Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli ath-Thûsi asy-Syâfi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazâli dilahirkan di kota Thûs pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thûs pada tahun 505 H (1111 M). Dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan dengan Algazel.
Berkun-yah Abu Hâmid, karena salah seorang anaknya bernama Hâmid. Sementara gelar beliau al-Ghazâli ath-Thûsi berkaitan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazâlah di Bandar Thûs, Khurasân, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syâfi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.
Imam al-Ghazâli rahimahullah termasuk penulis produktif, di antaranya menulis dalam bidang Ushûluddîn, Ushûl Fiqh, Fiqh, Mantiq, Tasawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena penyelisihannya dari pemahaman yang benar.
Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan beberapa pemikiran dan pemahaman Imam al- Ghazâli rahimahullah yang perlu dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada kaum umat Islam. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafât ma’a Kitâb Ihyâ’ ‘Ulumiddîn lil Ghazâli karya Sa’d bin ‘Abdirrahmân al-Hushayyin.
PANDANGAN AL-GHAZALI RAHIMAHULLAH DALAM MASALAH KHOLWAT[1]
Beliau mengatakan, “Adapun kehidupan berkholwat, maka di antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan pendengaran dan penglihatan, karena sesungguhnya keduanya (pendengaran dan penglihatan) adalah saluran menuju ke hati. Dan tidaklah hal itu bisa sempurna kecuali dengan berkholwat (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan kebenaran dan menyaksikan keagungan rubûbiyyah Allâh Azza wa Jalla .”[2]
Beliau berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla:
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
Hai orang yang berkemul (berselimut). [al-Muddatstsir/74 :1]
Dan Firman Allâh Azza wa Jalla:
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
Hai orang yang berselimut (Muhammad). [al-Muzzammil/73 :1]
Sanggahan: Apakah Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis kholwat semacam itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan tempat tidur dalam rangka berdakwah mengajak ke jalan Allâh Azza wa Jalla dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan apakah jenis kholwat semacam itu diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Al-Ghazâli rahimahullah juga mengatakan tentang kholwat, “Dan hendaklah ia menyendiri di ruangan khusus, dengan hanya melaksanakan perkara-perkara yang wajib, dan tidak mengiringi keinginannya untuk membaca al-Qur’ân, tidak pula menelaah tafsirnya, serta tidak pula menulis Hadits.” [3]
Sanggahan: Pernahkah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , para Sahabat, dan para imam (panutan) beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan membaca al-Qur`ân, mentadabburinya, dan menyebarkan Sunnah (Hadits)?
Al-Ghazâli rahimahullah menambahkan mengatakan, “Ketahuilah bahwa orang yang masih dalam tahapan awal[4] , hendaklah tidak menikah terlebih dahulu. Karena, hal itu (pernikahan) merupakan urusan yang mendatangkan kesibukan dan akan menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian pula, hal itu akan mengantarkannya untuk berkasih-sayang dengan istrinya. Dan barangsiapa berkasih-sayang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , itu akan melalaikannya dari Allâh Azza wa Jalla . Janganlah ia tertipu dengan keberadaan Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak isteri. Karena beliau adalah orang yang hatinya tidak terlalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla dengan seluruh yang ada di dunia. Jadi, tidaklah bisa dikiaskan antara malaikat dengan tukang besi……..Oleh karena itulah, Abu Sulaimân ad-Dârâni berkata, “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah cenderung (tertarik) kepada dunia.”[5]
Sanggahan: Lihatlah pertentangan perkataan tersebut dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
Dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. [ al-A’râf/7:189]
Juga berseberangan dengan perintah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat:
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
Barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan [HR. al-Bukhâri Muslim].
PANDANGAN AL-GHAZALI BERKAITAN DENGAN AL-QUR’AN
1. Ta’wil Batiniyah
Para pengikut tharekat Sufiyah berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah secara umum, yaitu membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan ilmu yang bersifat batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan al-Ghazâli rahimahullah termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana kenyataan yang ada, dimana beliau telah mambuka pintu ajaran tasawuf kepada para pengikut yang datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk menjadikan ajaran ini nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi dan tidak terang-terangan.
Berikut ini contoh penafsiran al-Ghazâli rahimahullah terhadap beberapa ayat al-Qur`ân :
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ
Maka tanggalkanlah kedua terompahmu. [Thâhâ/20:12]
Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Aku mengatakan bahwa Musa memahami perintah untuk menanggalkan kedua terompahnya, yang maksudnya adalah menanggalkan kedua alam. Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir dengan menanggalkan terompah dan secara batin dengan menanggalkan kedua alam.”[6]
Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. tahun 728 H) mengomentari penafsiran tersebut dengan menyatakan, “Ini adalah kebiasaan ahli takwil, ahli filsafat….shabiah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Qaramithah, Bathiniyah dan para pengikut aliran tasawuf.”[7] Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dan dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahlul hulûl, ahlul wihdah, dan ahlul ittihâd [8].”[9]
Ibnul Jauzi rahimahullah (w. tahun 597 H) juga menukil perkataan al-Ghazâli rahimahullah, “Yang dimaksudkan dengan bintang-bintang dan bulan (yang dilihat Nabi Ibrâhîm)[10] adalah cahaya-cahaya, yaitu hijab Allâh Azza wa Jalla , dan bukanlah yang dimaksudkan adalah matahari dan bulan yang sudah dimaklumi.” Maka, Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis perkataan orang-orang Batiniyah.”[11]
Demikian pula, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ/4:6]
Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan mengatakan bahwa orang yang sudah cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya hakikat-hakikat ilmu, dan ia naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan nampak kepada pengetahuan yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12]
2. Membandingkan al-Qur`ân dan Nyanyian
Al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan dalam al-Ihyâ satu bab tentang al-ghinâ (nyanyian). Secara panjang-lebar, beliau membicarakan tentang kondisi orang-orang yang menekuninya, dan juga perasaan gembira yang mereka rasakan. Dan beliau menyebutkan dalil-dalil orang yang berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian membantahnya. Dan menyebutkan orang-orang yang berpendapat akan bolehnya nyanyian dan kemudian mendukungnya.
Kemudian beliau menjawab pertanyaan berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah diketahui bahwa mendengar al-Qur`ân jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka mengapakah mereka masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang yang ahli dalam pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca al-Qur`ân ?” Maka al- Ghazâli t menjawabnya langsung, “Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian lebih memberikan dorongan kepada jiwa daripada al-Qur’an ditinjau dari tujuh sisi” (?!)[13] :
Sisi pertama : Sesungguhnya tidak semua ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan kondisi orang yang mendengarkannya. Orang yang ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan, dari sisi mana kondisinya sinkron dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allâh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [an-Nisâ/4:11]
Dan dari sisi mana kondisinya sesuai dengan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik. [an-Nûr/24:4]
Jadi, yang bisa menggerakkan perasaan dalam hati ialah hal-hal yang sesuai dengannya.
Sisi kedua : Bahwasanya al-Qur`ân telah banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan sering diresapi dalam hati. Ketika pertama kali didengar, maka pengaruhnya terasa besar pada kalbu. Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya akan menurun. Dan pada kali yang ketiga, seolah-olah pengaruhnya lenyap. Berkaitan dengan apa yang kami sebutkan itu, Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu telah mengisyaratkan kenyataan tersebut ketika ia melihat beberapa orang arab Badui datang mendengarkan al-Qur`ân kemudian mereka menangis, maka ia berkata, “Dahulunya kami juga menangis seperti kalian, akan tetapi sekarang sudah keras hati kami.” Akan tetapi, berulang-ulangnya hati menelaah al-Qur`ân mengakibatkan kerasnya hati, dan sedikitnya pengaruh yang dirasakan, disebabkan kebiasaan dan seringnya mendengar al-Qur`ân. Menurut kebiasaan, tidak mungkin seseorang mendengar satu ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia menangis, dan ia terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh tahun, kemudian setiap kali ia mengulang ia selalu menangis.” [14]
Sanggahan : Sangat mengherankan, bukankah al-Ghazâli rahimahullah telah mengatakan tidak hanya sekali dalam kitabnya Ihyâ’ Ulûmiddîn bahwa al-Qur`ân tidaklah usang dengan banyaknya diulang ? Dan bahwa hati tidaklah bosan dengannya? [15] Dari manakah beliau mendatangkan kisah palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu tersebut? Sedangkan telah diriwayatkan dalam hadits yang shahîh dari ‘Aisyah Rdhyallahu anhuma , bahwasanya ia berkata :
إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ
Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika ia membaca al-Qur`ân, maka ia tidak bisa menahan tangisnya[16]
Ini adalah riwayat yang jelas menunjukkan kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada tingkatan ma’rifah dan wushûl, dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada al-Qur`ân, dan berdalil dengan riwayat yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama Abu Bakar Radhiyallahu anhu.
PANDANGAN AL-GHAZALI DALAM ROJA DAN KHAUF.[17]
Al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan beberapa perkataan kaum Sufi dan pendapat-pendapat mereka dalam masalah roja’ dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan, “Adapun orang yang beramal karena mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang mukhlis (ikhlas) jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika tidak demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut dan farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang benar-benar dituntut dari orang-orang yang berakal adalah mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla semata (bukan berharap surga dan takut dari neraka, pent)”[18].
Kemudian beliau menukil perkataan Rabî’ah al-‘Adawiyah kepada Sufyân ats-Tsauri rahimahullah , “Aku tidaklah beribadah kepada-Nya karena takut dari neraka-Nya, tidak pula karena menginginkan surga-Nya. Jika seperti itu, tentulah aku termasuk kuli yang buruk (mengharap upah dam takut kena marah, pent). Akan tetapi, aku beribadah kepada-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.[19]
Beliau juga menceritakan bahwa Isa Alaihissallam pernah melewati sejumlah orang ahli ibadah dan mereka sedang tekun beribadah. Mereka berkata, “Kami takut akan neraka dan kami mengharapkan surga.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Mengapa kalian takut kepada makhluk (neraka) dan mengharapkan makhluk (surga)?.”
Kemudian Isa Alaihissallam melewati sekelompok orang lain yang mengatakan, “Kami beribadah karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Kalian adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang sejati, dan bersama kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[20]
Sanggahan : Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan tarhîb[21] :
فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. [al-Baqarah/2:24].
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan targhîb[22] :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. [Ali ‘Imrân/3:133]
Maka, bagaimanakah seseorang bisa disebut sebagai orang yang mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , sedangkan ia mendengar firman Allâh Azza wa Jalla tersebut, kemudian ia tidak mau memperhatikan ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya, dan tidak pula mengharapkan kenikmatan yang telah Allâh Azza wa Jalla janjikan ( dalam surga)?
Apakah ia berkeyakinan bahwa ia lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla dan lebih dekat kepada-Nya daripada para Nabi yang telah dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا
Mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [al-Anbiyâ/21:90]
Dan apakah ia menganggap bahwa dirinya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada para malaikat yang telah Allâh Azza wa Jalla puji dalam firman-Nya:
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ
Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka [an-Nahl/16:50]
Bukankah hakekat pengagungan dan makna ketakwaan dengan seluruh maknanya adalah seseorang takut akan hal-hal yang menjadi ancaman Allâh Azza wa Jalla , dan seseorang mengharapkan kenikmatan yang telah dijanjikan Allâh Azza wa Jalla .
Tidakkah ia mendengar firman Allâh Azza wa Jalla :
ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ
Demikianlah Allâh mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku [az-Zumar/39:16]
Simaklah pernyataan al-Qusyairi –seorang tokoh Sufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran Tasawuf – yang diriwayatkan dari perkataan Abu Sulaimân ad-Dârâni, “Yang dimaksud dengan ridha adalah engkau tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla, dan tidak memohon perlindungan dari neraka.” [23]
Tidakkah ia mengetahui bahwa ketidaktakutan seseorang terhadap ancaman Allâh Azza wa Jalla termasuk sifat orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar besar kedurhakaan mereka [al-Isrâ/17:60]
Sifat thughyân (melampai batas) ini telah menimpa kaum Sufi dengan penyimpangan mereka dari sunnah (petunjuk) Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , dan meremehkan pahala dan siksaan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Mereka berpandangan bahwa apabila seseorang takut akan neraka dan adzab Allâh Azza wa Jalla berarti ia telah takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwasanya hal itu termasuk kategori syirik. Dalam hal ini, mereka telah melalaikan akan perintah Allâh Azza wa Jalla :
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا
Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan [al-A’râf/7:56]
Dengan demikian, mereka tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula berlindung dari neraka karena menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Allâh Azza wa Jalla .
AL-GHAZALI MENGUTIP KISAH TOKOH-TOKOH TASAWUF
Al-Ghazâli rahimahullah mengatakan, “Dan diriwayatkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang pengikut tarekat Sufi. Ia pun mendekatinya dan menyediakan segala kebutuhannya, sementara orang tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Kemudian Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau mau melihat Abu Yazid!” Maka orang itu menjawab, “Celaka kamu, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat Allâh Azza wa Jalla (!?), maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Abu Turab berkata, “Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai jiwaku, lalu aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya dengan Allâh Azza wa Jalla . Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja, maka itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allâh Azza wa Jalla tujuh puluh kali (!?)” [24
Sanggahan : Perkataan yang buruk ini tidak perlu lagi untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari penyimpangan setelah datangnya hidayah. Namun demikian, al-Ghazâli rahimahullah tidak mengingkari perkataan tersebut, demikian pula cerita-cerita lainnya dari tokoh-tokoh Sufi. Justru berkomentar positif, “Ini adalah bagian awal dari perjalanan mereka (menuju Allâh), sekecil-kecil kedudukan mereka, dan semulia-mulia orang yang bertakwa(?! ).” [25]
Imam al-Ghazâli rahimahullah juga menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata, “Aku mendatangi suatu tempat dimana penduduknya mengenalku sebagai orang shalih. Di situ, hatiku menjadi gundah. Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat ada sehelai baju yang mewah. Aku mencurinya dan kemudian mengenakannya. Lalu aku pakai pakaianku yang penuh tambalan di atas baju tersebut, kemudian aku keluar. Aku pun berjalan pelan-pelan. Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku. Selanjutnya, mereka mengambil pakaian yang mewah itu dan menampari dan menyakitiku dengan pukulan. Sejak itu, aku dikenal sebagai seorang pencuri barang-barang yang tertinggal di kamar mandi. Namun, dengan kasus itu lah jiwaku menjadi tenang (?!).” [26]
Sanggahan : Perkara ini jelas menyelisihi syariat Allâh Azza wa Jalla dan sunnah (petunjuk) Nabi-Nya. Karena pencurian termasuk perbuatan dosa besar. Allâh Azza wa Jalla menggandengkan penyebutan tindak pencurian dengan dengan perbuatan zina yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ
Tidak akan mencuri dan tidak akan berzina. [al-Mumtahanah/60:12]
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. [an-Nûr/24: 3]
TAUHID AL-GHAZALI DAN KEYAKINAN AL-HALLAJ [27]
Para ulama telah mengingkari pendapat al-Ghazâli rahimahullah yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu :
Tingkatan pertama: Seseorang mengucapkan kalimat Lâ Ilâha illallâh dengan lisannya, namun hatinya ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafik.[28]
Sanggahan : Telah dimaklumi bahwa nifaq (kemunafikan) bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para Ulama Salaf. Bahkan sebaliknya, termasuk tingkaran kekufuran paling tinggi. Sementara ghoflah (kelalaian) itu berbeda dengan inkâr (pengingkaran).
Tingkatan kedua: Seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya kaum Muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam.[29]
Tingkatan ketiga : Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf (penyingkapan) melalui perantara cahaya dari Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah tingkatan muqorrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu, dengan melihat benda-benda yang banyak, disertai keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu Dzat Yang Maha Mulia.
Maka, orang yang menyaksikan adalah orang yang bertauhid, karena ia tidak menyaksikannya kecuali (bersumber) dari perbuatan satu Dzat……dan tidak melihat satu pun perbuatan secara hakiki kecuali (bersumber) dari yang satu.[30]
Tingkatan keempat: Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya adalah satu. Ini adalah yang disaksikan oleh shiddîqîn. Para pengikut Tasawuf menamainya dengan fanâ (melebur) dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi dalam tauhid.”[31]
Sanggahan : Di sini kita sampaikan satu pertanyaan, yaitu di manakah letak tauhid (aqidah) yang diserukan oleh Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya (mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh ibadah) di antara empat tingkatan tauhid yang disebutkan tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana?
Dan apa benar puncak tertinggi dalam tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai sesuatu yang hakikatnya satu? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah Allâh Azza wa Jalla ? Jika demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujûd. [32]
Al-Ghazâli rahimahullah telah mengisyaratkan hal itu [33] ketika beliau mengatakan dalam kitab Misykâtul Anwâr, “Lâ ilâha illallâh adalah tauhid (keyakinan) orang-orang awam, dan ‘Lâ huwa illa huwa’ (tidak ada dia kecuali dia) adalah tauhid (keyakinan) orang-orang khusus.”[34]
Ketika al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau mengatakan, “Jika engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seseorang tidak melihat kecuali satu, padahal ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang bisa dijangkau oleh panca indera, dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”
Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang alim (berilmu) terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla , yang mestinya mengembalikan perkara ketika terjadinya perselisihan kepada nash-nash wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, “Hal itu seperti pada diri seorang insan, ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya, anggota badannya, urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari sisi lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu. Betapa banyak orang yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam benaknya tentang banyaknya usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya, demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Demikian pula segala sesuatu yang ada ini dari al- Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dan seluruh makhluk mempunyai sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka, ditinjau dari satu sisi, semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak, sebagiannya lebih banyak dari sebagian yang lain.“[35]
Maka, makna dari perkataan al-Ghazâli rahimahullah tersebut bahwa puncak tertinggi tauhid adalah wihdatul wujûd dan bersatunya al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dengan makhluk-Nya.
Inilah beberapa kekeliruan dari kekeliruan Abu Hamid al-Ghazali yang banyak dalam kitabnya yang sangat terkenal . Namun pemaparan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang bahaya besar yang tidak (belum) disadari dari kitab Ihyâ’ ‘Ulumiddîn . Tulisan ini bukanlah untuk mencela ataupun menghina Imam al-Ghozâli yang termasuk Ulama Islam yang masyhur. Namun tujuannya sebagaimana disampaikan Syaikh Sa’d al-Hushayyin dalam muqoddimah kitab yang menjadi sumber naskah ini, ”Kami memandang pentingnya menyebarkan tulisan ini secara terpisah karena banyak orang yang menjadikan Ihyâ’ ‘Ulumiddîn sebagai bahan rujukan namun tidak selektif. Kitab ini meskipun juga memang memuat kebaikan, kebenaran dan petunjuk (yang benar), akan tetapi juga berisi gulungan kejelekan dan kebatilan serta kesesatan, jauh dari petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah. Hanya saja, orang-orang yang fanatik kepada beliau, tetap menyebarkan kekeliruan dan kesalahan beliau di dalamnya. Kewajiban kita tiada lain, memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla bagi beliau dan kita semua, dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pemikirannya yang bertentangan dengan syariat, dalam rangka menjaga Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para penguasa dan kaum Muslimin pada umumnya”.
PENUTUP
Di akhir pembahasan ini, setelah kami menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran al-Ghazâli rahimahullah yang dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab yang menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah disebutkan pernyataan tentang taubat beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dan di akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits dan ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal dengan kitab Shahîh al-Bukhâri berada di atas dadanya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kholwat adalah menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , pent)
[2]. al-Ihyâ’ 3/76
[3]. al-Ihyâ (3/19).
[4]. Dalam tahapan awal dalam menempuh tarekat Sufi, Pent)
[5]. al-Ihyâ 3/110
[6]. Misykâh al-Anwâr, hlm. 30
[7]. Majmû Fatâwâ 6/180
[8]. Maksudnya adalah orang-orang yang berkeyakinan bersatunya Rabb dengan makhluk, Pen)
[9]. Dâr-u at-Ta’ârudh al-‘Aql wa an-Naql 1/318
[10]. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al An’âm : 77-78, Pen)
[11]. Talbîs Iblîs, hlm. 166
[12]. Mizân al-‘Amâl, hlm. 111
[13]. Di sini kami hanya menyebutkan dua sisi yang disebutkan al-Ghazâli karena keterbatasan tempat. (Pent)
[14]. al-Ihyâ (2/299).
[15]. al-Ihyâ (1/272-289).
[16]. HR. al-Bukhâri (1/162, 165, 167) dalam Kitâb al-Adzân
[17]. Rojâ maknanya mengaharpkan pahala dan surge Allâh Azza wa Jalla , sedangkan khauf maknanya takut dari adzab dan neraka Allâh Azza wa Jalla . (Pen)
[18]. al-Ihyâ 4/381
[19]. al-Ihyâ 4/310
[20]. al-Arba’în min Ushûl ad-Dîn 192
[21]. Tarhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang takut akan ancaman dan siksaan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
[22]. Targhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
[23]. ar-Risâlah al-Qusyairiyah hlm. 90
[24]. al-Ihyâ 4/356, Bab Hikâyatu al-Muhibbin wa Aqwâlihum wa Mukasyafâtihim
[25]. al-Ihyâ 4/357
[26]. al-Ihyâ 4/358
[27]. Al-Hallâj adalah tokoh pemahaman wihdatul wujûd (segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent).
[28]. Al-Ihyâ 4/245
[29]. Al-Ihyâ 4/245
[30]. Idem.
[31]. Idem.
[32]. Yaitu pemahaman bahwa segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent)
[33]. Yaitu pemahaman wihdatul wujud. (Pen)
[34]. Misykâh al-Anwâr (19/20).
[35]. Al-Ihyâ 4/246-247
Sumber: https://almanhaj.or.id/3661-tinjauan-kritis-terhadap-beberapa-pemikiran-imam-al-ghazali-rahimahullah-dalam-ihya-ulumiddin.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar