}

MENGKRITISI KEABSAHAN HADITS-HADITS KITAB IHYA ULUMIDDIN

Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Hasil gambar untuk kitab islam

Kiranya tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn adalah termasuk kitab berbahasa Arab yang paling populer di kalangan kaum Muslimin di Indonesia, bahkan mungkin di seluruh dunia.

Kitab ini dianggap sebagai rujukan utama, sehingga seorang yang telah menamatkan pelajaran kitab ini dianggap telah mencapai kedudukan yang tinggi dalam pemahaman agama Islam. Padahal kiranya juga tidak berlebihan kalau kita katakan bahwa kitab ini termasuk kitab yang paling keras diperingatkan oleh para ulama untuk dijauhi, bahkan di antara mereka ada yang merekomendasikan agar kitab ini dimusnahkan![1]

Betapa tidak, kitab ini berisi banyak penyimpangan dan kesesatan besar, sehingga orang yang membacanya apalagi mendalaminya tidak akan aman dari kemungkinan terpengaruh dengan kesesatan tersebut, terlebih lagi kesesatan-kesesatan tersebut dibungkus dengan label agama.

Di antara kesesatan besar yang dikandung buku ini adalah pembenaran ideologi (keyakinan) wihdatul wujûd (bersatunya wujud Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan wujud makhluk), yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Dzat Ilahi (Allah Subhanahu wa Ta’ala) – maha suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala keyakinan rusak ini –.

Keyakinan sangat menyimpang bahkan kufur ini dibenarkan secara terang-terangan oleh penulis kitab ini di beberapa tempat dalam kitab ini, misalnya pada jilid ke 4 halaman 86 dan halaman 245-246 (cet. Darul Ma’rifah, Beirut).

Cukuplah pernyataan Syikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut ini menggambarkan besarnya penyimpangan dan kesesatan yang terdapat dalam kitab ini, “Kitab ini berisi pembahasan-pembahasan yang tercela, (yaitu) pembahasan yang rusak (menyimpang dari Islam) dari para ahli filsafat yang berkaitan dengan tauhid (pengesaaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ), kenabian dan hari Kebangkitan. Maka, ketika penulisnya menyebutkan pemahaman orang-orang ahli tasawwuf (yang sesat), ini seperti seseorang yang mengundang seorang musuh bagi kaum Muslimin tetapi (disamarkan dengan) memakaikan padanya pakaian kaum Muslimin (untuk merusak agama mereka secara terselubung). Sungguh para imam (Ulama besar) Islam telah mengingkari (kesesatan dan penyimpangan) yang ditulis oleh Abu Hâmid al-Ghazali dalam kitab-kitabnya”[2] .

Oleh karena itu, Imam adz-Dzahabi rahimahullah menukil ucapan Imam Muhammad bin al-Walid ath-Thurthûsyi rahimahullah yang mengatakan bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn (yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama) lebih tepat jika dinamakan Imâtatu Ulûmiddîn (mematikan/merusak ilmu-ilmu agama).

Di samping itu, kitab ini juga memuat banyak hadits lemah bahkan palsu, yang tentu saja tidak boleh dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan banyak di antaranya yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar agama Islam.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas semua kesesatan tersebut, tetapi saya akan membahas dan menilai keabsahan hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini, berdasarkan keterangan para Ulama Ahlus Sunnah yang terlebih dahulu meneliti dan mengkritisi kitab ini.

KRITIKAN PARA ULAMA AHLUS SUNNAH TERHADAP HADITS-HADITS DALAM KITAB INI
1. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah berkata[3] : “Ketahuilah bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn memuat banyak kerusakan (penyimpangan) yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama. Penyimpangannya yang paling ringan (dibandingkan penyimpangan-penyimpangan besar lainnya) adalah adanya hadits-hadits palsu dan batil (yang termaktub di dalamnya), juga hadits-hadits mauquf (ucapan Sahabat atau Tabi’in) yang dijadikan sebagai hadits marfû’ (ucapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Semua itu dinukil oleh penulisnya dari referensinya, meskipun bukan dia yang memalsukannya. Dan (sama sekali) tidak dibenarkan mendekatkan diri (kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dengan hadits yang palsu, serta tidak boleh tertipu dengan ucapan yang didustakan (atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam )”.

2. Imam Abu Bakr Muhammad bin al-Walid ath-Thurthûsyi rahimahullah berkata [4] : “…Kemudian al-Ghazali memenuhi kitab ini dengan kedustaan atas (nama) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan aku tidak mengetahui sebuah kitab di atas permukaan bumi ini yang lebih banyak (berisi) kedustaan atas (nama) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kitab ini”[5] .

3. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dalam kitab ini terdapat hadits-hadits dan riwayat-riwayat yang lemah, bahkan (juga mengandung) banyak hadits yang palsu, serta berisi banyak kebatilan dan kebohongan orang-orang ahli tasawwuf”[6] .

4. Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Adapun kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn, di dalamnya terdapat sejumlah (besar) hadits-hadist yang batil (palsu)”[7] .

5. Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “…Akan tetapi, dalam kitab ini (Ihyâ’ Ulûmiddîn ) banyak terdapat hadits-hadits yang asing, mungkar dan palsu”[8] .

6. Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni rahimahullah berkata: “Betapa banyak kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn memuat hadits-hadits (palsu) yang oleh penulisnya dipastikan penisbatannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal Imam al-‘Irâqi dan para ulama lainnya menegaskan bahwa hadits-hadist tersebut tidak ada asalnya (hadist palsu)” [9].

7. Bahkan Imam as-Subki mengumpulkan hadits-hadist dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn yang tidak ada asalnya (palsu), dan setelah dihitung semuanya berjumlah 923 hadits [10] .

KITAB-KITAB YANG LEBIH PANTAS DIPELAJARI DAN DITEKUNI
Dengan uraian ringkas tentang kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn di atas, jelaslah bagi kita kandungan buruk dan penyimpangan yang terdapat di dalamnya. Maka, seorang Muslim yang menginginkan kebaikan dan keselamatan dalam agama dan imannya, hendaknya menjauhkan diri dari membaca buku-buku yang mengajarkan kesesatan seperti ini. Alhamdulillâh, kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah yang bersih dan selamat dari penyimpangan sangat banyak dan mencukupi untuk diambil manfaatnya.

Apakah kita tidak khawatir akan ditimpa kerusakan dalam pemahaman agama kita dengan membaca kitab seperti ini, padahal kerusakan dan kerancuan dalam memahami agama ini merupakan malapetaka terbesar yang akan berakibat kebinasaan dunia dan akhirat? Bukankah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kerusakan agama dan iman, sebagaimana dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

((ولا تَجْعَلْ مُصيبَتَنَا في دِيْنِنا))

(Ya Allâh) janganlah Engkau jadikan malapetaka (kerusakan) yang menimpa kami dalam agama (keyakinan) kami [11]

Ketahuilah, bahwa ilmu yang bermanfaat untuk memperbaiki keimanan dan meyempurnakan ketakwaan kita kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala hanyalah ilmu yang bersumber dari al-Qur’ân dan hadits-hadits shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dengan pemahaman yang benar, yaitu dengan merujuk pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka.

Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata: “Ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan seksama dalil-dalil dari al-Qur`ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta (berusaha) memahami kandungan maknanya, dengan pemahaman yang bertumpu pada penjelasan para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Tâbi’în (orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat), dan orang-orang yang mengikuti (petunjuk) mereka dalam memahami kandungan al-Qur`ân dan Hadits (dengan baik). (Begitu pula) dalam (memahami penjelasan) mereka dalam masalah halal dan haram, pengertian zuhud, amalan hati (pensucian jiwa), pengenalan (tentang nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dan pembahasan-pembahasan ilmu lainnya, dengan terlebih dahulu berusaha untuk memisahkan dan memilih (riwayat-riwayat) yang shahîh (benar) dan (meninggalkan riwayat-riwayat) yang tidak benar, kemudian berupaya untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Semua ini sudah sangat memadai (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat) bagi orang yang berakal dan merupakan kesibukan (yang bermanfaat) bagi orang yang memberi perhatian dan berkeinginan besar (untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat)”[12] .

PENUTUP
Sebagai penutup, renungkanlah nasehat emas dari Imam adz-Dzahabi rahimahullah ketika beliau mengkritik kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn dan kitab-kitab lain semisalnya yang memuat kesesatan dan penyimpangan karena mengabaikan petunjuk al-Qur`ân dan hadits-hadits shahîh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar.

Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn terdapat sejumlah (besar) hadits-hadits yang batil (palsu) dan banyak kebaikannya kalau saja kitab itu tidak memuat adab, ritual dan kezuhudan (model) orang-orang (yang mengaku) ahli hikmah dan ahli Tasawwuf yang menyimpang, kita memohon kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala (dianugerahkan) ilmu yang bermanfaat. Tahukah kamu apakah ilmu yang bermanfaat itu? Yaitu ilmu bersumber dari al-Qur’an dan dijabarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan dan perbuatan (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam), serta tidak ada larangan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnah/petunjukku maka dia bukan termasuk golonganku” [13] .

Maka, wajib bagimu wahai saudaraku untuk mentadabburi (mempelajari dan merenungkan) al-Qur`ân serta membaca dengan seksama (hadits-hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dalam ash-Shahîhain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), Sunan an-Nasâ’i, Riyâdhus Shâlihin dan al-Adzkâr tulisan Imam an-Nawawi rahimahullah. (Maka dengan itu) engkau akan beruntung dan sukses (meraih ilmu yang bermanfaat). Dan jauhilah pemikiran orang-orang tasawwuf dan filsafat, ritual-ritual ahli riyâdhah (ibadah-ibadah khusus ahli tasawwuf), dan kelaparan (yang dipaksakan) oleh para pendeta, serta igauan tokoh-tokoh ahli kholwat (menyepi/bersemedi yang mereka anggap sebagai ibadah). (Ingatlah), semua kebaikan hanyalah (diraih) dengan mengikuti agama (Islam) yang hanîf (lurus) dan mudah (agama yang dibawa dan dicontohkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Hanya kepada Allâh-lah kita memohon pertolongan. Yâ Allâh, tunjukkanlah kepada kami jalan-Mu yang lurus”[14] . Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/327 dan 19/495-496
[2]. Majmû’ al-Fatâwâ 10/551-552
[3]. Dalam kitab beliau Minhâjul Qâshidîn . Nukilan dari al-Bayân edisi 48 hlm. 81
[4]. Beliau adalah seorang imam panutan, ulama besar dan ahli zuhud. Wafat 520 H. Biografi beliau dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/490
[5]. Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi t dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/495
[6]. Majmû’ al-Fatâwa 10/552
[7]. Siyaru A’lâmin Nubalâ19/339
[8]. Al-Bidâyah wan Nihâyah 12/214
[9]. Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60
[10]. Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubra 6/287
[11]. HR at-Tirmidzi (no. 3502), dan dinyatakan hasan oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albâni
[12]. Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alâ ‘Ilmil Khalaf hlm. 6
[13]. HR. al-Bukhâri no. 5063 dan Muslim 1401
[14]. Siyaru A’lâmin Nubalâ 19/339-340

Sumber: https://almanhaj.or.id/3662-mengkritisi-keabsahan-hadits-hadits-kitab-ihya-ulumiddin.html

Share:

TINJAUAN KRITIS TERHADAP BEBERAPA PEMIKIRAN IMAM AL GHAZALI RAHIMAHULLAH DALAM IHYÂ ULÛMIDDÎN

Hasil gambar untuk kitab islamPENDAHULUAN
Abu Hâmid Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli ath-Thûsi asy-Syâfi’i yang lebih dikenal dengan sebutan Imam al-Ghazâli dilahirkan di kota Thûs pada tahun 450 H (1058 M) dan meninggal di Thûs pada tahun 505 H (1111 M). Dikenal di dunia Barat pada abad pertengahan dengan Algazel.

Berkun-yah Abu Hâmid, karena salah seorang anaknya bernama Hâmid. Sementara gelar beliau al-Ghazâli ath-Thûsi berkaitan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazâlah di Bandar Thûs, Khurasân, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syâfi’i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi’i.

Imam al-Ghazâli rahimahullah termasuk penulis produktif, di antaranya menulis dalam bidang Ushûluddîn, Ushûl Fiqh, Fiqh, Mantiq, Tasawuf, dan lainnya. Tulisan dan kitab-kitab beliau tersebut cukup banyak tersebar di kalangan kaum muslimin, meskipun di dalamnya banyak terdapat substansi-substansi yang perlu dikoreksi dan diluruskan karena penyelisihannya dari pemahaman yang benar.

Pada tulisan ini, akan sedikit diuraikan beberapa pemikiran dan pemahaman Imam al- Ghazâli rahimahullah yang perlu dikritisi, dalam rangka meluruskan kesalahan dan sebagai bentuk nasihat kepada kaum umat Islam. Pembahasan ini diangkat dari kitab berjudul Waqafât ma’a Kitâb Ihyâ’ ‘Ulumiddîn lil Ghazâli karya Sa’d bin ‘Abdirrahmân al-Hushayyin.

PANDANGAN AL-GHAZALI RAHIMAHULLAH DALAM MASALAH KHOLWAT[1]
Beliau mengatakan, “Adapun kehidupan berkholwat, maka di antara faidahnya adalah meninggalkan kesibukan, menguatkan pendengaran dan penglihatan, karena sesungguhnya keduanya (pendengaran dan penglihatan) adalah saluran menuju ke hati. Dan tidaklah hal itu bisa sempurna kecuali dengan berkholwat (menyendiri) di rumah yang gelap. Dan jika tidak ada tempat yang gelap, maka hendaklah ia memasukkan kepalanya ke dalam baju, atau berselimut dengan baju atau sarungnya, maka dalam keadaan ini ia akan mendengar seruan kebenaran dan menyaksikan keagungan rubûbiyyah Allâh Azza wa Jalla .”[2]

Beliau berdalil dengan firman Allâh Azza wa Jalla:

يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ

Hai orang yang berkemul (berselimut). [al-Muddatstsir/74 :1]

Dan Firman Allâh Azza wa Jalla:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ

Hai orang yang berselimut (Muhammad). [al-Muzzammil/73 :1]

Sanggahan: Apakah Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat-ayat tersebut sebagai dasar untuk merealisasikan jenis kholwat semacam itu, ataukah ayat tersebut menjelaskan perintah meninggalkan tempat tidur dalam rangka berdakwah mengajak ke jalan Allâh Azza wa Jalla dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dan apakah jenis kholwat semacam itu diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan dicontohkan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Al-Ghazâli rahimahullah juga mengatakan tentang kholwat, “Dan hendaklah ia menyendiri di ruangan khusus, dengan hanya melaksanakan perkara-perkara yang wajib, dan tidak mengiringi keinginannya untuk membaca al-Qur’ân, tidak pula menelaah tafsirnya, serta tidak pula menulis Hadits.” [3]

Sanggahan: Pernahkah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , para Sahabat, dan para imam (panutan) beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan membaca al-Qur`ân, mentadabburinya, dan menyebarkan Sunnah (Hadits)?

Al-Ghazâli rahimahullah menambahkan mengatakan, “Ketahuilah bahwa orang yang masih dalam tahapan awal[4] , hendaklah tidak menikah terlebih dahulu. Karena, hal itu (pernikahan) merupakan urusan yang mendatangkan kesibukan dan akan menghalanginya dari menempuh perjalanan (suluk). Demikian pula, hal itu akan mengantarkannya untuk berkasih-sayang dengan istrinya. Dan barangsiapa berkasih-sayang dengan selain Allâh Azza wa Jalla , itu akan melalaikannya dari Allâh Azza wa Jalla . Janganlah ia tertipu dengan keberadaan Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam yang mempunyai banyak isteri. Karena beliau adalah orang yang hatinya tidak terlalaikan dari mengingat Allâh Azza wa Jalla dengan seluruh yang ada di dunia. Jadi, tidaklah bisa dikiaskan antara malaikat dengan tukang besi……..Oleh karena itulah, Abu Sulaimân ad-Dârâni berkata, “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah cenderung (tertarik) kepada dunia.”[5]

Sanggahan: Lihatlah pertentangan perkataan tersebut dengan firman Allâh Azza wa Jalla berikut :

وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا

Dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. [ al-A’râf/7:189]

Juga berseberangan dengan perintah Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لِأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ

Barang siapa di antara kalian yang mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah karena hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan [HR. al-Bukhâri Muslim].

PANDANGAN AL-GHAZALI BERKAITAN DENGAN AL-QUR’AN
1. Ta’wil Batiniyah
Para pengikut tharekat Sufiyah berpendapat seperti yang menjadi pendapat kaum batiniyah secara umum, yaitu membagi ilmu syar’i menjadi ilmu yang bersifat lahir dan ilmu yang bersifat batin, atau ilmu thariqah (jalan) dan ilmu hakikat. Dan al-Ghazâli rahimahullah termasuk pemandu mereka dalam masalah ini, sebagaimana kenyataan yang ada, dimana beliau telah mambuka pintu ajaran tasawuf kepada para pengikut yang datang setelahnya. Dan juga memudahkan sarana untuk menjadikan ajaran ini nampak, padahal sebelumnya ajaran ini tersembunyi dan tidak terang-terangan.

Berikut ini contoh penafsiran al-Ghazâli rahimahullah terhadap beberapa ayat al-Qur`ân :

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ

Maka tanggalkanlah kedua terompahmu. [Thâhâ/20:12]

Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan berkata, “Aku mengatakan bahwa Musa memahami perintah untuk menanggalkan kedua terompahnya, yang maksudnya adalah menanggalkan kedua alam. Maka Musa melaksanakan perintah secara lahir dengan menanggalkan terompah dan secara batin dengan menanggalkan kedua alam.”[6]

Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. tahun 728 H) mengomentari penafsiran tersebut dengan menyatakan, “Ini adalah kebiasaan ahli takwil, ahli filsafat….shabiah dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Qaramithah, Bathiniyah dan para pengikut aliran tasawuf.”[7] Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Dan dari sisi inilah orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahlul hulûl, ahlul wihdah, dan ahlul ittihâd [8].”[9]

Ibnul Jauzi rahimahullah (w. tahun 597 H) juga menukil perkataan al-Ghazâli rahimahullah, “Yang dimaksudkan dengan bintang-bintang dan bulan (yang dilihat Nabi Ibrâhîm)[10] adalah cahaya-cahaya, yaitu hijab Allâh Azza wa Jalla , dan bukanlah yang dimaksudkan adalah matahari dan bulan yang sudah dimaklumi.” Maka, Ibnul Jauzi rahimahullah mengomentari perkataan ini dengan mengatakan, “Ini termasuk jenis perkataan orang-orang Batiniyah.”[11]

Demikian pula, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَإِنْ آَنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. [an-Nisâ/4:6]

Al-Ghazâli rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla tersebut dengan mengatakan bahwa orang yang sudah cukup bekal ilmunya, hendaklah dibukakan kepadanya hakikat-hakikat ilmu, dan ia naik dari pengetahuan yang sifatnya lahiriyah dan nampak kepada pengetahuan yang sifatnya rinci, tersembunyi, dan batin.” [12]

2. Membandingkan al-Qur`ân dan Nyanyian
Al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan dalam al-Ihyâ satu bab tentang al-ghinâ (nyanyian). Secara panjang-lebar, beliau membicarakan tentang kondisi orang-orang yang menekuninya, dan juga perasaan gembira yang mereka rasakan. Dan beliau menyebutkan dalil-dalil orang yang berpendapat akan haramnya nyanyian, kemudian membantahnya. Dan menyebutkan orang-orang yang berpendapat akan bolehnya nyanyian dan kemudian mendukungnya.

Kemudian beliau menjawab pertanyaan berkaitan dengan hal ini, yaitu pertanyaan, “Jika sudah diketahui bahwa mendengar al-Qur`ân jelas memberikan manfaat kepada jiwa, maka mengapakah mereka masih berkumpul untuk mendengarkan nyanyian dari orang-orang yang ahli dalam pembicaraan, bukan mendengar dari para pembaca al-Qur`ân ?” Maka al- Ghazâli t menjawabnya langsung, “Ketahuilah, sesungguhnya nyanyian lebih memberikan dorongan kepada jiwa daripada al-Qur’an ditinjau dari tujuh sisi” (?!)[13] :

Sisi pertama : Sesungguhnya tidak semua ayat-ayat al-Qur`ân sesuai dengan kondisi orang yang mendengarkannya. Orang yang ditimpa kesedihan, rasa rindu, atau penyesalan, dari sisi mana kondisinya sinkron dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ

Allâh mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan [an-Nisâ/4:11]

Dan dari sisi mana kondisinya sesuai dengan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik. [an-Nûr/24:4]

Jadi, yang bisa menggerakkan perasaan dalam hati ialah hal-hal yang sesuai dengannya.

Sisi kedua : Bahwasanya al-Qur`ân telah banyak orang yang menghafalnya, sering didengar, dan sering diresapi dalam hati. Ketika pertama kali didengar, maka pengaruhnya terasa besar pada kalbu. Setelah mendengar kedua kalinya, pengaruhnya akan menurun. Dan pada kali yang ketiga, seolah-olah pengaruhnya lenyap. Berkaitan dengan apa yang kami sebutkan itu, Abu Bakr ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu telah mengisyaratkan kenyataan tersebut ketika ia melihat beberapa orang arab Badui datang mendengarkan al-Qur`ân kemudian mereka menangis, maka ia berkata, “Dahulunya kami juga menangis seperti kalian, akan tetapi sekarang sudah keras hati kami.” Akan tetapi, berulang-ulangnya hati menelaah al-Qur`ân mengakibatkan kerasnya hati, dan sedikitnya pengaruh yang dirasakan, disebabkan kebiasaan dan seringnya mendengar al-Qur`ân. Menurut kebiasaan, tidak mungkin seseorang mendengar satu ayat yang belum pernah didengar sebelumnya lalu ia menangis, dan ia terus-menerus bisa menangis karenanya dalam jangka dua puluh tahun, kemudian setiap kali ia mengulang ia selalu menangis.” [14]

Sanggahan : Sangat mengherankan, bukankah al-Ghazâli rahimahullah telah mengatakan tidak hanya sekali dalam kitabnya Ihyâ’ Ulûmiddîn bahwa al-Qur`ân tidaklah usang dengan banyaknya diulang ? Dan bahwa hati tidaklah bosan dengannya? [15] Dari manakah beliau mendatangkan kisah palsu yang dihikayatkan dari Abu Bakar Radhiyallahu anhu tersebut? Sedangkan telah diriwayatkan dalam hadits yang shahîh dari ‘Aisyah Rdhyallahu anhuma , bahwasanya ia berkata :

إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيْقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَ عَلَيْهِ الْبُكَاءُ

Sesungguhnya Abu Bakar adalah orang yang sangat lembut hatinya, jika ia membaca al-Qur`ân, maka ia tidak bisa menahan tangisnya[16]

Ini adalah riwayat yang jelas menunjukkan kedustaan kaum yang menganggap telah sampai pada tingkatan ma’rifah dan wushûl, dan mereka lebih mengedepankan nyanyian daripada al-Qur`ân, dan berdalil dengan riwayat yang dibuat-buat (dipalsukan) atas nama Abu Bakar Radhiyallahu anhu.

PANDANGAN AL-GHAZALI DALAM ROJA DAN KHAUF.[17]
Al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan beberapa perkataan kaum Sufi dan pendapat-pendapat mereka dalam masalah roja’ dan khauf. Di antaranya beliau mengatakan, “Adapun orang yang beramal karena mengharapkan surga dan takut neraka maka dia adalah seorang yang mukhlis (ikhlas) jika ditinjau dari bagian yang didapatkannya segera. Jika tidak demikian, maka hakikatnya dia sedang mencari pemenuhan kebutuhan perut dan farji (kemaluan). Dan sesungguhnya yang benar-benar dituntut dari orang-orang yang berakal adalah mengharapkan wajah Allâh Azza wa Jalla semata (bukan berharap surga dan takut dari neraka, pent)”[18].

Kemudian beliau menukil perkataan Rabî’ah al-‘Adawiyah kepada Sufyân ats-Tsauri rahimahullah , “Aku tidaklah beribadah kepada-Nya karena takut dari neraka-Nya, tidak pula karena menginginkan surga-Nya. Jika seperti itu, tentulah aku termasuk kuli yang buruk (mengharap upah dam takut kena marah, pent). Akan tetapi, aku beribadah kepada-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.[19]

Beliau juga menceritakan bahwa Isa Alaihissallam pernah melewati sejumlah orang ahli ibadah dan mereka sedang tekun beribadah. Mereka berkata, “Kami takut akan neraka dan kami mengharapkan surga.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Mengapa kalian takut kepada makhluk (neraka) dan mengharapkan makhluk (surga)?.”

Kemudian Isa Alaihissallam melewati sekelompok orang lain yang mengatakan, “Kami beribadah karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan kebesaran-Nya.” Maka Isa Alaihissallam berkata, “Kalian adalah wali-wali Allâh Azza wa Jalla yang sejati, dan bersama kalian lah aku diperintahkan untuk tinggal.”[20]

Sanggahan : Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan tarhîb[21] :

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu. [al-Baqarah/2:24].

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam rangka menyampaikan targhîb[22] :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. [Ali ‘Imrân/3:133]

Maka, bagaimanakah seseorang bisa disebut sebagai orang yang mengagungkan Allâh Azza wa Jalla , sedangkan ia mendengar firman Allâh Azza wa Jalla tersebut, kemudian ia tidak mau memperhatikan ancaman yang menjadikan seseorang takut dari-Nya, dan tidak pula mengharapkan kenikmatan yang telah Allâh Azza wa Jalla janjikan ( dalam surga)?

Apakah ia berkeyakinan bahwa ia lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla dan lebih dekat kepada-Nya daripada para Nabi yang telah dipuji oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :

وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا

Mereka berdoa kepada kami dengan harap dan cemas [al-Anbiyâ/21:90]

Dan apakah ia menganggap bahwa dirinya lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada para malaikat yang telah Allâh Azza wa Jalla puji dalam firman-Nya:

يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ

Mereka takut kepada Rabb mereka yang di atas mereka [an-Nahl/16:50]

Bukankah hakekat pengagungan dan makna ketakwaan dengan seluruh maknanya adalah seseorang takut akan hal-hal yang menjadi ancaman Allâh Azza wa Jalla , dan seseorang mengharapkan kenikmatan yang telah dijanjikan Allâh Azza wa Jalla .

Tidakkah ia mendengar firman Allâh Azza wa Jalla :

ذَلِكَ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ يَا عِبَادِ فَاتَّقُونِ

Demikianlah Allâh mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku hai hamba-hamba-Ku [az-Zumar/39:16]

Simaklah pernyataan al-Qusyairi –seorang tokoh Sufi dan termasuk peletak pokok-pokok ajaran Tasawuf – yang diriwayatkan dari perkataan Abu Sulaimân ad-Dârâni, “Yang dimaksud dengan ridha adalah engkau tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla, dan tidak memohon perlindungan dari neraka.” [23]

Tidakkah ia mengetahui bahwa ketidaktakutan seseorang terhadap ancaman Allâh Azza wa Jalla termasuk sifat orang-orang yang melampaui batas, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا

Dan kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar besar kedurhakaan mereka [al-Isrâ/17:60]

Sifat thughyân (melampai batas) ini telah menimpa kaum Sufi dengan penyimpangan mereka dari sunnah (petunjuk) Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam , dan meremehkan pahala dan siksaan di sisi Allâh Azza wa Jalla . Mereka berpandangan bahwa apabila seseorang takut akan neraka dan adzab Allâh Azza wa Jalla berarti ia telah takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , dan bahwasanya hal itu termasuk kategori syirik. Dalam hal ini, mereka telah melalaikan akan perintah Allâh Azza wa Jalla :

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا

Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harapan [al-A’râf/7:56]

Dengan demikian, mereka tidak meminta surga kepada Allâh Azza wa Jalla dan tidak pula berlindung dari neraka karena menganggap bahwa hal itu adalah tingkatan ridha kepada Allâh Azza wa Jalla .

AL-GHAZALI MENGUTIP KISAH TOKOH-TOKOH TASAWUF
Al-Ghazâli rahimahullah mengatakan, “Dan diriwayatkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabi, suatu ketika ia merasa kagum terhadap seorang pengikut tarekat Sufi. Ia pun mendekatinya dan menyediakan segala kebutuhannya, sementara orang tersebut tetap sibuk dalam ritual ibadahnya. Kemudian Abu Turab berkata kepadanya, “Seandainya engkau mau melihat Abu Yazid!” Maka orang itu menjawab, “Celaka kamu, apa yang aku butuhkan dari Abu Yazid? Aku telah melihat Allâh Azza wa Jalla (!?), maka aku tidak butuh kepada Abu Yazid.” Abu Turab berkata, “Maka bergoncanglah perasaanku, dan aku pun tidak bisa menguasai jiwaku, lalu aku pun berkata kepadanya, “Celakalah engkau, engkau telah terpedaya dengan Allâh Azza wa Jalla . Kalau lah engkau melihat Abu Yazid sekali saja, maka itu lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allâh Azza wa Jalla tujuh puluh kali (!?)” [24

Sanggahan : Perkataan yang buruk ini tidak perlu lagi untuk dikomentari, kecuali kita hanya berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari penyimpangan setelah datangnya hidayah. Namun demikian, al-Ghazâli rahimahullah tidak mengingkari perkataan tersebut, demikian pula cerita-cerita lainnya dari tokoh-tokoh Sufi. Justru berkomentar positif, “Ini adalah bagian awal dari perjalanan mereka (menuju Allâh), sekecil-kecil kedudukan mereka, dan semulia-mulia orang yang bertakwa(?! ).” [25]

Imam al-Ghazâli rahimahullah juga menceritakan dari Ibnu al-Kuraibi bahwa ia berkata, “Aku mendatangi suatu tempat dimana penduduknya mengenalku sebagai orang shalih. Di situ, hatiku menjadi gundah. Lalu aku masuk ke kamar mandi dan aku melihat ada sehelai baju yang mewah. Aku mencurinya dan kemudian mengenakannya. Lalu aku pakai pakaianku yang penuh tambalan di atas baju tersebut, kemudian aku keluar. Aku pun berjalan pelan-pelan. Orang-orang pun menemuiku dan melepaskan baju luarku. Selanjutnya, mereka mengambil pakaian yang mewah itu dan menampari dan menyakitiku dengan pukulan. Sejak itu, aku dikenal sebagai seorang pencuri barang-barang yang tertinggal di kamar mandi. Namun, dengan kasus itu lah jiwaku menjadi tenang (?!).” [26]

Sanggahan : Perkara ini jelas menyelisihi syariat Allâh Azza wa Jalla dan sunnah (petunjuk) Nabi-Nya. Karena pencurian termasuk perbuatan dosa besar. Allâh Azza wa Jalla menggandengkan penyebutan tindak pencurian dengan dengan perbuatan zina yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla atas orang-orang beriman laki-laki maupun perempuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ

Tidak akan mencuri dan tidak akan berzina. [al-Mumtahanah/60:12]

Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. [an-Nûr/24: 3]

TAUHID AL-GHAZALI DAN KEYAKINAN AL-HALLAJ [27]
Para ulama telah mengingkari pendapat al-Ghazâli rahimahullah yang membagi tauhid menjadi empat, yaitu :

Tingkatan pertama: Seseorang mengucapkan kalimat Lâ Ilâha illallâh dengan lisannya, namun hatinya ghoflah (lalai) darinya atau mengingkarinya, seperti tauhid orang-orang munafik.[28]

Sanggahan : Telah dimaklumi bahwa nifaq (kemunafikan) bukanlah satu tingkatan dari tauhid menurut para Ulama Salaf. Bahkan sebaliknya, termasuk tingkaran kekufuran paling tinggi. Sementara ghoflah (kelalaian) itu berbeda dengan inkâr (pengingkaran).

Tingkatan kedua: Seseorang membenarkan makna kalimat ini dengan hatinya sebagaimana umumnya kaum Muslimin membenarkannya. Ini adalah keyakinan orang-orang awam.[29]

Tingkatan ketiga : Seseorang menyaksikan (alam semesta) dengan jalan al-kasyf (penyingkapan) melalui perantara cahaya dari Allâh Azza wa Jalla . Ini adalah tingkatan muqorrabîn (orang-orang yang didekatkan kepada-Nya). Yaitu, dengan melihat benda-benda yang banyak, disertai keyakinan bahwa semuanya itu muncul dari satu Dzat Yang Maha Mulia.

Maka, orang yang menyaksikan adalah orang yang bertauhid, karena ia tidak menyaksikannya kecuali (bersumber) dari perbuatan satu Dzat……dan tidak melihat satu pun perbuatan secara hakiki kecuali (bersumber) dari yang satu.[30]

Tingkatan keempat: Seseorang tidak melihat apa yang ada ini kecuali semuanya itu hakikatnya adalah satu. Ini adalah yang disaksikan oleh shiddîqîn. Para pengikut Tasawuf menamainya dengan fanâ (melebur) dalam tauhid. Inilah puncak tertinggi dalam tauhid.”[31]

Sanggahan : Di sini kita sampaikan satu pertanyaan, yaitu di manakah letak tauhid (aqidah) yang diserukan oleh Rasûlullâh Ahallallahu ‘alaihi wa sallam dan para nabi lainnya (mengesakan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh ibadah) di antara empat tingkatan tauhid yang disebutkan tersebut, mengapa tidak ada bagiannya di sana?

Dan apa benar puncak tertinggi dalam tauhid diwujudkan dengan melihat segala apa yang ada sebagai sesuatu yang hakikatnya satu? Apakah yang dimaksudkan satu tersebut adalah Allâh Azza wa Jalla ? Jika demikian, maka ini adalah pemahaman wihdatul wujûd. [32]

Al-Ghazâli rahimahullah telah mengisyaratkan hal itu [33] ketika beliau mengatakan dalam kitab Misykâtul Anwâr, “Lâ ilâha illallâh adalah tauhid (keyakinan) orang-orang awam, dan ‘Lâ huwa illa huwa’ (tidak ada dia kecuali dia) adalah tauhid (keyakinan) orang-orang khusus.”[34]

Ketika al-Ghazâli rahimahullah menyebutkan tingkatan keempat dari tauhid tersebut, beliau mengatakan, “Jika engkau bertanya, “Bagaimana dapat dibayangkan seseorang tidak melihat kecuali satu, padahal ia melihat langit, bumi, seluruh benda-benda yang bisa dijangkau oleh panca indera, dan jumlahnya sangat banyak, maka bagaimana bisa dikatakan yang banyak tersebut sebagai sesuatu yang satu ?”

Maka beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan membuat permisalan yang mengherankan, dan tidak terbayang bahwa itu muncul dari seorang yang alim (berilmu) terhadap syariat Allâh Azza wa Jalla , yang mestinya mengembalikan perkara ketika terjadinya perselisihan kepada nash-nash wahyu dari Allâh Azza wa Jalla . Beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan, “Hal itu seperti pada diri seorang insan, ia bisa dikatakan banyak jika ditinjau dari ruhnya, jasadnya, anggota badannya, urat-uratnya, tulang-tulangnya, dan juga lambungnya. Dan ditinjau dari sisi lainnya, ia juga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu. Betapa banyak orang yang melihat orang lain, namun tidak terlintas di dalam benaknya tentang banyaknya usus orang itu, urat-uratnya, anggota badannya, rincian ruh dan jasadnya, demikian pula anggota tubuhnya yang lain. Demikian pula segala sesuatu yang ada ini dari al- Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dan seluruh makhluk mempunyai sisi penyaksian yang banyak dan beraneka ragam. Maka, ditinjau dari satu sisi, semuanya itu bisa dikatakan sebagai sesuatu yang satu, dan ditinjau dari sisi lainnya bisa dikatakan sebagai sesuatu yang banyak, sebagiannya lebih banyak dari sebagian yang lain.“[35]

Maka, makna dari perkataan al-Ghazâli rahimahullah tersebut bahwa puncak tertinggi tauhid adalah wihdatul wujûd dan bersatunya al-Khâliq (Dzat Yang Maha Pencipta) dengan makhluk-Nya.

Inilah beberapa kekeliruan dari kekeliruan Abu Hamid al-Ghazali yang banyak dalam kitabnya yang sangat terkenal . Namun pemaparan yang sedikit ini kiranya dapat memberikan gambaran tentang bahaya besar yang tidak (belum) disadari dari kitab Ihyâ’ ‘Ulumiddîn . Tulisan ini bukanlah untuk mencela ataupun menghina Imam al-Ghozâli yang termasuk Ulama Islam yang masyhur. Namun tujuannya sebagaimana disampaikan Syaikh Sa’d al-Hushayyin dalam muqoddimah kitab yang menjadi sumber naskah ini, ”Kami memandang pentingnya menyebarkan tulisan ini secara terpisah karena banyak orang yang menjadikan Ihyâ’ ‘Ulumiddîn sebagai bahan rujukan namun tidak selektif. Kitab ini meskipun juga memang memuat kebaikan, kebenaran dan petunjuk (yang benar), akan tetapi juga berisi gulungan kejelekan dan kebatilan serta kesesatan, jauh dari petunjuk al-Qur`ân dan Sunnah. Hanya saja, orang-orang yang fanatik kepada beliau, tetap menyebarkan kekeliruan dan kesalahan beliau di dalamnya. Kewajiban kita tiada lain, memohon ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla bagi beliau dan kita semua, dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan pemikirannya yang bertentangan dengan syariat, dalam rangka menjaga Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para penguasa dan kaum Muslimin pada umumnya”.

PENUTUP
Di akhir pembahasan ini, setelah kami menyebutkan beberapa pendapat dan pemikiran al-Ghazâli rahimahullah yang dinukil dari kitab-kitab beliau sendiri, demikian pula dari kitab-kitab yang menjelaskan biografi beliau, maka perlu kami sampaikan bahwa telah disebutkan pernyataan tentang taubat beliau dari kesalahan-kesalahan tersebut. Dan di akhir-akhir kehidupannya, beliau menyibukkan diri dengan menekuni hadits dan ilmu-ilmunya. Sampai-sampai disebutkan bahwa beliau meninggal dengan kitab Shahîh al-Bukhâri berada di atas dadanya. Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Kholwat adalah menyendiri dalam rangka mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , pent)
[2]. al-Ihyâ’ 3/76
[3]. al-Ihyâ (3/19).
[4]. Dalam tahapan awal dalam menempuh tarekat Sufi, Pent)
[5]. al-Ihyâ 3/110
[6]. Misykâh al-Anwâr, hlm. 30
[7]. Majmû Fatâwâ 6/180
[8]. Maksudnya adalah orang-orang yang berkeyakinan bersatunya Rabb dengan makhluk, Pen)
[9]. Dâr-u at-Ta’ârudh al-‘Aql wa an-Naql 1/318
[10]. Sebagaimana disebutkan dalam QS. al An’âm : 77-78, Pen)
[11]. Talbîs Iblîs, hlm. 166
[12]. Mizân al-‘Amâl, hlm. 111
[13]. Di sini kami hanya menyebutkan dua sisi yang disebutkan al-Ghazâli karena keterbatasan tempat. (Pent)
[14]. al-Ihyâ (2/299).
[15]. al-Ihyâ (1/272-289).
[16]. HR. al-Bukhâri (1/162, 165, 167) dalam Kitâb al-Adzân
[17]. Rojâ maknanya mengaharpkan pahala dan surge Allâh Azza wa Jalla , sedangkan khauf maknanya takut dari adzab dan neraka Allâh Azza wa Jalla . (Pen)
[18]. al-Ihyâ 4/381
[19]. al-Ihyâ 4/310
[20]. al-Arba’în min Ushûl ad-Dîn 192
[21]. Tarhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang takut akan ancaman dan siksaan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
[22]. Targhîb adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang bersemangat untuk mendapatkan pahala dan kenikmatan yang dijanjikan Allâh Azza wa Jalla (Pent)
[23]. ar-Risâlah al-Qusyairiyah hlm. 90
[24]. al-Ihyâ 4/356, Bab Hikâyatu al-Muhibbin wa Aqwâlihum wa Mukasyafâtihim
[25]. al-Ihyâ 4/357
[26]. al-Ihyâ 4/358
[27]. Al-Hallâj adalah tokoh pemahaman wihdatul wujûd (segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent).
[28]. Al-Ihyâ 4/245
[29]. Al-Ihyâ 4/245
[30]. Idem.
[31]. Idem.
[32]. Yaitu pemahaman bahwa segala yang ada di semesta merupakan perwujudan Allâh Azza wa Jalla , Pent)
[33]. Yaitu pemahaman wihdatul wujud. (Pen)
[34]. Misykâh al-Anwâr (19/20).
[35]. Al-Ihyâ 4/246-247

Sumber: https://almanhaj.or.id/3661-tinjauan-kritis-terhadap-beberapa-pemikiran-imam-al-ghazali-rahimahullah-dalam-ihya-ulumiddin.html

Share:

Pembicaraan Siksa Kubur dalam Al Qur’an

Hasil gambar untuk surgaAlhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Suatu saat kami menemukan dari salah satu blog perkataan semacam ini:
“Bila kandungan isi hadits itu berhubungan dengan masalah ‘aqidah, misalnya tentang siksa kubur, maka kita tidak boleh menyakini adanya siksa kubur tersebut dengan keyakinan 100%. Sebab, derajat kebenaran yang dikandung oleh hadits ahad tidak sampai 100%.”

Inilah di antara aqidah menyimpang yang dimiliki sebuah kelompok yang terkenal selalu menggembar gemborkan khilafah. Mereka tidak meyakini adanya siksa kubur. Mereka beralasan bahwa riwayat mengenai siksa kubur hanya berasal dari hadits Ahad, sedangkan hadits Ahad hanya bersifat zhon (sangkaan semata). Padahal aqidah harus dibangun di atas dalil qoth’i dan harus berasal dari riwayat mutawatir. Itulah keyakinan mereka.

Sekarang yang kami pertanyakan, “Apakah betul riwayat mengenai siksa kubur tidak mutawatir dan hanya berasal dari hadits Ahad?” Juga yang kami tanyakan, “Apakah pembicaraan mengenai siksa kubur juga tidak ada dalam Al Qur’an?”

Pada tulisan singkat kali ini, kami akan membuktikan bahwa pembicaraan mengenai siksa kubur sebenarnya disebutkan pula dalam Al Qur’an. Sehingga dengan sangat pasti kita dapat katakan bahwa pembicaraan mengenai siksa kubur adalah mutawatir karena riwayat Al Qur’an adalah mutawatir dan bukan Ahad.
Ayat Pertama: Siksaan bagi Fir’aun dan Pengikutnya di Alam Kubur

Allah Ta’ala berfirman,
وَحَاقَ بِآَلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (45) النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (46)

“Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang , dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras“.” (QS. Al Mu’min: 45-46)

Mari kita perhatikan penjelasan para pakar tafsir mengenai potongan ayat ini:
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.”

Al Qurtubhi –rahimahullah- mengatakan,

“Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini tentang adanya adzab kubur. … Pendapat inilah yang dipilih oleh Mujahid, ‘Ikrimah, Maqotil, Muhammad bin Ka’ab. Mereka semua mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur di dunia.” (Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, 15/319)

Asy Syaukani –rahimahullah- mengatakan,
“Yang dimaksud dengan potongan dalam ayat tersebut adalah siksaan di alam barzakh (alam kubur). ” (Fathul Qodir, 4/705)

Fakhruddin Ar Rozi Asy Syafi’i –rahimahullah- mengatakan,

“Para ulama Syafi’iyyah berdalil dengan ayat ini tentang adanya adzab kubur. Mereka mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa siksa neraka yang dihadapkan kepada mereka pagi dan siang (artinya sepanjang waktu) bukanlah pada hari kiamat nanti. Karena pada lanjutan ayat dikatakan, “dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras” [Berarti siksa neraka yang dinampakkan pada mereka adalah di alam kubur]. Tidak bisa juga kita katakan bahwa yang dimaksudkan adalah siksa di dunia. Karena dalam ayat tersebut dikatakan bahwa neraka dinampakkan pada mereka pagi dan siang, sedangkan siksa ini tidak mungkin terjadi pada mereka ketika di dunia. Jadi yang tepat adalah dinampakkannya neraka pagi dan siang di sini adalah setelah kematian (bukan di dunia) dan sebelum datangnya hari kiamat. Oleh karena itu, ayat ini menunjukkan adanya siksa kubur bagi Fir’aun dan pengikutnya. Begitu pula siksa kubur ini akan diperoleh bagi yang lainnya sebagaimana mereka.” (Mafaatihul Ghoib, 27/64)

Ibnu Katsir –rahimahullah- mengatakan,
“Ayat ini adalah pokok aqidah terbesar yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai adanya adzab (siksa) kubur yaitu firman Allah Ta’ala,
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/146)

Ibnul Qoyyim –rahimahullah- menafsirkan ayat di atas,
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang”, ini adalah siksaan di alam barzakh (di alam kubur). Sedangkan ayat (yang artinya), “dan pada hari terjadinya Kiamat” adalah ketika kiamat kubro (kiamat besar). (At Tafsir Al Qoyyim, hal. 358)
Ayat Lain yang Membicarakan Siksa Kubur

Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta“. (QS. Thahaa: 124)

Ibnul Qoyyim –rahimahullah- mengatakan, “Bukan hanya satu orang salaf namun lebih dari itu, mereka berdalil dengan ayat ini tentang adanya siksa kubur.” (At Tafsir Al Qoyyim, hal. 358)

Begitu pula Ibnul Qoyyim –rahimahullah- menyebutkan ayat-ayat lain yang menunjukkan adanya siksa kubur.

Kita dapat melihat pula dalam surat Al An’am, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلآئِكَةُ بَاسِطُواْ أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُواْ أَنفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al An’am: 93)

Adapun perkataan malaikat (yang artinya), “Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan”. Siksa yang sangat menghinakan di sini adalah siksa di alam barzakh (alam kubur) karena alam kubur adalah alam pertama setelah kematian. (At Tafsir Al Qoyyim, hal. 358)
Begitu juga yang serupa dengan surat Al An’am tadi adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُوا الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ

“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata) : “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (QS. Al Anfal: 50)

Siksa yang dirasakan yang disebutkan dalam ayat ini adalah di alam barzakh karena alam barzakh adalah alam pertama setelah kematian. (At Tafsir Al Qoyyim, hal. 358)

Begitu pula Ibnu Abil ‘Izz –rahimahullah- ketika menjelaskan perkataan Ath Thohawi mengenai aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang meyakini adanya siksa kubur, selain membawakan surat Al Mu’min sebagai dalil adanya siksa kubur, beliau –rahimahullah- juga membawakan firman Allah Ta’ala,
فَذَرْهُمْ حَتَّى يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي فِيهِ يُصْعَقُونَ (45) يَوْمَ لَا يُغْنِي عَنْهُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (46) وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا عَذَابًا دُونَ ذَلِكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (47)

“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka yang pada hari itu mereka dibinasakan, (yaitu) hari ketika tidak berguna bagi mereka sedikitpun tipu daya mereka dan mereka tidak ditolong. Dan sesungguhnya untuk orang-orang yang zalim ada azab selain daripada itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Ath Thur: 45-47)

Setelah membawakan ayat ini, Ibnu Abil ‘Izz mengatakan, “Ayat ini bisa bermakna siksa bagi mereka dengan dibunuh atau siksaan lainnya di dunia. Ayat ini juga bisa bermakna siksa bagi mereka di alam barzakh (alam kubur). Inilah pendapat yang lebih tepat. Karena kebanyakan dari mereka mati, namun tidak disiksa di dunia. Atau ayat ini bisa bermakna siksa secara umum.” (Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/604-605)

Begitu juga dapat kita lihat dalam kitab Shahih (yaitu Shahih Muslim), terdapat hadits dari Al Baroo’ bin ‘Aazib –radhiyallahu ‘anhu-. Beliau membicarakan mengenai firman Allah Ta’ala,
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Al Baroo’ bin ‘Aazib mengatakan,
نَزَلَتْ فِى عَذَابِ الْقَبْرِ.

“Ayat ini turun untuk menjelaskan adanya siksa kubur.” (HR. Muslim)

Bahkan Ibnul Qoyyim –rahimahullah-, ulama yang sudah diketahui keilmuannya mengatakan bahwa hadits yang menjelaskan mengenai siksa kubur adalah hadits yang sampai derajat mutawatir. (Lihat At Tafsir Al Qoyyim, 359)
Inilah Kekeliruan Mereka

Inilah di antara kekeliruan dan penyimpangan kelompok yang selalu menggembar gemborkan khilafah dalam setiap orasi mereka (dengan isyarat seperti ini mudah-mudahan kita tahu kelompok tersebut). Mereka menolak adanya siksa kubur karena beralasan bahwa riwayat yang menerangkan aqidah semacam ini adalah hadits ahad. Sedangkan hadits ahad tidak boleh dijadikan rujukan dalam masalah aqidah karena aqidah harus 100 % qoth’i, tidak boleh ada zhon (sangkaan) sedikit pun.

Sekarang kami tanyakan kepada mereka, “Bukankah Al Qur’an adalah mutawatir?! Lalu di mana kalian meletakkkan ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan mengenai siksa kubur [?] Padahal pakar tafsir telah menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan ayat-ayat yang kami sebutkan di atas adalah mengenai siksa kubur.”

Lalu bagaimana dengan do’a berlindung dari adzab kubur yang dibaca ketika tasyahud akhir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: [1] siksa neraka jahannam, [2] siksa kubur, [3] penyimpangan ketika hidup dan mati, [4] kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim). Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim)

Kalau memang mereka mengamalkan do’a ini, bagaimana mungkin berbeda antara perkataan dan keyakinan[?] Sungguh sangat tidak masuk akal. Sesuatu boleh diamalkan namun tidak boleh diyakini[!] Ini mustahil.

Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada saudara-saudara kami ini. Maksud tulisan ini bukanlah menjelak-jelekkan mereka. Namun maksud kami adalah agar mereka yang telah berpaham keliru ini sadar dan merujuk pada kebenaran. Itu saja yang kami inginkan dari lubuk hati kami yang paling dalam.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:

1. Al Jaami’ Li Ahkamil Qur’an, Al Qurtubhi, Darul ‘Alim Al Kutub, Riyadh Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As Su’udiyah
2.  At Tafsir Al Qoyyim, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah
3. Fathul Qodir, Asy Syaukani, Asy Syaukani
4. Mafatihul Ghoib, Fakhruddin Ar Rozi Asy Syafi’i, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut
5. Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Ibnu Abil ‘Izz Ad Dimasyqi, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah
6.Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Dar Thoyyibah lin Nasyr wat Tawzi’
Catatan:

Dalam ilmu hadits, para ulama telah membagi hadits berdasarkan banyaknya jalan yang sampai kepada kita menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.

Mutawatir secara bahasa berarti berturut-turut (tatabu’). Secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan dari jalan yang sangat banyak sehingga mustahil untuk bersepakat dalam kedustaan karena mengingat banyak jumlahnya dan kesholihannya serta perbedaan tempat tinggal.

Ada empat syarat disebut hadits mutawatir :
1. Diriwayatkan dari banyak jalan. Ada yang mengatakan sepuluh dan ada juga yang mengatakan lebih dari empat.
2. Jumlah yang banyak ini terdapat dalam setiap thobaqot (tingkatan) sanad.
3.  Mustahil bersepakat untuk berdusta dilihat dari ‘adat (kebiasaan).
4. Menyandarkan khobar (berita) dengan perkara indrawi seperti dengan kata ‘sami’na’ (kami mendengar), dll.

Ahad secara bahasa berarti satu (al wahid). Secara istilah, hadits ahad adalah hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir.

Hadits ahad ada tiga macam yaitu hadits masyhur, aziz, dan ghorib.

Pertama, hadits masyhur yaitu hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun belum mencapai derajat mutawatir.

Kedua, hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun berada dalam satu thobaqoh (tingkatan)

Ketiga, hadits ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rowi. (Lihat Taisir Mustholahul Hadits, hal. 19-20; Muntahal Amaniy, hal. 82; Min Athyabil Minnah, hal. 8-9)

****
Disusun di rumah mertua tercinta, Panggang, Gunung Kidul, 30 Rabi’ul Akhir 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/290-pembicaraan-siksa-kubur-dalam-al-quran.html

Share:

TAHAP-TAHAP KEHIDUPAN MANUSIA MENURUT AL QUR’AN

Hasil gambar untuk surga Bismillahirrohmannirrohiim,

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah Subhaanahu wa ta’ala, marilah kita bahas tentang tahap-tahap kehidupan manusia sesuai yang diberitakan dalam Al Qur’an. Dapat disimpulkan bahwa ada 5 tahapan kehidupan manusia

#1 – ALAM RUH
 
Dikisahkan bahwa Allah menciptakan ruh (QS 38 – Shaad : 71-72) sebelum manusia terbentuk jasadnya. Bisa dibayangkan betapa banyak ruh yang diciptakan Allah sebelum ditiupkan kedalam jasad manusia. Sesungguhnya kita, manusia, tidak memiliki pengetahuan tentang ruh (QS 17 – Al Israa’ : 85), sedikit sekali yang kita ketahui tentang ruh ini. Setelah penciptaan ruh, maka manusia mengalami suatu masa di mana ia merupakan sesuatu yang tidak dapat disebut (QS 76 – Al Insaan : 1)

#2 – ALAM JANIN

Manusia mulai terbentuk secara fisik dalam rahim seorang ibu yang dikatakan berasal dari air mani dan disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) (QS 32 – As Sajdah : 7-8, QS 23 – Al Mu’minuun : 12-13). Janin mengalami proses perkembangan dalam rahim (QS 23 – Al Mu’minuun : 14) dan dibentuk sesuai dengan kehendak Allah (QS 3 – Ali ‘Imran : 6) dan disempurnakanNya tubuh manusia ini (QS 82 – Al Infithaar : 7-8). Setelah terbentuk, barulah Allah meniupkan ruh kedalam janin (QS 32 – As Sajdah : 9)

#3 – ALAM DUNIA

Setelah sekitar 9 bulan berada dalam rahim seorang ibu, maka lahirlah manusia ke alam dunia dalam keadaan polos dan suci tanpa membawa apapun. Setelah lahir manusia akan lebih mengenal fenomena kehidupan dunia, dan lalai tentang pengetahuan tentang kehidupan akhirat (QS 30 – Ar Ruum : 6-7)

Kehidupan manusia di alam dunia pada hakekatnya merupakan ujian-ujian seumur hidupnya untuk menentukan tempatnya di akhirat kelak (QS 6 – Al An’aam : 165). Manusia ditugaskan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi (QS 2 – Al Baqarah : 30, QS 75 – Faathir :39, QS 38 – Shaad : 26). Dan ia diperintahkan untuk beriman dan menyembah kepada Allah dan melakukan amal ma’ruf dan mencegah kemunkaran (QS 3 – Ali Imran : 110, QS 51 – Adz Dzariyaat : 56). Penciptaan manusia untuk hidup di dunia bukanlah suatu yang main-main, melainkan setiap manusia akan dimintakan pertanggungan jawabnya bagaimana ia menjalani ujian-ujian tentang apa yang telah dilakukannya selama hidup. (QS 23 – Al Mu’minuun : 115)

Seburuk-buruknya manusia ialah mereka yang kafir dan akan mendapat tempat di neraka jahanam, sedangkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik di dunia sesuai Al Qur’an merupakan sebaik-baiknya manusia dan in syaa Allah mendapat tempat di syurga kelak (QS 98 – Al Bayyinah : 6-8)

Kehidupan manusia di dunia amatlah singkat, 1 hari di sisi Allah sama dengan 1.000 tahun di bumi: “Allah bertanya: “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab :”Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-prang yang menghitung” Allah berfirman: “Kamu tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui” (QS 23 – Al Mu’minuun : 112-114)

Kebanyakan manusia tidak menyadari bahwa waktu yang diberikan Allah  untuk hidup di dunia hanyalah sebentar. Dan celakanya, waktu yang sedikit digunakan untuk ingkar kepada Allah dengan berfoya-foya menikmati dunia dan melakukan berbagai kemaksiatan. Sungguhlah mereka berada dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman kepada Allah, melakukan amal saleh dan saling menasihati tentang kebenaran dan menetapkan kesabaran (QS 103 – Al ‘Ashr : 1-3).

Sampailah saatnya manusia akan menemui ajal. Hanya Allah yang tahu kapan kita akan menemui ajal yang tidak bisa ditunda atau dimajukan sedikitpun. Ajal itu pasti datangnya, akan tetapi kita tidak tahu kapan datangnya, di mana dan bagaimana kita akan menemui ajal.  Ajal tetap merupakan misteri bagi kita (QS 35 – Faathir : 11, QS 31 – Luqman : 34, QS 4 – An Nisaa’ : 78, QS 10 – Yunus : 49)

#4 -  ALAM KUBUR/BARZAH

Barzah berarti sesuatu yang terletak di antara dua kondisi atau barang. Dalam konteks kehidupan manusia, maka alam barzah adalah antara alam dunia dan alam akhirat. Ini adalah suatu alam yang dialami manusia mulai dari saat ia menemui ajal sampai datangnya hari kiamat atau hari akhir (yaumil qiyamah atau yaumil akhir) (QS 30 – Ar Ruum : 55-57, QS 2- - Thaahaa : 100-104)

Alam barzah in digambarkan sebagai suatu kehidupan baru yang merupakan dinding pemisah antara alam dunia dan alam akhirat. (QS 23 – Al Mu’minuun : 99-100)

Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, berbuat dusta terhadap Allah dan sombong akan langsung dihukum pada waktu sakratul maut, tidak lagi menunggu azab kubur atau peradilan akhirat. Malaikat maut akan mengambil nyawa mereka dengan kasar sambil memukul-mukul muka dan punggung para pendusta ayat Allah itu (QS 47 – Muhammad : 27 – 28, QS 6 – Al An’aam : 93)

Risalah tentang dasar-dasar pemikiran tentang ada atau tidaknya alam barzah menurut Al-Qur’an dapat di dilihat lebih terinci di http://rumaysho.com/aqidah/pembicaraan-siksa-kubur-dalam-al-quran-290

#5 -  ALAM AKHIRAT

Kehidupan di alam akhirat didahului dengan peristiwa kiamat, di mana malaikat meniup sangkakala membangunkan para arwah yang sedang tidur dalam alam khubur diikuti satu kali teriakan. Semua terbangun dan bergegas ke padang masyhar untuk dihisab keimanan, perbuatan baik dan buruk yang dilakukan selama berada di alam dunia. Semua manusia yang dibangkitkan kembali dikumpulkan di padang mahsyar. Pada saat itu sudah ada yang celaka dan ada pula yang berbahagia. (QS 36 – Yaasiin : 51-54, QS 11 – Huud : 103-105)

Orang-orang yang mulia telah telah diberikan ketetapan yang baik dari Allah, mereka itu dijauhkan dari neraka dan tidak mendengar sedikitpun suara api neraka. Mereka juga tidak disusahkan oleh kedahsyatan yang besar yang terjadi pada hari kiamat, dan mereka disambut oleh para malaikat dengan ucapan: “Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu”
(QS 21 – Al Anbiyaa’ : 101-104)

Suasana dan keadaan golongan manusia di hari akhirat pada umumnya berada dalam kepanikan yang amat sangat, tidak ada yang bisa saling tolong menolong.  Ada yang bergembira dan ada yang bermuka masam, tergantung dari amalannya di dunia. (QS 80 – ‘Abasa : 33-42)

Orang-orang yang selama di alam dunia mengingkari adanya hari kebangkitan dan pertemuannya dengan Allah di hari kiamat akan menyesal dan akan menerima azab dengan memikul dosa-dosa yang telah dilakukannya. (QS 6 – Al An’aam : 30-31)

Setiap manusia akan diadili dalam pengadilan akhirat di mana kita akan membela diri sendiri saat diminta pertanggung-jawaban atas perbuatan kita di dunia, tidak ada orang lain yang bisa menggantikan kita atau membela kita dalam peradilan akhirat yang Maha Adil. (QS 16 – An Nahl : 111, QS 19 – Maryam : 80, QS 2 – Al Baqarah : 123)

Dipastikan manusia diminta pertanggungan-jawabnya berdasarkan apa yang dikerjakannya dan dengan segala argumentasi dan alasan-alasan pembenaran perbuatannya. Tangan dan kaki ikut menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan kita di dunia, sedangkan mulut mereka ditutup. Bahkan semua anggota tubuh termasuk kulit ikut menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan manusia di dunia. (QS 75 – Al Qiyaamah : 13-15, QS 24 – An Nuur : 24, QS 36 – Yaasiin : 65, QS 41 – Fushshilat : 19-22)

Nasib manusia setelah dijatuhkan vonis bermacam-macam. Orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul di antaramu yang membacakan ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” Mereka menjawab: “Benar (telah datang)”. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang kafir
Lalu dikatakan (kepada orang-orang kafir itu): “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya”. Maka neraka jahannam inilah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.

Sebaliknya, orang-orang yang bertaqwa kepada Tuhannya dibawa kedalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya”
Para mutaqien itupun berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah (memberi) kepada kami tempat ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.” Maka surga itulah sebaik-baik tempat bagi orang-orang yang beramal” (QS 39 – AZ Zumar : 71-74)

Kesimpulan kajian Al – Qur’an: Allah menetapkan keberadaan manusia melalui tahap-tahap kehidupan. Mulai dari penciptaan ruh, diikuti penciptaan jasad dalam janin sehingga ditiupkan ruh ke dalamnya dan dilahirkan ke dunia. Keberadaan manusia di atas bumi merupakan ketetapan Allah. Manusia mempunyai misi untuk menjadi khalifah di muka bumi, menjaga ciptaan Allah, berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran, mengikuti perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Kehidupan manusia di bumi sangat singkat dan merupakan gelanggang ujian untuk menentukan tempatnya di akhirat. Akhirat merupakan kehidupan manusia yang final dan abadi, bahagia di surga atau sengsara di neraka.

Semoga bermanfaat.

Wasallam, Mimuk Bambang Irawan
Jakarta, 15 Maret 2015

Dari Pengajian Kelompok-5 Jakasampurna
Narasumber: Ustadz Amiin
Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Arsip Blog

Cari