URGENSI PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam termasuk dari maqoshid syar’iyyah (tujuan syari’at) yang paling penting yang terkandung dalam agama ini. Al Qur`an dan Rasulullah senantiasa menyerukannya. Persatuan dalam masalah aqidah, ibadah, dan akhlak, semuanya diperhatikan dan diserukan oleh Islam. Diharapkan akan terbentuk persatuan di atas petunjuk dan kebenaran. Bukan persatuan semu, yang tidak ada kenyataan, karena tidak ada faidahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala satu, Nabi kita satu, kiblat dan aqidah kita juga satu, ini semua termasuk dari salah satu sisi persatuan dalam berakidah. Begitu juga persatuan dalam masalah ibadah. Kita dapat melihat, bagaimana kaum Muslimin berkumpul setiap harinya sebanyak lima kali di masjid-masjid mereka; ini adalan salah satu fonemena dari persatuan. Juga bagaimana mereka berkumpul dengan jumlah yang lebih besar pada setiap hari Jum’at, berpuasa secara serempak di seluruh penjuru dunia dalam waktu yang sama, atau mereka saling memanggil ke suatu tempat bagi orang yang mampu untuk melaksanakan kewajiban haji, dengan menggabungkan usaha harta dan badan di satu tempat dan waktu yang sama; ini semua adalah bagian dari fonemena persatuan Islam di dalam mewujudkan hakekat akidah yang terbangun atas dasar tauhid. Karena sesungguhnya persatuan kalimat tidaklah akan menjadi benar, melainkan dengan kalimat tauhid, dengan fenomena persatuan akidah dan ibadah seperti yang telah ditunjukkan di atas.
Sebenarnya telah ada fonemena persatuan di dalam perilaku kaum Muslimin, antara satu dengan yang lainnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum Muslimin dalam saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menolong di antara mereka seperti perumpamaan satu tubuh. Tatkala salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka anggota tubuh yang lainnya akan merasakan pula dengan demam dan tidak bisa tidur” [1].
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya seperti satu bangunan, sebagiannya menguatkan yang lainnya.”[2]
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang dari kalian tidak beriman (dengan sempurna, Red) sampai ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya dengan apa yang dia dicintai dirinya” [3].
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ الْمُؤْمِنِ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”.
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ لَا يخذلهُ ولا يحقره وَلَا يُسْلِمُهُ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, dia tidak membiarkannya (di dalam kesusahan), tidak merendahkannya, dan tidak menyerahkannya (kepada musuh)”.
Semua ini adalah pemandangan yang mengkuatkan dan menyatukan hati, menghantarkan kepada anggota tubuh lainnya. Bahkan apabila kita memperhatikan firman Allah :
“Demi masa. Sesungguhnya semua manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran”. [al ‘Ashr : 1-3].
Jika kita memperhatikan firman Allah di atas (yang artinya) “dan mereka saling memberikan nasihat ”, ini juga termasuk fonemena persatuan. Karena saling menasihati tidak akan terjadi pada satu orang saja, akan tetapi terjadi pada suatu kelompok antara satu dengan yang lain, saling mengingatkan, menasehati dan saling meluruskan.
Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai”. [Ali Imran: 103]
Ini juga fonemena persatuan. Berpegang teguhlah dengan tali persatuan, kesatuan dan kebersamaan.
CARA DAN LANDASAN MEWUJUDKAN PERSATUAN
Tetapi bagaimanakah cara mewujudkan persatuan dan atas dasar apa? Apakah kebersamaan dan berkelompok berdasarkan (persamaan) ras, negara, daerah, warna (kulit) atau bahasa? Ataukah berkumpul atas dasar agama?.
Pertama kali yang difirmankan Allah dalam ayat di atas:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ
Berpegang teguh dengan Tali Allah!
Yaitu dengan agama Allah, Kitab Allah, syariat Allah, dan Sunnah NabiNya. Allah tidak menyerahkan perkara (persatuan ini) pada akal, sehingga bisa memilih apa yang dikehendaki. Akan tetapi Allah menegaskan “berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah”.
Sesungguhnya firman Allah “berpegang teguhlah” telah mengandung makna, berkumpul dan bersatu, akan tetapi Allah menekankannya lagi sebagai tambahan penjelasan “berpegang teguhlah kamu semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai- berai”.
Terdapat tiga penekanan dalam satu nash [4], semuanya mempunyai makna persatuan dan kesatuan. Dan persatuan ini tidak akan terwujud, kecuali atas dasar tauhid diikat dengan tali Allah. Maka berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai.
Persatuan yang ada hendaknya atas dasar agama, akidah dan mengikuti Sunnah Rasulullah. Makna ini telah dijelaskan dalam banyak nash. Di antaranya firman Allah dalam kitabNya :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” [al An’am :153]
Allah telah menjadikan jalanNya dibangun di atas Sunnah, yang mana ia adalah jalan Islam atau ditafsirkan dengan al Qur`an dengan segala kandungan hukum-hukumnya, yang di dalamnya terdapat argumen dan penjelasan. Allah berfirman (artinya): Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)!
Tatkala Rasulullah bersama para sahabatnya, ia menggaris di atas tanah garis yang lurus dan menggariskan garis-garis lain di kanan dan kirinya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk garis lurus tersebut seraya berkata: “Ini adalah jalan Allah”. Dan beliau menunjuk garis-garis yang bercabang di kanan dan di kirinya dengan mengatakan: ”Ini adalah jalan-jalan sesat, di setiap ujung jalan-jalan ini terdapat setan yang menyeru kepadanya”. Kemudian beliau membaca ayat ini (QS al An’am : 153). [5]
Oleh karena itu, setiap hawa-nafsu, pendapat, bid’ah dan perkara baru (dalam agama), pemikiran yang menyeleweng dan jauh dari al Kitab dan as Sunnah, jauh dari dalil dan hujjah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenarannmu jika kamu orang-orang yang benar”. [an Naml : 64].
Itu semua memisahkan dan menjauhkan dari kebenaran yang ada, serta mengikuti hawa nafsu belaka.
Seorang hamba diperintahkan untuk mengikuti perintah Allah dan RasulNya, agar ia menjadi seorang hamba yang mengikuti jalan Allah yang lurus. Bagaimana dia tidak mengamalkan perintah ini? Dan bagaimana mungkin ia tidak ingin melakukan dan berusaha untuk mengikutinya? Sementara ia telah berdo’a siang dan malam kepada Rabb-nya dalam setiap shalatnya, minimal 17 kali dengan mengatakan :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus”. [Al Fatihah:6]
Bagaimana mungkin ia meminta hidayah untuk ditunjukkan jalan yang lurus? Padahal ia sendiri menyelisihi dan mengikuti hawa nafsunya, mengikuti perkara-perkara baru (dalam agama), mengikuti fikiran dan akal yang dangkal dan kurang sehat.
Allah telah menjadikan hidayah kepada jalan lurus ini terikat dengan dua perkara:
Pertama dan yang paling penting adalah, taat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah, di dalam kitab yang menerangkan syarat hidayah ini:
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”. [an Nuur : 54].
Dan ketaatan ini tidak akan bisa dilakukan dengan sempurna oleh seseorang, kecuali bila ia beriman sebagaimana para sahabat beriman, bermanhaj dan berpaham seperti manhaj dan pemahaman para sahabat, sebagaimana firman Allah:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”. [an-Nisa’:115]
Bahkan Allah Azza wa Jalla mengaitkan syarat hidayah dengan keimanan sebagaimana keimanan para sahabat. Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk”. [al Baqarah : 137].
Maksudnya, apabila mereka beriman -yakni orang-orang setelah kalian- seperti iman kalian terhadapnya, yakni seperti para sahabat Rasul, maka mereka akan mendapatkan hidayah. Ini adalah syarat dan pondasi pokok. Apabila hilang syarat ini, maka janji dan hasil yang dikatakan serta permintaaan kita terhadap hidayah tidak ada faidahnya dan sia-sia belaka.
Dengan ini semuanya, hendaknya kita mengoreksi diri dengan segala apa yang kita lakukan, kita pikirkan dan kita bicarakan. Sehingga kita akan tetap terus berada di atas jalan Allah yang lurus untuk terus melakukan ketaatan kepadaNya, mengikuti kebenaran, untuk menuju kebenaran, yaitu Sunnah Nabi kita.
Terdapat dalam Sunnah Rasulullah yang menyebutkan secara jelas tentang gambaran dan ibrah perpecahan yang ada, ia Shallallahu ‘alaihi wa sllam bersabda :
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَسَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً , قَالُوا مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هي الجماعة (وفي رواية) هِيَ التي مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya,“Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,“Satu golongan itu adalah jama’ah.” (Dalam riwayat lain): “Mereka itu adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan yang pernah aku tempuh”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
الْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Al jama’ah adalah rahmat dan perpecahan adalah azab”
Ini semua menunjukkan penekanan terhadap makna persatuan umat. Dan persatuan ini tidak akan terbangun kecuali di atas kebenaran yang berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, di atas manhaj para sahabat Rasul yang masih belum terlumuri dengan perkara- perkara bid’ah dan kesesatan. Para sahabat adalah manusia paling baik hatinya dibandingkan manusia lain, paling dalam ilmu, paling besar kecintaan dan ittiba` kepada Rasulullah. Karena kecintaan yang murni adalah kecintaan yang terbangun di atas ittiba`, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [Ali Imran : 31].
Jadi, asas cinta kepada Rasulullah adalah ittiba’ (mengikuti) rasul dalam segala ajarannya.
Adapun kecintaan yang dibarengi dengan penyelewengan, rasa cinta dan melakukan bid’ah, maka hal ini tidaklah akan bertemu. Sebagaimana perkataan syair:
Kamu bermaksiat kepada Rasul, dan kamu mengaku mencintai beliau
Demi Allah, ini adalah permisalan yang sangat jelek.
Persatuan dalam Islam terbangun atas tauhid, ittiba` Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan manhaj Salaf dari para sahabat, tabiin dan tabiut tabiin yang merupakan manusia terbaik, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُالناس قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah manusia pada zamanku, kemudian yang berikutnya dan berikutnya”.
Dan ada tambahan di selain Shahihain :
ثُمَّ يَأْتِي أَقْوَامٌ لاَ خَيْرَ فِيْهِمْ
“Kemudian datang suatu kaum yang tidak ada kebaikan di dalamnya”.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kaum ini telah menyelisihi manhaj generasi terbaik yang telah mengikuti dan berjalan di atas petunjuk Rasul. Maka dicabutlah kebaikan dari mereka sesuai dengan penyelewengan mereka dari para salaf.
Persatuan dalam Islam adalah hal utama yang diminta dari umat, dan wajib bagi kita terus bersemangat untuk merealisasikannya, menjalankan dan menyerukan persatuan tersebut.
Di dalam al Qur`an banyak contoh yang menerangkan kepada kita hakikat persatuan, antara ada dan tiada.
Contoh yang menjelaskan, bagaimana persatuan dalam berakidah dan manhaj yang benar telah menjadikan satu orang bisa dianggap satu jamaah. Dan contoh yang menjelaskan, bagaimana kelemahan dan kegagalan bisa menjadikan suatu jamaah dianggap seperti satu orang, bahkan individu-individu yang saling bertikai antara satu dengan yang lainnya, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang bapaknya para nabi, yaitu Nabi Ibrahim Alaihissalam :
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif”. [an Nahl : 120].
Padahal beliau Alaihissallam hanya seorang diri. Akan tetapi, seakan ia bagaikan satu umat, umat yang menjadi panutan atau umat bagi dirinya sendiri. Sebaliknya, Allah menyebutkan mencotohkan lawan dari sebelumnya, gambaran dari sifat teman-teman kera, babi yang telah membunuh para nabi, menyelewengkan aqidah yang benar dan merubah agama mereka. Dalam firmanNya, Allah mengkabarkan :
تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah”. [al Hasyr : 14].
Kemudian contoh ketiga adalah gambaran untuk para sahabat nabi, yang mana persatuan mereka adalah anugerah dari Rabb mereka, karena mereka sebaik-baik orang yang telah melanjutkan tongkat estafet kebenaran setelah para nabi, semoga Allah meridhai mereka semua. Allah berfirman :
“Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka”. [al Anfal : 63].
Sungguh, hati dan badan-badan mereka saling bersatu. Dalam firman Allah “kalau seandainya kalian menginfakkan seluruh isi dunia”, hal ini termasuk mengaitkan sesuatu dengan hal yang mustahil bagi seorang manusia untuk melakukannya, karena tidak mungkin ada seseorang yang bisa menginfakkan semua itu, baik emas, uang dan barang berharga lainnya.
Kalaupun kamu bisa menginfakkan itu semua, maka kamu tidak akan dapat menyatukan hati mereka, hati-hati mereka akan tetap bercerai-berai.
Bangsa Arab sebelum Islam termasuk dari umat yang tidak punya persatuan, bahkan tidak dikenal kecuali dengan peperangan di antara mereka dan saling membanggakan diri satu sama lain di dalam perkara atau sebab yang banyak. Peperangan-peperangan ini merupakan bukti kuat, bahwa bangsa Arab sebelum Islam tidaklah berarti. Kemudian datang Islam, turun kepada mereka al Qur`an dan petunjuk yang benar, serta diutusnya Rasul Allah yang haq, merupakan nikmat dari Allah dan Ia pun menyatukan hati-hati mereka.
Bagian awal dari ayat, Allah Azza wa Jalla menyebutkan “kamu tidak akan dapat menyatukan hati-hati mereka”, lalu di bagian akhir disebutkan “akan tetapi Allah menyatukan mereka”. Allah telah menganugerahkan kepadamu, sesuatu yang lebih besar dari yang engkau inginkan. Engkau ingin menyatukan hati-hati mereka, akan tetapi Allah menganugerahkan penyatuan hati dan badan. Tidak hanya hati mereka, bahkan Allah telah menyatukan di antara mereka (hati dan badan mereka), sehingga itu merupakan anugerah umatnya dari Allah, dengan bergabungnya antara persatuan dengan tauhid. Allah berfirman :
وَمَابِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)”. [an Nahl : 53].
Dan firmanNya :
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لاَتُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya”. [Ibrahim : 34].
Pembicaraan masalah persatuan dan kesatuan umat sangatlah luas, dalil-dalil yang berkenaan dengan itu juga sangat banyak, akan tetapi karena perbedaan kaumlah yang telah melupakan satu dengan yang lainnya.
Karena itu aku tutup pembicaraan ini dengan mengingatkan hadits Tamim ad Daariy, ia berkata: bersabda Rasulullah :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ ثَلَاثَ مِرَارٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Din (agama) ini adalah nasihat” (tiga kali). Para sahabat bertanya : “Nasihat bagi siapa, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab,”Nasihat terhadap Allah (maksudnya dengan mentauhidkan Allah dan mengikhlaskan niat dalam beribadah, Red), nasihat terhadap kitabNya (maksudnya, dengan mengimaninya dan mengamalkan isinya, Red), nasihat terhadap para pemimpin kaum Muslimin (maksudnya, dengan mentaati mereka dan tidak memberontak) dan nasihat bagi kaum Muslimin secara umum”.
Juga, tauhid mengantarkan kepada tauhid (persatuan), persatuan akidah menyeru kepada persatuan kata. Sehingga mereka saling bersatu sebagaimana yang diperintahkan Allah k . Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, dan jangan saling membantu dalam hal dosa dan permusuhan.
Di suatu hadits Abdullah bin Jarir berkata : Rasullah bersabda,”Baaya`na Rasulullah ala sami wa toat … … wannush likulli muslim”. ia menambahkan,”Rasulullah membebankan kepada kita dengan apa yang kita mampu”.
Semuai ini bertujuan untuk mengagungkan persatuan dalam jiwa-jiwa. Dan hendaknya diketahui, bahwa hak saudaramu padamu, sama seperti hakmu pada mereka. Dan sesungguhnya tidaklah sempurna iman seseorang, sampai ia mencintai bagi saudaranya dengan apa yang ia cintai untuk dirinya.
Renungkanlah, betapa indahnya tatanan masyarakat ini, yang saling mencintai satu sama lain, saling menolong, mengingatkan, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, dengan penuh kecintaan, kasih-sayang, rahmat dan kelembutan. Membayangkan bagaimana bersatunya masyarakat dengan menampakkan persatuan kata yang hanya dilandasi atas persatuan tauhid.
Saya berdoa kepada Allah agar menyatukan kaum Muslimin di atas Kitab dan Sunnah RasulNya, menjauhkan dari segala fitnah yang ada, baik yang nampak atau yang tidak, menghilangkan setiap bentuk kesyirikan, bidah dan perbedaan. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. [al Anfal : 46].
Firman Allah :
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [Ar Ruum : 31-32]
Allah telah menjadikan sikap perpecahan sebagai ciri dari orang musyrik; bertauhid dan bersatu sebagai ciri dari kaum Mukminin. Semoga Allah menjadikan kita semua dari orang-orang yang selalu berpegang teguh di atas kebenaran, mewafatkan kita di atasnya dan Sunnah RasulNya dengan tidak melakukan bid’ah, penyelewengan, kerusakan dan kehinaan. Maha suci Allah yang kuasa untuk melakukan ini semua.
Wasallahu ‘alan nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wasahbihi ajma’in.
Wa akhiru dakwana alhamdulillhi rabbil ‘alamin.
[Diangkat dari ceramah Syaikh Ali Hasan –hafizhahullah- di Masjid al Muhajirin Malang, Kamis, 16 Februari 2006M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. HR Imam Muslim dalam Shahih-nya.
[2]. HR Bukhari dan Muslim.
[3]. HR Bukhari dan Muslim.
[4]. Yaitu : 1) Firman Allah “berpegang teguhlah”, perintah ini sudah mencakup semua umat Islam. 2) FirmanNya “kamu semua”. 3) FirmanNya : “janganlah kamu bercerai-berai”. (Red).
[5]. HR Ibnu Majah.
Sumber: https://almanhaj.or.id/2651-persatuan-dalam-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar