Da’wah harus didahului dengan
ilmu, karena siapa yang berda’wah tanpa ilmu maka ia akan lebih banyak merusak
daripada memperbaiki. Oleh karena itu, sebelum berda’wah seorang da’i harus
memiliki ilmu yang mapan. Dan tidaklah seseorang itu berkata tanpa didasari
oleh ilmu, melainkan dia telah menggunakan ra’yunya dan nafs (perasaan)nya
didalam berda’wah. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
Artinya: ”Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (QS. al-Israa’ 17:36)
Ayat diatas menjelaskan bahwa:
- Dilarang menetapkan sesuatu, baik dengan perkataan atau perbuatan tanpa ilmu.
- Ilmu harus didahulukan sebelum berkata dan berbuat.
- Islam mendasari segala sesuatunya dengan ilmu.
Seperti yang telah
diketahui, bahwa pada zaman sekarang ini telah banyak bermunculan para khutoba’
dan semakin sedikitnya ahli ilmu. Dan yang paling banyak adalah khutobaa’ yang
mengeluarkan fatwa dan jawaban yang sesat dan menyesatkan. Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam pernah mengabarkan tentang hal ini:
Artinya:
”Sesungguhnya kamu pada hari ini berada pada zaman dimana banyak sekali
ulamanya dan sedikit sekali khutobaa’nya, barang siapa yang meninggalkan
sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui (dari urusan agamanya) maka
sesungguhnya ia telah mengikuti hawa nafsu. Dan akan datang nanti suatu zaman
dimana banyak sekali khutobaa’nya dan sedikit sekali ulamanya, barang siapa
yang berpegang dengan sepersepuluh dari apa yang telah ia ketahui (dari urusan
agamanya), maka sesungguhnya ia telah selamat.”[1]
Seorang yang berbicara
tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia telah sesat dan menyesatkan orang lain. Dan
apabila seseorang yang tidak memiliki ilmu kemudian memberi fatwa kepada orang
lain, maka dia berdosa dan dia juga akan menanggung dosa orang yang diberi
fatwa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam:
Artinya:
”Barangsiapa yang berfatwa (dalam lafadz yang lain: Barang siapa yang diberi
fatwa) tanpa ilmu, maka dosanya ditanggung oleh orang yang memberi fatwa
kepadanya. Dan barangsiapa yang mengisyaratkan (menunjuki) kepada saudaranya
tentang sesuatu urusan, padahal dia tahu bahwa yang lebih baik selain dari yang
dia tunjuki, maka sesungguhnya dia telah mengkhianatinya.”[2]
Hadits diatas merupakan peringatan dan
ancaman yang sangat keras yang mengeluarkan fatwa padahal dia bukan seorang
ahli ilmu atau ahli fatwa. Maka dia akan menanggung dosa sebanyak orang yang
mengikuti fatwanya yang salah bahkan sesat dan menyesatkan. Hadits ini juga
memberi pelajaran agar seorang muslim meminta fatwa kepada orang-orang yang
ahlinya, yaitu para ahli ilmu dan ahli fatwa, bukan orang-orang jahil meskipun
mereka sangat terkenal dengan ceramah-ceramahnya.
Allah Ta’ala juga
memerintahkan agar orang yang tidak mengetahui bertanya kepada orang yang
mengetahui dalam firman-Nya:
Artinya:
”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (QS. an-Nahl 16:43)
Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam pun telah memperingatkan kaum muslimin atas munculnya da’i-da’i
yang berada di pintu-pintu Neraka dan menyeru kaum muslimin dengan da’wahnya
[3]:
Artinya:
Dari Hudzaifah bin Yaman, ia berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa
Sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang kejahatan
karena takut kejahatan itu akan menjumpaiku[4], maka aku bertanya: ”Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada di dalam jahiliyyah dan kejahatan
[5], kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami[6], maka apakah
sesudah kebaikan ini akan datang lagi kejahatan?”
Beliau
menjawab: ”Ya!”
Maka aku
bertanya: ”Apakah sesudah kejahatan itu akan datang lagi kebaikan?”
Beliau
menjawab: ”Ya, tetapi di dalamnya telah bercampur dengan kekeruhan.”[7]
Aku
bertanya: ”Apakah yang dimaksud dengan kekeruhan itu?”
Beliau
menjawab: ”Satu kaum yang beramal bukan dengan Sunnahku dan mengikuti petunjuk
bukan dengan petunjukku[8], di antara (amal) mereka ada yang engkau tahu dan
ada juga yang engkau ingkari.”[9]
Maka aku
bertanya lagi: ”Apakah sesudah kebaikan (yang bercampur dengan kekeruhan itu)
akan datang lagi kejahatan?”
Beliau
menjawab: ”Ya, yaitu para da’i[10] yang berada di pintu-pintu jahannam[11],
barang siapa yang mengijabah da’wah mereka, pasti mereka akan melemparkannya ke
dalam jahannam.”[12]
Maka aku
bertanya lagi: ”Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami sifat mereka?”
Beliau
menjawab: ”Baik, mereka adalah satu kaum yang sekulit (sejenis) dengan kita,
dan mereka berbicara dengan bahasa kita.”[13]
Aku
bertanya lagi: ”Ya Rasulullah, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku
jika aku menjumpai keadaan tersebut?”
Beliau
menjawab: ”Hendaklah engkau tetap berada di dalam jama’ah kaum muslimin dan
imam mereka.”[14]
Lalu aku
bertanya lagi: ”Maka kalau mereka tidak mempunyai jama’ah dan tidak juga imam?”
Beliau
menjawab: ”Maka tinggalkanlah olehmu firqah-firqah itu semuanya meskipun engkau
menggigit akar pohon sampai kematian datang menjemputmu dan keadaanmu seperti
itu.”[15]
Syaikh Salim bin ’Ied al-Hilali
mensyarah hadits diatas, sebagai berikut:[16]
1. Mengenal jalan orang-orang yang tersesat
merupakan kewajiban dalam syariat.
Sesungguhnya metode
ar-Rabbani (Islam) yang tertuang dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam ketika menampilkan generasi pertama yaitu Shahabat dan para
tabi’in sesungguhnya bertujuan untuk menjelaskan jalan kebenaran dan agar
diikuti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Artinya:
”Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia
mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman maka kami palingkan dia kemana
dia berpaling dan kami akan memasukkannya kedalam neraka jahannam. Dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’ 4:116)
Akan tetapi, metode Islam ini tidak
cukup hanya menjelaskan jalan kebenaran saja bahkan menyingkap kebathilan dan
mengungkap kepalsuannya agar jelas dan terang jalan orang-orang yang tersesat
(lalu dijauhi dan ditinggalkan,-pent).
Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:
”Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an, supaya jelas jalan
orang-orang yang benar dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang
tersesat.” (QS. al-An’aam 6:55)
Seorang penyair berkata:
“Aku mengenal keburukan bukan untuk
keburukan akan tetapi untuk menjauhinya.”
“Dan barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan
dari keburukan dia akan terjerumus kedalam keburukan itu.”
2. Islam terancam dari dalam
Sesungguhnya musuh-musuh
Allah terus mengintai Islam hingga ketika mereka telah melihat penyakitwhan (cinta dunia
dan takut mati) telah menjalar dalam tubuh kaum muslimin dan penyakit-penyakit
yang lain sudah menyebar mereka langsung menyerang dan menyumbat nafas kaum
muslimin.
Sesungguhnya racun-racun berbisa
yang membinasakan dan menghancurkan kekuatan kaum muslimin serta melemahkan
gerak mereka bukanlah pedang-pedang orang-orang kafir yang berkumpul untuk
membuat makar terhadap Islam. Akan tetapi kuman-kuman yang busuk yang menyelinap
didalam tubuh kaum muslimin yang lambat tapi pasti (itulah yang menyebabkan
kebinasaan). Itulah asap yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dalam hadits Hudzaifah diatas: “Suatu kaum yang membuat Sunnah
bukan dari Sunnahku dan memberikan petunjuk bukan dari petunjukku...” Didalam
ucapan beliau ini ada hal-hal penting diantaranya:
- Sesungguhnya asap itu merupakan penyimpangan yang selalu membuat kabur ajaran Islam (Sunnah Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam) yang terang benderang malamnya bagaikan siangnya.
- Yang nampak pada saat terjadinya hal ini adalah kebaikan akan tetapi dalamnya terdapat hal-hal yang membinasakan. Bukanlah dalam riwayat Muslim Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda: “Akan muncul manusia-manusia yang berhati setan.”
- Asap ini terus tumbuh dan menguasai hingga kejelekan itu merajalela serta merupakan awal munculnya da’i-da’i penyesat dan kelompok-kelompok sempalan.
- Sesungguhnya yang meniup asap tersebut adalah para da’i-da’i penyesat. Dan ini menunjukkan bahwa rencana busuk untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin telah mengakar kuat dalam sejarah Islam.
- Sesungguhnya gembong-gembong kesesatan selain giat dalam menyesatkan. Akan tetapi sebagian pemegang kebenaran lalai dan tertidur hingga asap tersebut menguasai dan merajalela serta menutupi kebenaran. Dari sini dapat diketahui bahwa asap yang menyelimuti kebenaran dan mengkotori kejernihannya adalah bid’ah-bid’ah yang ditebarkan oleh Mu’tazilah, Sufiyah, Jahmiyah, Khawarij, Asy’ariyah, Murji’ah dan Syi’ah Rafidhah sejak berabad-abad lamanya.
Oleh karena inilah umat
Islam menjadi terbelakang dan menjadi santapan bagi setiap musuh serta
menyebarnya kebathilan. Dan dengan sebab inilah setiap munafik berbicara dengan
mengatas namakan Islam. Dari sini kita mengetahui bahwa bahaya bid’ah lebih
besar daripada musuh-musuh yang lainnya (orang-orang kafir), karena bid’ah merusak hati dan badan tapi musuh-musuh tersebut hanya merusak badan. Para salaf telah
bersepakat akan kewajiban memerangi ahli bid’ah dan menghajar (memboikot)
mereka. Imam adz-Dzahabi mengatakan: “Para salaf sering mentahdzir ahli bid’ah,
mereka mengatakan: Sesungguhnya hati-hati ini lemah sedangkan syubhat (dari
ahli bid’ah itu) cepat mencengkram.”
3. Hati-Hati antek-antek Yahudi!!!
Sesungguhnya para gembong-gembong kekafiran
telah memproduksi antek-anteknya dalam negeri kaum muslimin dua cara, yaitu:
- Pengiriman para pelajar ke negeri kafir (seperti di Chicago University,-pent) yang disanalah para pelajar kaum muslimin di cuci otak-otak mereka lalu jika mereka pulang mereka sebarkan racun-racun itu kepada kaum muslimin.
- Dengan menyelinapnya para orientalis dibawah simbol-simbol penelitian ilmiah. Sesunggunya para orientalis-orientalis itu merupakan antek-antek/tangan-tangan Yahudi dan Nashrani.
Di dalam hadits Hudzaifah
ini Rasulullah Shallallahu
’Alaihi wa Sallam menyebutkan ciri mereka, beliau
bersabda:
“Akan
muncul da’i-da’i yang menyeru ke Neraka jahannam, barangsiapa yang menerima
seruan mereka maka mereka akan menjerumuskannya ke dalam jahannam”. Hudzaifah
bertanya: “Wahai Rasululah sebutkan ciri mereka?” Rasulullah menjawab : “Mereka
dari golongan kita dan berbicara dengan lisan-lisan kita.”
- Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Baari 13/36: “Yaitu dari kaum kita dan yang berbicara dengan bahasa kita serta dari agama kita. Didalamnya ada isyarat bahwa mereka itu dari Arab.”
- Ad-Dawudi berkata: “Mereka itu dari keturunan Adam.”
- Al-Qoobisy berkata: ”Maknanya, secara dzahir mereka itu dari agama kita tapi secara batin mereka menyelisihi (agama kita).”
Mereka menampakkan kesungguhan dalam
memberi solusi, dan maslahat bagi ummat. Tapi mereka menipu ummat dengan gaya
bahasa mereka, dan hati-hati mereka menginginkan untuk menjalankan misi-misi
tuan-tuan mereka dari kalangan Kristen dan Yahudi. Allah berfirman:
Artinya:
”Tidak akan ridha orang-orang Yahudi dan Narani hingga kalian mengikuti agama
mereka.” (QS. al-Baqarah 2:120)
4. Siapa jama’ah kaum muslimin?
Setelah melihat kenyataan yang pahit dan
getir ini, mulailah sebagian kaum muslimin bangkit, setiap kelompok dari kaum
muslimin melihat realita ini dari kaca mata tersendiri, kelompok yang lain juga
demikian. Oleh karena itulah bisa dikatakan bahwa kelompok-kelompok yang ada
sekarang ini yang katanya berjuang atau berda’wah, mereka itu saling berselisih
dalam metode dan cara berda’wah. Dan perselisihan yang paling parah yang
menghalangi persatuan mereka adalah dua hal:
- Perselisihan mereka dalam pengambilan sumber ilmu dan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah.
- Ketidakmengertian mereka tentang diri mereka sendiri, sehingga pada saat ini kita sering menyaksikan bahwa hizbiyyah dan fanatik golongan ini masih menyumbat akal pikiran para da’i-da’i yang turun di medan da’wah. Mereka membanggakan diri mereka sendiri dan meremehkan yang lainnya. Sebagiannya menganggap bahwa kelompoknya itulah yang dinamakan jama’ah kaum muslimin dan pendirinya adalah imam kaum muslimin yang wajib di bai’at atau disumpah setia. Dan sebagiannya lagi mengkafirkan kaum muslimin. Sebenarnya mereka hanya jama’ah atau kelompok-kelompok kaum muslimin, karena kaum muslimin sekarang tidak memiliki jama’ah ataupun imam/pemimpin.
Sesungguhnya jama’ah kaum muslimin
adalah (Negara Islam) yang bersatu atau berkumpul didalamnya seluruh kaum
muslimin. Mereka hanya punya satu imam/pemimpin yang menerapkan hukum-hukum
Allah dan wajib untuk di taati serta diba’iat.
5. Tinggalkan kelompok-kelompok sempalan
Hadits Hudzaifah diatas memerintahkan
kepada kita untuk meninggalkan semua kelompok-kelompok sesat ketika terjadi
fitnah dan kejelekan serta disaat tidak ada jama’ah kaum muslimin dan imam
mereka.
Kelompok-kelompok sempalan ini yang
menyeru manusia kepada kesesatan, bersatu diatas kemungkaran dan diatas hawa
nafsu atau berkumpul diatas pemikiran-pemikiran kufur seperti sosialisme,
komunisme, kapitalisme, demokrasi atau bersatu berdasarkan fanatik golongan dan
lain sebagainya.
Inilah kelompok-kelompok
sesat yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam
hadits Hudzaifah untuk ditinggalkan dan dijauhi karena menjerumuskan manusia ke
dalam neraka jahanam dengan sebab ajaran mereka yang bukan dari Islam.\
Adapun kelompok yang
menyeru kepada Islam yang benar, memerintahkan kepada yang baik dan melarang
dari yang munkar maka inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk diikuti dan
ditolong. Allah Ta’alaberfirman:
Artinya:
”Hendaklah ada diantara kalian sekelompok orang yang menyeru kepada kebaikan
dan menyeru kepada yang baik dan melarang dari yang munkar. Dan merekalah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-’Imran 3:104)
6. Jalan keluar dari problematika ummat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Hudzaifah untuk meninggalkan semua kelompok
sempalan yang menyeru ke neraka jahannam meskipun sampai menggigit akar pohon
hingga ajal menjemput. Adapun penjelasannya, maka sebagai berikut:
[1]. Ini adalah perintah
untuk berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman Salafush
Shalih. Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu:
Artinya:
”Dan barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan melihat perselisihan
yang banyak sekali, maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru
dalam agama karena itu kesesatan. Dan barangsiapa diantara kalian yang
mendapatkan hal ini maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan
sunnah para khulafa ‘ar-rasyidin, gigitlah erat-erat dengan gigi geraham
kalian.”[17]
Didalam hadits Hudzaifah,
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam memerintahkan untuk menggigit akar pohon
ketika terjadi perpecahan sambil menjauhi semua kelompok sesat. Dan didalam
hadits al-Irbadh beliau memerintahkan untuk berpegang teguh dengan Sunnah
sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih radhiyallahu anhum, ketika munculnya
kelompok-kelompok sesat dan ketika tidak adanya jama’ah kaum muslimin serta
imam mereka.
