Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Usaimin menjelaskan hukum berinteraksi dengan
Ahlu Bid'ah, hal ini penting untuk diketahui, karena banyak mas-mas atau
mbak-mbak pengajian keliru dalam menerapkan fatawa para ulama kita
tentang hal ini, sehingga jadilah mereka sebagai sosok-sosok yang kaku
ditengah masyarakat yang majemuk dan heterogen.
Sebagian mas-mas dan mbak-mbak ini hafizhamullah berdalih dengan perkataan para ulama, misalnya perkataan Al-Imam Abu 'Utsman Ash Shabuni rahimahullah dalam kitab beliau Aqidatus salaf wa Ashhabul Hadits :
"Mereka (Ahlussunnah) membenci Ahlul Bid'ah yang membuat perkara baru dalam agama. Mereka tidak mencintai Ahlul Bid'ah, tidak berkawan dengan mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk bersama mereka. Serta tidak mendebat mereka .... dst".
Belum lagi ditambah riwayat riwayat lainnya dari para salaf yang berkenan dengan hal ini. So, jangan kaget dengan sikap mas-mas dan mbak-mbak tersebut
Akan tetapi apakah bisa diterapkan secara mutlak hal diatas...?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah menjelaskan :
كلام الصابوني رحمه الله يحتاج الى بيان
"Perkataan Al Imam Ash Shabuni diatas perlu dijabarkan kembali"
فقوله :
ويبغضون أهلالبدع الذين أحدثوا في الدين ما ليس منه
"Mereka Ahlussunnah membenci Ahlul bid'ah yang membuat perkara perkara baru dalam agama"
لا شك ان هذا امر واجب على كل مسلم , ان يبغض من أحدث في دين الله ما ليس منه , لكن اذا كانت بدعته غير مكفرة فإنه يبغض من وجه ويحب من وجه آخر , لكن بدعته تبغض بكل حال .
"Tidak diragukan lagi bahwa perkara ini (membenci ahli bid'ah) wajib hukumnya atas setiap muslim untuk membenci setiap orang yang mengada-ada dalam perkara agama. Akan tetapi jika bid'ah nya tersebut bukanlah bid'ah yang sampai membuatnya kafir, maka ia dibenci dari sisi bid'ahnya saja, dan ia masih dicintai dari sisi yang lain (masih muslim, pent). Akan tetapi bid'ahnya tersebut tetap dibenci dalam keadaan apapun.
كذلك ايضا لا يصحبونه , اذاصحبته تأليفا له ودعوة له فلا بأس لكن بشرط انك إذا آيست من صلاحه تركته وفارقته .
"Demikian pula bahwa Ahlussunnah tidak berkawan dengan ahli bid'ah, jika anda berkawan dengannya dalam rangka untuk melunakkan hati mereka dan mendakwahi mereka maka tidaklah mengapa. Akan tetapi dengan syarat : jika anda tidak bisa mengharapkan dari kebaikannya lagi (meninggalkan bid'ah, pent) maka tinggalkanlah orang tersebut".
لا يسمعون كلامهم ولا يجالسونهم ولا يجادلونهم في الدين ,ولا يناظرنهم :
كل هذه تحتاج الى قيود
"Ucapan Ash ashabuni : Mereka (Ahlussunnah) tidak mendengar ucapan ahli bid'ah, tidak duduk bersama mereka, dan tidak berdebat dengan mereka maka ini semua masih membutuhkan perincian"
لا يسمعون كلامهم , اذا لم يكن في ذلك فائدة , فإن كان هناك فائدة بحيث يسمع كلامه ليرى ما فيه من الباطل حتى يرد عليه , فان السماع هناوالاستماع واجب , لانه لا يمكنك ان ترد على قول الا بعد ان تعرفه اذ ان الحكم علىشئ فرض عن تصوره
"Ahlussunnah tidak mendengar ucapan ahli bid'ah, jika hal tersebut tidak ada faedahnya. Jika terdapat faidah, misalnya ia mendengar ucapan mereka untuk mengatahui kebatilan mereka dengan tujuan membantahnya, maka hukum mendengar ucapan mereka adalah wajib dst......". [Syarh Hilyah Thalibil 'Ilmi hal. 146 terbitan Muassasah Asy Syaikh Al 'Utsaimin]
Terlebih lagi kebanyakan bid'ah yang banyak dilakukan masyarakat saat ini bukanlah seperti bid'ah para mubtadi' dimasa salaf saat itu (Murji'ah, Khawarij, Mujassimah, Mu'atthilah, Mu'tazilah dll), dan mayoritas mereka pun saat ini hanya ikut-ikutan.
Memang betul kokoh itu penting, akan tetapi kokoh tanpa ilmu pun akan memudharatkan dakwah.
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabiy Hafzhahullah berkata :
أما صاحب هذه البدعة فقد يكون مجتهدا ....
ولو أخطأ فإنه يدرأ عنه الوصف بالابتداع
"Adapun orang yang mengerjakan bid'ah ini terkadang ia adalah seorang mujtahid ..... jika seandainya ia keliru dalam ijtihadnya, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai ahli bid'ah"
Kemudian beliau kembali menambahkan
وقد يكون جاهلا فينفى عنه لجهله الوصف بسمة الابتداع، مع ترتيب الأثم عليه لتقصيره في طلب العلم، إلا أن يشاء الله
"Terkadang orang yang mengerjakan bid'ah berasal dari orang yang bodoh terhadap ilmu syar'i, maka karena kebodohan dirinya dinafikan (ditiadakan) hukum sebagai ahli bid'ah, meskipun ia terjatuh kedalam perbuatan dosa karena peremehannya dari menuntut ilmu agama, kecuali jika atas kehendak Allah".
Kemudian Asy-Syaikh mengatakan ada kemungkinan penghalang penghalang lainnya dari disematkan kepadanya "Ahli Bid'ah"
Lantas, siapa kalau begitu sang ahli bid'ah ?
Beliau menjelaskan :
أما من أصر على بدعته بعد ظهور الحق له، اتباعا للآباء و لأجداد و جريا وراء المألوف مثل هذا يليق به تماما الوصف با لابتداع، لإعراضه و تنكره و ابتعاده و تمحله
"Adapun orang yang terus menerus dalam kebid'ahannya setelah nampak baginya kebenaran, karena dalam rangka mengikuti nenek moyang, tradisi dan budaya maka orang seperti ini sangat layak untuk dikatakan sebagai Ahli Bid'ah karena sikap berpaling dan pengingkarannya dari kebenaran". ['Ilmu Ushul Bida' hal. 209-210 terbitan Dar Ar Rayah]
***
Ustadz Abu Hanifah Jandriadi Yasin
Sebagian mas-mas dan mbak-mbak ini hafizhamullah berdalih dengan perkataan para ulama, misalnya perkataan Al-Imam Abu 'Utsman Ash Shabuni rahimahullah dalam kitab beliau Aqidatus salaf wa Ashhabul Hadits :
"Mereka (Ahlussunnah) membenci Ahlul Bid'ah yang membuat perkara baru dalam agama. Mereka tidak mencintai Ahlul Bid'ah, tidak berkawan dengan mereka, tidak mendengar ucapan mereka, tidak duduk bersama mereka. Serta tidak mendebat mereka .... dst".
Belum lagi ditambah riwayat riwayat lainnya dari para salaf yang berkenan dengan hal ini. So, jangan kaget dengan sikap mas-mas dan mbak-mbak tersebut
Akan tetapi apakah bisa diterapkan secara mutlak hal diatas...?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin Rahimahullah menjelaskan :
كلام الصابوني رحمه الله يحتاج الى بيان
"Perkataan Al Imam Ash Shabuni diatas perlu dijabarkan kembali"
فقوله :
ويبغضون أهلالبدع الذين أحدثوا في الدين ما ليس منه
"Mereka Ahlussunnah membenci Ahlul bid'ah yang membuat perkara perkara baru dalam agama"
لا شك ان هذا امر واجب على كل مسلم , ان يبغض من أحدث في دين الله ما ليس منه , لكن اذا كانت بدعته غير مكفرة فإنه يبغض من وجه ويحب من وجه آخر , لكن بدعته تبغض بكل حال .
"Tidak diragukan lagi bahwa perkara ini (membenci ahli bid'ah) wajib hukumnya atas setiap muslim untuk membenci setiap orang yang mengada-ada dalam perkara agama. Akan tetapi jika bid'ah nya tersebut bukanlah bid'ah yang sampai membuatnya kafir, maka ia dibenci dari sisi bid'ahnya saja, dan ia masih dicintai dari sisi yang lain (masih muslim, pent). Akan tetapi bid'ahnya tersebut tetap dibenci dalam keadaan apapun.
كذلك ايضا لا يصحبونه , اذاصحبته تأليفا له ودعوة له فلا بأس لكن بشرط انك إذا آيست من صلاحه تركته وفارقته .
"Demikian pula bahwa Ahlussunnah tidak berkawan dengan ahli bid'ah, jika anda berkawan dengannya dalam rangka untuk melunakkan hati mereka dan mendakwahi mereka maka tidaklah mengapa. Akan tetapi dengan syarat : jika anda tidak bisa mengharapkan dari kebaikannya lagi (meninggalkan bid'ah, pent) maka tinggalkanlah orang tersebut".
لا يسمعون كلامهم ولا يجالسونهم ولا يجادلونهم في الدين ,ولا يناظرنهم :
كل هذه تحتاج الى قيود
"Ucapan Ash ashabuni : Mereka (Ahlussunnah) tidak mendengar ucapan ahli bid'ah, tidak duduk bersama mereka, dan tidak berdebat dengan mereka maka ini semua masih membutuhkan perincian"
لا يسمعون كلامهم , اذا لم يكن في ذلك فائدة , فإن كان هناك فائدة بحيث يسمع كلامه ليرى ما فيه من الباطل حتى يرد عليه , فان السماع هناوالاستماع واجب , لانه لا يمكنك ان ترد على قول الا بعد ان تعرفه اذ ان الحكم علىشئ فرض عن تصوره
"Ahlussunnah tidak mendengar ucapan ahli bid'ah, jika hal tersebut tidak ada faedahnya. Jika terdapat faidah, misalnya ia mendengar ucapan mereka untuk mengatahui kebatilan mereka dengan tujuan membantahnya, maka hukum mendengar ucapan mereka adalah wajib dst......". [Syarh Hilyah Thalibil 'Ilmi hal. 146 terbitan Muassasah Asy Syaikh Al 'Utsaimin]
Terlebih lagi kebanyakan bid'ah yang banyak dilakukan masyarakat saat ini bukanlah seperti bid'ah para mubtadi' dimasa salaf saat itu (Murji'ah, Khawarij, Mujassimah, Mu'atthilah, Mu'tazilah dll), dan mayoritas mereka pun saat ini hanya ikut-ikutan.
Memang betul kokoh itu penting, akan tetapi kokoh tanpa ilmu pun akan memudharatkan dakwah.
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halabiy Hafzhahullah berkata :
أما صاحب هذه البدعة فقد يكون مجتهدا ....
ولو أخطأ فإنه يدرأ عنه الوصف بالابتداع
"Adapun orang yang mengerjakan bid'ah ini terkadang ia adalah seorang mujtahid ..... jika seandainya ia keliru dalam ijtihadnya, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai ahli bid'ah"
Kemudian beliau kembali menambahkan
وقد يكون جاهلا فينفى عنه لجهله الوصف بسمة الابتداع، مع ترتيب الأثم عليه لتقصيره في طلب العلم، إلا أن يشاء الله
"Terkadang orang yang mengerjakan bid'ah berasal dari orang yang bodoh terhadap ilmu syar'i, maka karena kebodohan dirinya dinafikan (ditiadakan) hukum sebagai ahli bid'ah, meskipun ia terjatuh kedalam perbuatan dosa karena peremehannya dari menuntut ilmu agama, kecuali jika atas kehendak Allah".
Kemudian Asy-Syaikh mengatakan ada kemungkinan penghalang penghalang lainnya dari disematkan kepadanya "Ahli Bid'ah"
Lantas, siapa kalau begitu sang ahli bid'ah ?
Beliau menjelaskan :
أما من أصر على بدعته بعد ظهور الحق له، اتباعا للآباء و لأجداد و جريا وراء المألوف مثل هذا يليق به تماما الوصف با لابتداع، لإعراضه و تنكره و ابتعاده و تمحله
"Adapun orang yang terus menerus dalam kebid'ahannya setelah nampak baginya kebenaran, karena dalam rangka mengikuti nenek moyang, tradisi dan budaya maka orang seperti ini sangat layak untuk dikatakan sebagai Ahli Bid'ah karena sikap berpaling dan pengingkarannya dari kebenaran". ['Ilmu Ushul Bida' hal. 209-210 terbitan Dar Ar Rayah]
***
Ustadz Abu Hanifah Jandriadi Yasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar