}

Shalat Iftitah, Pembuka Shalat Tarawih

Hasil gambar untuk sholat berjamaahDisunnahkan ketika ingin melaksanakan shalat malam dibuka dulu dengan dua raka’at ringan. Namun apakah sama berlakunya untuk shalat tarawih?

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذا قَامَ من اللَّيْل ليُصَلِّي افْتتح صلَاته بِرَكْعَتَيْنِ خفيفتين

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bangun untuk shalat malam, beliau mulai shalatnya dengan dua rakaat ringan.”  (HR. Muslim, no.767).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذا قَامَ أحدكُم من اللَّيْل فليفتتح صلَاته بِرَكْعَتَيْنِ خفيفتين

“Apabila kalian bangun untuk shalat malam, mulailah dengan shalat dua rakaat ringan.” (HR. Muslim, no.768)

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَةَ فَصَلَّى. رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Sungguh aku perhatikan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari, ternyata beliau memulai dengan shalat dua rakaat yang ringan. Kemudian beliau shalat dua rakaat dengan bacaan yang panjang sekali, kemudian shalat dua rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat dengan bacaan yang lebih pendek dari rakaat sebelumnya, kemudian beliau shalat witir sehingga semua menjadi 13 raka’at.” (HR. Muslim, no. 765).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,

هَذَا دَلِيلٌ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ لِيَنْشَطَ بِهِمَا لِمَا بَعْدَهُمَا

“Hadis-hadis tersebut merupakan dalil dianjurkannya memulai shalat malam dengan dua rakaat ringan, sebagai pemanasan untuk shalat-shalat setelahnya.” (Syarh Muslim, 6: 49).

Ini pertanda untuk pemanasan. Bagaimana jika ada shalat tarawih di awal malam?

Tentu pemanasannya sudah dengan shalat Isya dan shalat ba’diyah sebelumnya. Wallahu a’lam, seperti itu sudah dirasa cukup.

Ada fatwa pula dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,

وسئل فضيلته : هل السنة في التراويح أن تفتتح في ركعتين خفيفتين كصلاة القيام أم لا ؟؟

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin ditanya mengenai apakah termasuk ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam shalat tarawih membukanya dengan dua rakaat ringan sebagaimana dalam shalat tahajud?

أجاب : لا ،ليس هذا هوالسنة ، لأن صلاة القيام تفتتح بركعتين خفيفتين حيث ان الشيطان اذا نام الانسان عقد على قافيته ثلاث عقد، فاذا قام وذكر الله انحلت عقدة فاذا توضأ انحلت الثانية فاذا صلى انحلت الثالثة ولهذا كان مشروعا تخفيف الركعتين الأوليين من قيام الليل ليكون ذلك أسرع فيحلّ العقد .

Jawaban beliau rahimahullah, “Tidak, itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena shalat tahajud itu dibuka dengan dua rakaat ringan. Jika seorang itu tidur maka setan memasang  tiga ikatan pada tengkuknya. Jika orang tersebut bangun dan berdzikir mengingat Allah maka lepaslah satu ikatan. Jika dia berwudhu maka lepaslah ikatan yang kedua. Jika dia mengerjakan shalat maka lepaslah ikatan ketiga. Oleh karena itu dituntunkan untuk mengerjakan dua rakaat tersebut dengan cepat agar semakin cepat hilangnya ikatan setan tersebut” (Arbain Sualan fi Fiqh Shiyam wa Fadhli Qiyam).

 

Yang dimaksudkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin adalah hadits berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ ، يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ ، فَإِنِ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ ، فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ ، وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ

“Setan membuat tiga ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!” Jika ia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat, lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira. Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari, no. 1142 dan Muslim, no. 776)

Kesimpulannya, tanpa dua rakaat ringan pun, sudah bisa dimulai shalat tarawih. Sedangkan dalam shalat malam atau tahajud, barulah diawali dengan dua rakaat ringan karena ada tidur sebelumnya sehingga butuh pemanasan. Cara melakukan dua rakaat ringan tersebut sama seperti melakukan shalat sunnah lainnya. Ada bacaan doa iftitah di rakaat pertama. Sedangkan di dua raka’at, ada bacaan surat Al-Fatihah dan surat lainnya.

 Semoga kita terus semangat dalam mengisi malam kita dengan shalat malam dan shalat tarawih di bulan Ramadhan.

@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 5 Sya’ban 1437 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam
Sumber : https://rumaysho.com/13447-shalat-iftitah-pembuka-shalat-tarawih.html

Share:

Cara Duduk Tasyahud, Iftirosy atau Tawarruk?

Hasil gambar untuk duduk tahiyatSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Permasalahan ini adalah permasalahan fiqhiyah yang seringkali diperdebatkan. Sebenarnya kita bisa saling tolelir dalam masalah ini jika memang didukung oleh dalil yang sama-sama kuat. Namun demikian ada yang menjadikan tata cara shalat semacam ini sebagai barometer ia ahlus sunnah ataukah bukan. “Tasyahud akhir haruslah iftirosy jika shalatnya dua raka’at”, inilah ciri ahlus sunnah. Demikianlah realita yang terjadi pada sebagian orang. Padahal yang benar dalam masalah ini ada silang pendapat di kalangan para ulama. Sehingga tidak tepat dikatakan bahwa tata cara tasyahud seperti tadi adalah barometer ahlus sunnah atau bukan.

Ringkasnya, artikel ini akan mengkaji lebih jauh, manakah pendapat terkuat dalam masalah ini. Apakah duduk tasyahud akhir pada shalat dua raka’at adalah iftirosy atau tawaruk. Tentu saja kesimpulan yang diambil adalah dari pemahaman dalil, bukan sekedar kata si A atau si B, juga didukung oleh kaedah fiqhiyah yang tepat dan berbagai kalam ulama.  Dengan memohon taufik dan ‘inayah Allah, semoga bermanfaat.

Apa itu Duduk Tawarruk dan Duduk Iftirosy?

Duduk iftirosy adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk dengan menegakkan kaki kanan dan menghamparkan kaki kiri ke depan (di bawah kaki kanan), dan duduknya di atas tanah/lantai.[1]

Sebagaimana yang sering kita lakukan, duduk iftirosy adalah duduk seperti pada tasyahud awwal dan duduk antara dua sujud. Sedangkan duduk tawarruk adalah duduk seperti pada tasyahud akhir pada shalat empat raka’at (seperti pada shalat Zhuhur).

Perselisihan Ulama

Dalam masalah duduk tasyahud terdapat perselisihan pendapat di kalangan para ulama. Perselisihan tersebut adalah sebagai berikut:

Pendapat pertama, yaitu pendapat Imam Malik dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk tawarruk.  Hal ini sama antara pria dan wanita.

Pendapat kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, duduk tasyahud baik awal dan akhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat ketiga, yaitu pendapat Imam Asy Syafi’i. Beliau membedakan antara duduk tasyahud awal dan akhir. Untuk duduk tasyahud awal, beliau berpendapat seperti Imam Abu Hanifah, yaitu duduk iftirosy. Sedangkan untuk duduk tasyahud akhir, beliau berpendapat seperti Imam Malik, yaitu duduk tawarruk. Jadi menurut pendapat ini, duduk pada tasyahud akhir yang terdapat salam –baik yang shalatnya sekali atau dua kali tasyahud- adalah duduk tawarruk. Duduk tawarruk terdapat pada setiap raka’at terakhir yang diakhiri salam karena cara duduk demikian terdapat do’a, bisa jadi lebih lama duduknya. Sehingga duduknya pun dengan cara tawarruk karena cara duduk seperti ini lebih ringan dari iftirosy. Cara duduk demikianlah yang kita sering saksikan di kaum muslimin Indonesia di sekitar kita yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i.

Pendapat keempat, pendapat Imam Ahmad dan Ishaq. Jika tasyahudnya dua kali, maka duduknya adalah tawarruk di raka’at terakhir. Namun jika tasyahudnya cuma sekali, maka duduknya di raka’at terakhir adalah duduk iftirosy.

Pendapat kelima, pendapat Ibnu Jarir Ath Thobari. Beliau berpendapat duduk tasyahud dengan tawarruk maupun iftirosy, semuanya dibolehkan. Alasannya karena semuanya diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi boleh memilih dengan dua cara duduk tersebut. Terserah mau melakukan yang mana. Ibnu ‘Abdil Barr sendiri lebih cenderung pada pendapat yang satu ini.[2]

Dalil Pendapat Pertama dan Kedua

Pendapat pertama: Imam Malik membangun pendapatnya berdasarkan hadits yang shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

إِنَّمَا سُنَّةُ الصَّلاَةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِىَ الْيُسْرَى

“Sesungguhnya sunnah ketika shalat (saat duduk) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan menghamparkan (kaki) kirimu.”[3]

Dalil lain yang digunakan adalah hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- التَّشَهُّدَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا فَكُنَّا نَحْفَظُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ حِينَ أَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَّمَهُ إِيَّاهُ – قَالَ – فَكَانَ يَقُولُ إِذَا جَلَسَ فِى وَسَطِ الصَّلاَةِ وَفِى آخِرِهَا عَلَى وَرِكِهِ الْيُسْرَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tasyahud kepadaku di pertengahan dan di akhir shalat. Kami memperoleh dari Abdullah, ia memberitahukan pada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan padanya. Ia berkata, “Jika beliau duduk di tasyahud awwal dan tasyahud akhir, beliau duduk tawarruk di atas kaki kirinya, lalu beliau membaca: …”[4]

Dalil di atas menyebutkan duduk tawarruk baik di pertengahan shalat maupun di akhir shalat.

Pendapat kedua: Imam Abu Hanifah berdalil tentang duduknya iftirosy baik pada tasyahud awwal dan akhir dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

وَكَانَ يَقُولُ فِى كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[5]

Juga berdasarkan hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى.

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.”[6]

Dalam riwayat Tirmidzi, Wail bin Hujr berkata,

قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قُلْتُ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِى – لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Aku tiba di Madinah. Aku berkata, “Aku benar-benar pernah melihat shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau duduk yakni duduk tasyahud, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki kirinya. Ketika itu, beliau meletakkan tangan kiri di atas paha kiri. Beliau ketika itu menegakkan kaki kanannya.”[7]

Demikian pula diriwayatkan dari Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah bin Zubair) , ia berkata,

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika duduk pada dua raka’at, beliau duduk iftirosy dengan membentangkan kaki yang kiri, dan menegakkan kaki kanannya.”[8]

Riwayat di atas menyebutkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di saat duduk ketika shalat, baik di waktu tasyahud maupun duduk yang lainnya, dan baik di raka’at terakhir atau di pertengahan.

Dalil Pendapat Ketiga dan Keempat

Pendapat ketiga (Imam Asy Syafi’i) dan pendapat keempat (Imam Ahmad), masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah kedua pendapat tersebut menggabungkan seluruh riwayat yang menjelaskan tentang kedua jenis duduk tersebut, yaitu duduk iftirosy dan juga duduk tawarruk. Sehingga semua dalil yang dijadikan alasan oleh ulama Malikiyyah dan ulama Hanafiyyah sama-sama diamalkan oleh Imam Ahmad dan juga Imam Asy Syafi’i. Mereka juga sepakat dalam hal duduk tasyahud awwal, yaitu sama-sama iftirosy.

Sedangkan perbedaan kedua pendapat tersebut adalah dalam menyikapi duduk akhir antara shalat yang memiliki satu tasyahud dengan shalat yang memiliki dua tasyahud.

Jelaslah bahwa untuk menyebutkan alasan dan dalil dari pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih yang telah disebutkan pada dua pendapat sebelumnya. Ditambah lagi ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya dari Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha’ bahwa beliau pernah duduk bersama beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu kami pun menyebutkan tentang shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Humaid As-Sa’idi berkata,

أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ ، فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ ، فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا ، وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ ، فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Aku adalah orang yang paling menghafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihatnya tatkala bertakbir, beliau menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya. Jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Jika mengangkat kepalanya, beliau berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Jika sujud, beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya) dan menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat. Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”[9]

Mengenai maksud “Jika duduk pada raka’at terakhir …”, Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Dan dalam riwayat Abdul Hamid terdapat lafazh,

حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي يَكُوْنُ فِيْهَا التَّسْلِيْمُ.

“Sampai jika pada raka’at yang terdapat padanya salam”. Dan dalam riwayat Ibnu Hibban,

الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةُ الصَّلاَةِ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

“(Pada raka’at) yang menjadi penutup shalat, maka beliau duduk tawarruk dengan mengeluarkan kaki kiri dan duduk di atas sisi kirinya.”

Ditambah oleh Ibnu Ishaq dalam riwayatnya,

ثُمَّ سَلَّمَ

”Lalu beliau mengucapkan salam”. Dan dalam riwayat ‘Isa dalam riwayat Ath Thahawi,

فَلَمَّا سَلَّمَ سَلَّمَ عَنْ يَمِينه سَلَام عَلَيْكُمْ وَرَحْمَة اللَّه وَعَنْ شِمَاله كَذَلِكَ

”Tatkala mengucapkan salam, maka beliau salam ke sebelah kanannya “salaamun ‘alaikum warahmatullah, dan ke sebelah kirinya pun seperti itu juga”. Dan dalam riwayat Abu ‘Ashim dari ‘Abdul Hamid dalam riwayat Abu Daud dan selainnya, mereka berkata -yaitu para shahabat yang disebutkan-,

صَدَقْت ، هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي

“Engkau telah benar, memang demikian beliau shalat.”

Dalam riwayat Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa (192), terdapat lafazh,

حَتَّى إِذَا كَانَتِ اْلقَعْدَةُ الَّتِي فِيْهَا اْلتَسْلِيْمُ أَخْرَجَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَجَلَسَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شَقِّهِ اْلأَيْسَرِ.

“Sehingga pada duduk yang terdapat salam (duduk tasyahud akhir), beliau menggeser kaki kirinya dan duduk dan beliau duduk tawarruk di atas sisi kirinya.”

Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (1/297), dan Ahmad (5/424), terdapat lafazh,

حَتَّى إِذَا كَانَتِ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيْهَا الصَّلاَةُ.

“Sehingga pada raka’at yang diselesaikannya shalat padanya (raka’at terakhir)”.

Dalam riwayat An Nasaai (1262), terdapat lafazh,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.”

Menguatkan Pendapat

Pendapat pertama dan kedua memiliki kelemahan karena berpegang pada satu macam dalil dan meninggalkan yang lainnya. Kedua pendapat ini disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah,

علي وكلا القولين خطأ وخلاف للسنة الثابتة التي أوردنا

“Dan kedua pendapat tersebut kurang tepat dan menyelisihi ajaran (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah kami sebutkan.”[10]

Ditambah lagi kedua pendapat tersebut menyelisihi hadits Abu Humaid yang membedakan tata cara duduk tasyahud awwal dan akhir. Lihat saja dalam hadits Abu Humaid jelas-jelas terbedakan,

فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ .

“Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy). Jika duduk pada raka’at terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain (kaki kanan), dan duduk di atas lantai – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk).”

Bagaimana dengan Pendapat Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i?

Abu Humaid membedakan antara duduk di akhir shalat dengan duduk yang bukan di akhir shalat. Tatkala beliau menjelaskan tentang duduk yang bukan akhir shalat, beliau menyebutnya dengan lafazh “Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirosy)”. Dari lafazh ini menunjukkan bahwa duduk iftirosy dilakukan di pertengahan shalat dan bukan akhir shalat. Lafadz “dua raka’at” bukanlah maksud dari riwayat ini, namun maksudnya adalah “raka’at yang bukan akhir shalat”. Alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Lafazh setelahnya “Jika duduk pada raka’at terakhir” menunjukkan bahwa lafazh sebelumnya bermakna “yang bukan raka’at terakhir”.

Kedua: Mengambil pemahaman dari hadits bahwa yang dimaksud setiap yang shalatnya hanya ada sekali tasyahud, adalah duduk iftirosy, ini termasuk pemahaman yang lemah. Karena ini berarti berpegang pada mafhum ‘adad (penarikan kesimpulan dari suatu bilangan). Dalil semacam ini dinilai lemah oleh sebagian ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ دَلاَلَةَ مَفْهُوم الْعَدَدِ لَيْسَتْ يَقِيْنِيَّة إِنَّمَا هِيَ مُحْتَمَلَةٌ

“Yang tepat, pemahaman mafhum al-‘adad tidaklah yakin, namun hanya bersifat kemungkinan”.[11]

Jika kita telah memahami hal ini, maka penyebutan “dua raka’at” yang disebutkan dalam hadits bukanlah maksud, namun maknanya adalah “duduk yang bukan raka’at terakhir”. Hal ini semakin dikuatkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ

“Jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah dengan thuma’ninah, duduklah iftirosy dengan menghamparkan paha kirimu -agar engkau duduk diatasnya-, lalu lakukanlah tasyahhud”[12]

Hadits berikut juga mendukung pendapat Imam Asy Syafi’i,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk pada shalat dua raka’at yang diakhiri dengan salam, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk di sisi kiri.”[13] Di sini secara gamblang dikatakan bahwa beliau duduk tawarruk pada tasyahud akhir shalat dua raka’at (artinya, hanya ada sekali tasyahud).

Adapun hadits ‘Aisyah, Wail bin Hujr dan Abdullah bin Zubair, yang menjelaskan tentang duduk iftirosy, di situ tidak disebutkan secara terperinci apakah duduk tersebut dilakukan pada pertengahan ataukah pada akhir shalat, yang menunjukkan bahwa hadits tersebut global dan tidak tafshil (terperinci). Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirosy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits ‘Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?!

Jika ada yang berkata, “Hadits Wail bin Hujr dan yang semisalnya menyebutkan cara duduk pada shalat dua raka’at, yang menunjukkan keumuman setiap shalat dua raka’at.”

Kami sanggah, “Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, di mana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Jika Anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits ‘Abdullah bin ‘Umar secara umum, dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat.”

Demikian pula, kita mengetahui bahwa shalat yang memiliki satu tasyahud bukan hanya shalat yang berjumlah dua raka’at, namun di sana ada shalat yang berjumlah satu raka’at saja, seperti shalat witir, ada pula shalat tiga rakaat dengan satu tasyahhud, empat raka’at dengan satu tasyahhud, lima raka’at dengan satu tasyahhud, tujuh raka’at di mana beliau duduk tasyahhud pada raka’at keenam dan tidak salam, lalu bangkit menuju raka’at yang ketujuh lalu salam, sembilan raka’at dan beliau duduk diraka’at yang kedelapan dan tidak salam, lalu melanjutkan ke raka’at yang kesembilan lalu salam. Nah, bagaimana Anda menyikapi shalat tersebut? Sementara shalat tersebut hanya menyebutkan shalat yang “dua raka’at”. Namun jika kita memahaminya sebagaimana yang dipahami oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, maka setiap permasalahan tentang tata cara duduk tersebut dapat dipahami dengan baik berdasarkan hadits-hadits yang datang menjelasakan tentang permasalahan ini.

Kesimpulan, hadits Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu adalah hadits yang menjelaskan tentang tata cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada seluruh shalat, apakah itu shalat yang memiliki satu tasyahhud, maupun yang memiliki dua tasyahhud. Jika duduk dilakukan di pertengahan shalat, maka yang dilakukan adalah duduk iftirosy, dan jika duduk dilakukan pada akhir shalat, maka yang dilakukan adalah duduk tawarruk. Sedangkan selain hadits Abu Humaid merupakan hadits yang bersifat umum (belum terperinci). Maka hadits yang bersifat global tersebut semestinya dibawa kepada hadits Abu Humaid yang merinci dan menjelaskan. Sebagaimana kaedah ini sudah diketahui bersama dalam kaedah ushul. Wallahul muwaffiq.

Dari kesimpulan ini juga menunjukkan lemahnya pendapat kelima yang mengatakan bolehnya memilih duduk mana saja yang diinginkan.

Pendukung dari Pendapat Ulama

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,

وَفِي هَذَا الْحَدِيث حُجَّة قَوِيَّة لِلشَّافِعِيِّ وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ فِي أَنَّ هَيْئَة الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل مُغَايِرَة لِهَيْئَةِ الْجُلُوس فِي الْأَخِير ، وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّة وَالْحَنَفِيَّة فَقَالُوا : يُسَوِّي بَيْنهمَا ، لَكِنْ قَالَ الْمَالِكِيَّة : يَتَوَرَّك فِيهِمَا كَمَا جَاءَ فِي التَّشَهُّد الْأَخِير ، وَعَكَسَهُ الْآخَرُونَ . وَقَدْ قِيلَ فِي حِكْمَة الْمُغَايَرَة بَيْنهمَا أَنَّهُ أَقْرَب إِلَى عَدَم اِشْتِبَاه عَدَد الرَّكَعَات ، وَلِأَنَّ الْأَوَّل تَعْقُبهُ حَرَكَة بِخِلَافِ الثَّانِي ، وَلِأَنَّ الْمَسْبُوق إِذَا رَآهُ عَلِمَ قَدْر مَا سُبِقَ بِهِ ، وَاسْتَدَلَّ بِهِ الشَّافِعِيّ أَيْضًا عَلَى أَنَّ تَشَهُّد الصُّبْح كَالتَّشَهُّدِ الْأَخِير مِنْ غَيْره لِعُمُومِ قَوْلُهُ ” فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة ” ، وَاخْتَلَفَ فِيهِ قَوْل أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عَنْهُ اِخْتِصَاص التَّوَرُّك بِالصَّلَاةِ الَّتِي فِيهَا تَشَهُّدَانِ

“Hadits ini merupakan argumen yang kuat bagi Imam Asy Syafi’i dan yang sependapat dengannya bahwa keadaan duduk pada tasyahud awwal berbeda dengan duduk pada tasyahud terakhir. Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menyelisihi hal tersebut dan berpendapat bahwa duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama. Ulama Malikiyyah berpendapat, duduk tasyahud awwal dan akhir itu sama-sama tawarruk. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendapat sebaliknya, keduanya sama-sama duduk iftirosy.

Ada yang berpendapat bahwa mengapa berbeda antara tasyahud awwal dan akhir karena hikmahnya adalah supaya bisa membedakan jumlah raka’at. Tasyahud awwal masih ada gerakan setelah itu, sedangkan tasyahud akhir tidak demikian. Begitu pula jika ada makmum masbuq (yang telat datang), maka ia dapat mengetahui berapa raka’at yang telah dilakukan (oleh jama’ah). Imam Asy Syafi’i juga beralasan bahwa duduk tasyahud ketika shalat Shubuh sama dengan keadaan tasyahud akhir untuk shalat lainnya karena dalilnya umum yaitu disebutkan dalam hadits,

فِي الرَّكْعَة الْأَخِيرَة

“Di raka’at terakhir.”

Imam Ahmad sendiri memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun yang masyhur dari beliau, dikhususkan duduk tawarruk ketika tasyahud akhir pada shalat yang memiliki dua kali tasyahud.”[14]

Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah berkata,

قال الشافعي والاصحاب فحديث ابى حميد واصحابه صريح في الفرق بين التشهدين وباقى الاحاديث مطلقة فيجب حملها علي موافقته فمن روى التورك اراد الجلوس في التشهد الاخير ومن روى الافتراش اراد الاول وهذا متعين للجمع بين الاحاديث الصحيحة لا سيما وحديث أبى حميد وافقه عليه عشرة من كبار الصحابة رضي الله عنهم والله أعلم

Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya berkata, “Hadits Abu Humaid dan para sahabatnya secata tegas membedakan antara duduk tasyahhud awwal dan akhir. Sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang sifatnya mutlak. Sehingga wajib untuk dipahami dengan hadits yang cocok dengannya. Hadits yang meriwayatkan duduk tawarruk, yang dimaksud adalah duduk pada tasyahud akhir. Sedangkan hadits yang meriwayatkan duduk iftirosy, yang dimaksud adalah tasyahud awwal. Inilah cara yang tepat dilakukan untuk menggabungkan hadits-hadits yang shahih. Terlebih lagi hadits Abu Humaid telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar sahabat radhiyallahu anhum. Wallahu a’lam.”[15]

Al Mubarakfuri rahimahullah berkata,

وَالْإِنْصَافُ أَنَّهُ لَمْ يُوجَدْ حَدِيثٌ يَدُلُّ صَرِيحًا عَلَى اِسْتِنَانِ الْجُلُوسِ عَلَى الرِّجْلِ الْيُسْرَى فِي الْقَعْدَةِ الْأَخِيرَةِ ، وَحَدِيثُ أَبِي حُمَيْدٍ مُفَصَّلٌ فَلْيُحْمَلْ الْمُبْهَمُ عَلَى الْمُفَصَّلِ اِنْتَهَى .

“Pendapat yang lebih tepat, tidak didapatkan satu pun hadits yang menunjukkan secara gamblang tentang disunnahkannya duduk di atas kaki kiri (duduk iftirasy) pada duduk tasyahud terakhir. Hadits Abu Humaid jelas sudah terperinci. Sehingga hadits yang bersifat global dibawa maknanya kepada yang terperinci.”[16]

Abuth Thoyyib rahimahullah berkata,

وَفِي حَدِيث أَبِي حُمَيْدٍ حُجَّة قَوِيَّة صَرِيحَة عَلَى أَنَّ الْمَسْنُون فِي الْجُلُوس فِي التَّشَهُّد الْأَوَّل الِافْتِرَاش وَفِي الْجُلُوس فِي الْأَخِير التَّوَرُّك وَهُوَ مَذْهَب الشَّافِعِيّ وَهُوَ الْحَقّ عِنْدِي وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَم .

“Di dalam hadits Abu Humaid, hadits tersebut merupakan argumen yang amat kuat dan tegas bahwa yang disunnahkan pada duduk tasyahud awwal adalah iftirosy dan duduk tasyahhud akhir adalah tawarruk. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i. Inilah yang menurutku lebih tepat. Wallahu Ta’ala a’lam. ”[17]

Asy-Syaukani  rahimahullah mengatakan:

وَالتَّفْصِيلُ الَّذِي ذَهَبَ إلَيْهِ أَحْمَدُ يَرُدُّهُ قَوْلُ أَبِي حُمَيْدٍ فِي حَدِيثِهِ الْآتِي { فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ } . وَفِي رِوَايَةٍ لِأَبِي دَاوُد حَتَّى { إذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ }

“Pendapat yang dirinci oleh Imam Ahmad tertolak sendirinya dengan ucapan Abu Humaid dalam haditsnya “jika duduk pada raka’at terakhir”, dan pada riwayat Abu Dawud “hingga pada raka’at yang padanya terdapat salam”.[18]

Pendapat Imam Asy Syafi’i ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

فَفِيْ الصَّلاَةِ أَرْبَعُ جَلَسَاتٍ : جِلْسَةُ بَيْنَ كُلِّ سَجْدَتَيْنِ, وَجِلْسَةُ إِثْرِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَّةِ مِنْ كُلِّ رَكْعَةٍ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ بَعْدَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ, يَقُوْمُ مِنْهَا إِلىَ الثَّالِثَةِ فِيْ اْلمَغْرِبِ, وَاْلحَاضِرُ فِيْ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَاْلعِشَاءِ اْلآخِرَةِ, وَجِلْسَةُ لِلتَّشَهُّدِ فِيْ آخِرِ كُلِّ صَلاَةٍ, يُسَلِّمُ فِيْ آخِرِهَا. وَصِفَةُ جَمِيْعِ اْلجُلُوْسِ اْلمَذْكُوْرِ أَنْ يَجْعَلَ أَلِيْتِهِ اْليُسْرَى عَلَى بَاطِنِ قَدَمِهِ اْليُسْرَى مُفَتَرِشًا لِقَدَمِهِ, وَيَنْصِبُ قَدَمَهُ اْليُمْنَى ,رَافِعًا لِعَقِبِهَا,مُجَلِّسُا لَهَا عَلَى بَاطِنِ أَصَابِعِها, إِلاَّ اْلجُلُوْس الّذِيْ يَلِي السَّلاَم مِنْ كُلِّ صَلاَةٍ, فَإِنَّ صِفَتَهُ أَنْ يَفْضِيَ بِمَقَاعِدِهِ إِلىَ مَا هُوَ جَالِسٌ عَلَيْهِ, وَلاَ يَجْلِس عَلىَ بَاطِنِ قَدَمِهِ فَقَطّ

“Di dalam shalat ada empat keadaan duduk, yaitu duduk di antara dua sujud, duduk setelah sujud kedua dari setiap raka’at (duduk istirahat, pen), duduk tasyahud setelah raka’at kedua (bangkit menuju raka’at ketiga pada shalat maghrib, dan shalat muqim [orang yang menetap, tidak bersafar] pada shalat Zhuhur, Ashar dan Isya), dan duduk untuk tasyahud pada akhir setiap shalat yang dia mengucapkan salam pada akhirnya. Tata cara semua duduk yang disebutkan adalah dengan menjadikan bokong kirinya berada di atas telapak kaki kirinya dengan menidurkan kakinya tersebut, menegakkan kaki kanan, mengangkat tumitnya mendudukkannya diatas bagian dalam jari jemari (kakinya) tersebut (maksudnya, melakukan duduk iftirasy, pen). Kecuali untuk duduk yang diikuti dengan salam dari setiap shalat (duduk tasyahud akhir), maka caranya adalah dengan duduk di lantai, dan bukan duduk di atas telapak kaki kirinya (maksudnya, melakukan duduk tawarruk, pen).”[19]

Penutup

Pembahasan ini menunjukkan bahwa  pendapat terkuat adalah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. Ketika tasyahud awal, duduknya adalah iftirosy. Ketika tasyahud akhir –baik yang dengan sekali atau dua kali tasyahud- adalah dengan duduk tawarruk. Demikian pendapat terkuat dari hasil penelitian kami terhadap dalil-dalil yang ada.[20]

Semoga pembahasan ini semakin memberikan pencerahan pada kaum muslimin. Sekali lagi ini adalah masalah khilafiyah yang masih bisa kita saling toleransi. Sehingga tidak tepat menjadikan masalah ini sebagai masalah manhajiyah, yang jadi barometer seseorang ahlus sunnah ataukah bukan. Hanya Allah yang beri taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

 

Diselesaikan di malam hari, 10 Syawal 1431 H (18/09/2010) di Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

[1] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, Al Maktabah At Taufiqiyah, 1/347.

[2] Lihat Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al Maliki, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1428 H, hal. 129; Fathul Bari, Ibnu Rajab Al Hambali, Asy Syamilah, 6/69-70.

[3] HR. Bukhari no. 827.

[4] HR. Ahmad 1/459. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad riwayat ini hasan. Namun sebagian ulama melemahkan hadits ini.

[5] HR. Muslim no. 498.

[6] HR. Ibnu Khuzaimah 1/343. Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.

[7] HR. Tirmidzi no. 292. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

[8] HR. Ibnu Hibban 5/270. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad riwayat ini qowi (kuat)

[9] HR. Bukhari no. 828.

[10] Al Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 4/127.

[11] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 3/122

[12] HR. Abu Daud no. 860. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[13] HR. An Nasai no. 1262. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[14] Fathul Bari, 2/309.

[15] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/451.

[16] Tuhfatul Ahwadzi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 2/156.

[17] ‘Aunul Ma’bud, Aabadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415, 3/171.

[18] Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ Al Islam, 4/15.

[19] Al Muhalla, 4/125.

[20] Tulisan ini banyak terinspirasi dari tulisan Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal –semoga Allah selalu memberkahi beliau dalam kebaikan- pada link http://kuliahsyariah.multiply.com/journal/item/197.
Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

Duduk Tasyahud Awal Disebut Duduk Iftiros Apa Itu Duduk Iftirasy Duduk Tahiyat Awal Duduk Iftirash

Sumber : https://rumaysho.com/1259-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html

Share:

Orang terakhir masuk surga

Hasil gambar untuk surga Bagaimana nasib orang yang terakhir masuk surga?

Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya aku tahu siapa orang yang paling terakhir dikeluarkan dari neraka dan paling terakhir masuk ke surga. Yaitu seorang laki-laki yang keluar dari neraka dengan merangkak.
Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Pergilah engkau, masuklah engkau ke surga.”

Ia pun mendatangi surga, tetapi ia membayangkan bahwa surga itu telah penuh.
Ia kembali dan berkata, “Wahai Rabbku, aku mendatangi surga tetapi sepertinya telah penuh.”
Allah berfirman kepadanya, “Pergilah engkau dan masuklah surga.”
Ia pun mendatangi surga, tetapi ia masih membayangkan bahwa surga itu telah penuh.
Kemudian ia kembali dan berkata, “Wahai Rabbku, aku mendatangi surga tetapi sepertinya telah penuh.”

Allah berfirman kepadanya, “Pergilah engkau dan masuklah surga, karena untukmu surga seperti dunia dan sepuluh kali lipat darinya.”
Orang tersebut berkata, “Apakah Engkau memperolok-olokku atau menertawakanku, sedangkan Engkau adalah Raja Diraja?”

Ibnu Mas’ud berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi geraham beliau. Kemudian beliau bersabda, “Itulah penghuni surga yang paling rendah derajatnya.” HR. Bukhari no. 6571, 7511 dan Muslim no. 186).

Hadits di atas menunjukkan bahwa manusia biasa melanggar janji. Oleh karena itu, lelaki tersebut tercengang karena melihat janji Rabbnya. Ia merasa bahwasanya ia akan diremehkan atau diberi sesuatu yang remeh. Padahal Allah tidak mungkin mengingkari janjinya.

إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
“Sesungguhnya Allah tidaklah mengingkari janjinya.” (QS. Ali Imran: 9). Jika Allah berjanji pasti ditepati.

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa kedudukan penduduk surga yang paling rendah akan mendapatkan kenikmatan 10 kali lipat dari kenikmatan dunia. Sungguh nikmat yang luar biasa.
Hadits di atas juga menunjukkan pelajaran bahwa jika orang beriman yang masih memiliki iman walaupun kecil, ketika masuk neraka, tidak akan kekal di dalamnya. Berbeda dengan keyakinan sebagian kalangan yang meyakini bahwa jika ada yang masuk neraka tak bisa keluar-keluar lagi darinya.

Semoga Allah memasukkan kita dalam surga dengan mudah dan terselamatkan dari siksa neraka.


Referensi:
Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilaliy, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 3: 314
Selesai disusun di Gunungkidul @DarushSholihin, menjelang Maghrib 27 Jumadats Tsaniyyah 1436H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Share:

"MEMANGKAS JENGGOT ADALAH SESUATU HAL YANG DILARANG"

Hasil gambar untuk jenggotSaudaraku, perlulah engkau tahu bahwa memangkas jenggot adalah suatu hal yang terlarang berdasarkan alasan-alasan berikut:

Pertama: Menyelisihi Perintah Nabi

Memelihara jenggot diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Berdasarkan kaedah yang sudah dikenal oleh para ulama bahwa hukum asal suatu perintah adalah wajib. Jadi, jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Biarkanlah jenggot”, karena itu adalah kalimat perintah, maka hukumnya adalah wajib
.
Perintah ini bisa beralih menjadi sunnah (dianjurkan) jika memang ada dalil yang memalingkannya. Namun dalam masalah membiarkan (memelihara) jenggot tidak ada satu dalil pun yang bisa memalingkan dari hukum wajib. Sehingga memelihara jenggot dan tidak memangkasnya adalah suatu kewajiban.

Di antara hadits yang menunjukkan bahwa hal ini termasuk perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menghasilkan hukum wajib adalah hadits berikut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.”[1]

Ibnu ‘Umar berkata,
.
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong pendek kumis dan membiarkan (memelihara) jenggot.”[2]
.
Yang dimaksud dengan membiarkan jenggot adalah membiarkannya sebagaimana adanya[3], artinya jenggot tidak boleh dipangkas.
.
Kedua: Tasyabbuh (Menyerupai) Orang Kafir

Mencukur jenggot termasuk tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
.
“Pendekkanlah kumis dan biarkanlah (perihalah) jenggot dan selisilah Majusi.”[4]
.

Jadi Apa Hukum Memangkas Jenggot?

Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami bawakan, kami dapat menyimpulkan bahwa hukum memangkas jenggot adalah haram. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
.
“Memangkas jenggot itu diharamkan.”[8]

Imam Asy Syafi’i sendiri dalam Al Umm berpendapat bahwa memangkas jenggot itu diharamkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ar Rif’ah ketika menyanggah ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya makruh.[9]
.
Rumaysho.com

Baraakallahu fiikum wa Jazaakumullahu Khairan
Share:

HARAMNYA ISBAL BERDASAR DALIL

Hasil gambar untuk tidak isbalPertama.

Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ   قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَ مِرَارًا. قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ

“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata : “Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab : “Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” [Hadits Riwayat Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’i 4455, Darimi 2608. Lihat
Irwa’: 900]

Kedua.
“Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ

“Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” [Hadits Riwayat Bukhari 5783, Muslim 2085]

Ketiga.
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi ersabda :

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ

“Apa saja yang di bawah kedua mata kaki di dalam neraka.” [Hadits Riwayat Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad 2/96]

Keempat
“Dari Mughiroh bin Syu’bah Radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Sufyan bin Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Allah tidak menyenangi orang-orang yang isbal.” [Hadits Riwayat. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/26, Thobroni dalam Al-Kabir 7909. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 2862]

Kelima
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 770]

Keenam
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, : “Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegurku seraya berkata, “Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis.”

[Hadits Riwayat Muslim 2086. Ahmad 2/33

Demikian lah haramnya isbal berdasarkan dalil.

Semoga bermanfaat
Share:

TIDAK SEPANTASNYA MANUSIA MENYOMBONGKAN DIRI

Hasil gambar untuk sombong adalahOleh: Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali

APAKAH KESOMBONGAN ITU?
Kesombongan (takabbur) atau dikenal dalam bahasa syariat dengan sebutan al-kibr yaitu melihat diri sendiri lebih besar dari yang lain. Orang sombong itu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan lain sebagainya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam :

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. [HR. Muslim, no. 2749, dari ‘Abdullah bin Mas’ûd]

Inilah yang membedakan takabbur dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang.

SEBAB-SEBAB KESOMBONGAN
Sebab-sebab kesombongan, antara lain:

1- ‘Ujub (Membanggakan Diri)
Ketahuilah wahai hamba yang bertawadhu’ –semoga Allah lebih meninggikan derajat bagimu-, bahwa manusia tidak akan takabbur kepada orang lain sampai dia terlebih dahulu merasa ‘ujub (membanggakan diri) terhadap dirinya, dan dia memandang dirinya memiliki kelebihan dari orang lain. Maka dari ‘ujub ini muncul kesombongan. Dan ‘ujub merupakan perkara yang membinasakan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهُوَيَ مُتَبَعٌ وَإِعْجَابٌ اْلمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya”. [Silsilah Shahihah, no. 1802]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ يَمْشِي فِي بُرْدَيْهِ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ فَخَسَفَ اللَّهُ بِهِ الْأَرْضَ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Ketika seorang laki-laki sedang bergaya dengan kesombongan berjalan dengan mengenakan dua burdahnya (jenis pakaian bergaris-garis; atau pakaian yang terbuat dari wol hitam), dia mengagumi dirinya, lalu Allah membenamkannya di dalam bumi, maka dia selalu terbenam ke bawah di dalam bumi sampai hari kiamat”. [HR. Bukhari, no. 5789; Muslim, no. 2088; dan ini lafazh Muslim]

2- Merendahkan Orang Lain.
Ketahuilah wahai hamba (Allah), bahwa orang yang tidak meremehkan manusia, tidak akan takabbur terhadap mereka. Sedangkan meremehkan seseorang yang dimuliakan Allah dengan keimanan sudah cukup untuk menjadikan sebuah dosa.

3- Suka Menonjolkan Diri (Taraffu).
Ketahuilah wahai hamba yang tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa jiwa manusia itu menyukai ketinggian di atas sesamanya, dan dari sini muncul kesombongan.

Oleh karena itu, barangsiapa memperhatikan Al-Qur’an niscaya akan mendapati bahwa orang-orang yang bersombong pada tiap-tiap kaum adalah para pemukanya, yaitu orang-orang yang memegang kendali berbagai urusan. Allah Ta’ala berfirman tentang suku Tsamud, kaum Nabi Shalih Alaihissalam yang artinya: “Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shalih di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?”. Mereka (yang dianggap lemah-red) menjawab: “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”.

Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa yang kamu imani itu”.

Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhan. dan mereka berkata: “Hai Shalih, datangkanlah apa yang kamu ancamkan itu kepada kami, jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang diutus (Allah)”. [al-A’râf/7:75-77]

Dan Allah Ta’ala memberitakan tentang kaum Nabi Syu’aib Alaihissalam :

“Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan dan berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami”. Syu’aib berkata: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?” [Al-A’raaf/7: 88]

Namun orang yang berakal akan berlomba pada ketinggian yang tetap lagi kekal, yang di dalamnya terdapat keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kedekatan kepadaNya. Dan dia meninggalkan ketinggian sementara yang akan binasa, yang akan diikuti oleh kemurkaan Allah dan kemarahanNya, kerendahan hamba, kesibukannya, jauhnya dari Allah dan terusirnya (dari rahmat) Allah. Inilah ketinggian yang tercela, yaitu sikap melewati batas dan takabbur di muka bumi dengan tanpa kebenaran. Allah Ta’ala berfirman:

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin ketinggian (menyombongkan diri ) dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”. [Al-Qashash/28: 83]

Adapun ketinggian yang pertama (yakni ketinggian yang tetap lagi kekal di akhirat) dan bersemanagat untuk meraihnya, maka itu terpuji. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba”.[Al-Muthaffifin/83: 26]

Maka disyari’atkan berlomba-lomba untuk (meraih) derajat-derajat tinggi di akhirat yang kekal, dan berusaha meraih ketinggian pada tingkatan-tingkatannya, serta bersemangat untuk itu dengan berusaha melakukan sebab-sebabnya. Dan hendaklah seseorang tidak merasa puas dengan kerendahan, padahal dia mampu meraih ketinggian.

4- Mengikuti Hawa Nafsu.
Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa kesombongan itu muncul dari sebab mengikuti hawa nafsu, karena memang hawa nafsu itu mengajak menuju ketinggian dan kemuliaan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” [Al-Baqarah/2: 87]

BAHAYA KESOMBONGAN
Ketahuilah wahai hamba Allah yang hatinya dihiasi dengan tawadhu’ (rendah hati) bahwa bencana kesombongan itu sangat besar, orang-orang istimewa binasa di dalamnya, dan jarang orang yang bebas darinya, baik para ulama’, ahli ibadah, atau ahli zuhud. Bagaimana bencana kesombongan itu tidak besar, sedangkan kesombongan itu:

1- Dosa Pertama Yang Dengannya Allah Azza Wa Jalla Dimaksiati.
Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis laknatullah dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa jalla. Kesombongan itu menyeret Iblis untuk menjadikan takdir sebagai alasan terus-menerus sombong. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam!,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”. [Al-Baqarah/2: 34]

2- Kesombongan Merupakan Kawan Syirik Dan Penyebabnya.
Oleh karena itulah Allah Azza wa Jalla menggabungkan antara kekafiran dengan kesombongan di dalam kitabNya yang mulia, Dia Azza wa Jalla berfirman:

“Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir”. [Shaad/38: 73-74]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

” (Bukan demikian) sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir”. [Az-Zumar/39: 59]

Karena barangsiapa takabbur dari patuh kepada al-haq (kebenaran) –walaupun kebenaran itu datang kepadanya lewat tangan seorang anak kecil atau orang yang dia benci dan musuhi- , maka sesungguhnya takabburnya itu adalah kepada Allah, karena Allah adalah Al-Haq, perkataanNya adalah haq, agamaNya adalah haq, al-haq merupakan sifatNya, dan al-haq adalah dariNya dan untukNya. Maka jika seorang hamba menolak al-haq, takabbur dari menerimanya, maka sesungguhnya dia menolak Allah dan takabbur terhadapNya. Dan barangsiapa takabbur terhadap Allah, niscaya Allah akan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkannya, dan meremehkannya.

3- Orang-Orang Yang Sombong Tempat Kembalinya Adalah Neraka.
Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan neraka sebagai rumah bagi orang-orang yang sombong, sebagaimana di dalam surat Al-Ghafir ayat 76 dan surat Az-Zumar ayat 72. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, sedang kamu kekal di dalamnya”. Maka neraka Jahannam Itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri”. [Az-Zumar/39: 72]

Dan orang-orang yang sombong adalah para penduduk neraka Jahannam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ أَهْلَ النَّارِ كُلُّ جَعْظَرِيٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ جَمَّاعٍ مَنَّاعٍ وَأَهْلُ الْجَنَّةِ الضُّعَفَاءُ الْمَغْلُوبُونَ

“Sesungguhnya penduduk neraka adalah semua orang yang kasar lagi keras, orang yang bergaya sombong di dalam jalannya, orang yang bersombong, orang yang banyak mengumpulkan harta, orang yang sangat bakhil. Adapun penduduk sorga adalah orang-orang yang lemah dan terkalahkan”. [Hadits Shahih. Riwayat Ahmad, 2/114; Al-Hakim, 2/499]

Mereka akan merasakan berbagai macam siksaan di dalam Jahannam, akan diliputi kehinaan dari berbagai tempat, dan akan diminumi nanah penduduk neraka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْثَالَ الذَّرِّ فِي صُوَرِ الرِّجَالِ يَغْشَاهُمْ الذُّلُّ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَيُسَاقُونَ إِلَى سِجْنٍ فِي جَهَنَّمَ يُسَمَّى بُولَسَ تَعْلُوهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ يُسْقَوْنَ مِنْ عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ طِينَةَ الْخَبَالِ

“Pada hari kiamat orang-orang yang sombong akan digiring dan dikumpulkan seperti semut kecil, di dalam bentuk manusia, kehinaan akan meliputi mereka dari berbagai sisi. Mereka akan digiring menuju sebuah penjara di dalam Jahannam yang namanya Bulas. Api neraka yang sangat panas akan membakar mereka. Mereka akan diminumi nanah penduduk neraka, yaitu thinatul khabal (lumpur kebinasaan)”. [Hadits Hasan. Riwayat Bukhari di dalam al-Adabul Mufrad, no. 557; Tirmidzi, no. 2492; Ahmad, 2/179; dan Nu’aim bin Hammad di dalam Zawaid Az-Zuhd, no. 151]

4- Kesombongan Merupakan Tirai Penghalang Masuk Surga.
Oleh karena itu Allah mengusir Iblis dari surga, Dia Azza wa Jalla berfirman:

“Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya!”. [Al-A’râf/7: 13]

Kesombongan itu menjadi tirai penghalang masuk surga karena menghalangi seorang hamba dari akhlaq orang-orang beriman. Orang sombong tidak menyukai untuk kaum mukminin kebaikan yang dia sukai untuk dirinya. Dia tidak mampu bersikap rendah hati dan meninggalkan hasad, dendam, dan marah. Dia juga tidak mampu manahan murka, dia tidak menerima nasehat, dan tidak selamat dari sifat merendahkan dan menggibah manusia. Tidak ada sifat yang tercela kecuali dia memilikinya.

5- Allah Tidak Mencintai Orang-Orang Yang Sombong.
Barangsiapa yang memiliki sifat-sifatnya seperti ini, maka dia berhak mendapatkan laknat Allah, jauh dari rahmatNya, Allah memurkainya dan tidak mencintainya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari (keesaaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong. Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. [An-Nahl/16: 22-23]

6- Kesombongan Merupakan Sebab Su-ul Khatimah (Keburukan Akhir Kehidupan).
Oleh karena itu Allah memberitakan bahwa orang yang sombong dan sewenang-wenang adalah orang-orang yang Allah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak beriman. Sehingga akhir kehidupannya buruk. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang”. [Al-Mukmin/40: 35]

7- Kesombongan Merupakan Sebab Berpaling Dari Ayat-Ayat Allah.
Yang demikian itu karena orang yang sombong tidak bisa melihat ayat-ayat Allah yang menjelaskan dan berbicara dengan dalil-dalil yang pasti. Juga karena kesombongan itu menutupi kedua matanya, sehingga dia tidak melihat kecuali dirinya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi”. [Al-A’raaf/7: 146]

8- Kesombongan Merupakan Dosa Terbesar.
Kesombongan memiliki berbagai bahaya seperti ini; maka tidak heran jika ia merupakan dosa terbesar. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُونَ لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبُ الْعُجْبُ

“Jika kamu tidak berbuat dosa, sungguh aku mengkhawatirkan kamu pada perkara yang lebih besar dari itu, yaitu ‘ujub, ‘ujub (kagum terhadap diri sendiri)” [Hadist Hasan Lighairihi, sebagaimana di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 658, karya syaikh Al-Albani]

[Diadaptasi dan disadur oleh Ustadz Muslim Atsari secara bebas dari tulisan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali At-Tawaadhu’ fii Dhauil Qur’anil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah, hlm. 35-44; Penerbit. Daar Ibnul Qayyim; Cet. 1; Th. 1410 H / 1990 M]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Sumber: https://almanhaj.or.id/2640-tidak-sepantasnya-manusia-menyombongkan-diri.html
Share:

Bacaan Tasyahud Awal dan akhir bacaan sama pilih salah satu ya

Hasil gambar untuk sholat berjamaahTasyahud terakhir ditambah sholawat ibrahimiyah
Ada dua bacaan tasyahud awal dari beberapa bacaan tasyahud yang kami utarakan kali ini.

🌸tasyahud awal
Pertama, bacaan tasyahud Ibnu ‘Abbas.

التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh

(artinya: Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)” (HR. Muslim no. 403).

🏵Kedua,tasyahud awal
bacaan tasyahud Ibnu Mas’ud.

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

“At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh

(artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 6265).

🏵tasyahud akhir Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal

Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud awal di atas,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid

(artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).

semoga bermanfaat
sumber Group facebook
Share:

Tuntunan Shalat Tarawih

Hasil gambar untuk sholat berjamaahShalat tarawih adalah shalat yang hukumnya sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Shalat tarawih merupakan shalat malam atau di luar Ramadhan disebut dengan shalat tahajud. Shalat malam merupakan ibadah yang utama di bulan Ramadhan untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala. Ibnu Rajab rahimahullah dalam Lathoif Al Ma’arif berkata, “Ketahuilah bahwa seorang mukmin di bulan Ramadhan memiliki dua jihadun nafs (jihad pada jiwa) yaitu jihad di siang hari dengan puasa dan jihad di malam hari dengan shalat malam. Barangsiapa yang menggabungkan dua ibadah ini, maka ia akan mendapati pahala yang tak hingga.”

Keutamaan Shalat Tarawih

Shalat tarawih mengampuni dosa yang telah lewat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39). Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat dilakukan karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya (Lihat Fathul Bari, 4:251). Imam Nawawi menjelaskan, “Yang sudah ma’ruf di kalangan fuqoha bahwa pengampunan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa kecil, bukan dosa besar. Dan mungkin saja dosa besar ikut terampuni jika seseorang benar-benar menjauhi dosa kecil.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:40).

Lebih Semangat di Akhir Ramadhan

Selayaknya bagi setiap mukmin untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan lebih dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3). Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan malam tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat lebih rajin di akhir Ramadhan lebih dari hari-hari lainnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.” (HR. Muslim no. 1175)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi contoh dengan memperbanyak ibadahnya saat sepuluh hari terakhir Ramadhan. Untuk maksud tersebut beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai menjauhi istri-istri beliau dari berhubungan intim. Beliau pun tidak lupa mendorong keluarganya dengan membangunkan mereka untuk melakukan ketaatan pada malam sepuluh hari terakhir Ramadhan. ‘Aisyah mengatakan,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174). Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan untuk memperbanyak ibadah di akhir Ramadhan dan disunnahkan pula untuk menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8:71)

Semangat Tarawih Berjama’ah

Sudah sepantasnya setiap muslim mendirikan shalat tarawih tersebut secara berjama’ah dan terus melaksanakannya hingga imam salam. Karena siapa saja yang shalat tarawih hingga imam selesai, ia akan mendapat pahala shalat semalam penuh. Padahal ia hanya sebentar saja mendirikan shalat di waktu malam. Sungguh inilah karunia besar dari Allah Ta’ala. Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

“Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga imam selesai, maka ia dicatat seperti melakukan shalat semalam penuh.” (HR. Tirmidzi no. 806, shahih menurut Syaikh Al Albani)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih itu sunnah. Namun mereka berselisih pendapat apakah shalat tarawih itu afdhol dilaksanakan sendirian atau berjama’ah di masjid. Imam Syafi’i dan mayoritas ulama Syafi’iyah, juga Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang afdhol adalah shalat tarawih dilakukan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Al Khottob dan sahabat radhiyallahu ‘anhum. Kaum muslimin pun terus ikut melaksanakannya seperti itu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39).

11 ataukah 23 Raka’at?

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan dengan jumlah raka’at yang banyak.” (At Tamhid, 21/70). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat malam itu dua raka’at-dua raka’at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka’at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.
Al Baaji rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi ‘Umar memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam sebanyak 11 raka’at. Namun beliau memerintahkan seperti ini di mana bacaan tiap raka’at begitu panjang, yaitu imam sampai membaca 200 ayat dalam satu raka’at. Karena bacaan yang panjang dalam shalat adalah shalat yang lebih afdhol. Ketika manusia semakin lemah, ‘Umar kemudian memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat sebanyak 23 raka’at, yaitu dengan raka’at yang ringan-ringan. Dari sini mereka bisa mendapat sebagian keutamaan dengan menambah jumlah raka’at.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27/142)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Semua jumlah raka’at di atas (dengan 11, 23 raka’at atau lebih dari itu, -pen) boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik. Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikit pun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)

Tuntunan Lain Shalat Tarawih

Shalat tarawih lebih afdhol dilakukan dua raka’at salam, dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749). Ulama besar Syafi’iyah, An Nawawi ketika menjelaskan hadits “shalat sunnah malam dan siang itu dua raka’at, dua raka’at”, beliau rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud hadits ini adalah bahwa yang lebih afdhol adalah mengerjakan shalat dengan setiap dua raka’at salam baik dalam shalat sunnah di malam atau siang hari. Di sini disunnahkan untuk salam setiap dua raka’at. Namun jika menggabungkan seluruh raka’at yang ada dengan sekali salam atau mengerjakan shalat sunnah dengan satu raka’at saja, maka itu dibolehkan menurut kami.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:30)

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika istirahat. (Lihat Al Inshof, 3/117)

Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1:420)

Menutup Shalat Malam dengan Witir

Shalat witir adalah shalat yang dilakukan dengan jumlah raka’at ganjil (1, 3, 5, 7 atau 9 raka’at). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً

“Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751). Jika shalat witir dilakukan dengan tiga raka’at, maka dapat dilakukan dengan dua cara: (1) tiga raka’at, sekali salam [HR. Al Baihaqi], (2) mengerjakan dua raka’at terlebih dahulu kemudian salam, lalu ditambah satu raka’at kemudian salam [HR. Ahmad 6:83].

Dituntunkan pula ketika witir untuk membaca do’a qunut. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, ” Apa hukum membaca do’a qunut setiap malam ketika (shalat sunnah) witir?” Jawaban beliau rahimahullah, “Tidak masalah mengenai hal ini. Do’a qunut (witir) adalah sesuatu yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun biasa membaca qunut tersebut. Beliau pun pernah mengajari (cucu beliau) Al Hasan beberapa kalimat qunut untuk shalat witir (Allahummahdiini fiiman hadait, wa’aafini fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thait, waqinii syarrama qadlait, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarakta rabbana wata’aalait, -pen) [HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464, shahih kata Syaikh Al Albani]. Ini termasuk hal yang disunnahkan. Jika engkau merutinkan membacanya setiap malamnya, maka itu tidak mengapa. Begitu pula jika engkau meninggalkannya suatu waktu sehingga orang-orang tidak menyangkanya wajib, maka itu juga tidak mengapa. Jika imam meninggalkan membaca do’a qunut suatu waktu dengan tujuan untuk mengajarkan manusia bahwa hal ini tidak wajib, maka itu juga tidak mengapa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Al Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: “Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja”. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan. (Fatawa Nur ‘alad Darb, 2:1062)

Setelah witir dituntunkan membaca, “Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan mengeraskan suara pada bacaan ketiga (HR. An Nasai no. 1732 dan Ahmad 3/406, shahih menurut Syaikh Al Albani). Juga bisa membaca bacaan “Allahumma inni a’udzu bika bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri] (HR. Abu Daud no. 1427, Tirmidzi no. 3566, An Nasai no. 1100 dan Ibnu Majah no. 1179, shahih kata Syaikh Al Albani)

Kekeliruan Seputar Shalat Tarawih

Berikut beberapa kekeliruan saat pelaksanaan shalat tarawih berjama’ah dan tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

1. Dzikir berjama’ah di antara sela-sela shalat tarawih. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11:190)

2. Melafazhkan niat selepas shalat tarawih. Imam Nawawi berkata, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, 1:268).

3. Memanggil jama’ah dengan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Tidak ada tuntunan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan ‘ash sholaatul jaami’ah’. Ini termasuk perkara yang diada-adakan (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:140).

4. Mengkhususkan dzikir atau do’a tertentu antara sela-sela duduk shalat tarawih, apalagi dibaca secara berjama’ah. Karena ini jelas tidak ada tuntunannya (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27:144).
Semoga Allah memberikan kita kekuatan dan keistiqomahan untuk menghidupkan malam-malam kita dengan shalat tarawih. Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 28 Sya’ban 1432 H (30/07/2011)

Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh www.rumaysho.com

Sumber : https://rumaysho.com/1881-tuntunan-shalat-tarawih.html

Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Arsip Blog

Cari