[2]. Sesungguhnya perintah untuk
menggigit akar pohon dalam hadits Hudzaifah maknanya adalah istiqamah atau
tetap dalam shabar dalam memegang kebenaran dan dalam meninggalkan semua
kelompok sesat yang menyelisihi kebenaran. Atau maknanya bahwa pohon Islam akan
diguncang dengan angin kencang hingga merontokkan semua ranting dan cabangnya,
tidak ada yang tersisa melainkan akarnya yang masih tegar. Karena itulah wajib
bagi setiap muslim untuk memegang erat akar tersebut dan mengorbankan semua
yang berharga dalam dirinya karena akar tersebut akan tumbuh dan tegar kembali.
[3]. Ketika itu juga wajib bagi setiap
muslim untuk menolong dan membantu kelompok (yang berpegang teguh dengan sunnah
tersebut, -pent) dari setiap fitnah yang mengancam. Karena kelompok ini yang
selalu tampak diatas kebenaran hingga akhirnya mereka membunuh Dajjal.
______________
Catatan kaki:
[1] Riwayat
Ahmad dalam Musnadnya (5/155) dan al-Harawiy di kitabnya Dzammul Kalaam
(1/14-15 dan ini lafadznya) dari jalan Abu Dzar. Lihat pula Silsilah
ash-Shahiihah karya Syaikh al-Albani (no 2510).
[2]
Dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 3657 dan ini lafadznya), Ibnu Majah (no. 53),
Ahmad (2/321), ad-Daarimiy (1/57) dan Hakim (1/126), semuanya dari beberapa
jalan yaitu Muslim bin Yasar Abi Utsman dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
Dalam lafadz Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Daarimiy:
Artinya:
“Barang siapa yang diberi fatwa dengan satu fatwa yang tidak tsabit (yang tidak
kuat karena tidak berdasarkan ilmu), sesungguhnya dosanya ditanggung oleh orang
yang memfatwakannya.”
[3]
Lihat Telah Datang Zamannya karya al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, hal
8-15.
[4]
Allah Jalla wa ‘Ala telah
memberikan hidayah kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhuma untuk bertanya
kepada Nabi yang mulia Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan dan
kejahatan. Dan ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil bahwa mereka adalah
orang-orang yang paling ‘alim tentang kebaikan dan kejahatan. Dan menunjukkan
juga bahwa mereka sangat takut terhadap kejahatan yang mungkin akan mengenai
mereka. Oleh karena itu kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti manhaj
mereka. Dan hadits ini juga menunjukkan tentang keutamaan Hudzaifah sebagai
seorang Shahabat besar yang banyak mengetahui berbagai macam rahasia sehingga
beliau diberi gelar shaahibussir.
[5]
Yakni sebelum Islam datang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Masa itu
secara umum dan merata dinamakan zaman jahiliyyah. Tetapi setelah diutusnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak ada lagi zaman jahiliyyah
yang merata pada seluruh manusia, tempat dan waktu. Namun demikian, sifat dan
perbuatan orang-orang di zaman jahiliyyah ada yang diulangi oleh orang-orang
pada zaman sekarang, seperti meratapi kematian, tahlilan, mencela keturunan,
dan sebagainya.
[6]
Yakni dengan keimanan dan keislaman yang membawa kepada keamanan, keselamatan,
kemaslahatan, dan kebahagiaan. Sebelum mereka masuk Islam, kehidupan pada zaman
jahiliyyah dipenuhi dengan kejahatan. Tidak ada rasa aman, penuh dengan
kesengsaraan dan marabahaya. Dan setelah para Shahabat radhiyallahu ’anhuma
masuk Islam, kehidupan mereka berubah drastis, dari syirik kepada tauhid, dari
bid’ah kepada Sunnah, dan dari kejahatan kepada kebaikan, dari rasa takut
kepada rasa aman, dari kesengsaraan kepada kebahagiaan, dan seterusnya.
[7]
Yakni kekotoran, yang menunjukkan bahwa kebaikan itu sudah tidak sempurna lagi,
tidak murni lagi, karena telah tercampur dengan keburukan dan kejahatan
sehingga kebaikan itu menjadi keruh dan kotor.
[8]
Inilah yang dimaksud dengan kekeruhan dan kekotoran di atas, yaitu bid’ah.
Karena lawan dari Sunnah adalah bid’ah. Kaum ini dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah beramal
dengan cara atau Sunnahnya sendiri bukan dengan Sunnah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak mengikuti petunjuk beliau, padahal sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk beliau. Dan dari hadits yang mulia ini dapat diketahui
bahaya dan kerusakan bid’ah dan ahlinya yang dapat mengotori Islam dan amal
kaum muslimin sehingga menjadi tidak bersih lagi.
[9]
Yakni diantara amal-amal mereka ada yang engkau ketahui dan engkau kenali
karena sesuai dengan Sunnah, dan ada juga yang engkau ingkari karena menyalahi
Sunnah dan mereka telah beramal dengan amal-amal bid’ah.
[10] Du’aatun
bentuk jamak dari daa’i. Yang artinya bahwa mereka ini adalah orang-orang yang
menyeru, menyampaikan atau berda’wah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berjuang
dengan perjuangan yang besar untuk mengajak kaum muslimin kepada madzhab mereka
dengan berbagai macam cara dan sarana yang dapat dipergunakan untuk menawan
hati kaum muslimin agar mengamini da’wah mereka.
[11]
Ini menunjukkan bahwa da’wah mereka adalah sesat dan menyesatkan. Karena itu
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengatakan bahwa mereka berada di pintu-pintu jahannam. Ulama mengatakan
bahwa mereka ini adalah ahli-ahli bid’ah dari berbagai macam firqah-forqah
sesat – bahkan sebagiannya telah keluar dari Islam seperti kaum zindiq yang tergabung
dalam madzhab baatiniyyah – yang menda’wahkan bid’ah mereka seperti Raafidhah
atau Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyyah, kaum Falasifah, madzhab
Sekulerisme, seruan Demokrasi, dan lain-lain. Mereka semua ini adalah da’i-da’i
yang berada di pintu-pintu jahannam.
[12]
Ini merupakan nasihat dan peringatan bagi kaum muslimin agar tidak mengijabah
da’wah mereka yang memanggil ke pintu-pintu jahannam. Tidak ada jalan bagi kaum
muslimin untuk menghindarinya kecuali dengan berpegang teguh dengan Sunnah Nabi
yang mulia Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan manhaj para Shahabat radhiyallahu ’anhum.
[13]
Sifat mereka menunjukkan bahwa mereka dari Arab, baik nasab (keturunan) atau
lughoh (bahasa). Dan ini menunjukkan bahwa mereka dari kalangan kaum muslimin,
karena mereka berbicara dengan bahasa kita, yaitu bahasa Islam. Tetapi mereka
dari rombongan ahli bid’ah, baik orang perorangnya atau dari kelompok-kelompok
sesat dengan da’wah bid’ahnya yang sangat menyesatkan kaum muslimin. Sebagian
dari mereka telah keluar dari Islam walaupun lahiriyahnya mengatasnamakan
Islam.
[14]
Jama’ah kaum muslimin semuanya yang dipimpin oleh seorang khalifah atau imam.
Hadits yang mulia ini menjadi hujjah bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk tidak
keluar memisahkan diri dari imam kaum muslimin meskipun mereka fasiq. Ini
adalah perbuatan bid’ah dari firqah-firqah sesat seperti Khawarij, Mu’tazilah
dan sebagainya. Adapun ’aqidah Ahlus Sunnah mewajibkan taat kepada ulil amri selama tidak diperintah untuk
bermaksiat kepada Allah atau menyalahi Sunnah, maka tidak boleh taat. Tetapi
juga tidak boleh keluar memisahkan diri dengan mengkudeta atau memberontak.
[15]
Riwayat Bukhari (no. 3606, 3607, dan 7084) dan Muslim (no. 1847). Baca syarah
hadits ini di Syarah Muslim (juz 12 hal 236) an-Nawawi. Fathul Baari’ Syarah
Bukhari (no 7084). Dan Limadza Ikhtartu Manhaj as Salafiy oleh Syaikh Salim bin
‘Ied al-Hilali.
[16]
Diringkas dari al-Qaulul Mubin fii Jama’atil Muslimin. Disalin dari majalah
adz-Dzkhiirah al-Islamiyah Edisi 13 Th. III Shafar 1426H/ April 2005M, hal.
22-26. Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad. Jl. Sultan Iskandar Muda No. 45 Surabaya.
[17]
Hadits riwayat Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud nomor 4607 dan at-Tirmidzi nomor
2676, ad-Darimy (I/44), al-Baghawy (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan oleh
Syaikh al-Albany dalam Irwaa-ul Ghaliil (no. 2455)
Sumber: IbnuIsmailbinIbrahim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar