Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa hadits tentang niat ini sepertiga Islam.
Segala sesuatu yang tidak diniatkan mencari keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla, maka akan sia-sia.
Niat secara istilah adalah keinginan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, tempatnya di hati bukan di lisan.
Niat tempatnya di hati, melafazkannya adalah hal yang bid’ah.
Niat adalah perkara hati yang urusannya sangat penting, seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan karena niatnya.
Niat adalah tolok ukur suatu amalan; diterima atau tidaknya tergantung niat dan banyaknya pahala yang didapat atau sedikit pun tergantung niat.
Tidak dibenarkan melafazkan niat, seperti ketika hendak shalat, hendak wudhu, hendak mandi, dsb.
Menurut Imam Ahmad adalah, karena ilmu itu berdiri di atas tiga kaidah, di mana semua masalah kembali kepadanya, yaitu:
⏩ Pertama, hadits “innamal a’malu binniyat” (Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niat).
⏩ Kedua, hadits “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa radd” (Barang siapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak kami perintahkan, maka amal itu tertolak).
⏩ Ketiga, hadits “Al Halaalu bayyin wal haraamu bayyin” (Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas).”
💗 Seseorang wajib berhati-hati terhadap pembatal amalan seperti riya’, sum’ah, beramal karena tujuan duniawi, dan ’ujub (bangga diri).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan,
أَنَّ الْفَضْلَ بِنَفْسِ الْعَمَلِ وَجَوْدَتِهِ لَا بِقَدْرِهِ وَكَثْرَتِهِ
“Sesungguhnya keutamaan suatu amalan terletak pada kualitas amalan itu sendiri, bukan hanya kadar dan jumlahnya (banyaknya).” (Majmu’ al-Fatawa 4/378).
❇️ ️Syarat Diterimanya Amal Seorang Muslim:
Ikhlas dan Mutaba’ah (Mencocoki Tuntunan Rasulullah).
🔹️Syarat Pertama: Ikhlas
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱدۡعُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan peribadahan dalam beragama hanya kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya.” (QS. Ghafir : 14)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَاْبتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan, kecuali (amalan) yang ikhlas dan mengharapkan wajah Allah semata.” (HR. an-Nasai no. 3140 dari sahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu anhu. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasai no. 3140).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًاۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡغَفُورُ
“Dialah Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang terbaik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk : 2).
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menjelaskan makna ayat di atas,
أَيْ: أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ
“Yang dimaksud ‘siapa di antara kalian yang terbaik amalnya (ahsanu ‘amalan)’ adalah amalan yang paling ikhlas dan paling benar.
Yusuf bin al-Husain rahimahullah mengatakan,
أَعَزُّ شَيْءٍ فِي الدُّنْيَا الْإِخْلَاصُ، وَكَمْ أَجْتَهِدُ فِي إِسْقَاطِ الرِّيَاءِ عَنْ قَلْبِي وَكَأَنَّهُ يَنْبُتُ فِيهِ عَلَى لَوْنٍ آخَرَ
“Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlas. Sungguh, betapa sering aku bersusah payah mengobati riya yang ada di dalam kalbuku, tiba-tiba riya itu muncul lagi dalam bentuk yang lain.” (Diriwayatkan oleh Abdul Karim al-Qusyairiy dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah hlm. 362).
🔹️ Syarat Kedua: Mutaba’ah (Mencocoki Sunnah dan Tuntunan Rasulullah).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (yakni Nabi Muhammad); niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran : 31).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak memerintahkannya, maka hal itu tertolak.” (HR. al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718 dari sahabiyah ‘Aisyah radhiallahu anha. Lafaz hadits di atas adalah lafaz Imam Muslim).
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan,
أَمْرُ النِّيَّةِ شَدِيدٌ
“Perkara niat ini sungguhlah berat.” (Disebutkan oleh Ibnu Muflih dalam al-Furu’ 2/339).
Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan,
مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَّتِي، لِأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَلَيَّ
“Tidaklah aku mengobati sesuatu pun yang lebih berat kurasakan daripada mengobati niatku. Sebab, niat itu berbolak-balik atasku.” (Diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ no. 697).
Wallahu a’lam bisshawab.
Barakallahu fiikum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar