1. Syirik Besar
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah saja.[1] Allah Ta’ala berfirman:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin.’” [Yunus: 10]
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik besar ada banyak [2], sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:[3]
Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]
Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Huud: 15-16]
Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]
Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]
2. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” [4]
Syirik dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’” [5]
Contoh lain syirik dalam bentuk ucapan yaitu perkataan:
مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ.
“Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”
Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Atas kehendak Allah, kemudian karena kehendakmu.”
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengucapkan:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
‘Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.’” [6]
Kata ثُـمَّ (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah [7]) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.[8]
Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya.
Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti tentang Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya, melainkan (sebatas) yang telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang mereka seru dan mereka ibadahi, tidak lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan-Nya -yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan Allah) merupakan rukun amal yang maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan harus sesuai dengan syari’at (Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، فَقَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: اَلرِّيَاءُ.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya’.” [10]
Termasuk juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda.
Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّنَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ.
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah, celakalah hamba khamilah [11]. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”[12]
Footnote :
[1]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 77) oleh Dr. Shahil bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[2]. Lihat Madaarijus Saalikiin (I/376) dan Juhuudusy Syaafi’iyyah fii Taqriiri Tauhiidil ‘Ibaadah (hal. 437-514) oleh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah al-‘Unquri, cet. I/ Daarut Tauhid lin Nasyr, th. 1425 H/2004 M.
[3]. Lihat pembagian ini dalam kitab Majmuu’atut Tauhiid (I/7-8), tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun, Nuurut Tauhiid wa Zhulumaatusy Syirki (hal. 73-75) oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan untuk lebih jelas tentang 4 macam syirik ini dapat dilihat dalam Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2042)
[5]. Lihat HR. An-Nasa-i (VII/6) dan ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 992). Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad (VI/371, 372), ath-Thahawi dalam Musykiilul Aatsaar (I/220, no. 238), al-Hakim (IV/297), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Ishaabah (IV/389): “Hadits ini shahih, dari Qutailah, wanita dari Juhainah. Lihat pembahasan ini dalam Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab 41 dan 43).
[6]. HR. Ibnu Majah (no. 2117), hadits ini hasan shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1093).
[7]. Tamimah adalah sejenis jimat yang biasanya dikalungkan di leher anak-anak.
[8]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 78) oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[9]. Diringkas dari Tafsiir Ibni Katsir (III/120-122), cet. Daarus Salaam.
[10]. HR. Ahmad (V/428-429) dari Sahabat Mahmud bin Labid. Berkata Imam al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawaa-id (I/102): “Rawi-rawinya shahih.” Dan diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 4301), dari Sahabat Rafi’ bin Khadiij. Imam al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id (X/222) berkata: “Rawi-rawinya shahih.” Dan hadits ini dihasankan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Buluughul Maraam.
[11]. Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah. Maksudnya -wallaahu a’lam- celaka bagi orang yang sangat ambisius dengan kekayaan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itu adalah orang-orang yang celaka dan sengsara.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 2886, 2887, 6435) dan Ibnu Majah (no. 4136). Lihat ‘Aqii-datut Tauhiid (hal. 78-79), oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
========================
*Group Cahaya Islam*
_*"Pantang menyerah dimedan Dakwah"*_
➡Invite Bbm: 5F19373E (tausiyah singkat setiap hari)
➡Whats app: 0812 9927 3455
Cara Daftar Ketik :
Ci#nama#kota#L/P
➡Facebook : Heru Lubis Abu Farhan
Syirik besar adalah memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaithan, dan lainnya. Atau seseorang takut kepada orang mati (mayit) yang (dia menurut perkiraannya) akan membahayakan dirinya, atau mengharapkan sesuatu kepada selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat, atau seseorang yang meminta sesuatu kepada selain Allah, di mana tidak ada manusia pun yang mampu memberikannya selain Allah, seperti memenuhi hajat, menghilangkan kesulitan dan selain itu dari berbagai macam bentuk ibadah yang tidak boleh dilakukan melainkan ditujukan kepada Allah saja.[1] Allah Ta’ala berfirman:
دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلَامٌ ۚ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Do’a mereka di dalamnya adalah, ‘Subhanakallahumma,’ dan salam penghormatan mereka adalah: ‘Salaamun.’ Dan penutup do’a mereka adalah: ‘Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin.’” [Yunus: 10]
Syirik besar dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dalam keadaan syirik dan belum bertaubat daripadanya.
Syirik besar ada banyak [2], sedangkan di sini akan disebutkan empat macamnya saja:[3]
Syirik do’a, yaitu di samping ia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selain-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdo’a kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabuut: 65]
Syirik niat, keinginan dan tujuan, yaitu ia menujukan suatu bentuk ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Huud: 15-16]
Syirik ketaatan, yaitu mentaati selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Allah Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At-Taubah: 31]
Syirik mahabbah (kecintaan), yaitu menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam hal kecintaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Dan seandainya orang-orang yang berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” [Al-Baqarah: 165]
2. Syirik Kecil
Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (jalan, perantara) kepada syirik besar.
Syirik kecil ada dua macam:
Syirik zhahir (nyata), yaitu syirik kecil dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan selain Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik.” [4]
Syirik dan kufur yang dimaksud di sini adalah syirik dan kufur kecil.
Qutailah binti Shaifi al-Juhaniyah Radhiyallahu anhuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Engkau mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu,’ dan mengucapkan: ‘Demi Ka’bah.’” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Sahabat apabila hendak bersumpah agar mengucapkan:
وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، وَأَنْ يَقُوْلُوْا: مَاشَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Demi Allah, Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu.’” [5]
Contoh lain syirik dalam bentuk ucapan yaitu perkataan:
مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ.
“Atas kehendak Allah dan kehendakmu.”
Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Atas kehendak Allah, kemudian karena kehendakmu.”
Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَلَفَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ وَشِئْتَ، وَلَكِنْ لِيَقُلْ: مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
“Apabila seseorang dari kalian bersumpah, janganlah ia mengucapkan: ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Akan tetapi hendaklah ia mengucapkan:
مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ.
‘Atas kehendak Allah kemudian kehendakmu.’” [6]
Kata ثُـمَّ (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwir: 29]
Adapun contoh syirik dalam perbuatan, seperti memakai gelang, benang, dan sejenisnya sebagai pengusir atau penangkal marabahaya. Seperti menggantungkan jimat (tamimah [7]) karena takut dari ‘ain (mata jahat) atau lainnya. Jika seseorang meyakini bahwa kalung, benang atau jimat itu sebagai penyerta untuk menolak marabahaya dan menghilangkannya, maka perbuatan ini adalah syirik ashghar, karena Allah tidak menjadikan sebab-sebab (hilangnya marabahaya) dengan hal-hal tersebut. Adapun jika ia berkeyakinan bahwa dengan memakai gelang, kalung atau yang lainnya dapat menolak atau mengusir marabahaya, maka per-buatan ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena ia menggantungkan diri kepada selain Allah.[8]
Syirik khafi (tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang), dan lainnya. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan memperindah shalatnya (karena dilihat orang) atau bershadaqah agar dipuji dan memperindah suaranya dalam membaca (Al-Qur-an) agar didengar orang lain, sehingga mereka menyanjung atau memujinya.
Suatu amal apabila tercampur dengan riya’, maka amal tersebut tertolak, karena itu Allah memperintahkan kita untuk berlaku ikhlas. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia sepertimu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Allah Yang Esa.’’ Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-Kahfi: 110]
Maksudnya, katakanlah (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) kepada orang-orang musyrik yang mendustakan ke-Rasulanmu: “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia seperti juga dirimu.” Maka barangsiapa yang menganggap diriku (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) adalah pendusta, hendaklah ia mendatangkan sebagaimana yang telah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, yaitu tentang perkara-perkara terdahulu yang pernah disampaikan beliau, seperti tentang Ashhaabul Kahfi, tentang Dzul Qarnain, atau perkara ghaib lainnya, melainkan (sebatas) yang telah diwahyukan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ilah (sesembahan) yang mereka seru dan mereka ibadahi, tidak lain adalah Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan-Nya -yaitu mendapat pahala dan kebaikan balasan-Nya- maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih yang sesuai dengan syari’at-Nya, serta tidak menyekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabb-nya. Amal perbuatan inilah yang di-maksudkan untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala semata, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Kedua hal tersebut (amal shalih dan tidak menyekutukan Allah) merupakan rukun amal yang maqbul (diterima). Yaitu harus benar-benar tulus karena Allah (menjauhi perbuatan syirik) dan harus sesuai dengan syari’at (Sunnah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [9]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، فَقَالُوْا: وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: اَلرِّيَاءُ.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka (para Sahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya’.” [10]
Termasuk juga dalam syirik, yaitu seseorang yang melakukan amal untuk kepentingan duniawi, seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau berjihad untuk mendapatkan harta benda.
Sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّنَارِ، تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ، إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ.
“Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba khamishah, celakalah hamba khamilah [11]. Jika diberi ia senang, tetapi jika tidak diberi ia marah.”[12]
Footnote :
[1]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 77) oleh Dr. Shahil bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[2]. Lihat Madaarijus Saalikiin (I/376) dan Juhuudusy Syaafi’iyyah fii Taqriiri Tauhiidil ‘Ibaadah (hal. 437-514) oleh Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah al-‘Unquri, cet. I/ Daarut Tauhid lin Nasyr, th. 1425 H/2004 M.
[3]. Lihat pembagian ini dalam kitab Majmuu’atut Tauhiid (I/7-8), tahqiq Basyir Muhammad ‘Uyun, Nuurut Tauhiid wa Zhulumaatusy Syirki (hal. 73-75) oleh Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani, dan untuk lebih jelas tentang 4 macam syirik ini dapat dilihat dalam Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid.
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2042)
[5]. Lihat HR. An-Nasa-i (VII/6) dan ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 992). Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ahmad (VI/371, 372), ath-Thahawi dalam Musykiilul Aatsaar (I/220, no. 238), al-Hakim (IV/297), dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam al-Ishaabah (IV/389): “Hadits ini shahih, dari Qutailah, wanita dari Juhainah. Lihat pembahasan ini dalam Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid (bab 41 dan 43).
[6]. HR. Ibnu Majah (no. 2117), hadits ini hasan shahih. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1093).
[7]. Tamimah adalah sejenis jimat yang biasanya dikalungkan di leher anak-anak.
[8]. ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 78) oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[9]. Diringkas dari Tafsiir Ibni Katsir (III/120-122), cet. Daarus Salaam.
[10]. HR. Ahmad (V/428-429) dari Sahabat Mahmud bin Labid. Berkata Imam al-Haitsami di dalam Majma’uz Zawaa-id (I/102): “Rawi-rawinya shahih.” Dan diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 4301), dari Sahabat Rafi’ bin Khadiij. Imam al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id (X/222) berkata: “Rawi-rawinya shahih.” Dan hadits ini dihasankan oleh Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Buluughul Maraam.
[11]. Khamishah dan khamilah adalah pakaian yang terbuat dari wool atau sutera dengan diberi sulaman atau garis-garis yang menarik dan indah. Maksudnya -wallaahu a’lam- celaka bagi orang yang sangat ambisius dengan kekayaan duniawi, sehingga menjadi hamba harta benda. Mereka itu adalah orang-orang yang celaka dan sengsara.
[12]. HR. Al-Bukhari (no. 2886, 2887, 6435) dan Ibnu Majah (no. 4136). Lihat ‘Aqii-datut Tauhiid (hal. 78-79), oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan
========================
*Group Cahaya Islam*
_*"Pantang menyerah dimedan Dakwah"*_
➡Invite Bbm: 5F19373E (tausiyah singkat setiap hari)
➡Whats app: 0812 9927 3455
Cara Daftar Ketik :
Ci#nama#kota#L/P
➡Facebook : Heru Lubis Abu Farhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar