud ayat “ wahai Nabi kamu tidak diperintah untuk memerangi mereka”, lalu dihapus ketetapan ini dengan surat Al-Baqoroh : 92, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah memerangi mereka. Abul Ahwash berkata : “Nabimu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang berselisih” [Durul Mansur 3/400]

Adapun faidah yang lain, masih banyak sekali sebagaimana tertulis dalam kitab tafsir dan lainnya.

ORGANISASI, PARTAI DAN HUKUMNYA
Organisasi ialah kumpulan beberapa orang yang mempunyai tugas masing-masing dengan tujuan yang sama dan disusun secara berstruktur.

Persatuan adalah gabungan dari beberapa bagian yang sudah bersatu dalam suatu lembaga.

Himpunan adalah organisasi atau perkumpulan yang bersatu dalam satu wadah karena satu idiologi [Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer : 1063]

Yayasan ialah badan hukum yang tidak beranggota, ditangani oleh pengurus, didirikan dengan tujuan mengupayakan layanan dan bantuan sosial seperti sekolah, rumah sakit dan sebagainya. [Halaman : 1727]

Partai politik adalah kumpulan orang yang mempunyai asas, haluan, pandangan, serta tujuan yang sama di bidang politik. [Halaman ; 1099]

Dari keterangan di atas diketahui bahwa organisasi atau kelompok yang didirikan untuk urusan duniawi menurut asal hukumnya adalah halal, kecuali bila organisasi tersebut membawa mafsadah atau kerusakan pribadi, umat atau agama Islam, maka hukumnya haram, sebagaimana kaidah usul yang mengatakan al-ashlu fil-asyya’-al-ibahah (asal segala sesuatu hukumnya mubah).

“Dia-lah Alloh yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” [Al-Baqoroh : 29]

HUKUM MENDIRIKAN ORGANISASI DAKWAH
Bagaimana bila mendirikan partai, jama’ah, golongan dengan tujuan berdakwah!? Berikut ini jawabannya.

“Dan janganlah kamu termasuk orang yang menyekutukan Alloh yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [Al-Rum : 31-32]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak boleh bagi siapa pun mengangkat orang mengajak umat ini untuk mengikuti pola hidup dan peraturannya, senang dan membenci karena dia selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ijma ulama Sunnah. Adapun ciri ahli bid’ah mereka mengangkat pemimpin dari umat ini, atau membuat peraturan yang mengakibatkan umat berpecah belah, mereka mencintai umat karena mengikuti peraturan golongannya dan memusuhi orang yang tidak mengikuti golongannya” [Dar’ut Ta’arudh 1/149]

Selanjutnya beliau rahimahullah berkata ;”Dan tidak boleh seorangpun membuat undang-undang yang dia menyenangi orang atau memusuhinya dengan dasar peraturannya, bukan peraturan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 20/164]

Syaikh Sholih Fauzan (anggota Kibarul Ulama Saudi Arabia) ditanya : “Kita sering mendengar istilah jama’ah-jama’ah (golongan-golongan) Islam pada zaman sekarang yang telah menyebar di dunia. Dari mana istilah penamaan ini?

Beliau menjawab :”Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tahu kepada kita cara beramal, beliau tidaklah meninggalkan sesuatu yang dapat mendekatkan umat ini kepda Alloh melainkan beliau telah menjelaskannya, dan tidaklah meninggalkan sesuatu yang membuat manusia jauh dari Alloh melainkan beliau telah menjelaskannya. Termasuk perkara yang kamu tanyakan ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian hidup (setelah aku meninggal dunia) akan menjumpai perselisihan yang banyak. Bagaimana cara menanggulanginya ketika peristiwa ini terjadi? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Wajib bagimu berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku, hendaknya kamu berpegang kepadanya, dan gigitlah dengan gigi gerahammu, jauhkan dirimu dari perkara baru, karena setiap perkara baru bid’ah dan setiap bid’ah dan setiap bid’ah adalah tersesat’. (Dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat Al-Irwa : 2455)
Maka dari jama’ah yang ada, apabila dia berdiri di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, terutama Khulafaur Rasyidin dan abad yang mulia, maka jama’ah dan golongan dimana saja kita masuk di dalamnya, dan wajib kita bekerja sama dengan mereka. Adapun jama’ah yang menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib menjauhinya, walaupun dia mengatakan jama’ah islamiah. Yang menjadi ukuran bukan nama, akan tetapi kenyataan. Adapun nama memang banyak dan marak kita saksikan dimana-mana, akan tetapi nihil dan bathil juga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Telah berpecah-belah orang Yahudi manjadi tujuh puluh dua golongan, dan akan bepecah belah umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan, semua di neraka kecuali satu. Kami berkata ; ‘Siapa dia wahai Rasulullah ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : ‘Orang yang berpijak semisal saya pada hari ini dan berpijak kepada Sunnah sahabatku”

Keterangan ini jelas dan gamblang. Jika kita menjumpai jama’ah dan ini tandanya, mereka mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, maka mereka golongan Islam yang benar. Adapun jama’ah yang menyelisihi jalan ini, dan berjalan di atas jalan yang lain, jama’ah itu bukan golongan kita, dan kami pun bukan golongan mereka, kita tidak masuk di dalamnya, dan mereka pun tidak masuk golongan kita, mereka bukan dinamakan jama’ah, akan tetapi mereka itu firqoh (golongan pemecah-belah) dari firqoh yang tersesat. Karena itulah jama’ah tidaklah ada melainkan di atas manhaj yang benar, yang manusia bersatu di atasnya, sedangkan kebathilan pasti memecah-belah dan tidak menyatukan, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“…Dan jika mereka berpaling sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu) “[Al-Baqarah : 137] [Al-Ajwibah Al-Mufidah an As’ilatil Manahajil Jadidah 6-8]

Syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid (anggota Kibarul Ulama Saudi Arabia) berkata :”Tidak boleh diangkat seorangpun untuk mengajak umat ini menuju ke jalannya melainkan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Rasul kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang mengangkat selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panduan hidup maka dia tersesat dan ahli bid’ah” [Hukmul Intima Ilal Firoq wal Ahzab wa Jama’at Islamiyah : 96-97]

Syaikh Abu Anas Ali berkata : “Sesungguhnya partai dan golongan yang memiliki peraturan yang menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah ditolak oleh ajaran Islam, karena tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang membolehkan umat Islam berpartai dan bergolong-golongan, justru sebaliknya kita jumpai banyak dalil yang mencela berdirinya beberapa partai dan golongan, misalnya firman-Nya yang tercantum dalam surat Al-An’am : 159 dan Ar-Rum : 32, bahkan dampak yang kita ketahui dengan adanya banyak partai dan golongan satu sama lain saling menjelekkan, mencaci dan memfasikan, bahkan boleh jadi lebih dari pada itu, mengkafirkan yang lain tanpa dalil” [Kaifa Nualiju Waqanal Alim 199-200]

BENARKAH DAKWAH TIDAK AKAN MAJU TANPA ORGANISASI?
Syaikh Abu Anas Ali berkata : “Ada orang yang berkata :’Tidak mungkin dakwah akan tegak dan tersebar melainkan apabila di bawah naungan partai dan golongan’. Maka kami jawab : Syaikh Ibnu Utsaimin berkata :’Pendapat ini adalah salah, bahkan sebaliknya dakwah menjadi kuat dan tersebar tatkala manusia kuat berpegang teguh kepda Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling banyak mengikuti jejak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Ketahuilah wahai para pemuda! Sesungguhnya banyaknya jama’ah atau golongan adalah fakta yang menyakitkan dan bukan fakta yang menyehatkan. Saya berpendapat hendaknya umat Islam satu partai saja, yaitu yang kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [As-Shohwatul Islamiyah Dhowabith wa Taujihat oleh Syaikh Ibnu Utsaimin : 258-259]

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata : “Adapun umat yang berpecah-belah menjadi sekian banyak golongan sehingga masing-masing mengatakan dia yang paling benar, bukan hanya ini saja, bahkan mereka menganggap sesat golongan lain, membid’ahkan golongan yang lain, membuat orang menjauhi kelompok lain, maka tidaklah diragukan bahwa ini adalah pendiskreditan dan cacat bagi umat Islam. Ini merupakan senjata yang paling kuat untuk membinasakan kebangkitan Islam yang penuh barokah ini. Maka kamu perlu menasehati saudara-saudara kami, hendaknya kalian bersatu, hindari perpecahan, kembalikah kepada jalan yang haq Inilah kewajiban setiap umat Islam” [Kajian rutin setiap bulan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin edisi pertama hal.31]

Al-Muhaddits Al-Albani ketika ditanya : “Bagaimana menurut pandangan syariat Islam, kaum muslimin bergolong-golongan, berpartai yang berbeda berorganisasi Islam, padahal satu sama lain berbeda sistemnya, caranya, seruannya, aqidahnya dan berbeda pula landasan pegangan yang menjadi pegangan mereka, padahal golongan yang benar hanya satu sebagaimana disebut di dalam hadits yang shahih?. Beliau menjawab : “Tidaklah ragu bagi orang yang berilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman salafush shalih yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa berpartai, bergabung dengan kelompok-kelompok yang berbeda pola berfikirnya, ini adalah yang pertama. Dan manhaj atau cara serta sarana yang berbeda pula, ini yang kedua, maka tidaklah Islam membolehkan hal ini sedikit pun, bahkan Alloh Pencipta kita melarang kita berpecah-belah bukan hanya satu ayat, misalnya surat Ar-Rum : 32, Hud : 118-119. Di dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla tidak mengecualikan perselisihan yang pasti terjadi, (karena ini merupakan kehendak kauni yang harus terjadi, bukan kehendak syar’i), maka Allah hanya mengecualikan golongan yang dirahmati, yaitu : “Kecuali orang yang dirahmati oleh Raabmu” [Hud : 119] [Fatwa Syaikh Al-Albani rekaman kaset nomor : 608, atau lihat Kitab Kaifa Nualiju Waqianal Alim : 201]

Syaikh Ibnu Jibrin tatkala ditanya : “Bagaimana hukumnya umat Islam mendirikan partai politik?” Beliau menjawab ; “Islam mengajak kita bersatu, dan melarang kita berpecah-belah, orang Islam dilarang berpecah-belah berdasarkan firman-Nya di dalam surat Al-Imran ; 105, surat Ar-Rum : 31-32

Dari keterangan ulama Sunnah di atas nampak jelas bahwa kenyataan yang ada, partai dan golongan yang landasannya menyimpang dari Sunnah tidaklah menjadi sebab berkembangnya dakwah Islamiyah, akan tetapi sebaliknya merusak aqidah umat. Berapa banyak para tokoh partai menghalalkan yang haram, menghalalkan bid’ah dan syirik, loyal dengan agama selain Islam karena ingin mencari pengikut dan ingin mencari kursi. Akan tetapi sebaliknya berdakwah yang dilakukan oleh perorangan dari kalangan ulama Sunnah yang kembali kepada pemahaman salafush shalih, mereka berhasil, mereka bersatu, walaupun lain tempat dan waktu. Lihat dakwah Imam Ahmad rahimahullah dan ahli hadits lainnya, ahli fikih dan ahli tafsir salafush shalih, Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama Sunnah yang baru saja meninggal dunia, misalnya Ibnu Baz, Al-Albani, Ibnu Utsaimin dan lainnya baik yang telah meninggal dunia atau yang masih hidup, dakwah mereka nyata, menerangi penduduk dunia, rohmatan lil alamin. Mereka berhasil memberantas kemusyrikan dan kebid’ahan, penyakit yang sangat berbahaya di dunia yang merusak tauhid dan Sunnah, padahal mereka tidak mendirikan partai, organisasi dan jama’ah yang tersesat.

BAHAYA FANATIK GOLONGAN
Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali berkata ; “Sungguh sebagian ulama telah menjelaskan kerusakan yang disebabkan oleh manusia yang fanatik kepada madzhab-madzhab atau golongan, di antaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, beliau menjelaskan kerusakannya sebagai berikut.

[1]. Menentang nash yang kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena fanatik kepada golongan, dan kadangkala merasa cukup dengan pendapat saja.

Penulis berkata : “Memang demikian kenyataannya, banyak pengikut terkena sihir dan tertipu oleh pemimpinnya, sehingga agama adalah apa kata pemimpinnya’.

[2]. Mengambil hadits lemah dan palsu sebagai dasar untuk mempertahankan pendapatnya, bahkan mereka berdusta dan berani membuat hadits untuk mendukung pendapatnya.

Penulis berkata : “Di antara ciri ahli bid’ah, mereka menolak hadits yang shahih dan mengambil hadits yang lemah”.

[3]. Mereka mendahulukan pendapat orang yang dianggap berilmu pada zaman sekarang dari pada ilmu ulama salafush shalih.

Penulis berkata : “Benar, karena ulama salaf pada zaman dahulu dianggap tidak tahu fiqhul waqi’ atau politik, dan dituduh dengan tuduhan jelek”

[4]. Terjerat oleh pendapat perorangan, dan tidak mau mengambil ilmu atau kebenaran madzhab yang lain, tidak mau membaca nasehat ulama, dikarenakan fanatik kepada pemimpinnya

Penulis berkata :”Memang demikian, tidak sedikit pemimpin yang rusak aqidah dan moralnya, akan tetapi karena jadi pemimpin, menjadi cermin hidup oleh pengikutnya”.

[5]. Umumnya ketetapan atau anggaran dasar setiap golongan sunyi dari dalil syar’i bahkan membecinya.

Penulis berkata : “Benar, bagaimana tidak, karena tim perumusnya dari berbagai macam aliran, sedangkan ketetapan diambil dengan cara suara terbanyak, mana yang banyak itulah yang menang.

[6]. Tersebarnya taqlid, jumud dan tertutupnya pintu ijtihad.

[Diringkas dari At-Taasshub Al-Dzamim wa Atsarohu oleh DR Rabi bin Hadi Umar Al-Madkhali 5-15]

Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ada empat puluh satu bahaya dengan berdirinya partai dan golongan Islam diantaranya.

1) Mereka mengikat wala dan bara atau menyenangi dan membenci orang karena golongan.
2). Kebanyakan kelompok/golongan yang menamakan dirinya kelompok/ golongan Islam merusak Islam, lihat kelompok Baha’iyah dan Qodyaniah, dst.
3). Kami bertanya : “Apakah setiap partai membolehkan apabila ditandingi oleh partai yang lain di dalam suatu negeri? Jika dijawab boleh, ini adalah jawaban yang tidak masuk akal, dan tidak ingin umat ini menjadi baik. Jika tidak noleh, bagaimana membolehkan dirinya dan melarang orang lain? Padahal semua partai menurut dugaan mereka ingin membela Islam”.
4). Berapa banyak partai dasarnya hanya politik belaka, sunyi dari kaidah Islam, yang akhirnya merusak Islam dan dakwah Islam menjadi suram.
5). Dengan adanya beberapa golongan di dalam tubuh kaum muslimin menunjukkan adanya perpecahan didalamnya
6). Dengan banyaknya partai akan mengebiri aktivitas amal Islami
7). Masing-masing parati dan golongan menyembunyikan kebenaran Islam karena penyakit fanatic golongan.
8). Partai dan golongan pasti merupakan persaudaraan umat Islam
9). Dengan berdirinya banyak golongan pasti mencela dan memberi gelar yang jelek kepada golongan lain. Ini adalah ciri orang jahiliyah perusak Islam.
10). Partai dan golongan dibangun atas dasar suara yang banyak, tidak mau dikriitik dan dibantah.
12). Pada awalnya partai itu dibangun untuk mewujudkan amal Islami agar menjadi insan yang bertauhid, akan tetapi pada umumnya berubah menjadi bentuk yang aneh pada tubuh umat, karena ingin menyaingi partai yang lain.
13). Bahaya yang paling nampak dengan berdirinya golongan dan partai adalah lenyapnya dakwah menuju ke jalan Allah sesuai dengan dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
14). Dakwah yang dilakukan partai dibangun atas dasar pola berfikir dan rancangan kelompoknya

Inilah sebagian bahaya akibat munculnya banyak partai dan golongan. Bagi yang ingin mengetahui bahaya yang lain, silahkan baca kitab Hukmul Intima’ Ilal Firoq Wal Ahzab Wal Jama’at Al-Islamiyah oleh Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid hal. 135-152]

UMAT ISLAM PASTI BERPECAH-BELAH AKAN TETAPI WAJIB BERSATU
Fitnah yang muncul pada akhir zaman bahwa umat Islam berpecah-belah menjadi beberapa golongan, masing-masing mengaku kelompoknya yang benar, seperti halnya orang Yahudi dan orang Nasrani, mereka berpecah-belah dan mengaku bahwa hanya golongannya yang benar

“Dan orang-orang Yahudi berkata : ‘Orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan’, Dan orang-orang Nasrani berkata : ‘Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan’. Padahal mereka (sama-sama) membuat Al-KItab” [Al-Baqarah : 113]

Adapun dalil yang menjelaskan bawa umat Islam pada akhir zaman pasti berpecah-belah diantaranya adalah hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya bani Israil berpecah-belah menjadi tujuh puluh satu, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua, semuanya di neraka kecuali satu, dan dia adalah jama’ah” [HR Ibnu Majah ; 3983] Dishahihkan Al-Albani Shahih Ibnu Majah 2/364.

Yang dimaksud jama’ah di dalam hadits ini adalah kembali kepada yang haq, atau sebagaimana yang diterangkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu orang yang berpijak kepada Sunnahku pada hari itu dan Sunnah para sahabatku.

Perpecahan umat Islam ini merupakan takdir kauny (kehendak Allah untuk menciptakannya) bahwa pada akhir zaman umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti berpecah-belah, akan tetapi bukan berarti kita boleh berpecah-belah, sebagaimana dalil yang selalu dikumandangkan oleh orang ahli bid’ah dalam rangka menutup aib mereka, mereka berdalil dengan hadits palsu ‘ ikhtilafu umati rahmat’ (perpecahan umat ini adalah rahmat). Ketahuilah perkataan itu bukan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi hadits palsu. Syaikh Al-Albani berkata : “Para pakar ahli hadits telah mencoba mencari sanad hadits ini akan tetapi tidak menemukannya” [Lihat Silsilah Ahadits Dho’ifah 1/141]

Dalil mereka ini tidak masuk akal, karena mustahil orang yang berselisih dan berpecah-belah hidupnya penuh dengan rahmat. Bukankah pasangan suami-istri bila berselisih terancam jiwanya, bagaimana berselisih dalam hal aqidah dan ibadah merasa rahmat?! Oleh karena itu ahli bid’ah dan orang yang fanatik golongan merasa sakit hatinya bika dikritik kesalahannya.

Ketahuilah perpecahan umat ini merupakan ujian bagi orang yang beriman, hendaknya mereka memilih jalan yang benar dan meninggalkan kelompok tersesat lainnya. Adapun dalil wajibnya kita bersatu, tidak boleh berpecah-belah dan bergolong-golongan.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” [Ali-Imran ; 103]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya Allah meridhoi kamu tiga perkara dan membenci kamu tiga perkara ; Dia meridhoi kamu apabila kamu beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu tidak berpecah-belah” [HR Muslim : 3236]

BAGAIMANA AGAR UMAT ISLAM BERSATU?
Ayat dan hadits diatas menunjukkan cara untuk menyatukan umat Islam, yaitu kita harus kembali kepada tali Allah, sedangkan makna tali Allah ialah Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dijelaskan di dalam hadits.

“Kitab Allah adalah tali Allah yang menjulur dari langit ke bumi” [Lihat Silsilah As-Shahihah 5/37]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah termasuk tali Allah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya yaitu kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya’ [HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]

Pada zaman sekarang umat Islam tidak cukup hanya bepegang kepada Al-Qur’an dan hadits yang shahih untuk menyatukan umat, karena ahli bid’ah pun mengaku berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka berselisih dan berpecah-belah, karena itu tidaklah umat Islam akan bersatu melainkan apabila di dalam berpegang kepada Al-Qur’an dan hadits yang shahih disertai dengan pemahaman salafush shalih, dari kalangan para sahabat, tabi’in dan ahli hadits, sebab jika tokoh umat memahami dalil nash dengan pemahaman salafush shalih niscaya mereka tidak akan berpecah belah walaupun mereka berselisih dalam suatu masalah, karena khilaf mereka jatuh pada masalah ijtihadiah.

Adapun dalil wajibnya kita memahami dalil nash dengan pemahaman salafush shalih adalah sebagai berikut.

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya ; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” [At-Taubah : 100]

Dalam ayat di atas Allah memuji sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik, yang sekarang dikenal dengan nama ahlus sunnah wal jama’ah atau pengikut as-salafush sholih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Maka barangsiapa yang menjumpai itu (perpecahan umat) hendaknya dia berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang menunjukkan kepada kebaikan dan mendapat petunjuk, gigitlah Sunnah ini dengan gigi geraham” [HR Tirmidzi 2600 dan lainnya dishahihkan Al-Albani lihat Silsilah As-Shahihah 6/610]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berpesan kepada umatnya agar berpegang kepada Sunnahnya saja, akan tetapi kepada Sunnah sahabat pula.

Dari Abu Burdah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Dan sahabatku adalah orang yang dapat dipercaya untuk umatku, maka jika mereka telah pergi, maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku” [HR Muslim 4596]

Imama Nawawi rahimahullah berkata : “Adapun makna “apa yang dijanjikan” yaitu munculnya bid’ah, perkara baru dalam urusan agama, dan munculnya fitnah” [Syarah Imam Muslim 16/83]

Selanjutnya orang yang menolak pemahaman para sahabat maka akan diancam menjadi orang yang tersesat.

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” [An-Nisa : 115]

Syaikh Al-Albani berkata : “Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa umat Islam pada zaman sekarang –kecuali sedikit di antara mereka- tatkala mereka tidak berpegang teguh dengan kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka tersesat dan hina, yang demikian itu karena mereka berpegang kepada pendapat pemimpin mereka.

Tatkala terjadi perselisihan, pendirian mereka pada dasarnya kembali kepada pemimpin mereka, jika ada ayat yang cocok, mereka ambil, jika tidak, mereka tolak. Bahkan sebagian mereka berkata : “Setiap ayat atau hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, maka dimansukh (dihapus)”. Semoga Allah merahmati Imam Malik rahimahullah, beliau berkata : “Dan tidak akan baik umat pada akhir zaman ini melainkan apabila mereka kembali sebagaimana ulama pertama memperbaiki umat” [Hajjatun Nabi 1/71]

Kesimpulannya para tokoh masyarakat hendaknya mengajak umat agar kembali kepada pemahaman salafush shalih tatkala mengambil dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, agar umat tetap bersatu dan tidak timbul perasaan benar sendiri dan menyalahkan orang benar.

Tokoh umatnya hendaknya hati-hati dalam memimpin umat jangan sampai menjadi penyebab kerusakan umat.

Dari Tsauban Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan dari umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan” [HR Tirmidzi 2155 dishahihkan oleh Al-Albani Shahihul Jami’ 2316]

Tokoh umat hendaknya takut di hadapan pengadilan Allah pada saat pengikut mengadu pada hari kiamat. Baca surat Ibarhim : 21-22 dan surat Ghofir : 47-48, surat As-Saba : 31-33. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada kita semua, menjadi pemimpin yang mengajak umat kepada yang haq yang diridhoi oleh Allah Jalla Jala Luhu.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 6, Th. Ke-7 1429/2008. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2326-nasehat-untuk-pendiri-organisai-jamaah-dan-partai.html
Share:

Kitab Tauhid


Hasil gambar untuk tauhid Tauhid adalah hal yang utama dalam Islam tanpa Tauhid akan batal keislaman seseorang, namun mungkin belum banyak yang mengetahui apa sih tauhid apa apa yang membatalkan ketauhidan kita untuk mengetahui lebih dalam tentan tauhid silahkan klik link di bawah ini



Download Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad At-Tamimi
Share:

Tauhid Rahasia Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Hasil gambar untuk tauhidSiapa yang tidak menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat, kita semua tentu menginginkannya. Hanya yang perlu untuk kita pertanyakan bagaimana cara untuk meraih keduanya. Sementara, kita yakini bersama bahwa Islam adalah agama yang ajarannya universal (menyeluruh). Islam satu-satunya agama yang mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari Sang Pemiliknya Jalla Sya'nuhu.

Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin. Tidak didapatkan satu ajaranpun dalam Islam yang merugikan para pemeluknya, tidak ditemukan satu prinsippun dalam Islam yang mencelakakan para penganutnya. Tetapi pada kenyataannya banyak kalangan yang hanya menitikberatkan perhatiannya pada dunia dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.

Padahal Allah telah mengingatkan kita dengan firman-Nya, "Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanaman-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridloannya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS Al Hadid: 20).

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka telah usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." (QS Huud: 15-16).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah sebaik-baik petunjuk. Siapa yang mengambilnya ia akan bahagia dan yang meninggalkannya akan celaka. Allah berfirman, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (QS An Nuur: 63).

Terbukti generasi yang bersamanya, yakni generasi para sahabat meraih gelar terbaik umat ini, karena mereka mengambil petunjuknya. Itulah mereka para sahabat yang telah berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagaimana tidak, sedang mereka mendapatkan bimbingan tauhid selama kurang lebih 13 tahun hingga akhirnya mereka memiliki landasan yang kokoh dalam kehidupannya.

Oleh karena itu, tauhid itulah sebagai landasan yang menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan yang sebenarnya. Sebab mentauhidkan Allah adalah tujuan diciptakannya manusia. Allah berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS Adz Dzariyaat: 56). Ibnu Katsir berkata: makna "ya'buduun" dalam ayat ini adalah "yuwahhiduun" (mentauhidkan Allah). Al Imam Al Baghowi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa Ibnu Abbas RA mengatakan: "Setiap perintah beribadah dalam Al Qur'an maka maknanya adalah tauhid."

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, bagaimana tidak dikatakan bahwa tauhid sebagai landasan yang akan menghantarkan seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan Allah meridloi ahli tauhid. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Sesungguhnya Allah meridloi kalian tiga perkara: kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, berpegang teguh dengan tali Allah semuanya dan jangan bercerai berai, dan memberikan nasihat kepada orang yang Allah jadikan pemimpin atas urusan-urusan kalian." (HR Muslim dari Abu Hurairoh).

Itulah tauhid, tauhid adalah sebagai jalan untuk mendapatkan dua kebahagiaan tersebut, sebab dengan menegakkan tauhid berarti menegakkan keadilan yang paling adil. Sementara tujuan Allah mengutus rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya adalah supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Allah berfirman, "Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyatam dan telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan." (QS Al Hadiid: 25).

Tauhid sebagai landasan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat karena keamanan serta petunjuk di dunia dan akhirat hanya akan dicapai oleh para ahli tauhid. Allah berfirman, "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS Al An'aam: 82). Berkata Ibnu Katsir pada ayat ini: "Yaitu mereka yang memurnikan ibadahnya untuk Allah saja dan tidak berbuat kesyirikan dengan sesuatu apapun, mereka mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan petunjuk di dunia dan akhirat."

Jadi memang tauhidlah yang akan menghantarkan kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena khilafah di muka bumi serta kehidupan yang damai, aman, dan sentosa berbangsa dan benegara hanya akan diraih melalui tauhid. Allah berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi.

Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridloinya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, semula mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS An Nuur: 55).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ahli tauhid mereka orang-orang yang akan mendapatkan jaminan surga dari Allah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Barangsiapa yang bertemu Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, ia akan masuk surga. Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Nya dalam keadaan menyekutukan-Nya, ia akan masuk neraka." (HR Muslim dari Jabir bin Abdillah). Ahli tauhid mereka orang-orang yang akan berbahagia dengan syafa'atnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Abu Hurairoh bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, "Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa'atmu?" Beliau menjawab, "Orang yang mengatakan 'laa ilaaha illallah' ikhlas dari lubuk hatinya." (HR Bukhori dari Abi Hurairoh).

Ahli tauhid mereka orang-orang yang terjaga dan terpelihara darah dan hartanya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, menegakkan sholat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukannya, mereka terjaga dariku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak-hak Islam, dan perhitungannya atas Allah." (HR Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar).

Demikianlah para pembaca -kaum muslimin- tauhid adalah rahasia kebahagiaan dunia dan akhirat, karena yang pertama kali diwajibkan atas seorang hamba adalah tauhid. Allah berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Ilah yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS Al Anbiyaa: 25).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata kepada sahabat Muadz bin Jabal RA ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman, "Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab. Jika Engkau mendatanginya maka serukanlah kepada mereka supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah -yang berhak untuk diibadahi- kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah..." (HR Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas RA).

Imam Al Hafizh Al Hakami mengatakan, "Kewajiban pertama atas hamba, mengenal Ar Rahmaan (Allah) dengan tauhid." Dan tauhid juga yang menjadi kewajiban terakhir atas seorang hamba, ketika menjelang kematiannya Abu Tholib, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam datang menemuinya dan berkata, "Wahai paman, ucapkanlah 'laa ilaaha illallah', kalimat yang menjadi hujjah untukmu di sisi Allah..." (HR Bukhori Muslim dari Sa'id ibnul Musayyab dari bapaknya (Musayyab)).

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda, "Barangsiapa yang akhir ucapannya 'laa ilaaha illallah', ia akan masuk surga." Semoga Allah memberikan taufiq kepada yang dicintai dan diridloinya. Amin ya Mujibas sailiin.

Sumber: Bulletin al Wala’ wal Bara’


Share:

10 Siasat Setan Menyesatkan Manusia

Hasil gambar untuk penyesatan setanUntuk menjerumuskan manusia, setan tidak serta merta datang dan memerintahkannya melakukan kejahatan dan keburukan atau melarangnya berbuat kebaikan. Setan akan pelan-pelan dan bertahap menyeretnya keluar dari jalan Allah. Namun setan akan merayu dan menggodanya. Ini pun tergantung kekuatan imam seseorang. Semakin kuat iman seseorang, semakin licik setan menggodanya. Karena itu, cara setan itu sangat banyak dan beragam. Allah berfirman,

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ) ( النور : 21 ).

“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian ikut langkah-langkah setan.” (An-Nur: 21)

Ibnu Katsir menjelaskan maknanya “langkah-langkah” adalah jalan-jalan dan setiap maksiat adalah langkah setan.

Berikut adalah cara-cara licik setan menjerumuskan manusia:

1. Menghiasi Sebuah Perbuatan

Setan akan menghiasi perbuatan baik sehingga tampak buruk dan perbuatan buruk tampak baik. Kemaksiatan akan ditampakkan oleh setan lebih kepada unsur menyenangkanya saja pada saat itu. Sementara perbuatan baik akan ditampakkan unsur-unsur yang memberatkan dan melelahkan. Pada saat subuh misalnya, setan akan menggoda dengan membisikkan dalam hati, “Badan masih lelah, teruslah tidur.”

2. Menipu, mengelabui dan mencampuradukkan.

Setan berusaha mengelabui akal dan jiwa. Ia berusaha meyakinkan manusia bahwa yang haram itu sebenarnya halal. Ketika ingin membangun rumah dari pinjaman riba, maka setan akan meyakinkan bahwa pinjaman itu halal.

3. Menunda-nunda perbuatan baik.

Di sini setan menggunakan senjata “member harapan lebih banyak” sehingga akan memalingkan seseorang dari taubat. Setan akan membisikkan, “Tak apa jika mau taubat, tapi kenapa terburu-buru. Kamu masih muda. Selesaikan urusan ini dan itu dulu.”

4. Meremehkan maksiat.

Setan akan membisikkan kepada orang yang hendak bertaubat, “Kenapa mesti bertaubat? Kamu masih orang baik-baik jika dibanding si anu. Taubat itu untuk orang-orang ahli maksiat dosa besar. Dosa yang kamu lakuka itu kecil.”

5. Menyulitkan urusan setelah seseorang bertaubat.

Setan akan merayu, “Taubat itu berat, membutuhkan istiqamah, istiqamah itu berat. Kalo kau bertaubat, kau akan dimusuhi banyak orang. Kamu akan kehilangan banyak teman. Orang-orang juga tidak akan mudah percaya kepadamu karena masa lalumu yang kelam.” Demikian setan terus membisikkan dalam jiwa manusia.

6. Menanamkan sikap pesimistis.

Jika seseorang ingin bertaubat, setan akan membisikkan dalam jiwanya, “Allah tidka menerima taubatmu karena dosamu sangat banyak, bagaimana Allah menerima taubatmu sementara kamu sudah melakukan dosa ini dan itu.”

7. Menyulut marah.

Marah adalah pemberontakan setan atas logika orang yang berakal. Marah adalah keluar dari akal sehat. Sebuah riwayat menyebutkan, seorang Nabi berkata kepada Iblis, “Dengan apa engkau kalahkan anak Adam?” Iblis menjawab, “Ketika dia marah dan terbawa hawa nafsu.”

Suatu ketika seorang lelaki dari Quraisy berkata kasar kepada Umar bin Abdul Aziz. Sang Khalifah terdiam sejenak kemudian mengatakan, “Apakah engkau ingin agar setan menyeret saya dengan kemuliaan kekuasaan ini sehingga dia akan dapat memperdaya saya sekarang.”

8. Memberikan khayalan dan memperdaya.

Ini senjata setan paling berbahaya.

{ يَعِدُهُمْ وَيُمَنّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمْ الشَّيْطَـانُ إِلاَّ غُرُوراً } [النساء:120].

“Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.” (An-Nisa’:120)

“Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”. Sesungguhnya orang-orang yang lalim itu mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim: 22)

“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu”. Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling lihat melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata: “Sesungguhnya saya berlepas diri daripada kamu; sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah”. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)

Setan akan merayu dan memperdaya manusia sesuai dengan kecenderungan dan kesenanganannya. Setan akan menakuti orang kaya dengan kemiskinan jika ingin bersedekah atau berbuat baik. Pada saat yang sama, setan akan menghiasi orang kaya dengan kekayaan-kekayaan yang melimpah dengan berbagai cara yang busuk.

9. Menghiasi aliran sesat dengan fanatisme dan mengejek orang berbeda dengan mereka.

10. Berlebih-lebihan

Sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah Allah memerintahkan suatu perintah kecuali setan menggoda dengan dua sisi; sisi menyimpang dari perintah dan sisi berlebihan melaksanakan setan tidak lagi peduli seseorang mau berada di sisi yang mana.”

Ada sebagian kaum yang berlebihan menghormati para Nabi orang shalih hingga pada tingkat menuhankan. Ada sebagian kaum lainnya melanggarnya hingga pada tingkat membunuhnya.

Semoga kita terhindar sejauh-jauhnya dari tipu daya dan godaan setan. (atb) 
 
***semoga bermanfaat***


Share:

Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang

Hasil gambar untuk akidah islamOleh:Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persanggkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. [Al-An’am/6:116-117]

TAFSIR RINGKAS

Ketahuilah wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya “jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh,” maksudnya seandainya kamu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) mendengarkan, mengambil dan mengikuti pendapat atau saran-saran mereka, maka mereka akan menyesatkanmu secara nyata dari jalan Allâh Azza wa Jalla . Penyebabnya adalah sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan dan ilmu yang haq. Seluruh apa yang mereka ucapkan berasal dari hawa nafsu dan bisikan syaitan.

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja.” Sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti perkataan-perkataan yang berasal dari prasangka-prasangka mereka. Tidaklah mereka berbicara kecuali hanya dengan mengira-ngira saja dan berdusta.

“Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.” Cukuplah bagimu pengetahuan Allâh Azza wa Jalla tentang mereka dan Dia-lah yang Maha Mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapatkan petunjuk.[1]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memberikan perintah kepada Nabi-Nya dan perintah ini berlaku juga kepada seluruh pengikutnya. Yaitu perintah agar tidak mengikuti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini. Karena kebanyakan mereka berada dalam kesesatan. Jika seseorang tetap mengikuti mereka, maka ini akan menyebabkannya tersesat dari jalan Allâh Azza wa Jalla .

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan tentang keadaan sebagian besar penduduk bumi dari anak keturunan Adam yang berada dalam kesesatan.”[2]

Kebanyakan manusia tidak mengikuti ajaran yang murni dari Allâh Azza wa Jalla . Ajaran yang mereka anut adalah ajaran-ajaran yang menyimpang, amalan-amalan mereka bercampur dengan hal-hal baru yang mereka ada-adakan sendiri tanpa petunjuk dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya sebagian besar dari mereka telah menyimpang dalam agama, amalan-amalan dan ilmu-ilmu mereka. Agama-agama mereka telah rusak, amalan-amalan mereka mengikuti hawa nafsu mereka; dan ilmu-ilmu mereka tidak didasarkan atas penelitian untuk mencari kebenaran dan tidak bisa mendapatkan jalan yang lurus.”[3]

Kita tidak bisa menjadikan apa yang dipegang oleh kebanyakan manusia sebagai suatu kebenaran jika mereka berada dalam kesesatan. Gaya hidup menyimpang yang terus berkembang, kemaksiatan dan kesesatan yang terus merajalela, jangan sampai membuat kita tergiur dan terpengaruh. Sebagian kaum Muslimin merasa tidak enak jika menyelisihi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia ini, padahal kebiasaan itu salah. Sebagai seorang Muslim kita harus berpegang kepada kebenaran yang diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya jumlah yang banyak bisa menjadi suatu kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman, (yang artinya), “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh.” Dan di sisi lain, dengan jumlah yang banyak, seseorang bisa tertipu dengannya dan dia menyangka bahwa dia tidak akan terkalahkan dan pasti menang. Ini juga termasuk sebab dari kesesatan. Dan jumlah yang banyak jika kita lihat kepada sebagian besar penduduk bumi, maka kebanyakan mereka sesat dan janganlah kamu tertipu dengan mereka. Janganlah kamu katakan, ‘Sesungguhnya manusia telah berpegang pada ini, bagaimana mungkin saya menyelisihi mereka?”[4]

Pesan yang sangat indah disampaikan oleh Imam al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah,, beliau pernah mengatakan, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan sedikitnya orang yang mengikutinya tidak akan berbahaya bagimu. Jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya jumlah orang yang binasa (terjerumus di sana).”[5]

AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN LAFAZ DI ATAS

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kita tidak boleh mengikuti kebanyakan manusia di muka bumi ini, di antaranya adalah firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya- [Yûsuf/12:103]

Begitu juga firman Allâh:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allâh, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allâh (dengan sembahan-sembahan lain). [Yûsuf/12:106]

Dan juga firman-Nya:

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا

Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan, tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya) [Al-Isra’/17:89]

Dan juga firman-Nya:

وَمَا وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ لَفَاسِقِينَ

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik [Al-A’râf/7:102]

Dengan demikian, kita bisa memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla mensifati sebagian besar manusia di muka bumi ini dengan sifat: sesat, kafir (ingkar), syirik dan fasik, serta tidak beriman kepada Allâh Azza wa Jalla .

TIDAK BOLEH TERTIPU DENGAN JUMLAH YANG BANYAK

Di antara para Nabi ada yang memiliki pengikut hanya satu atau dua orang, karena kebanyakan manusia pada saat itu berada dalam kesesatan. Pengikut nabi tersebut meskipun hanya sedikit jumlahnya,  mereka tidak tertipu dengan banyaknya manusia yang berada dalam kesesatan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عُرِضَتْ عَلَيَّ الأُمَمُ، فَجَعَلَ يَمُرُّ النَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلُ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيُّ مَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

Ditunjukkan kepadaku umat-umat. Kemudian lewatlah seorang nabi bersama satu orang (pengikut), seorang Nabi bersama dua orang (pengikut) dan seorang Nabi bersama beberapa orang dan seorang Nabi yang lewat tidak bersama siapa pun …. [6]

Firman Allâh ta’ala:

إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Bahkan tujuan mereka adalah mengikuti prasangka yang tidak mengandung kebenaran. Mereka hanya mengira-ngira dalam berbicara tentang Allâh Azza wa Jalla dalam masalah yang tidak mereka ketahui. Jika seperti ini keadaannya, maka sangat wajar, jika Allâh Azza wa Jalla memperingatkan para hamba-Nya dari keburukan tersebut dan menjelaskan keadaan mereka. Meskipun yang diajak bicara pada ayat ini adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (namun) sesungguhnya umatnya mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh hukum yang tidak dikekhususkan buat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[7]

Dengan demikian kita mengetahui bahwa orang-orang kafir berada dalam kesesatan karena dalam beragama mereka hanya mengikuti prasangka dan mengira-ngira akan suatu kebenaran sehingga mereka harus membuat kedustaan demi kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla .

AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI

Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa mereka hanya beragama dengan prasangka-prasangka saja. Diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِنْهُ ۚ مَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا

Dan karena ucapan mereka: ‘Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, ‘Isa putra Maryam, Rasul Allâh’. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) ‘Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang orang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.” [An-Nisâ/4:157]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

Orang-orang yang mempersekutukan Rabb akan mengatakan, ‘Jika Allâh menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kalian mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?’ Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.” [Al-An’âm/6:148]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. [Yûnus/10:36]

Dengan demikian kita dapat memahami bahwa mereka beragama hanya dengan prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja.

Firman Allâh Azza wa Jalla:

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “… Dan Allâh Azza wa Jalla yang memberi petunjuk dan wajib bagi kalian -wahai orang-orang yang beriman- untuk mengikuti semua nasihat juga perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Karena Allâh lebih tahu tentang hal-hal yang mendatangkan kebaikan buat kalian dan Allâh Azza wa Jalla lebih sayang kepada kalian daripada rasa sayang kalian terhadap diri kalian sendiri. Ayat ini menunjukkan agar seseorang tidak menjadikan banyaknya pengikut sebagai indikasi kebenaran, dan juga tidak mengidentikkan ketidakbenaran sesuatu dengan melihat jumlah pengikutnya yang sedikit. Bahkan kenyataannya berbeda dengan hal tersebut, justru para pengikut kebenaran itu jumlahnya lebih sedikit, namun mereka lebih besar kedudukan dan pahalanya di sisi Allâh.”[8]

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rabb-mu lebih mengetahui siapa di antara manusia yang sesat dari jalan-Nya. ‘Dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.’ Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Dia lebih mengetahui kelompok-kelompok sesat dan melampaui batas, dan Allâh akan membalas semuanya sesuai haknya.”[9]

KEBENARAN HARUS MEMILIKI BUKTI

Kebenaran itu harus memiliki bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh tertipu dengan jumlah pengikut suatu agama, keyakinan atau aliran tertentu yang banyak. Yang menjadi timbangan kebenaran bukan banyak atau sedikitnya pengikut, namun yang menjadi timbangan adalah kebenaran.

Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menghukumi orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang yang sesat dan mereka menyangka bahwa mereka akan masuk ke dalam surga. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.’ Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’ [Al-Baqarah/2:111]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyuruh mereka untuk mendatangkan burhân (bukti), dan mereka tidak bisa mendatangkan bukti itu selama-lamanya. Diantara alasannya adalah kitab-kitab suci mereka, yaitu Taurat dan Injil, telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman dan mereka pun meyakini akan terjadi perubahan tersebut.

Oleh karena itu, apabila kita mendapatkan suatu agama, kepercayaan, keyakinan atau aliran tidak bisa mendatangkan bukti akan kebenaran mereka, maka sudah sepantasnya kita tidak mengikuti mereka. Kebenaran adalah apa yang difirmankan oleh Allâh dalam al-Qur’an dan yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan prasangka-prasangka dan pendapat-pendapat manusia.

KEBENARAN AKAN MENJADI SUATU YANG ASING

Di zaman sekarang ini, banyak sekali kaum Muslimin yang mengikuti dan meniru-niru orang kafir dan tidak mau mempelajari agama Islam. Akibatnya, banyak sekali kaum Muslimin yang tidak mengenal agama mereka sendiri. Bahkan ketika ada seseorang yang menjalankan ibadah atau berpenampilan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , banyak orang yang mengaku Muslim yang mengejek mereka, bahkan dengan lancang berani mengatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang sesat.

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ

Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana dia datang, maka beruntunglah orang-orang yang asing tersebut.[10]

Di dalam riwayat lain ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah orang-orang asing tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَوْمٌ صَالِحُونَ قَلِيلٌ فِي نَاسِ سَوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ

Mereka adalah orang-orang shalih yang jumlahnya sedikit di antara orang-orang buruk yang jumlahnya banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang menuruti mereka[11]

Mubârak bin Fadhâlah t meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah , beliau mengatakan, “Seandainya ada seseorang yang mendapati kaum salaf generasi pertama kemudian dia dibangkitkan pada hari ini, maka dia tidak mengenal Islam sedikit pun.” Kemudian beliau meletakkan tangannya di pipinya dan berkata, “Kecuali shalat ini.”[12]

Ibnu Wadhdhah meriwayatkan dari ‘Isa bin Yunus dari Al-Auza’i dari Hibban bin Abi Jabalah dari Abu Darda’ Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Seandainya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kepada kalian pada saat ini, maka beliau tidak mengenal apa-apa yang dulu dikerjakan oleh beliau dan para Sahabatnya kecuali shalat.”

Kemudian al-Auza’i rahimahullah mengatakan, “Bagaimana jika Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada saat ini?”

‘Isa bin Yunus berkata, “Bagaimana seandainya al-Auza’i mendapatkan zaman sekarang ini?”[13]

Ini adalah perkataan beliau-beliau pada zaman dimana mereka hidup, Bagaimana jika para Ulama itu melihat manusia pada zaman kita sekarang ini?

JIKA DI ANTARA KAUM MUSLIMIN TERSEBAR KEBATILAN DAN KESESATAN

Jika di antara kaum Muslimin tersebar kebatilan dan kesesatan, maka kita tidak boleh mengikuti mereka meskipun jumlah mereka sangat banyak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa kebanyakan kaum Muslimin berada dalam kesesatan sebagaimana sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, ” Orang-orang Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok, orang-orang Nasrani berpecah-belah menjadi 72 kelompok dan umatku akan terpecah belah menjadi 73 kelompok.”

Dan dalam riwayat Ibnu Majah terdapat tambahan, “Satu kelompok berada di surga dan 72 kelompok berada di neraka.” Beliau pun ditanya, “Siapakah mereka?” Beliau menjawab, “al-Jama’ah.”[14]

Ini menunjukkan bahwa kelompok yang sesat jumlahnya banyak sementara kelompok yang benar hanya satu. Akan tetapi, perlu penulis garis bawahi bahwa yang ketujuh puluh dua kelompok yang diancam untuk masuk neraka masih dikategorikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai umatnya. Jika tergolong sebagai umatnya, maka di akhirat mereka tetap berada di bawah kehendak Allâh Azza wa Jalla . Artinya, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengadzabnya maka Allâh akan adzab mereka, jika Allâh Azza wa Jalla berkehendak untuk mengampuni mereka, maka mereka akan diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla .

Hal penting yang harus diperhatikan juga adalah kelompok-kelompok menyimpang yang keluar dari agama Islam dan memang bukan Islam tidak dikategorikan sebagai umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang menyimpang tersebut, tetapi dikategorikan sebagai orang-orang kafir.

TIDAK BOLEH MENYELISIHI AL-JAMA’AH?

Sebagian kaum Muslimin menganggap bahwa kita tidak boleh menyelisihi kebanyakan jamaah kaum Muslimin atau sebagian besar kaum Muslimin, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut satu kelompok yang selamat tersebut dengan nama al-jamâ’ah. Maka kita katakan perkataan tersebut tidak benar, karena yang dinamakan dengan al-jamâ’ah yang dimaksud pada hadits tersebut adalah Jamaah kaum Muslimin yang pertama, sebelum terjadi banyak peyimpangan. Adapun setelah kaum Muslimin menyimpang, maka kita tetap harus mengikuti jamaah kaum Muslimin yang pertama dan tidak mengikuti jamaah kaum Muslimin yang menyimpang, meskipun jumlah mereka sangat banyak.

’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu pernah mengatakan, “Sesungguhnya yang dinamakan al-jamâ’ah adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allâh meskipun engkau sendirian.”[15]

Abu Syâmah rahimahullah mengatakan, “Telah datang perintah untuk berpegang teguh kepada al-jamâ’ah. Yang dimaksud dengannya adalah berpegang teguh dengan kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang dengan kebenaran sedikit sementara orang yang menyelisinya banyak. Karena kebenaran adalah yang pernah ditempuh oleh jamaah pertama yang terdiri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya g dan kita tidak melihat kepada banyaknya jumlah orang-orang yang berada dalam kebatilan setelah mereka.”[16]

KESIMPULAN

Berdasar uraian di atas maka kita bisa simpulkan beberapa hal sebagai berikut:

    Kebanyakan manusia di atas muka bumi adalah orang-orang yang menyimpang, sehingga kita tidak boleh mengikuti penyimpangan mereka atau jangan sampai kita tertipu dengan jumlah mereka yang banyak.
    Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan orang-orang yang menyimpang hanya mengikuti prasangka-prasangka dan kedustaan-kedustaan saja dalam beragama dan mereka tidak memiliki burhân (bukti) atas apa yang mereka lakukan.
    Kebenaran harus bisa dibuktikan dan dia harus berasal dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Sangat sedikit di akhir zaman orang-orang yang memahami kebenaran dan kebenaran tersebut akan terlihat asing oleh orang-orang Islam sendiri.
    Kaum Muslimin akan senantiasa mendapatkan petunjuk di jalan yang lurus selama mereka berpegang teguh dengan jamaah kaum Muslimin yang pertama, yaitu jamaah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sahabatnya Radhiyallahu anhum.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat dan mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla senantiasa menunjuki kita ke jalan yang lurus. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

    Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir wa bihaamisyihi Nahril-Kahir ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
    Al-Baa’its ‘Ala Inkaaril-Bida’ Wal-Hawaadits. ‘Abdurrahman bin Ismaa’iil Abu Syaamah. Kairo: Darul-Huda.
    Al-Intishaar lihizbillaah Al-Muwahhidiin War-Raddu ‘Ala Al-Mujaadil ‘Anil-Musyrikin. ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdil-’Aziiz Abaa Bathiin. Tahqiiq: Al-Waliid bin ‘Abdirrahman Al=Furayyaan. Ar-Riyaadh: Dar Thaibah.
    Al-I’tishaam. Abu Ishaaq Asy-Syaathibi. Mesir: Al-Maktabah At-Tijaariyah Al-Kubra.
    Ma’aalimut-tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh:Daar Ath-Thaibah.
    Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
    Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
    Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 415-416

[2] Tafsîr Ibni Katsîr, III/322

[3] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[4] Lihat al-Qaulul-Mufîd, I/110

[5] Al-I’tishâm lisy-Syâthibi, I/83

[6] HR. Al-Bukhâri, no. 5752

[7] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[8] Tafsîr as-Sa’di, hlm. 42

[9] Tafsir Al-Baghawi III/181

[10] HR. Muslim no. 145/232

[11] HR. ‘Abdullah bin al-Mubârak dalam Musnad Ibni al-Mubârak, no. 23 dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabîr no. 1457. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih di dalam ash-Shahîhah, no. 1619

[12] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 92

[13] Al-Intishâr lihizbillâh al-Muwahhidîn, hlm. 94

[14] HR. Abu Dâwud, no. 4598 dan Ibnu Majah no. 3992.  Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini shahih dalam ash-Shahîhah, no. 203

[15] HR. Al-Lâlikâ-i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal-jamaah no. 160

[16] Al-Bâ’its ‘Ala Inkâril-Bida’ Wal-Hawâdits, hlm. 22


Sumber: https://almanhaj.or.id/6531-jika-beragama-mengikuti-kebanyakan-orang.html
Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Arsip Blog

Cari