Sebagian kaum muslimin, memilih untuk mengikuti adat kebiasaan orang-orang tua mereka dan nenek-nenek moyang mereka, dalam beberapa perkara dan dalam beberapa amalan. Ada yang menyakini kebenaran amalan nenek moyang tersebut, adapula demi keamanan, menghindari keributan dan menyenangkan hati-hati mereka.
Itulah realita di masyarakat kita dan apabila disampaikan kepada mereka, bahwa perkara itu atau amalan tersebut tidak ada dalilnya, tidak ada syariatnya, mereka pun menolak dan membantahnya.
Jawaban mereka sama seperti halnya jawaban orang-orang jahiliyah terdahulu, apabila dikatakan kepada mereka, “ Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”, mereka mengatakan, kami hanya mengikuti kebiasaan nenek moyang kami.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al Baqoroh 170).
Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ..
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami menger-jakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (QS. Al Maidah 104).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
Apabila mereka diseru untuk mengikuti agama Allah, syariat-Nya, dan hal-hal yang diwajibkan-Nya serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan-Nya, maka mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya," yakni peraturan-peraturan dan tradisi yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Allah Ta'ala berfirman:
{أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا}
Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa. (QS. Al-Maidah: 104)
Yakni tidak mengerti perkara yang hak, tidak mengetahuinya, tidak pula mendapat petunjuk mengenainya. Maka bagaimanakah mereka akan mengikuti nenek moyang mereka, sedangkan keadaan nenek moyang mereka demikian? Mereka hanyalah mengikuti orang-orang yang lebih bodoh daripada mereka dan lebih sesat jalannya. (Tafsir Ibnu Katsir ).
Dan masih banyak ayat-ayat serupa dalam al-Qur’an, yang menggambarkan taklidnya mereka kepada nenek moyang mereka, walaupun disampaikan kebenaran pada mereka, tetap mereka tidak mau mengikuti Allah dan RasulNya.
Keadaan seperti ini berlangsung dari zaman ke zaman, sampai ke zaman kita sekarang ini. Sering kita jumpai di kalangan sebagian masyarakat, apabila mereka diberitahukan, bahwa amalan dan kebiasaan mereka tidak ada dalilnya, Allah dan RasulNya tidak perintahkan, tidak ada dalam al Qur’an dan As Sunnah, mereka mengatakan, “Nenek moyang kami, orang-orang tua kami telah melakukannya sejak dulu, masa sih nenek moyang kami salah dan keliru.”
Atau juga mereka mengatakan, “ Ini sudah jadi adat kebiasaan dan orang banyak melakukannya, masa yang begini saja sesat dan menyimpang. Kita mah ikut saja kebanyakan orang.”
Apabila kebenaran itu didasarkan dengan banyaknya yang mengikuti, maka Allah Ta’ala larang dengan tegas, untuk jangan mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, kalau kebiasaannya itu bertentangan dengan syari’ah. Karena akan menyimpang dan sesat dari jalan yang benar.
Kebenaran itu tolak ukurnya bukan dengan banyaknya manusia yang mengikuti, tetapi kebenaran itu apa-apa yang bersesuaian dengan dalil.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah :
الحق ما قام عليه الدليل و ليس الحق فيما عمله الناس
Kebenaran itu berdasarkan dalil dan bukanlah kebenaran itu berdasarkan apa yang dilakukan kebanyakan manusia. (Majmu al-Fatawa 7/367)
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُون
َ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (Al An’am 116).
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah:
يقول تعالى، لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم، محذرا عن طاعة أكثر الناس فإن أكثرهم قد انحرفوا في أديانهم وأعمالهم، وعلومهم. فأديانهم فاسدة، وأعمالهم تبع لأهوائهم، وعلومهم ليس فيها تحقيق، ولا إيصال لسواء الطريق.
“Allah berfirman kepada nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memberi peringatan dari mengikuti mayoritas manusia, karena kebanyakan mereka telah berpaling dari agama, amal dan ilmu mereka. agama mereka rusak, amal mereka mengikuti hawa nafsu dan ilmu mereka tidak diterapkan dan tidak bisa mencapai jalan yang benar." (Tafsir Karimir Rahmah).
Sanggahan yang lain apabila mereka diajak untuk mengikuti al Qur’an dan as Sunnah, mereka berdalih bahwa pemimpin pemimpin mereka, tokoh-tokoh mereka, atau orang-orang besar mereka, dan ketua-ketua adat mereka, melaksanakan kebiasaan dan amalan tersebut.
Mereka melaksanakan amalan dan kebiasaan tersebut karena diperintahkan oleh para tokoh dan pembesar mereka. Kami taat saja pada mereka, kalau memang keliru dan salah, kitakan cuma ikut saja, kalau dapat siksa ya para pemimpin itu yang disika. Dan lagian masa mereka keliru dan menyimpang, mereka kan juga orang berilmu kok, “Kata sebagian mereka”.
Apabila dikatakan kepada mereka, bahwa Allah dan RasulNya mengatakan demikian dalam al Qur’an dan as Sunnah, mereka bantah dengan mengatakan, “Menurut tokoh dan pembesar kami demikian. Menurut pimpinan kami seperti ini.”
Apabila ini jadi alasan dan sandaran mereka dalam menolak kebenaran yang ada dalam al Qur’an dan as Sunnah, maka mereka akan menyesal, karena kelak di akherat ketika disiksa, mereka akan mengatakan, “Alangkah baiknya kami mengikuti Allah dan RasulNya”, penyesalan yang tiada gunanya lagi.
Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا.
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al Ahzab 66-68).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
Mereka diseret dengan muka di bawah ke dalam neraka, lalu tubuh mereka dibolak-balikkan di dalam neraka. Dalam keadaan demikian mereka menyesali perbuatannya selama di dunia seraya mengungkapkan penyesalannya, "Aduhai, sekiranya dahulu di dunia kami termasuk orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Tafsir Ibnu Katsir).
Mengikuti kebiasaan dan adat istiadat, itu tidak masalah, yang penting kebiasaan dan adat istiadat tersebut tidak menyelisihi al Qur’an dan as Sunnah, tidak menyelisihi syari’ah dan ketentuan dalam ajaran Islam.
Janganlah kita mengikuti apa saja dengan sembarang tanpa di dasari ilmu. Kalau kita belajar tentang Al Qur’an dan As Sunnah serta dengan pemahaman yang benar, kita akan mengetahui bahwa amalan tersebut ada dasar syariatnya atau tidak. Kalau ada kita ikuti, kalau tidak ada kita tinggalkan.
Allah Ta’ala melarang keras untuk mengikuti sesuatu tanpa ada ilmu, tanpa ada pengetahuan. Karena pendengaran, penglihatan dan hati pikiran akan dimintai pertanggungjawaban di akherat kelak.
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولً
ا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (QS. Al Isra : 36).
Berkata Qatadah rahimahullah :
Makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan. (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
Allah Ta'ala melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi. (Tafsir Ibnu Katsir).
Abu Fadhel Majalengka
Itulah realita di masyarakat kita dan apabila disampaikan kepada mereka, bahwa perkara itu atau amalan tersebut tidak ada dalilnya, tidak ada syariatnya, mereka pun menolak dan membantahnya.
Jawaban mereka sama seperti halnya jawaban orang-orang jahiliyah terdahulu, apabila dikatakan kepada mereka, “ Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”, mereka mengatakan, kami hanya mengikuti kebiasaan nenek moyang kami.
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ.
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al Baqoroh 170).
Dan Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ..
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami menger-jakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (QS. Al Maidah 104).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
Apabila mereka diseru untuk mengikuti agama Allah, syariat-Nya, dan hal-hal yang diwajibkan-Nya serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan-Nya, maka mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya," yakni peraturan-peraturan dan tradisi yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Allah Ta'ala berfirman:
{أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا}
Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa. (QS. Al-Maidah: 104)
Yakni tidak mengerti perkara yang hak, tidak mengetahuinya, tidak pula mendapat petunjuk mengenainya. Maka bagaimanakah mereka akan mengikuti nenek moyang mereka, sedangkan keadaan nenek moyang mereka demikian? Mereka hanyalah mengikuti orang-orang yang lebih bodoh daripada mereka dan lebih sesat jalannya. (Tafsir Ibnu Katsir ).
Dan masih banyak ayat-ayat serupa dalam al-Qur’an, yang menggambarkan taklidnya mereka kepada nenek moyang mereka, walaupun disampaikan kebenaran pada mereka, tetap mereka tidak mau mengikuti Allah dan RasulNya.
Keadaan seperti ini berlangsung dari zaman ke zaman, sampai ke zaman kita sekarang ini. Sering kita jumpai di kalangan sebagian masyarakat, apabila mereka diberitahukan, bahwa amalan dan kebiasaan mereka tidak ada dalilnya, Allah dan RasulNya tidak perintahkan, tidak ada dalam al Qur’an dan As Sunnah, mereka mengatakan, “Nenek moyang kami, orang-orang tua kami telah melakukannya sejak dulu, masa sih nenek moyang kami salah dan keliru.”
Atau juga mereka mengatakan, “ Ini sudah jadi adat kebiasaan dan orang banyak melakukannya, masa yang begini saja sesat dan menyimpang. Kita mah ikut saja kebanyakan orang.”
Apabila kebenaran itu didasarkan dengan banyaknya yang mengikuti, maka Allah Ta’ala larang dengan tegas, untuk jangan mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, kalau kebiasaannya itu bertentangan dengan syari’ah. Karena akan menyimpang dan sesat dari jalan yang benar.
Kebenaran itu tolak ukurnya bukan dengan banyaknya manusia yang mengikuti, tetapi kebenaran itu apa-apa yang bersesuaian dengan dalil.
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah :
الحق ما قام عليه الدليل و ليس الحق فيما عمله الناس
Kebenaran itu berdasarkan dalil dan bukanlah kebenaran itu berdasarkan apa yang dilakukan kebanyakan manusia. (Majmu al-Fatawa 7/367)
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُون
َ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (Al An’am 116).
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah:
يقول تعالى، لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم، محذرا عن طاعة أكثر الناس فإن أكثرهم قد انحرفوا في أديانهم وأعمالهم، وعلومهم. فأديانهم فاسدة، وأعمالهم تبع لأهوائهم، وعلومهم ليس فيها تحقيق، ولا إيصال لسواء الطريق.
“Allah berfirman kepada nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memberi peringatan dari mengikuti mayoritas manusia, karena kebanyakan mereka telah berpaling dari agama, amal dan ilmu mereka. agama mereka rusak, amal mereka mengikuti hawa nafsu dan ilmu mereka tidak diterapkan dan tidak bisa mencapai jalan yang benar." (Tafsir Karimir Rahmah).
Sanggahan yang lain apabila mereka diajak untuk mengikuti al Qur’an dan as Sunnah, mereka berdalih bahwa pemimpin pemimpin mereka, tokoh-tokoh mereka, atau orang-orang besar mereka, dan ketua-ketua adat mereka, melaksanakan kebiasaan dan amalan tersebut.
Mereka melaksanakan amalan dan kebiasaan tersebut karena diperintahkan oleh para tokoh dan pembesar mereka. Kami taat saja pada mereka, kalau memang keliru dan salah, kitakan cuma ikut saja, kalau dapat siksa ya para pemimpin itu yang disika. Dan lagian masa mereka keliru dan menyimpang, mereka kan juga orang berilmu kok, “Kata sebagian mereka”.
Apabila dikatakan kepada mereka, bahwa Allah dan RasulNya mengatakan demikian dalam al Qur’an dan as Sunnah, mereka bantah dengan mengatakan, “Menurut tokoh dan pembesar kami demikian. Menurut pimpinan kami seperti ini.”
Apabila ini jadi alasan dan sandaran mereka dalam menolak kebenaran yang ada dalam al Qur’an dan as Sunnah, maka mereka akan menyesal, karena kelak di akherat ketika disiksa, mereka akan mengatakan, “Alangkah baiknya kami mengikuti Allah dan RasulNya”, penyesalan yang tiada gunanya lagi.
Allah Ta’ala berfirman:
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67) رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا.
Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS. Al Ahzab 66-68).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
Mereka diseret dengan muka di bawah ke dalam neraka, lalu tubuh mereka dibolak-balikkan di dalam neraka. Dalam keadaan demikian mereka menyesali perbuatannya selama di dunia seraya mengungkapkan penyesalannya, "Aduhai, sekiranya dahulu di dunia kami termasuk orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Tafsir Ibnu Katsir).
Mengikuti kebiasaan dan adat istiadat, itu tidak masalah, yang penting kebiasaan dan adat istiadat tersebut tidak menyelisihi al Qur’an dan as Sunnah, tidak menyelisihi syari’ah dan ketentuan dalam ajaran Islam.
Janganlah kita mengikuti apa saja dengan sembarang tanpa di dasari ilmu. Kalau kita belajar tentang Al Qur’an dan As Sunnah serta dengan pemahaman yang benar, kita akan mengetahui bahwa amalan tersebut ada dasar syariatnya atau tidak. Kalau ada kita ikuti, kalau tidak ada kita tinggalkan.
Allah Ta’ala melarang keras untuk mengikuti sesuatu tanpa ada ilmu, tanpa ada pengetahuan. Karena pendengaran, penglihatan dan hati pikiran akan dimintai pertanggungjawaban di akherat kelak.
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولً
ا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (QS. Al Isra : 36).
Berkata Qatadah rahimahullah :
Makna yang dimaksud ialah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu katakan bahwa kamu mendengarnya, padahal kamu tidak mendengarnya; atau kamu katakan bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal tersebut secara keseluruhan. (Tafsir Ibnu Katsir).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah :
Allah Ta'ala melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi. (Tafsir Ibnu Katsir).
Abu Fadhel Majalengka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar