Setiap dari kita tentu pernah mengalami masa kanak-kanak. Masa yang begitu indah sekaligus menggelikan. Barangkali ada di antara kita yang dahulu saat masih kecil pernah kehilangan mainan kesayangan. Masih ingat bagaimana respon kita saat itu? Menangis berjam-jam, bahkan mungkin sampai berhari-hari (meskipun orang tua membujuk akan dibelikan mainan baru yang lebih bagus).
Sekarang setelah dewasa, bila teringat peristiwa itu, tentu kita akan tertawa geli, “Koq bisa begitu ya efeknya? Padahal kan cuma mainan biasa yang remeh?!”. Kita bisa berkomentar seperti itu saat ini, sebab kita sudah bertambah usia dan semakin matang dalam berpikir.
Ketahuilah bahwa sejatinya pandangan seseorang terhadap dunia, juga akan terpengaruh dengan semakin bertambah ‘kedewasaan’ dia dalam beriman. Semakin tebal imannya, maka akan semakin sadar betapa remehnya dunia. Sebaliknya bila kita masih mendewakan dunia, berarti itu pertanda iman kita masih ‘kekanak-kanakan’. [Tafsir As-Sady]
Allah ta’ala menggambarkan hakikat dunia dalam firman-Nya,
“َูู َุง ุงْูุญََูุงุฉُ ุงูุฏَُّْููุง ุฅَِّูุง َูุนِุจٌ ٌََْูููู ََูููุฏَّุงุฑُ ุงْูุขุฎِุฑَุฉُ ุฎَْูุฑٌ َِّููุฐَِูู َูุชََُّููู ุฃَََููุง ุชَุนَُِْูููู”
Artinya: “Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kalian mengerti?”. [QS. Al-An’am (6): 32]
Begitulah kira-kira orang yang beriman dalam memandang hakikat dunia hanyalah sebuah permainan dan permainan kita di dunia ini janganlah membuat kita terbuai, sehingga melupakan rumah kita yang sebenarnya, yakni di akhirat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu,
“َูุงู َ ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ ุนََูู ุญَุตِูุฑٍ ََููุงู َ ََููุฏْ ุฃَุซَّุฑَ ِูู ุฌَْูุจِِู، ََُْููููุง: “َูุง ุฑَุณَُูู ุงِููู َِูู ุงุชَّุฎَุฐَْูุง ََูู ِูุทَุงุกً”، ََููุงَู: “ู َุง ِูู َِูููุฏَُّْููุง؟ ู َุง ุฃََูุง ِูู ุงูุฏَُّْููุง ุฅِูุงَّ َูุฑَุงِูุจٍ ุงุณْุชَุธََّู ุชَุญْุชَ ุดَุฌَุฑَุฉٍ ุซُู َّ ุฑَุงุญَ َูุชَุฑَََููุง”.
“Suatu hari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tidur di atas tikar. Saat beliau bangun, di tubuhnya membekas garis-garis tikar. Maka kami pun berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila kami membuatkan kasur untukmu?”.
Beliau menjawab, “Apa kepentinganku di dunia ini? Aku di dunia ini hanyalah bagaikan seorang musafir yang bernaung di bawah sebuah pohon. Setelah itu ia pergi meninggalkannya”. [HR. Tirmidzy dan beliau menyatakan hadits ini hasan sahih]
Sumber :
Salam Dakwah
Sekarang setelah dewasa, bila teringat peristiwa itu, tentu kita akan tertawa geli, “Koq bisa begitu ya efeknya? Padahal kan cuma mainan biasa yang remeh?!”. Kita bisa berkomentar seperti itu saat ini, sebab kita sudah bertambah usia dan semakin matang dalam berpikir.
Ketahuilah bahwa sejatinya pandangan seseorang terhadap dunia, juga akan terpengaruh dengan semakin bertambah ‘kedewasaan’ dia dalam beriman. Semakin tebal imannya, maka akan semakin sadar betapa remehnya dunia. Sebaliknya bila kita masih mendewakan dunia, berarti itu pertanda iman kita masih ‘kekanak-kanakan’. [Tafsir As-Sady]
Allah ta’ala menggambarkan hakikat dunia dalam firman-Nya,
“َูู َุง ุงْูุญََูุงุฉُ ุงูุฏَُّْููุง ุฅَِّูุง َูุนِุจٌ ٌََْูููู ََูููุฏَّุงุฑُ ุงْูุขุฎِุฑَุฉُ ุฎَْูุฑٌ َِّููุฐَِูู َูุชََُّููู ุฃَََููุง ุชَุนَُِْูููู”
Artinya: “Kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kalian mengerti?”. [QS. Al-An’am (6): 32]
Begitulah kira-kira orang yang beriman dalam memandang hakikat dunia hanyalah sebuah permainan dan permainan kita di dunia ini janganlah membuat kita terbuai, sehingga melupakan rumah kita yang sebenarnya, yakni di akhirat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu,
“َูุงู َ ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ ุนََูู ุญَุตِูุฑٍ ََููุงู َ ََููุฏْ ุฃَุซَّุฑَ ِูู ุฌَْูุจِِู، ََُْููููุง: “َูุง ุฑَุณَُูู ุงِููู َِูู ุงุชَّุฎَุฐَْูุง ََูู ِูุทَุงุกً”، ََููุงَู: “ู َุง ِูู َِูููุฏَُّْููุง؟ ู َุง ุฃََูุง ِูู ุงูุฏَُّْููุง ุฅِูุงَّ َูุฑَุงِูุจٍ ุงุณْุชَุธََّู ุชَุญْุชَ ุดَุฌَุฑَุฉٍ ุซُู َّ ุฑَุงุญَ َูุชَุฑَََููุง”.
“Suatu hari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam tidur di atas tikar. Saat beliau bangun, di tubuhnya membekas garis-garis tikar. Maka kami pun berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila kami membuatkan kasur untukmu?”.
Beliau menjawab, “Apa kepentinganku di dunia ini? Aku di dunia ini hanyalah bagaikan seorang musafir yang bernaung di bawah sebuah pohon. Setelah itu ia pergi meninggalkannya”. [HR. Tirmidzy dan beliau menyatakan hadits ini hasan sahih]
Sumber :
Salam Dakwah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar