}

SEBURUK-BURUK MANUSIA ADALAH MANUSIA YANG PENUH SEMANGAT MEMBELA BID'AH DAN KESYIRIKAN

Wisata Vietnam: Menikmati Pesona Mui Ne, Sebuah Padang Pasir Di Asia  Tenggara - Ketahui.com7بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم


     Allah menciptakan kita dengan tujuan agar kita menyembah kepada-Nya (QS. Adzariyat:56), yaitu dengan murnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama Islam (QS. Al Bayyinah:5), dengan mengikuti syariat yang telah diturunkan Allah dan meninggalkan syariat-syariat nafsu orang-orang jahil

(QS. Al Jatsiyah:18) dan dengan tidak mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (QS. Al Baqarah:42).


      Agar kita bisa menyembah kepada Allah dengan benar maka Allah menurunkan petunjuk hidup kepada manusia yaitu Al Quran yang diajarkan (disampaikan, dijelaskan dan dicontohkan) oleh Rasulullah. Oleh karena itu, taatilah Alllah dan Rasul agar kamu mendapat Rahmat (QS. Ali Imran:132). Rahmat Allah bisa datang bilamana kita mentaati Allah melalui ketaatan kepada Rasulullah, apa yang diberikan Rasul maka terimalah dan apa yang dilarang Rasul maka tinggalkanlah (QS. Al Hasyr:7).Barangsiapa yang mentaati Rasul maka berarti telah mentaati Allah dan banrangsiapa yang mendurhakai Rasul berarti durhaka kepada Allah (HR. Muslim).


     Sesungguhnya, sebaik-baik manusia adalah orang beriman dan beramal saleh (QS. Al Bayyinah:7) dan seburuk-buruk manusia adalah orang kafir dan orang-orang musyrik (QS. Al Bayyinah:6),mereka diberi hati, mata dan telinga tetapi tidak dipakai untuk memahami ayat-ayat, untuk melihat kekuasaan Allah dan untuk mendengar ayat-ayat Allah. Orang-orang yang seperti inilah lebih buruk dari binatang yang paling buruk (QS. Al A'raaf:178).


      Betapa banyak ayat dalam Al Quran atau sunnah Rasul, yang melarang kita melakukan perbuatan mengada-ada dan kesyirikan, bahkan Allah telah memberi contoh yang sangat jelas yaitu kesyirikan kaum Nuh yang mengagung-agungkan/menyembah kuburan,yaitu kuburan lima orang saleh yang dianggap wali (QS. Nuh:23), di kuburan itu mereka melakukan ibadah.


      Nah apa yang sebagian umat Nabi Muhamnad lakukan di kuburan wali-walinya,dengan membaca Al Quran, berzikir atau shalat di kuburan, bertawassul, ngalap berkah, minta pertolongan, apakah semua itu bukan syirik warisan Nabi Nuh,karena niatnya baik dan tidak adanya lafaz "nawaitu" untuk menyembah kuburan?. Cobalah pergunakan hati untuk memahami ayat-ayat Allah dalam Surat Nuh, yang anak kecil saja bisa tahu bahwa Surat Nuh mengandung dua larangan kesyirikan, yaitu:


1. Mengagung-agungkan/mengkeramatkan kuburan,padahal dalam Islam tidak ada kuburan keramat.


2. Berlebih-lebihan terhadap orang saleh.

Yang keduanya itu bisa menyeret kita kepada kesyirikan dan mempeetuhankan ulama. Islam mengajarkan kita menghormati ulama, tetapi bukan dengan cara mengagungkan kuburannya, menjadikannya tempat beribadah, tempat memburu impian, tetapi dengan cara bersikap sopan santun dan mengamalkann ilmunya yang sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.


      Mengamalkan bid'ah dan syirik saja sudah lumayan buruk, dan yang lebih buruk lagi bila kita begitu bersemangat membela bid'ah dan syirik sampai orang lain memberi julukan sebagai pendekar bid'ah dan syirik. Kalau disebut pendekar tauhid dan sunnah itu cukup terhormat tetapi kalau disebut pendengar syirik dan bid'ah itu cukup hina, dan lebih aneh lagi bila para pendekar bid'ah dan syirik mendapat piagam penghargaan sebagai ahlus sunnah waljamaah.


    Makanya kami mengajak saudara terutama diri sendiri, untuk senantiasa menggunakan hati dalam memahami ayat-ayat Allah, bukan menggunakan nafsu. Jadilah pembela tauhid dan sunnah, bukan pembela syirik dan bid'ah. Katakan syirik kalau memang syirik, dan katakan bid'ah kalau memang bid'ah sekalipun orang-orang muayrik dan ahlul bid'ah marah dan membencimu.

Melakukan kesyirikan saja sudah amat....


Wallahu'alam.

  

  

  

Share:

SOLUSI UNTUK YANG KETINGGALAN SHALAT SUNAH QOBLIYAH SUBUH

10 Padang Gurun Paling Populer di Dunia, Indah dan Eksotis Banget!🔰

Shalat sunah qobliyah subuh memiliki keutamaan yang besar. Dalam hadist diterangkan bahwa pahala shalat ini lebih baik daripada dunia seisinya.

Wajar bila seorang muslim merasa RUGI bila terluputkan dari dua rakaat ini.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Dua raka’at fajar (shalat qobliyah subuh) itu lebih baik dari dunia dan seisinya.”
(HR. Muslim No 725).

Namun tidak perlu berkecil hati saat terlewat melakukannya sebelum shalat subuh. Karena masih ada kesempatan untuk melakukan shalat sunah fajar meskipun telah lewat dari waktu asalnya (yakni, sebelum shalat subuh setelah terbit fajar shodiq).

Bagi yang tidak bisa melakukan shalat sunah fajar sebelum subuh, maka bisa menqada’nya pada dua waktu berikut :

● 1. Setelah melakukan shalat subuh.

● 2. Setelah terbit matahari.
Sebagaimana keterangan dalam hadis berikut :

Dari Muhammad bin Ibrahim, dari kekeknya yang bernama Qois beliau mengatakan :

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumah beliau) lalu iqamah dikumandangkan. Akupun melakukan shalat subuh bersama beliau. Setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlalu dan mendapatiku sedang shalat.
Beliau lantas bersabda :

َ مَهْلًا يَا قَيْسُ أَصَلَاتَانِ مَعًا ؟

“Tunggu ya Qois! Apakah kamu mengerjakan dua shalat bersama kami?”

Aku lalu menjawab : “Aku belum mengerjakan dua rakaat sebelum fajar ya Rasulullah.”

Lalu beliau bersabda :

فَلَا إِذَنْ

“Kalau begitu silahkan.”
(HR. Tirmidzi ).

Hadist ini menerangkan bolehnya menqada’ shalat sunah fajar setelah melakukan shalat subuh. Seperti yang dilakukan oleh sahabat Qois, dan Nabi mempersilakan beliau.

Kemudian hadist lain yang menerangkan boleh menqada’nya setelah terbit fajar adalah berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

نام عن ركعتي الفجر فقضاهما بعد ما طلعت الشمس

“Siapa yg tertidur dari melakukan dua raka’at fajar, maka hendaklah ia menqada’ nya setelah terbit matahari.”
(HR. Ibnu Majah)

Namun yang lebih afdol ditunda sampai terbit matahari. Karena menqada’nya setelah terbit matahari berdasarkan pada perintah langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun melakukannya setelah shalat subuh, hanya berdasar pada persetujuan (taqrir) beliau (sebagaimana keterangan dalam dua hadist di atas). Sementara dalil yang bersumber dari perintah langsung dari Nabi, lebih kuat daripada yang hanya berisi persetujuan beliau.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menfatwakan :
“Bila seorang muslim terluputkan dari melakukan sunah fajar sebelum shalat subuh, maka dia boleh melakukannya setelah setelah shalat atau menundanya sampai terbit matahari. Dua pilihan ini ada dalilnya dari hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Akantetapi menundanya sampai terbit matahari itu lebih afdol. Berdasarkan pada perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk melakukannya pada waktu tersebut.

Adapun melakukannya setelah sholat subuh, itu berdasarkan persetujuan beliau ‘alaisshalatu was salam.”
(Majmu’ Fatawa, Ibnu Baz 11/373).

Wallahu’alam

https://www.facebook.com/groups/709719319500575/
 
Share:

MENJUAL AGAMA UNTUK DUNIA

Travel Blogger Rian Budi Santoso Temukan Padang Pasir Indah di NTT, Seperti  Surga Tersembunyi - Warta Kota
  1. ✍Allah menyuruh hambanya untuk memanfaatkan dunia dalam rangka mendapatkan kebahagiaan akherat. Bukan sebaliknya, menggadaikan agama untuk mencari dunia. Allah berfirman,

    وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.
    Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’ "(Al-Qashash: 77)

    Al-Imam al-Qurthubi رحمه الله berkata, “Allah menerangkan dalam ayat ini, bahwa Qarun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga ia lupa diri, dan semuayang dimilikinya itu ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana yang telah dialami (sebelumnya) oleh Fir’aun.” (Tafsir al-Qurthubi)

    Al-Imam Ibnu Katsir رحمه الله ketika menafsirkan ayat ke-77 dari surat al-Qashash tersebut, mengatakan, “Pergunakanlah apa yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepadamu, yaitu harta yang banyak dan nikmat yang tak terhingga itu, untuk ketaatan kepada Rabb-mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan beragam amal saleh, yang diharapkan dengannya mendapatkan pahala, baik di dunia maupun di akhirat.
    Janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi, yang Allah Subhanahu wata’ala halalkan bagimu, yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan menikahi wanita. Menjadi keharusan bagimu untuk menunaikan hak Rabb-mu, hak dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di muka bumi dan berbuat kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir)

    Diantara tanda-tanda akhir zaman, banyaknya manusia yang mencari dunia dengan menjual agamanya.
    Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,

    بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
    “Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) ujian-ujian ibarat potongan-potongan malam yang gelap.
    Di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim, 118)

    Ada nasihat indah yang disampaikan oleh para Ulama Salaf untuk menjaga kehormatan dan tidak menjual agama, karena perbuatan itu menunjukkan rendahnya kedudukan dia.

    سئل ابن المبارك:
    من الناس؟ فقال: العلماء قيل: فمن الملوك؟ قال: الزهاد. قيل: فمن السفلة؟ قال: الذين يأكلون الدنيا بالدين.
    📚حلية الأولياء وطبقات الأصفياء، لأبي نعيم الأبهاني ص. 166.

    Imam Ibnul Mubarok رحمه الله ditanya,
    Siapa manusia itu?
    Beliau menjawab: Para Ulama.
    Siapa raja-raja itu?
    Beliau menjawab: Para Ahli Zuhud.
    Siapa manusia yang hina itu?
    Beliau menjawab: Orang-orang yang memakan dunia dengan (menjual) agamanya.
    📚Hilyah Al-Auliya' wa Thobaqot Al-Asfiya', Abu Nua'im Al-Ashbahany, h. 166

    Wallahu a'lam

    🍃Abu Yusuf Masruhin Sahal, Lc
Share:

DOA DARI AL QUR'AN DAN AS SUNNAH

Dua Jenis Doa dalam Islam | Republika Online✅contoh doa dari alquran dan as sunnah yang bisa digunakan untuk berdoa disaat sujud setelah baca subhana Robiyal a, la
Disaat sholat fardhu maupun sholat sunnah
Atau dibaca disaat diijabahnya doa seperti disaat azan dan ikomah

✅Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun ketika rukuk, maka agungkanlah Allah. Sedangkan ketika sujud, maka bersungguh-sungguhlah dalam berdoa, maka doa tersebut pasti dikabulkan untuk kalian.” (HR. Muslim, no. 479)

✅Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keadaan seorang hamba paling dekat dengan Rabbnya adalah ketika ia sedang bersujud, maka perbanyaklah berdoa saat itu.” (HR. Muslim, no. 482)

رَبَّنَا آتِنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
✅Rabbanaa aatinaa min ladunka rahmah, wa hayyi` lanaa min amrinaa rasyadaa…

Ya Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami
(Al-Kahfi: 10)

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً
إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
✅Rabbanaa laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaytanaa
wa hablanaa min ladunka rahmah
innaka antal wahhab

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)
(al-A’raaf delapan)

رَبنا اغْفِرْ لنا وَتُبْ عَلَينا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الْغَفُورُ
✅Rabbanaghfiralanaa wa tub ‘alaynaa innaka antat-tawwaabul ghafuur

Ya Tuhan kami.. Ampunilah kami… Terimalah taubat kami… Sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Pengampun…
(Doa serupa terdapat dalam al-Baqarah: 127;

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
✅Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa
lanakuunanna minal khaasiriin

Ya Tuhan kami… Sesungguhnya kami telah menzhalimi diri-diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, dan merahmati kami; maka benar-benar kami termasuk orang-orang yang merugi
(Al-A’raaf: 23)

اللَّهُمَّ إِنا نعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ , وَالْأَعْمَالِ , وَالْأَهْوَاء
✅Allaahumma inna na’uudzubika min munkaraatil akhlaaq, wal a’maal, wal ahwaa`.

Yaa Allaah, kami berlindung padaMu dari kemunkaran akhlaaq, amal, dan hawa nafsu
(Diriwayatkan dalam at-tirmidziy)

اللهم إنا نعوذ بك مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ

وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا

Allaahumma innaa na’uudzubika min ‘ilmin laa yanfa’, wa min qalbin laa yakhsya’

wa min nafsin laa tasyba’, wa min da’watin laa yustajaabulahaa.

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak terkabulkan
(Diriwayatkan Muslim,)

اللَّهُمَّ إِنا نسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

✅Allaahummaa inna nas`aluka ‘ilman naafi’aa, wa rizqan thayyibaa, wa ‘amalan mutaqabbalaa

Yaa Allaah kami memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan ‘amalan yang diterima…
(Diriwayatkan ibnu Maajah,)

اللَّهُمَّ إِنِّا نسْأَلُكَ الْهُدَى، وَالتُّقَى، وَالْعَفَافَ، وَالْغِنَى

✅Allaahumma innaa nas`alukal hudaa, wat tuqaa, wal ‘afaaf, wal ghina

Yaa Allaah kami memohon kepadaMu petunjuk, ketaqwaan, ‘afaaf (menjauhkan diri dari perkara haram), dan ghina (kecukupan hati dari jalan yang halal)
(Diriwayatkan Muslim,)

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوب ثَبِّتْ قلُوْبَنَا عَلَى دِينِكَ

✅Yaa Muqallibal Quluub, Tsabbit quluubanaa ‘ala diinik

Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami diatas agamaMu
(Diriwayatkan at-tirmidziy,)

Disusun oleh Humaira Medina
Share:

BELAJAR MANHAJ DARI KITAB PARA ULAMA' ( BERMU'AMALAH DENGAN AHLI BID'AH )

Mengapa Harus Fiqih Muamalah? - Pondok Pesantren LirboyoAsy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Usaimin menjelaskan hukum berinteraksi dengan Ahlu Bid'ah, hal ini penting untuk diketahui, karena banyak mas-mas atau mbak-mbak pengajian keliru dalam menerapkan fatawa para ulama kita tentang hal ini, sehingga jadilah mereka sebagai sosok-sosok yang kaku ditengah masyarakat yang majemuk dan heterogen.

Sebagian mas-mas dan mbak-mbak ini hafizhamullah berdalih dengan perkataan para ulama, misalnya perkataan Al-Imam Abu 'Utsman Ash Shabuni rahimahullah dalam kitab beliau Aqidatus salaf wa Ashhabul Hadits :
"Mereka (Ahlussunnah) membenci Ahlul Bid'ah yang membuat perkara baru dalam agama. Mereka tidak mencintai Ahlul Bid'ah, tidak berkawan dengan mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk bersama mereka. Serta tidak mendebat mereka .... dst".

Belum lagi ditambah riwayat riwayat lainnya dari para salaf yang berkenan dengan hal ini. So, jangan kaget dengan sikap mas-mas dan mbak-mbak tersebut

Akan tetapi apakah bisa diterapkan secara mutlak hal diatas...?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah menjelaskan :

كلام الصابوني رحمه الله يحتاج الى بيان

"Perkataan Al Imam Ash Shabuni diatas perlu dijabarkan kembali"
فقوله :
ويبغضون أهلالبدع الذين أحدثوا في الدين ما ليس منه

"Mereka Ahlussunnah membenci Ahlul bid'ah yang membuat perkara perkara baru dalam agama"

لا شك ان هذا امر واجب على كل مسلم , ان يبغض من أحدث في دين الله ما ليس منه , لكن اذا كانت بدعته غير مكفرة فإنه يبغض من وجه ويحب من وجه آخر , لكن بدعته تبغض بكل حال .

"Tidak diragukan lagi bahwa perkara ini (membenci ahli bid'ah) wajib hukumnya atas setiap muslim untuk membenci setiap orang yang mengada-ada dalam perkara agama. Akan tetapi jika bid'ah nya tersebut bukanlah bid'ah yang sampai membuatnya kafir, maka ia dibenci dari sisi bid'ahnya saja, dan ia masih dicintai dari sisi yang lain (masih muslim, pent). Akan tetapi bid'ahnya tersebut tetap dibenci dalam keadaan apapun.

كذلك ايضا لا يصحبونه , اذاصحبته تأليفا له ودعوة له فلا بأس لكن بشرط انك إذا آيست من صلاحه تركته وفارقته .

"Demikian pula bahwa Ahlussunnah tidak berkawan dengan ahli bid'ah, jika anda berkawan dengannya dalam rangka untuk melunakkan hati mereka dan mendakwahi mereka maka tidaklah mengapa. Akan tetapi dengan syarat : jika anda tidak bisa mengharapkan dari kebaikannya lagi (meninggalkan bid'ah, pent) maka tinggalkanlah orang tersebut".

لا يسمعون كلامهم ولا يجالسونهم ولا يجادلونهم في الدين ,ولا يناظرنهم :
كل هذه تحتاج الى قيود

"Ucapan Ash ashabuni : Mereka (Ahlussunnah) tidak mendengar ucapan ahli bid'ah, tidak duduk bersama mereka, dan tidak berdebat dengan mereka maka ini semua masih membutuhkan perincian"

لا يسمعون كلامهم , اذا لم يكن في ذلك فائدة , فإن كان هناك فائدة بحيث يسمع كلامه ليرى ما فيه من الباطل حتى يرد عليه , فان السماع هناوالاستماع واجب , لانه لا يمكنك ان ترد على قول الا بعد ان تعرفه اذ ان الحكم علىشئ فرض عن تصوره

"Ahlussunnah tidak mendengar ucapan ahli bid'ah, jika hal tersebut tidak ada faedahnya. Jika terdapat faidah, misalnya ia mendengar ucapan mereka untuk mengatahui kebatilan mereka dengan tujuan membantahnya, maka hukum mendengar ucapan mereka adalah wajib dst......". [Syarh Hilyah Thalibil 'Ilmi hal. 146 terbitan Muassasah Asy Syaikh Al 'Utsaimin]

Terlebih lagi kebanyakan bid'ah yang banyak dilakukan masyarakat saat ini bukanlah seperti bid'ah para mubtadi' dimasa salaf saat itu (Murji'ah, Khawarij, Mujassimah, Mu'atthilah, Mu'tazilah dll), dan mayoritas mereka pun saat ini hanya ikut-ikutan.

Memang betul kokoh itu penting, akan tetapi kokoh tanpa ilmu pun akan memudharatkan dakwah.

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabiy Hafzhahullah berkata :

أما صاحب هذه البدعة فقد يكون مجتهدا ....
ولو أخطأ فإنه يدرأ عنه الوصف بالابتداع

"Adapun orang yang mengerjakan bid'ah ini terkadang ia adalah seorang mujtahid ..... jika seandainya ia keliru dalam ijtihadnya, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai ahli bid'ah"

Kemudian beliau kembali menambahkan

وقد يكون جاهلا فينفى عنه لجهله الوصف بسمة الابتداع، مع ترتيب الأثم عليه لتقصيره في طلب العلم، إلا أن يشاء الله

"Terkadang orang yang mengerjakan bid'ah berasal dari orang yang bodoh terhadap ilmu syar'i, maka karena kebodohan dirinya dinafikan (ditiadakan) hukum sebagai ahli bid'ah, meskipun ia terjatuh kedalam perbuatan dosa karena peremehannya dari menuntut ilmu agama, kecuali jika atas kehendak Allah".

Kemudian Asy-Syaikh mengatakan ada kemungkinan penghalang penghalang lainnya dari disematkan kepadanya "Ahli Bid'ah"

Lantas, siapa kalau begitu sang ahli bid'ah ?

Beliau menjelaskan :

أما من أصر على بدعته بعد ظهور الحق له، اتباعا للآباء و لأجداد و جريا وراء المألوف مثل هذا يليق به تماما الوصف با لابتداع، لإعراضه و تنكره و ابتعاده و تمحله

"Adapun orang yang terus menerus dalam kebid'ahannya setelah nampak baginya kebenaran, karena dalam rangka mengikuti nenek moyang, tradisi dan budaya maka orang seperti ini sangat layak untuk dikatakan sebagai Ahli Bid'ah karena sikap berpaling dan pengingkarannya dari kebenaran". ['Ilmu Ushul Bida' hal. 209-210 terbitan Dar Ar Rayah]

***

📝 Ustadz Abu Hanifah Jandriadi Yasin
Share:

ISLAM AGAMA DALIL BUKAN LOGIKA

Image for Agama Islam Agama Dalil di 2020 | Agama, Islam, Motivasiagama mesti dibangun di atas dalil. Dalam meyakini suatu akidah dalam Islam mesti dengan dalil. Dalam menetapkan suatu amalan dan hukum pun dengan dalil. Kalau seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah sepatu (khuf) lebih pantas diusap daripada bagian atasnya. Namun ternyata praktek Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diusap adalah bagian atasnya. Kalau logika bertentangan dengan dalil, maka dalil tetap harus dimenangkan atau didahulukan.

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Kata Ash Shon’ani rahimahullah, “Tentu saja secara logika yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah sepatu daripada atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah.” Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. Lihat Subulus Salam, 1: 239.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Agama bukanlah dengan logika. Agama bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil yang mantap dibangun di atas otak yang cemerlang. Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang smart (cemerlang). Karena dalam Al Qur’an pun disebutkan,

أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian.” (QS. Al Baqarah: 44). Yang menyelisihi tuntunan syari’at, itulah yang menyelisihi logika yang sehat. Makanya sampai ‘Ali mengatakan, seandainya agama dibangun di atas logika, maka tentu bagian bawah sepatu lebih pantas diusap. Namun agama tidak dibangun di atas logika-logikaan. Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Mereka belum tahu bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 1: 370).

Guru kami, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hadits ‘Ali dapat diambil kesimpulan bahwa agama bukanlah berdasarkan logika. Namun agama itu berdasarkan dalil. Sungguh Allah sangat bijak dalam menetapkan hukum dan tidaklah Dia mensyari’atkan kecuali ada hikmah di dalamnya.” (Tashilul Ilmam, 1: 170).

Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Hendaklah setiap muslim tunduk pada hadits yang diucapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah sampai seseorang mempertentangkan dalil dengan logika. Jika logika saja yang dipakai, maka tidak bisa jadi dalil. Ijtihad dengan logika adalah hasil kesimpulan dari memahami dalil Al Qur’an dan hadits.” (Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, hal. 249).

Beberapa pelajaran dari hadits di atas:

1- Agama bukanlah dibangun di atas logika.

2- Seandainya berseberangan antara akal dan dalil, maka wajib mengedepankan dalil. Namun sebenarnya sama sekali tidak mungkin bertentangan antara dalil shahih dan akal yang baik.

3- Sandaran hukum syar’i adalah pada dalil. Karena ‘Ali pun beralasan yang diusap adalah atas khuf (sepatu) dengan perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4- Jika memandang tekstual hadits, kedua kaki diusap berbarengan, yaitu tangan kanan mengusap kaki kanan dan tangan kiri mengusap kaki kiri.

5- Hadits ini merupakan bantahan pada Rafidhah (baca: Syi’ah) karena imam mereka sendiri yaitu ‘Ali bin Abi Tholib yang mereka anggap ma’shum berbeda keyakinan dengan mereka. Karena orang Syi’ah tidak meyakini adanya mengusap khuf (sepatu). Sedangkan ‘Ali meyakini adanya mengusap khuf bahkan meriwayatkan hadits tentang hal itu. Namun anehnya, orang Syi’ah menganggap tidak boleh mengusap khuf, tetapi dalam hal mencuci kaki saat berwudhu, mereka menganggap boleh hanya dengan mengusap kaki kosong. Sungguh aneh!

6- Boleh berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada dua artikel Rumaysho.Com yang terkait dengan masalah ini yang bisa dipelajari: (1) Mendudukkan Akal pada Tempatnya, (2) Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil. Begitu pula baca tulisan penulis ketika menyanggah buku karangan Agus Musthofa: Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Silakan baca pula tentang mengusap khuf: Ajaran Mengusap Khuf.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 286-289.

Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1425 H, 1: 370-374.

Subulus Salam Al Muwshilah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.

Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 249.

Tashil Al Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Marom, Syaikhuna (guru kami) Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1430 H...

بارك الله فيك.

              Salam Tauhid Jalan Sunnah
    •═══════◎❅◎❦۩❁۩❦◎❅◎═══════•
Share:

KEUTAMAAN PEDAGANG YANG JUJUR DAN AMANAH

Larangan Jual Beli Munabadzah dan Alasannyaعن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: « التَّاجِرُ الأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ – وفي رواية: مع النبيين و الصديقين و الشهداء –  يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رواه ابن ماجه والحاكم والدارقطني وغيرهم

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) akan (dikumpulkan) bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti).”[1]

Hadis yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan seorang pedagang yang memiliki sifat-sifat ini, karena dia akan dimuliakan dengan keutamaan besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan dikumpulkan bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat. Imam ath-Thiibi mengomentari hadis ini dengan mengatakan, “Barangsiapa yang selalu mengutamakan sifat jujur dan amanah, maka dia termasuk golongan orang-orang yang taat (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid, tapi barangsiapa yang selalu memilih sifat dusta dan khianat, maka dia termasuk golongan orang-orang yang durhaka (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala); dari kalangan orang-orang yang fasik (buruk/rusak agamanya) atau pelaku maksiat”.[2]

Beberapa faidah penting yang dapat kita petik dari hadis ini:

– Maksud sifat jujur dan amanah dalam berdagang adalah dalam keterangan yang disampaikan sehubungan dengan jual beli tersebut dan penjelasan tentang cacat atau kekurangan pada barang dagangan yang dijual jika memang ada cacatnya.[3]

– Inilah sebab yang menjadikan keberkahan dan kebaikan dalam perdagangan dan jual beli, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau keduanya (pedagang dan pembeli) bersifat jujur dan menjelaskan (keadaan barang dagangan atau uang pembayaran), maka Allah akan memberkahi keduanya dalam jual beli tersebut. Akan tetapi kalau kaduanya berdusta dan menyembunyikan (hal tersebut), maka akan hilang keberkahan jual beli tersebut”.[4]

– Berdagang yang halal dengan sifat-sifat terpuji yang disebutkan dalam hadis ini adalah pekerjaan yang disukai dan dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat y, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang shahih.[5] Adapun hadis “Sembilan persepuluh (90 %) rezeki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh syaikh al-Albani.[6]

– Maksud dari keutamaan dalam hadis ini: “…bersama para Nabi, orang-orang shiddiq dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat (nanti)” bukanlah berarti derajat dan kedudukannya sama persis dengan derajat dan kedudukan mereka, tapi maksudnya dikumpulkan di dalam golongan mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا. ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ عَلِيمًا

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan (dikumpulkan) bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan Allah cukup mengetahui.” (QS an-Nisaa’: 69-70)[7].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

                                                                              Kota Kendari, 11 Jumadal Akhir 1433 H

                                                                                      Abdullah bin Taslim al-Buthoni

[1] HR Ibnu Majah (no. 2139), al-Hakim (no. 2142) dan ad-Daraquthni (no. 17), dalam sanadnya ada kelemahan, akan tetapi ada hadits lain yang menguatkannya, dari Abu Sa’id al-Khudri  radhiallahu ‘anhu, HR at-Tirmidzi (no. 1209) dan lain-lain. Oleh karena itu, hadits dinyatakan baik sanadnya oleh imam adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani (lihat “ash-Shahiihah” no. 3453).
[2] Lihat kitab “Syarhu sunani Ibni Majah” (hal. 155).
[3] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/278).
[4] HSR al-Bukhari (no. 1973) dan Muslim (no. 1532).
[5] HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (23/300, no. 674) dan dinyatakan  jayyid (baik/shahih) oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaa-ditsish shahiihah” (no. 2929).
[6] Dalam “Silsilatul ahaa-ditsidh dha’iifah” (no. 3402).
[7] Lihat keterangan imam adz-Dzahabi dalam “Miizaanul i’tidaal” (3/413).

Artikel http://www.PengusahaMuslim.com
Share:

🌿🌹 *DZIKIR PETANG* 🌹🌿

Dzikir Pagi dan Petang Seperti Baju Besi  
أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

*A'uudzu billaahi minasy-syaithoonir-rojiim*

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.

➡ *1. Membaca Ayat Kursi (1x)*

اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْحَـيُّ الْقَيُّوْمُ ۚ لَا تَأْخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌ ۗ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَ رْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗۤ اِلَّا بِاِ ذْنِهٖ ۗ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۚ وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ ۚ وَلَا يَــئُوْدُهٗ حِفْظُهُمَا ۚ وَ هُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ

*AYAT KURSI*

*allāhu lā ilāha illā huw, al-ḥayyul-qayyụm, lā ta`khużuhụ sinatuw wa lā na`ụm, lahụ mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, man żallażī yasyfa'u 'indahū illā bi`iżnih, ya'lamu mā baina aidīhim wa mā khalfahum, wa lā yuḥīṭụna bisyai`im min 'ilmihī illā bimā syā`, wasi'a kursiyyuhus-samāwāti wal-arḍ, wa lā ya`ụduhụ ḥifẓuhumā, wa huwal-'aliyyul-'aẓīm.*

“Allah tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang (berada) dihadapan mereka, dan dibelakang mereka dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Al-Baqarah: 255) [1]

➡ *2. Membaca Surat Al-Ikhlas (3x)*

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah (Rabb) yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. [2]

➡ *3. Membaca Surat Al-Falaq (3x)*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ اَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِۙ ,مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَۙ وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ اِذَا وَقَبَۙ وَمِنْ شَرِّ النَّفّٰثٰتِ فِى الْعُقَدِۙ وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ

Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dari kejahatan (perempuan-perempuan) penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya). [3]

➡ *4. Membaca Surat An-Naas (3x)*

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Rabb (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan (Ilah) manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada-dada manusia. Dari golongan jin dan manusia.”
[4]

➡ *5. Membaca (1x)* :

أَمْسَيْنَا وَأَمْسَى الْمُلْكُ لِلَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رَبِّ أَسْأَلُكَ خَيْرَ مَا فِيْ هَـٰذِهِ اللَّيْلَةِ وَخَيْرَ مَا بَعْدَهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا فِيْ هَـٰذِهِ اللَّيْلَةِ وَشَرِّ مَا بَعْدَهَا، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكَسَلِ وَسُوْءِ الْكِبَرِ، رَبِّ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابٍ فِي النَّارِ وَعَذَابٍ فِي الْقَبْرِ

*Amsainaa wa amsal mulku lillaah, wal hamdulillaah, laa ilaaha illallaah, wahdahu laa syariika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa 'alaa kulli syai-in qodiir. Robbi as-aluka khoiro maa fii haadzihil-lailati wa khoiro maa ba'dahaa, wa a'uudzu bika min syarri maa fii haadzihil-lailati wa syarri maa ba'dahaa, robbi a'uudzu bika minal kasali wa suu-il kibar, robbi a'uudzu bika min 'adzaabin fin-naari wa 'adzaabin fil qobr.*

Kami telah memasuki waktu sore dan kerajaan hanya milik Allah, segala puji bagi Allah. Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. Bagi-Nya kerajaan dan bagiNya pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Hai Tuhan, aku mohon kepada-Mu kebaikan di malam ini dan kebaikan sesudahnya. Aku berlindung keDibac dari kejahatan malam ini dan kejahatan sesudahnya. Wahai Tuhan, aku berlindung kepadaMu dari kemalasan dan kejekelekan di hari tua. Wahai Tuhan, aku berlindung kepadamu dari siksaan di Neraka dan kubur. [5]

➡ *6. Membaca (1x)* :

اَللَّهُمَّ بِكَ أَمْسَيْنَا، وَبِكَ أَصْبَحْنَا، وَبِكَ نَحْيَا، وَبِكَ نَمُوْتُ، وَإِلَيْكَ الْمَصِيْرُ

*Allaahumma bika amsainaa, wa bika ash-bahnaa, wa bika nahyaa, wa bika namuutu, wa ilaikal mashiir.*

Ya Allah, dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu sore, dan dengan rahmat dan pertolonganMu kami memasuki waktu pagi. Dengan rahmat dan pertolonganMu kami hidup dan dengan kehendakMu kami mati. Dan kepadaMu tempat kembali (bagi semua makhluk).
[6]

➡ *7. Membaca Sayyidul Istighfar (1x)*

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

*Allahumma anta robbii laa ilaha illa anta, kholaqtanii wa anaa ‘abduka wa anaa ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mas-tatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu. Abu-u laka bi ni’matika ‘alayya wa abu-u bi dzambii. Fagh-firlii fainnahu laa yagh-firudz dzunuuba illa anta.*

“Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) kecuali Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan (apa) yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu (yang diberikan) kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau.” [7]

➡ *8. Membaca (3x)* :

اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَدَنِيْ، اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ، اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ. اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ،
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

ALLAHUMMA ‘AFINI FII BADANII, ALLAHUMMA ‘AFINI FII SAM’II, ALLAHUMMA ‘AFINII FII BASHARII, LAA ILAAHA ILLA ANTA ALLAHUMMA INNII A’UDZU BIKA MINAL KUFRI WAL FAQRI, ALLAHUMMA INNII A’UDZUBIKA MIN ‘ADZABIL QABRI, LAA ILAAHA ILLA ANTA

“Ya Allah, selamatkanlah tubuhku (dari penyakit dan dari apa yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkanlah pendengaranku (dari penyakit dan maksiat atau dari apa yang tidak aku inginkan). Ya Allah, selamatkanlah penglihatanku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran. Aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.” [8]

➡ *9. Membaca (1x)* :

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِيْنِيْ وَدُنْيَايَ وَأَهْلِيْ وَمَالِيْ اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِى وَآمِنْ رَوْعَاتِى. اَللَّهُمَّ احْفَظْنِيْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ، وَمِنْ خَلْفِيْ، وَعَنْ يَمِيْنِيْ وَعَنْ شِمَالِيْ، وَمِنْ فَوْقِيْ، وَأَعُوْذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِيْ

*Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fid dunyaa wal aakhiroh. Allahumma innii as-alukal ‘afwa wal ‘aafiyah fii diinii wa dun-yaya wa ahlii wa maalii. Allahumas-tur ‘awrootii wa aamin row’aatii. Allahumah fadni min bayni yadayya wa min kholfii wa ‘an yamiinii wa ‘an syimaalii wa min fawqii wa a’udzu bi ‘azhomatik an ughtala min tahtii.*

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebajikan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan hartaku. Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tentramkan-lah aku dari rasa takut. Ya Allah, peliharalah aku dari depan, belakang, kanan, kiri dan dari atasku. Aku berlindung dengan kebesaran-Mu, agar aku tidak disambar dari bawahku (aku berlindung dari dibenamkan ke dalam bumi).”
[9]

➡ *10. Membaca (1x)* :

اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ

*Allahumma ‘aalimal ghoybi wasy syahaadah faathiros samaawaati wal ardh. Robba kulli syai-in wa maliikah. Asyhadu alla ilaha illa anta. A’udzu bika min syarri nafsii wa min syarrisy syaythooni wa syirkihi, wa an aqtarifa ‘alaa nafsii suu-an aw ajurruhu ilaa muslim.*

“Ya Allah Yang Mahamengetahui yang ghaib dan yang nyata, wahai Rabb Pencipta langit dan bumi, Rabb atas segala sesuatu dan Yang Merajainya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku, syaitan dan ajakannya menyekutukan Allah (aku berlindung kepada-Mu) dari berbuat kejelekan atas diriku atau mendorong seorang muslim kepadanya.” [10]

➡ *11. Membaca (3x)* :

بِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

*Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa laa fis samaa’ wa huwas samii’ul ‘aliim.*

“Dengan Menyebut Nama Allah, yang dengan Nama-Nya tidak ada satupun yang membahayakan, baik di bumi maupun dilangit. Dia-lah Yang Mahamendengar dan Maha mengetahui.” [11]

➡ *12. Membaca (3x)* :

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا

*Rodhiitu billaahi robbaa wa bil-islaami diinaa, wa bi-muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallama nabiyya.*

“Aku rela (ridha) Allah sebagai Rabb-ku (untukku dan orang lain), Islam sebagai agamaku dan Muhammad صلي الله عليه وسلم sebagai Nabiku (yang diutus oleh Allah).” [12]

➡  *13. Membaca (1x)* :

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

*Yaa Hayyu Yaa Qoyyum, bi-rohmatika as-taghiits, wa ash-lih lii sya’nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsii thorfata ‘ainin*

“Wahai Rabb Yang Mahahidup, Wahai Rabb Yang Mahaberdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala keadaan dan urusanku dan jangan Engkau serahkan kepadaku meski sekejap mata sekalipun (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” [13]

➡ *14. Membaca (1x)* :

أَمْسَيْنَا عَلَى فِطْرَةِ اْلإِسْلاَمِ، وَعَلَى كَلِمَةِ اْلإِخْلاَصِ، وَعَلَى دِيْنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَلَى مِلَّةِ أَبِيْنَا إِبْرَاهِيْمَ، حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

*Amsainaa 'alaa fithrotil islaam, wa 'alaa kalimatil ikhlaash, wa 'alaa diini nabiyyinaa muhammadin shollallaahu 'alaihi wa sallam, wa 'alaa millati abiinaa ibroohiim, haniifan musliman wa maa kaana minal musyrikiin.*

Di waktu sore kami berada di atas fitrah Islam, kalimat ikhlas, agama Nabi kami Muhammad, dan agama ayah kami Ibrahim, yang berdiri di atas jalan yang lurus, muslim dan tidak tergolong orang-orang musyrik. [14]

➡ *15. Membaca (1x atau 10x atau 100x)* :

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.

*Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir.*

“Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” [15],[16],[17]

➡ *16. Membaca (100x)* :

سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

*Subhanallah wa bi-hamdih.*

“Mahasuci Allah, aku memuji-Nya.” [18]

➡ *17. Membaca (3x)* :

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

*A'uudzu bi kalimaatillaahit-taammaati min syarri maa khalaq.*

Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya. [19]

_____

_Fote Note:_

[1] Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang membaca ayat ini ketika pagi hari, maka ia dilindungi dari (gangguan) jin hingga sore hari. Dan barangsiapa mengucapkannya ketika sore hari, maka ia dilindungi dari (gangguan) jin hingga pagi hari.” (HR. Al-Hakim (1/562), Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (1/418, no. 662), shahih).

[2] HR. Abu Dawud (no. 5082), an-Nasa-i (VIII/250) dan at-Tirmidzi (no. 3575), Ahmad (V/312), Shahiih at-Tirmidzi (no. 2829), Tuhfatul Ahwadzi (no. 3646), Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (1/411, no. 649), hasan shahih.

[3] Ibid.

[4] “Barangsiapa membaca tiga surat tersebut setiap pagi dan sore hari, maka (tiga surat tersebut) cukup baginya dari segala sesuatu”. Yakni mencegahnya dari berbagai kejahatan. HR. Abu Dawud (no. 5082), Shahiih Abu Dawud (no. 4241), Annasa-i (VIII 250) dan At-Tirmizi (no. 3575), At-Tarmidzi berkata “Hadits ini hasan shahih”. Ahmad (V/312), dari Abdullah bin Khubaib radhiyallahu ‘anhu. Shahiih at-Tirmidzi (no. 2829), Tuhfatul Ahwadzi (no. 3646), Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (1/411 no. 649), hasan shahih.

[5] HR. Muslim (no. 2723), Abu Dawud (no. 5071), dan at-Tirmidzi (3390), shahih dari Abdullah Ibnu Mas’ud.

[6] HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1199, lafazh ini adalah lafazh al-Bukhari, at-Tirmidzi no. 3391, Abu Dawud no. 5068, Ahmad 11/354, Ibnu Majah no. 3868, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. Shahiih al-Adabil  no. 911, shahih. Lihat pula Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 262.

[7] “Barangsiapa membacanya dengan yakin di waktu pagi lalu ia meninggal sebelum masuk waktu sore, maka ia termasuk ahli Surga. Dan barangsiapa membacanya dengan yakin di waktu sore lalu ia meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk ahli Surga.” (HR. Al-Bukhari no. 6306, 6323, Ahmad IV/122-125, an-Nasa-i VIII/279-280) dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu.

[8] HR. Al-Bukhari dalam Shahiib al-Adabil Mufrad no. 701, Abu Dawud no. 5090, Ahmad V/42, hasan. Lihat Shahiih Al-Adabil Mufrad no.539

[9] HR. Al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1200, Abu Dawud no. 5074, An-Nasa-i VIII / 282, Ibnu Majah no. 3871, al-Hakim 1/517-518, dan lainnya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumaa. Lihat Shahiih al-Adabul Mufrad no. 912, shahih

[10] Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda kepada Abu Bakar ash-Shiddiq رضي الله عنه “Ucapkanlah pagi dan petang dan apabila engkau hendak tidur.” HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad 1202, at-Tirmidzi no.3392 dan Abu Daud no. 5067,Lihat Shahih At- Tirmidzi no. 2798, Shahiih al-Adabil Mufrad no. 914, shahih. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 2753

[11] “Barangsiapa membacanya sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore hari, maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakan dirinya.” HR. At-Tirmidzi no. 3388, Abu Dawud no. 5088,Ibnu Majah no. 3869, al-Hakim 1/514, Dan Ahmad no. 446 dan 474, Tahqiq Ahmad Syakir. Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih Ibni Majah no. 3120, al-Hakim 1/513, Shahiih al-Adabil Mufrad no. 513, Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib 1/413 no. 655, sanad-nya shahih.

[12] “Barangsiapa membacanya sebanyak tiga kali ketika pagi dan sore, maka Allah memberikan keridhaan-Nya kepadanya pada hari Kiamat.” HR. Ahmad IV/337, Abu Dawud no. 5072, at-Tirmidzi no. 3389, Ibnu Majah no. 3870, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 4 dan Ibnus Sunni no. 68, dishahihkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/518 dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi, hasan. Lihat Shahiih At Targhiib wat Tarhiib I/415 no. 657, Shahiih At Targhiib wat Tarhiib al-Waabilish Shayyib hal. 170, Zaadul Ma’aad II/372, Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 2686.

[13] HR. An-Nasa'i dalam Sunan al-Kubro, Al-Hakim dalam al-Mustadzrak, Al-Baihaqi dalam Asma wa shifat dan dishahihkan Al Albani dalam Silsilah as-Shahihah no. 227).

[14] HR. Ahmad 3/406-407, 5/123. Lihat juga Shahihul Jami' 4/290. Ibnus Sunni juga meriwayatkannya di 'Amalul Yaum wal Lailah no. 34.

[15] HR. Abu Dawud no. 5077, Ibnu Majah no. 3867, dari Ab ‘Ayyasy Azzurraqy radhiyallahu ‘anhu, Shahiih Jaami’ish Shaghiir no. 6418, Misykaatul Mashaabiih no. 2395, Shahiih at-Targhiib 1/414 no. 656, shahih.

[16]  HR. An-Nasa-i dalam 'Amalul wal Lailah (no. 24), Ahmad (V/420), dari Abu Ayyun al-Anshari. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (no. 113 dan 114) dan Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib (I/416, no. 660), shahih.

[17] “Barangsiapa membacanya sebanyak 100x dalam sehari, maka baginya (pahala) seperti memerdekakan sepuluh budak, ditulis seratus kebaikan, dihapus darinya seratus keburukan, mendapat perlindungan dari syaitan pada hari itu hingga sore hari. Tidaklah seseorang itu dapat mendatangkan yang lebih baik dari apa yang dibawanya kecuali ia melakukan lebih banyak lagi dari itu.” HR. Al-Bukhari no. 3293 dan 6403, Muslim IV/2071 no. 2691 (28), at-Tirmidzi no. 3468, Ibnu Majah no. 3798, dari Sahabat Abu Hurairah رضي الله عنه. Penjelasan: Dalam riwayat an-Nasa-i (‘Amalul Yaum wal Lailah no. 580) dan Ibnus Sunni no. 75 dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dengan lafadz: “Barangsiapa membaca 100x pada pagi hari dan 100x pada sore Hari.”… Jadi, dzikir ini dibaca 100x diwaktu pagi dan 100x diwaktu sore. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 2762

[18] HR. Muslim no. 2691 dan no. 2692, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Syarah Muslim XVII / 17-18, Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib 1/413 no. 653. Jumlah yang terbanyak dari dzikir-dzikir Nabi adalah seratus diwaktu pagi dan seratus diwaktu sore. Adapun riwayat yang menyebutkan sampai seribu adalah munkar, karena haditsnya dha’if. (Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha-’iifah no. 5296).

[19] HR. Ahmad 2/290, An-Nasa'i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah, no. 590 dan Ibnu Sunni no. 68. Lihat Shahih At-Tirmidzi 3/187, Shahih Ibnu Majah 2/266 dan Tuhfatul Akhyar, hal. 45.

-------------------

Dinukil dari buku Doa Dan Wirid halaman 133- 155 yang disusun oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir jawas , Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafii. 

Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Arsip Blog

Cari