}

RINGKASAN SIFAT SHALAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM (2)

Hasil gambar untuk pemandangan indahOleh :Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Perhatian :
Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : “Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

(6). RUKU’
69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur

70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram.

71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib.

72. Lalu ruku’ sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota badan mengambil tempatnya. Adapun ruku’ adalah rukun.

CARA RUKU’
73. Meletakkan kedua tangan diatas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggemgam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib.

74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air dipunggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib.

75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung.

76. Merenggangkan kedua siku dari badan.

77. Mengucapkan saat ruku’. “Subhaana rabbiiyal ‘adhiim”. “Segala puji bagi Allah yang Maha Agung”. tiga kali atau lebih. [1]

MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN
78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku’ berdiri dan sesudah ruku’, dan duduk diantara dua sujud hampir sama.

79. Tidak boleh membaca Al-Qur’an saat ruku’ dan sujud.

I’TIDAL SESUDAH RUKU’
80. Mengangkat punggung dari ruku’ dan ini adalah rukun.

81. Dan saat i’tidal mengucapkan . “Syami’allahu-liman hamidah”. “Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya”. adapun hukumnya wajib.

82. Mengangkat kedua tangan saat i’tidal seperti dijelaskan terdahulu.

83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini termasuk rukun.

84. Mengucapkan saat berdiri. “Rabbanaa wa lakal hamdu” [Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji]. [2] Hukumnya adalah wajib bagi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid saat berdiri, sedang tasmi (ucapana Sami’allahu liman hamidah) adalah wirid i’tidal (saat bangkit dari ruku’ sampai tegak).

85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku’ seperti dijelaskan terdahulu.

(7). SUJUD
86. Lalu mengucapkan “Allahu Akbar” dan ini wajib.

87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

TURUN DENGAN KEDUA TANGAN.
88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan.

89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta melebarkannya.

90. Merapatkan jari jemari.

91. Lalu menghadapkan ke kiblat.

92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu.

93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga.

94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing. Hukumnya adalah wajib.

95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.

96. Menempelkan kedua lutut ke lantai.

97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki.

98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib.

99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat.

100. Meletakkan / merapatkan kedua mata kaki.

BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD
101. Wajib berlaku tegak ketika sujud, yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki.

102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma’ninah, sedangkan thuma’ninah ketika sujud termasuk rukun juga.

103. Mengucapkan ketika sujud. “Subhaana rabbiyal ‘alaa” [Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi] diucapkan tiga kali atau lebih.

104. Disukai untuk memperbanyak do’a saat sujud, karena saat itu do’a banyak dikabulkan.

105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku’ seperti diterangkan terdahulu.

106. Boleh sujud langsung di tanah, bolah pula dengan memakai alas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya.

107. Tidak boleh membaca Al-Qur’an saat sujud.

IFTIRASY DAN IQ’A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD
108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib.

109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan.

110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya masing-masing, dan ini adalah rukun.

111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib.

112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy).

113. Menghadapkan jari-jari kaki kekiblat.

114. Boleh iq’a sewaktu-waktu, yaitu duduk diatas kedua tumit.

115. Mengucapkan pada waktu duduk. “Allahummagfirlii, warhamnii’ wajburnii’, warfa’nii’, wa ‘aafinii, warjuqnii”. [Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki]

116. Dapat pula mengucapkan. “Rabbigfirlii, Rabbigfilii”.[Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku]

117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud.

SUJUD KEDUA
118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib.

119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini.

120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga.

121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama.

DUDUK ISTIRAHAT
122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir.

123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya.

124. Duduk sebentar diatas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri, sekadar selurus tulang menempati tempatnya.

RAKAAT KEDUA
125. Kemudian bangkit raka’at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan kelantai dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya.

126. Melakukan pada raka’at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama.

127. Akan tetapi tidak membaca pada raka’at yang kedua ini do’a iftitah.

128. Memendekkan raka’at kedua dari raka’at yang pertama.

DUDUK TASYAHUD
129. Setelah selesai dari raka’at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib.

130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud.

131. Tapi tidak boleh iq’a ditempat ini.

132. Meletakkan tangan kanan sampai siku diatas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya.

133. Membentangkan tangan kiri diatas paha dan lutut kiri.

134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri.

MENGGERAKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA
135. Menggemgam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari diatas jari tengah.

136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah.

137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat.

138. Dan melihat pada telunjuk.

139. Menggerakan telunjuk sambil berdo’a dari awal tasyahud sampai akhir.

140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri.

141. Melakukan semua ini disemua tasyahud.

UCAPAN TASYAHUD DAN DO’A SESUDAHNYA
142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi.

143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan).

144. Dan lafadznya : “At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu ‘alan – nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu ‘alaiynaa wa’alaa ‘ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan ‘abduhu warasuuluh”.

“Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta keselamatan atas Nabi [2] dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan rasul-Nya”.

145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengucakan : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, kamaa shallaiyta ‘alaa ibrahiima wa ‘alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid”.

“Allahumma baarik ‘alaa muhammaddiw wa’alaa ali muhammadin kamaa baarikta ‘alaa ibraahiima wa ‘alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid”.

“Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia.

Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesunguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia”.

146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : “Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa ali muhammad, wabaarik ‘alaa muhammadiw wa’alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta ‘alaa ibraahiim wa’alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid”.

“Artinya : Ya Allah bershalawtlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau bershalwat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia”.

147. Kemudian memilih salah satu do’a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo’a kepada Allah dengannya.

RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT
148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk.

149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan.

150. Kemudian bangkit ke raka’at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya.

151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka’at yang ke empat.

152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar diatas kaki yang kiri (duduk iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya.

153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua.

154. Kemudian membaca pada raka’at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang merupakan satu kewajiban.

155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau lebih dari satu ayat.

QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA
156. Disunatkan untuk qunut dan berdo’a untuk kaum muslimin karena adanya satu musibah yang menimpa mereka.

157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : “Rabbana lakal hamdu”.

158. Tidak ada do’a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo’a dengan do’a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi.

159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.

160. Mengeraskan do’a tersebut apabila sebagai imam.

161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya.

162. Apabila telah selesai membaca do’a qunut lalu bertakbir untuk sujud.

QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA
163. Adapun qunut di shalat witir disyari’atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu.

164. Tempatnya sebelum ruku’, hal ini berbeda dengan qunut nazilah.

165. Mengucapkan do’a berikut :”Allahummah dinii fiiman hadayit, wa ‘aafiinii fiiman ‘aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a’thayit, wa qinii syarra maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa ‘alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya’izzu man ‘aadayit, tabaarakta rabbanaa wata’alayit laa manjaa minka illaa ilayika”.

“Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan, dan tidak ada yang menetapkan untukku. Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami dan kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu”.

166. Do’a ini termasuk do’a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum.

167. Kemudian ruku’ dan bersujud dua kali seperti terdahulu.

TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK
168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib.

169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal.

170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk yaitu meletakan pangkal paha kiri ketanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri kebawah betis kanan.

171. Menegakkan kaki kanan.

172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan.

173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya.

KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA
174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal.

175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan :” Allahumma inii a’uwdzubika min ‘adzaabi jahannam, wa min ‘adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal”.

“Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari keburukan fitnah masih ad-dajjal”. [4]

BERDO’A SEBELUM SALAM
176. Kemudian berdo’a untuk dirinya dengan do’a yang nampak baginya dari do’a-do’a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do’a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal satupun dari do’a-do’a tersebut maka diperbolehkan berdo’a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya.

SALAM DAN MACAM-MACAMNYA
177. Memberi salam kearah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun.

178. Dan kearah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah.

179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah.

180. Macam-macam cara salam.
Pertama mengucapkan. “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” ke arah kanan dan mengucapkan. “Assalamu’alaikum warahmatullah” ke arah kiri.
Kedua : Seperti diatas tanpa (Wabarakatuh).
Ketiga mengucapkan.”Assalamu’alaikum warahmatullahi” ke arah kanan dan. “Assalamu’alaikum” ke arah kiri.
Keempat : Memberi salam dengan satu kali kedepan dengan sedikit miring kearah kanan.

PENUTUP
Saudaraku seagama.
Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”.

Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu’ ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta’ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu’an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya.

“Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar”.
Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. “Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci”. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

[Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Amiruddin Abd. Djalij, M Dahri, Penerbit Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur]
_______
Fotenote.
[1]. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku’ ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat nabi.
[2]. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku’ ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi
[3]. Ini adalah yang disyariatkan sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan tsabit dalilnya diriwayatkan Ibnu Mas’ud, Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu, barang siapa yang ingin penjelasan lebih lengkap lihat kitab Sifat Shalat.
[4]. Fitnah orang hidup adalah segala yang menimpa manusia dalam hidupnya seperti fitnah dunia dan syahwat, fitnah orang yang mati adalah fitnah kubur dan pertanyaan dua malaikat, dan fitnah masih ad-dajjal apa yang nampak padanya dari kejadian-kejadian yang luar biasa yang banyak menyesatkan manusia dan menyebabkan mereka mengikuti da’wahnya tentang ketuhanannya

Sumber: https://almanhaj.or.id/908-ringkasan-sifat-shalat-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-2.html

Share:

RINGKASAN SIFAT SHALAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (1)

Hasil gambar untuk pemandangan indahOleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Perhatian :
Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : “Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

(1). MENGHADAP KA’BAH
1. Apabila anda – wahai Muslim – ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.

2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ‘seorang yang sedang berperang’ pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.

Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu.

Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya – jika hal ini memungkinkan – supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.

3. Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka’bah.

HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA’BAH KARENA KELIRU
4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.

5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.

(2). BERDIRI
6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :

Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat diatas kendaraannya.

Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.

Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.

7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya – seperti yang kami sebutkan tadi – apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).

SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT
8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.

9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh.

10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah.

SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK
11. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya ; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku’ ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku’ lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua.

12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat.

SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL
13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.

14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa).

15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan disamping kanan akan tetapi diletakkan disamping kiri jika tidak ada disamping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka hendaklah diletakkan didepan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]

SHALAT DI ATAS MIMBAR
16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri diatas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku’ setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah didepan mimbar, lalu kembali lagi keatas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya.

KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS DAN MENDEKAT KEPADANYA
17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat dihadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya”. (Maksudnya syaitan).

18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.

19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan.[2]

KADAR KETINGGIAN PEMBATAS
20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan dihadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (3) (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat dibalik pembatas”.

21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.

22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta.

HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR.
23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi.

HARAM LEWAT DIDEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM.
24. Tidak boleh lewat didepan orang yang sedang shalat jika didepannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Andaikan orang yang lewat didepan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”. Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. [4]

KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DIDEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM
25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat didepannya berdasarkan hadits yang telah lalu.

“Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat didepanmu….”

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat didepannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan”.

BERJALAN KEDEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT
26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.

HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT
27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat didepannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.

(3). NIAT
28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid’ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang dotokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).

(4). TAKBIR
29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. “Allahu Akbar” (Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam”.[5]

30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir disemua shalat, kecuali jika menjadi imam.

31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama’ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.

32. Ma’mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.

MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA.
33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.

35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga.[6]

MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA
36. Kemudian meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya.

37. Meletakkan tangan kanan diatas punggung tangan kiri dan diatas pergelangan dan lengan.

38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. [7]

TEMPAT MELETAKKAN TANGAN
39. Keduanya diletakkan diatas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama. [8].

40. Tidak meletakkan tangan kanan diatas pinggang.

KHUSU’ DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD
41. Hendaklah berlaku khusu’ dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu’ seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.

42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.

43. Tidak menoleh kekanan dan kekiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.

44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).

DO’A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN)
45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do’a-do’a yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :

“Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta’alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka”.

“Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau”.
Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan. [8]

(5). QIRAAH (BACAAN)
46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta’ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.

47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.

“A’udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi”

“Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari was-wasnya, serta dari gangguannya”.

48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan.

“A’udzu billahis samii-il a’liimi, minasy syaiythaani …….”

“Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari syaitan…….”

49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) disemua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).

MEMBACA AL-FAATIHAH
50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang ‘Ajm (non Arab) untuk menghafalnya.

51. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca.

“Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah”.

“Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah”.

52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil ‘aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.

53. Boleh membaca. (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula. (Maliki) dengan pendek.

BACAAN MA’MUM
54. Wajib bagi ma’mum membaca Al-Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma’mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma’mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma’mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam ditempat ini tidak tsabit dari sunnah.[9]

BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH
55. Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka’at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah.

56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil.

57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang dari pada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.

58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.

59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.

60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. [11]

61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.

62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terkahir.

63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan didalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma’mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan.

MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN
64. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum’at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya.

65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan).

66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.

MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN TARTIL
67. Sunnah membaca Al-Qur’an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur’an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur’an seperti perbuatan Ahli Bid’ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.

68. Disyari’atkan bagi ma’mum untuk membentulkan bacaan imam jika keliru.

[Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Amiruddin Abd. Djalij, M Dahri, Penerbit Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur]
______
Fotnote.
[1]. Saya (Al-Albaani) berkata : disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal didepan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri siantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal.
[2]. Saya (Al-Albaani) berkata : dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain yaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
[3]. Yaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan dipunggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa : mengaris diatas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang teriwayatkan tentang itu lemah.
[4]. Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab “Haasyiatul Mathaaf” bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat didepannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya
[5]. “Pengharaman” maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan oleh Allah didalam shalat. “Penghalal” maksudnya : halalnya beberapa perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat.
[6]. Saya (Al-Albaani) berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was.
[7]. Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, yaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggemgam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya
[8]. Saya (Al-Albaani) berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan ; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
[9]. Barang siapa yang ingin membaca do’a-do’a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab : “Sifat Shalat Nabi”.
[10]. Saya telah sebutkan landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho’if No. 546 dan 547.
[11]. Perincian tentang ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7

Sumber: https://almanhaj.or.id/900-ringkasan-sifat-shalat-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-1.html

Share:

Kekeliruan di Malam Nishfu Sya’ban

Hasil gambar untuk pemandangan indahSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Di bulan Sya’ban ini kita dapat melihat bahwa kaum muslimin sangat antusias dengan hari atau malam nishfu sya’ban (15 Sya’ban). Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Apakah ada tuntunan puasa, shalat atau do’a ketika itu? Semoga tulisan ini bisa menjawabnya.

 Malam Nishfu Sya’ban, Malam Diturunkannya Al Qur’an

Di antara kaum muslimin ada yang menganggap bahwa malam Nishfu Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban) adalah malam yang istimewa. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya Al Qur’an. Sandaran mereka adalah perkataan ‘Ikrimah tatkala beliau menjelaskan maksud firman Allah,
ุฅِู†َّุง ุฃَู†ْุฒَู„ْู†َุงู‡ُ ูِูŠ ู„َูŠْู„َุฉٍ ู…ُุจَุงุฑَูƒَุฉٍ ุฅِู†َّุง ูƒُู†َّุง ู…ُู†ْุฐِุฑِูŠู†َ (3) ูِูŠู‡َุง ูŠُูْุฑَู‚ُ ูƒُู„ُّ ุฃَู…ْุฑٍ ุญَูƒِูŠู…ٍ (4)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4)

Yang dimaksud dengan malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar, menurut mayoritas ulama. Sedangkan ‘Ikrimah –semoga Allah merahmati beliau- memiliki pendapat yang lain. Beliau berpendapat bahwa malam tersebut adalah malam nishfu sya’ban. (Zaadul Masir, 5/346)
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu turun pada malam nishfu Sya’ban adalah pendapat yang lemah karena pendapat tersebut telah menyelisihi dalil tegas Al Qur’an. Ayat di atas (surat Ad Dukhan) itu masih global dan diperjelas lagi dengan ayat,
ุดَู‡ْุฑُ ุฑَู…َุถَุงู†َ ุงู„َّุฐِูŠ ุฃُู†ْุฒِู„َ ูِูŠู‡ِ ุงู„ْู‚ُุฑْุขَู†ُ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an.” (QS. Al Baqarah:185). Dan dijelaskan pula dengan firman Allah,
ุฅِู†َّุง ุฃَู†ْุฒَู„ْู†َุงู‡ُ ูِูŠ ู„َูŠْู„َุฉِ ุงู„ْู‚َุฏْุฑِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada Lailatul Qadr.” (QS. Al Qadr:1)
Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Klaim yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah (pada surat Ad Dukhan ayat 3-4) adalah malam Nishfu Sya’ban –sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan lain-lain-, tidak diragukan lagi bahwasanya itu adalah klaim yang jelas keliru yang menyelisihi dalil tegas dari Al Qur’an. Dan tidak diragukan lagi bahwa apa saja yang menyelisihi al haq (kebenaran) itulah kebatilan. Sedangkan berbagai hadits yang menerangkan bahwa yang dimaksudkan dengan malam tersebut adalah malam nishfu Sya’ban, itu jelas-jelas telah menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas dan hadits tersebut sungguh tidak berdasar. Begitu pula sanad dari hadits-hadits tersebut tidaklah shahih sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul ‘Arobi dan para peneliti hadits lainnya. Sungguh sangat mengherankan, ada seorang muslim yang menyelisihi dalil Al Qur’an yang tegas, padahal dia sendiri tidak memiliki sandaran dalil, baik dari Al Qur’an atau hadits yang shahih.” (Adhwaul Bayan, 1552)

 

Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban dengan Shalat dan Do’a

Sebagian ulama negeri Syam ada yang menganjurkan untuk menghidupkan atau memeriahkan malam tersebut dengan berkumpul ramai-ramai di masjid. Landasan mereka sebenarnya adalah dari berita Bani Isroil (berita Isroiliyat). Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa berkumpul di masjid pada malam Nishfu Sya’ban –dengan shalat, berdo’a atau membaca berbagai kisah- untuk menghidupkan malam tersebut adalah sesuatu yang terlarang. Mereka berpendapat bahwa menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid rutin setiap tahunnya adalah suatu amalan yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah).

Namun bagaimanakah jika menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan shalat di rumah dan khusus untuk dirinya sendiri atau mungkin dilakukan dengan jama’ah tertentu (tanpa terang-terangan, pen)? Sebagian ulama tidak melarang hal ini. Namun, mayoritas ulama -di antaranya adalah ‘Atho, Ibnu Abi Mulaikah, para fuqoha (pakar fiqih) penduduk Madinah, dan ulama Malikiyah- mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). (Lathoif Al Ma’arif, 247-248). Dan di sini pendapat mayoritas ulama itu lebih kuat dengan beberapa alasan berikut.

Pertama, tidak ada satu dalil pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan malam nishfu Sya’ban. Bahkan Ibnu Rajab sendiri mengatakan, “Tidak ada satu dalil pun yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Dan dalil yang ada hanyalah dari beberapa tabi’in yang merupakan fuqoha’ negeri Syam.” (Lathoif Al Ma’arif, 248).

Seorang ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia) yaitu Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.” (At Tahdzir minal Bida’, 20).

Begitu juga Syeikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.” (At Tahdzir minal Bida’, 20)

Kedua, ulama yang mengatakan tidak mengapa menghidupkan malam nishfu sya’ban dan  menyebutkan bahwa ada sebagian tabi’in yang menghidupkan malam tersebut, sebenarnya sandaran mereka adalah dari berita Isroiliyat. Lalu jika sandarannya dari berita tersebut, bagaimana mungkin bisa jadi dalil untuk beramal[?] Juga orang-orang yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, sandaran mereka adalah dari perbuatan tabi’in. Kami katakan, “Bagaimana mungkin hanya sekedar perbuatan tabi’in itu menjadi dalil untuk beramal[?]” (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296)

Ketiga, adapun orang-orang yang berdalil dengan pendapat bahwa tidak terlarang menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan shalat sendirian sebenarnya mereka tidak memiliki satu dalil pun. Seandainya ada dalil tentang hal ini, tentu saja mereka akan menyebutkannya. Maka cukup kami mengingkari alasan semacam ini dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ู…َู†ْ ุนَู…ِู„َ ุนَู…َู„ุงً ู„َูŠْุณَ ุนَู„َูŠْู‡ِ ุฃَู…ْุฑُู†َุง ูَู‡ُูˆَ ุฑَุฏٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718). Ingatlah, ibadah itu haruslah tauqifiyah yang harus dibangun di atas dalil yang shahih dan tidak boleh kita beribadah tanpa dalil dan tanpa tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.  (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 296-297)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ู„ุงَ ุชَุฎْุชَุตُّูˆุง ู„َูŠْู„َุฉَ ุงู„ْุฌُู…ُุนَุฉِ ุจِู‚ِูŠَุงู…ٍ ู…ِู†ْ ุจَูŠْู†ِ ุงู„ู„َّูŠَุงู„ِู‰ ูˆَู„ุงَ ุชَุฎُุตُّูˆุง ูŠَูˆْู…َ ุงู„ْุฌُู…ُุนَุฉِ ุจِุตِูŠَุงู…ٍ ู…ِู†ْ ุจَูŠْู†ِ ุงู„ุฃَูŠَّุงู…ِ

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya untuk shalat. Dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari hari lainnya untuk berpuasa.” (HR. Muslim no. 1144)

Seandainya ada pengkhususan suatu malam tertentu untuk ibadah, tentu malam Jum’at lebih utama dikhususkan daripada malam lainnya. Karena malam Jum’at lebih utama daripada malam-malam lainnya. Dan hari Jum’at adalah hari yang lebih baik dari hari lainnya karena dalam hadits dikatakan, “Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at.” (HR. Muslim). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan agar jangan mengkhususkan malam Jum’at dari malam lainnya dengan shalat tertentu, hal ini  menunjukkan bahwa malam-malam lainnya lebih utama untuk tidak boleh dikhususkan suatu ibadah di dalamnya kecuali jika ada suatu dalil yang mengkhususkannya. (At Tahdzir minal Bida’, 28).

Syeikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Seandainya malam nishfu sya’ban, malam jum’at pertama di bulan Rajab, atau malam Isra’ Mi’raj boleh dijadikan perayaan (hari besar Islam) atau ibadah lainnya, tentu Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi petunjuk kepada kita umat Islam mengenai hal ini atau beliau sendiri merayakannya. Jika memang seperti itu beliau lakukan, tentu para sahabat radhiyallahu ‘anhum akan menyampaikan hal tersebut pada kita umat Islam dan tidak mungkin para sahabat menyembunyikannya. Ingatlah, para sahabat adalah sebaik-baik manusia di masa itu dan mereka paling bagus dalam penyampaian setelah para Nabi ‘alaihimus shalatu was salaam. … Dan kalian pun telah mengetahui sebelumnya, para ulama sendiri mengatakan bahwa tidak ada satu dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat yang menunjukkan keutamaan malam jumat pertama dari bulan Rajab dan keutamaan malam nishfu sya’ban. Oleh karena itu, menjadikan hari tersebut sebagai perayaan termasuk amalan yang tidak ada tuntunannya sama sekali dalam Islam.” (At Tahdzir minal Bida’, 30). Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kaum muslimin yang masih ragu dengan berbagai alasan ini.

 

Apakah shalat Alfiyah adalah suatu amalan yang dituntukan ketika malam nishfu sya’ban?

Perlu diketahui, orang yang pertama kali menghidupkan shalat ini pada malam nishfu sya’ban adalah seseorang yang dikenal dengan Ibnu Abil Hamroo’. Dia tinggal di Baitul Maqdis pada tahun 448 H. Dia memiliki bacaan Qur’an yang bagus. Suatu saat di malam nishfu sya’ban dia melaksanakan shalat di Masjidil Aqsho. Kemudian ketika itu ikut pula di belakangnya seorang pria. Kemudian datang lagi tiga atau empat orang bermakmum di belakangnya. Lalu akhirnya jama’ah yang ikut di belakangnya bertambah banyak. Ketika dating tahun berikutnya, semakin banyak yang shalat bersamanya pada malam nishfu sya’ban. Kemudian amalan yang dia lakukan tersebarlah di Masjidil Aqsho dan di rumah-rumah kaum muslimin, sehingga shalat tersebut seakan-akan menjadi sunnah Nabi. (Al Bida’ Al Hawliyah, 299)

Lalu kenapa shalat ini dinamakan shalat Alfiyah? Alfiyah berarti 1000. Shalat ini dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 1000 kali. Shalat tersebut berjumlah 100 raka’at dan setiap raka’at dibacakan surat Al Ikhlas sebanyak 10 kali. Jadi total surat Al Ikhlas yang dibaca adalah 1000 kali. Oleh karena itu, dinamakanlah shalat alfiyah.

Adapun hadits yang membicarakan mengenai tata cara dan pahala mengerjakan shalat alfiyah ini terdapat beberapa riwayat sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Jauziy dalam Al Maudhu’at (Kumpulan Hadits-hadits palsu). Ibnul Jauzi mengatakan, “Hadits yang membicarakan keutamaan shalat alfiyah tidak diragukan lagi bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu (maudhu’). Mayoritas jalan dalam tiga jalur adalah majhul (tidak diketahui), bahkan di dalamnya banyak periwayat yang lemah. Oleh karena itu, dipastikan haditsnya sangat tidak mungkin sebagai dalil.” (Al Maudhu’at, 2/127-130)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.rumaysho.com

Sumber : https://rumaysho.com/386-kekeliruan-di-malam-nishfu-syaban.html

Share:

TANDA-TANDA KIAMAT

Oleh
Hasil gambar untuk tanda tanda kiamatAl-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Tentang datangnya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui, baik Malaikat, Nabi, maupun Rasul, masalah ini adalah perkara ghaib dan hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahuinya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ูŠَุณْุฃَู„ُูˆู†َูƒَ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ ุฃَูŠَّุงู†َ ู…ُุฑْุณَุงู‡َุง ۖ ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุฑَุจِّูŠ ۖ ู„َุง ูŠُุฌَู„ِّูŠู‡َุง ู„ِูˆَู‚ْุชِู‡َุง ุฅِู„َّุง ู‡ُูˆَ ۚ ุซَู‚ُู„َุชْ ูِูŠ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุถِ ۚ ู„َุง ุชَุฃْุชِูŠูƒُู…ْ ุฅِู„َّุง ุจَุบْุชَุฉً ۗ ูŠَุณْุฃَู„ُูˆู†َูƒَ ูƒَุฃَู†َّูƒَ ุญَูِูŠٌّ ุนَู†ْู‡َุง ۖ ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู„َٰูƒِู†َّ ุฃَูƒْุซَุฑَ ุงู„ู†َّุงุณِ ู„َุง ูŠَุนْู„َู…ُูˆู†َ

“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat: ‘Kapankah terjadinya.’ Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: ‘Sesungguhnya penge-tahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi ke-banyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]

Juga firman-Nya:

ูŠَุณْุฃَู„ُูƒَ ุงู„ู†َّุงุณُ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ ۖ ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„َّู‡ِ ۚ ูˆَู…َุง ูŠُุฏْุฑِูŠูƒَ ู„َุนَู„َّ ุงู„ุณَّุงุนَุฉَ ุชَูƒُูˆู†ُ ู‚َุฑِูŠุจًุง

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari Berbangkit. Katakanlah: ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu wahai (Muhammad), boleh jadi hari Berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]

Juga ketika Malaikat Jibril Alaihissallam mendatangi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya:

…ูَุฃَุฎْุจِุฑْู†ِูŠْ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ؟

“Kabarkanlah kepadaku, kapan terjadi Kiamat?”

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

ู…َุง ุงู„ْู…َุณْุฆُูˆْู„ُ ุนَู†ْู‡َุง ุจِุฃَุนْู„َู…َ ู…ِู†َ ุงู„ุณَّุงุฆِู„ِ.

“Tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui daripada orang yang bertanya.” [1]

Meskipun waktu terjadinya hari Kiamat tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tanda-tanda Kiamat tersebut. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada ummatnya tentang tanda-tanda Kiamat. Para ulama membaginya menjadi dua: (pertama) tanda-tanda kecil dan (kedua) tanda-tanda besar.

Tanda-tanda kecil sangat banyak dan sudah terjadi sejak zaman dahulu dan akan terus terjadi di antaranya adalah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, munculnya banyak fitnah, munculnya fitnah dari arah timur (Iraq), timbulnya firqah Khawarij, munculnya orang yang mengaku sebagai Nabi, hilangnya amanah, diangkatnya ilmu dan merajalelanya kebodohan, banyaknya perzinaan, banyaknya orang yang bermain musik [2], banyak orang yang minum khamr (minuman keras) dan merebaknya perjudian, masjid-masjid dihias, banyak bangunan yang tinggi, budak melahirkan tuannya, banyaknya pembunuhan, banyaknya kesyirikan, banyaknya orang yang memutuskan silaturrahim, banyaknya orang yang bakhil, wafatnya para ulama dan orang-orang shalih, banyaknya orang yang belajar kepada Ahlul Bid’ah, banyaknya wanita yang berpakaian tetapi telanjang [3],dan lain-lainnya.[4]

Banyak sekali dalil tentang hal ini, di antaranya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ุงُุนْุฏُุฏْ ุณِุชًّุง ุจَูŠْู†َ ูŠَุฏَูŠِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ: ู…َูˆْุชِูŠْ، ุซُู…َّ ูَุชْุญُ ุจَูŠْุชِ ุงู„ْู…َู‚ْุฏِุณِ، ุซُู…َّ ู…ُูˆْุชَุงู†ٌ ูŠَุฃْุฎُุฐُ ูِูŠْูƒُู…ْ ูƒَู‚ُุนَุงุตِ ุงู„ْุบَู†َู…ِ، ุซُู…َّ ุงุณْุชِูَุงุถَุฉُ ุงู„ْู…َุงู„ِ ุญَุชَّู‰ ูŠُุนْุทَู‰ ุงู„ุฑَّุฌُู„ُ ู…ِุงุฆَุฉَ ุฏِูŠْู†َุงุฑٍ ูَูŠَุธَู„ُّ ุณَุงุฎِุทًุง، ุซُู…َّ ูِุชْู†َุฉٌ ู„ุงَ ูŠَุจْู‚َู‰ ุจَูŠْุชٌ ู…ِู†َ ุงู„ْุนَุฑَุจِ ุฅِู„ุงَّ ุฏَุฎَู„َุชْู‡ُ، ุซُู…َّ ู‡ُุฏْู†َุฉٌ ุชَูƒُูˆْู†ُ ุจَูŠْู†َูƒُู…ْ ูˆَุจَูŠْู†َ ุจَู†ِูŠ ุงْู„ุฃَุตْูَุฑِ، ูَูŠَุบْุฏِุฑُูˆْู†َ ูَูŠَุฃْุชُูˆْู†َูƒُู…ْ ุชَุญْุชَ ุซَู…َุงู†ِูŠْู†َ ุบَุงูŠَุฉً، ุชَุญْุชَ ูƒُู„ِّ ุบَุงูŠَุฉٍ ุงِุซْู†َุง ุนَุดَุฑَ ุฃَู„ْูًุง.

“Perhatikanlah enam tanda-tanda hari Kiamat: (1) wafatku, (2) penaklukan Baitul Maqdis, (3) wabah kematian (penyakit yang menyerang hewan sehingga mati mendadak) yang menyerang kalian bagaikan wabah penyakit qu’ash yang menyerang kambing, (4) melimpahnya harta hingga seseorang yang diberikan kepadanya 100 dinar, ia tidak rela menerimanya, (5) timbulnya fitnah yang tidak meninggalkan satu rumah orang Arab pun melainkan pasti memasukinya, dan (6) terjadinya perdamaian antara kalian dengan bani Asfar (bangsa Romawi), namun mereka melanggarnya dan mendatangi kalian dengan 80 kelompok besar pasukan. Setiap kelompok itu terdiri dari 12 ribu orang.” [5]

Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ุฅِู†َّ ู…ِู†ْ ุฃَุดْุฑَุงุทِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ ุฃَู†ْ ูŠُุฑْูَุนَ ุงู„ْุนِู„ْู…ُ، ูˆَูŠَุซْุจُุชَ ุงู„ْุฌَู‡ْู„ُ، ูˆَูŠُุดْุฑَุจَ ุงู„ْุฎَู…ْุฑُ، ูˆَูŠَุธْู‡َุฑَ ุงู„ุฒِّู†َุง.

“Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah: diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan, diminumnya khamr, dan merajalelanya perzinaan.”[6]

Kemudian munculnya tanda-tanda yang kedua, yaitu tanda-tanda Kiamat yang besar sebagai tanda telah dekatnya hari Kiamat. Penulis khususkan pembahasan tentang sebagian tanda-tanda Kiamat yang besar, karena ada sebagian orang (golongan) yang menolak tentang tanda-tanda besar tersebut berdasarkan akal, ra’yu dan hawa nafsu. Padahal para ulama Ahlus Sunnah sudah membahas permasalahan ini dalam kitab-kitab tafsir, kitab-kitab hadits, dan kitab-kitab ‘aqidah mereka.

Pembahasan mengenai permasalahan ini mengikuti jejak para ulama Ahlus Sunnah dalam kitab-kitab mereka, seperti dalam kitab Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah [7] dan kitab-kitab lainnya.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani tentang adanya tanda-tanda Kiamat yang besar (kubra) seperti [8], keluarnya Imam Mahdi, Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa Alaihissallam dari langit, Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari barat, dan yang lainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ูŠَู†ْุธُุฑُูˆู†َ ุฅِู„َّุง ุฃَู†ْ ุชَุฃْุชِูŠَู‡ُู…ُ ุงู„ْู…َู„َุงุฆِูƒَุฉُ ุฃَูˆْ ูŠَุฃْุชِูŠَ ุฑَุจُّูƒَ ุฃَูˆْ ูŠَุฃْุชِูŠَ ุจَุนْุถُ ุขูŠَุงุชِ ุฑَุจِّูƒَ ۗ ูŠَูˆْู…َ ูŠَุฃْุชِูŠ ุจَุนْุถُ ุขูŠَุงุชِ ุฑَุจِّูƒَ ู„َุง ูŠَู†ْูَุนُ ู†َูْุณًุง ุฅِูŠู…َุงู†ُู‡َุง ู„َู…ْ ุชَูƒُู†ْ ุขู…َู†َุชْ ู…ِู†ْ ู‚َุจْู„ُ ุฃَูˆْ ูƒَุณَุจَุชْ ูِูŠ ุฅِูŠู…َุงู†ِู‡َุง ุฎَูŠْุฑًุง ۗ ู‚ُู„ِ ุงู†ْุชَุธِุฑُูˆุง ุฅِู†َّุง ู…ُู†ْุชَุธِุฑُูˆู†َ

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan Ma-laikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Rabb-mu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggu-lah olehmu sesungguhnya kami pun menunggu (pula).’” [Al-An’aam: 158]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ุฅِู†َّ ุงู„ุณَّุงุนَุฉَ ู„ุงَ ุชَูƒُูˆْู†ُ ุญَุชَّู‰ ุชَูƒُูˆْู†َ ุนَุดْุฑُ ุขูŠَุงุชٍ: ุฎَุณْูٌ ุจِุงู„ْู…َุดْุฑِู‚ِ، ูˆَุฎَุณْูٌ ุจِุงู„ْู…َุบْุฑِุจِ، ูˆَุฎَุณْูٌ ูِูŠ ุฌَุฒِูŠْุฑَุฉِ ุงู„ْุนَุฑَุจِ، ูˆَุงู„ุฏُّุฎَุงู†ُ، ูˆَุงู„ุฏَّุฌَّุงู„ُ، ูˆุฏَุงุจَّุฉٌ، ูˆَูŠَุฃْุฌُูˆْุฌُ ูˆَู…َุฃْุฌُูˆْุฌُ، ูˆَุทُู„ُูˆْุนُ ุงู„ุดَّู…ْุณِ ู…ِู†ْ ู…َุบْุฑِุจِู‡َุง، ูˆَู†َุงุฑٌ ุชَุฎْุฑُุฌُ ู…ِู†ْ ู‚َุนْุฑِ ุนَุฏَู†ٍ ุชَุฑْุญَู„ُ ุงู„ู†َّุงุณَ، ูˆَู†ُุฒُูˆْู„ُ ุนِูŠْุณَู‰ ุจْู†ِ ู…َุฑْูŠَู…َ e.

“Hari Kiamat tidak akan terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda: (1) penenggelaman permukaan bumi di timur, (2) penenggelaman permukaan bumi di barat, (3) pe-nenggelaman permukaan bumi di Jazirah Arab, (4) keluarnya asap, (5) keluarnya Dajjal, (6) keluarnya binatang besar, (7) keluarnya Ya’juj wa Ma’juj, (8) terbitnya matahari dari barat, dan (9) api yang keluar dari dasar bumi ‘Adn yang meng-giring manusia, serta (10) turunnya ‘Isa bin Maryam Alaihissallam.” [9]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. HSR. Muslim (no. 2, 3, 4 dan 8), Abu Dawud (no. 4605, 4697), at-Tirmidzi (no. 2610), Ibnu Majah (no. 63) dan Ahmad (I/52).
[2]. Musik di dalam Islam hukumnya haram, sebagaimana haramnya khamr, zina, perjudian, dan lain-lain.
[3]. Terbukanya aurat termasuk dosa besar.
[4]. Untuk mengetahui lebih lengkap, lihat Asyraathus Saa’ah (hal. 57-235), oleh Dr. Yusuf bin ‘Abdillah al-Wabil.
[5]. HR. Al-Bukhari (no. 3176), dari Sahabat ‘Auf bin Malik Radhiyallahu anhu.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 80).
[7]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 499) tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
[8]. Untuk lebih lengkapnya lihat an-Nihaayah fil Fitan wal Malaahim karya Ibnu Katsir, tahqiq Ahmad Abdusy Syaafi’, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyah 1411 H, Asyraathus Saa’ah oleh Dr. Yusuf al-Wabil, cet. Maktabah Ibnul Jauzi, Qishshatul Masiih ad-Dajjaal wa Nuzuuli ‘Isa Alaihissallam wa Qatlihi Iyyaahu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, cet. Maktabah Islamiyyah dan Fashlul Maqaal fii Raf’i ‘Isa Hayyan wa Nuzuulihi wa Qatlihid Dajjaal oleh Dr. Muhammad Khalil Hirras, cet. Maktabah As-Sunnah.
[9]. HR. Muslim (no. 2901 (40)), Abu Dawud (no. 4311), at-Tirmidzi (no. 2183), Ibnu Majah (no. 4055), Imam Ahmad (IV/6), dari Sahabat Hudzaifah bin Asiid Radhiyallahu anhu dan ini lafazh Muslim. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Tahqiiq Musnadil Imaam Ahmad (no. 16087).

Sumber: https://almanhaj.or.id/3217-tanda-tanda-kiamat.html

Share:

PENGETAHUAN TENTANG HARI KIAMAT

Hasil gambar untuk tanda tanda kiamatOleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

Pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh banyak ayat di dalam al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena pengetahuan tentang hari Kiamat adalah perkara yang hanya diketahui oleh Allah Azza wa Jalla. Dia tidak menampakkannya kepada seorang Malaikat yang didekatkan tidak juga kepada seorang Nabi yang diutus[1]. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya Kiamat kecuali Allah Ta’ala.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering sekali membicarakan keadaan Kiamat dan kedahsyatannya, sehingga orang-orang waktu itu bertanya kepada beliau kapan terjadinya Kiamat. Beliau mengabarkan bahwa itu adalah masalah ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, demikian pula ayat al-Qur-an menjelaskan bahwa pengetahuan tentang kapan terjadinya Kiamat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah untuk diri-Nya.

Di antaranya adalah firman-Nya:

ูŠَุณْุฃَู„ُูˆู†َูƒَ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ ุฃَูŠَّุงู†َ ู…ُุฑْุณَุงู‡َุง ۖ ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุฑَุจِّูŠ ۖ ู„َุง ูŠُุฌَู„ِّูŠู‡َุง ู„ِูˆَู‚ْุชِู‡َุง ุฅِู„َّุง ู‡ُูˆَ ۚ ุซَู‚ُู„َุชْ ูِูŠ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงู„ْุฃَุฑْุถِ ۚ ู„َุง ุชَุฃْุชِูŠูƒُู…ْ ุฅِู„َّุง ุจَุบْุชَุฉً ۗ ูŠَุณْุฃَู„ُูˆู†َูƒَ ูƒَุฃَู†َّูƒَ ุญَูِูŠٌّ ุนَู†ْู‡َุง ۖ ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู„َٰูƒِู†َّ ุฃَูƒْุซَุฑَ ุงู„ู†َّุงุณِ ู„َุง ูŠَุนْู„َู…ُูˆู†َ

“Mereka bertanya kepadamu tentang Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” [Al-A’raaf: 187]

Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengabarkan kepada manusia bahwa pengetahuan tentang terjadinya Kiamat hanya ada di sisi Allah semata, hanya Dia-lah yang mengetahui masalahnya dengan jelas dan kapan terjadinya, tidak seorang pun dari penduduk langit dan bumi mengetahuinya.

Sebagaimana difirmankan oleh Allah:

ูŠَุณْุฃَู„ُูƒَ ุงู„ู†َّุงุณُ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ ۖ ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„َّู‡ِ ۚ ูˆَู…َุง ูŠُุฏْุฑِูŠูƒَ ู„َุนَู„َّ ุงู„ุณَّุงุนَุฉَ ุชَูƒُูˆู†ُ ู‚َุฑِูŠุจًุง

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” [Al-Ahzaab: 63]

Juga sebagaimana difirmankan oleh Allah:

ูŠَุณْุฃَู„ُูˆู†َูƒَ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ ุฃَูŠَّุงู†َ ู…ُุฑْุณَุงู‡َุง ูِูŠู…َ ุฃَู†ْุชَ ู…ِู†ْ ุฐِูƒْุฑَุงู‡َุง ุฅِู„َู‰ٰ ุฑَุจِّูƒَ ู…ُู†ْุชَู‡َุงู‡َุง

“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya).” [An-Naazi’aat: 42-44]

Maka puncak dari pengetahuan tentang hari Kiamat kembali kepada Allah semata.

Karena itulah, ketika Jibril Alaihissallam bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari Kiamat -sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jibril yang panjang- Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ู…َุง ุงู„ْู…َุณْุฆُูˆْู„ُ ุนَู†ْู‡َุง ุจِุฃَุนْู„َู…َ ู…ِู†َ ุงู„ุณَّุงุฆِู„ِ.

“Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.”[2]

Jibril tidak mengetahui kapan hari Kiamat itu terjadi, begitu pun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula Nabi ‘Isa Alaihissallam, beliau tidak mengetahui kapan Kiamat itu terjadi, padahal beliau akan turun ketika Kiamat sudah dekat. Bahkan (turunnya Nabi ‘Isa) termasuk tanda-tanda besar Kiamat, sebagaimana akan dijelaskan.

Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian pula Ibnu Majah dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

ู„َู‚ِูŠْุชُ ู„َูŠْู„َุฉَ ุฃُุณْุฑِูŠَ ุจِูŠْ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠْู…َ ูˆَู…ُูˆْุณَู€ู‰ ูˆَุนِูŠْุณَู‰، ู‚َุงู„َ: ูَุชَุฐَุงูƒَุฑُูˆุง ุฃَู…ْุฑَ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ، ูَุฑَุฏُّูˆุง ุฃَู…ْุฑَู‡ُู…ْ ุฅِู„َู‰ ุฅِุจْุฑَุงู‡ِูŠู…َ ูَู‚َุงู„َ: ู„ุงَ ุนِู„ْู…َ ู„ِูŠ ุจِู‡َุง، ูَุฑَุฏُّูˆุง ุงْู„ุฃَู…ْุฑَ ุฅِู„َู‰ ู…ُูˆุณَู‰، ูَู‚َุงู„َ: ู„ุงَ ุนِู„ْู…َ ู„ِูŠ ุจِู‡َุง، ูَุฑَุฏُّูˆุง ุงْู„ุฃَู…ْุฑَ ุฅِู„َู‰ ุนِูŠْุณَู€ู‰ ูَู‚َุงู„َ: ุฃَู…َّุง ูˆَุฌْุจَุชُู‡َุง؛ ูَู„ุงَ ูŠَุนْู„َู…ُู‡َุง ุฃَุญَุฏٌ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„ู‡ُ ุฐَู„ِูƒَ، ูˆَูِูŠู…َู€ุง ุนَู‡ِุฏَ ุฅِู„َูŠَّ ุฑَุจِّู€ูŠ ุนَุฒَูˆَุฌَู„َّ ุฃَู†َّ ุงู„ุฏَّุฌَّุงู„َ ุฎَุงุฑِุฌٌ، ู‚َุงู„َ ูˆَู…َุนِูŠ ู‚َุถِูŠุจَุงู†ِ، ูَุฅِุฐَุง ุฑَุขู†ِู€ูŠ، ุฐَุงุจَ ูƒَู…َุง ูŠَุฐُูˆุจُ ุงู„ุฑَّุตَุงุตُ. ู‚َุงู„َ: ูَูŠُู‡ْู„ِูƒُู‡ُ ุงู„ู„ู‡ُ.

“Pada malam aku di-Isra’kan ke langit, aku bertemu dengan Ibrahim, Musa, dan ‘Isa.” Beliau bersabda, “Lalu mereka saling menyebutkan tentang perkara Kiamat, selanjutnya mereka mengembalikan perkara mereka kepada Ibrahim, maka beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada Musa.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku tidak memiliki ilmu tentangnya, kembalikanlah perkaranya kepada ‘Isa.’ Akhirnya beliau berkata, ‘Adapun kapan terjadinya, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kecuali Allah. Di antara wahyu yang diberikan oleh Rabb-ku Azza wa Jalla kepadaku, ‘Sesungguhnya Dajjal akan keluar.’ Beliau berkata, ‘Dan aku membawa dua pedang. Jika dia melihatku, maka dia akan meleleh sebagaimana timah yang meleleh.’ Beliau berkata, ‘Lalu Allah membinasakannya.’” [3]

Mereka adalah para Ulul Azmi dari kalangan para Rasul, dan mereka tidak mengetahui kapan terjadinya Kiamat.

Dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda sebulan sebelum beliau wafat:

ุชَุณْุฃَู„ُูˆู†ِูŠ ุนَู†ِ ุงู„ุณَّุงุนَุฉِ؟ ูˆَุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„ู‡ِ ูˆَุฃُู‚ْุณِู…ُ ุจِุงู„ู„ู‡ِ ู…َุง ุนَู„َู‰ ุงْู„ุฃَุฑْุถِ ู…ِู†ْ ู†َูْุณٍ ู…َู†ْูُูˆุณَุฉٍ ุชَุฃْุชِูŠ ุนَู„َูŠْู‡َุง ู…ِุงุฆَุฉُ ุณَู†َุฉٍ.

‘Kalian bertanya kepadaku tentang hari Kiamat? Sedangkan ilmunya hanyalah ada di sisi Allah, dan aku bersumpah dengan Nama Allah, tidak ada satu makhluk hidup pun yang lahir di atas bumi ini yang berumur seratus tahun.’” [4][5]

Hadits ini menafikan kemungkinan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya setelah pertanyaan Jibril kepadanya.

Ibnu Katsir rahimahullah menuturkan, “Nabi yang ummi ini adalah pemimpin para Rasul, dan penutup mereka -shalawat dan salam dari Allah semoga dilimpahkan kepadanya- Nabi pembawa rahmat, penyeru taubat, pemimpin perang, pemberi keputusan, yang menghormati tamu, penghimpun, di mana semua manusia berkumpul padanya (untuk memperoleh syafa’at), di mana beliau pun bersabda dalam hadits yang shahih dari hadits Anas dan Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhuma:

ุจُุนِุซْุชُ ุฃَู†َุง ูˆَุงู„ุณَّุงุนَุฉُ ูƒَู‡َุงุชَูŠْู†ِ.

‘Diutusnya aku dan hari Kiamat bagaikan dua (jari) ini.’ [6]

Beliau mendekatkan jari telunjuk dan yang ada setelahnya (jari tengah). Walaupun demikian keadaan beliau, Allah telah memerintahkannya agar mengembalikan ilmu tentang Kiamat kepada-Nya jika ditanya tentangnya, Allah berfirman:

ู‚ُู„ْ ุฅِู†َّู…َุง ุนِู„ْู…ُู‡َุง ุนِู†ْุฏَ ุงู„ู„َّู‡ِ ูˆَู„َٰูƒِู†َّ ุฃَูƒْุซَุฑَ ุงู„ู†َّุงุณِ ู„َุง ูŠَุนْู„َู…ُูˆู†َ

“… Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Al-A’raaf: 187][7]

Siapa saja yang beranggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, maka dia adalah orang bodoh, karena ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabi yang telah disebutkan menolak anggapan tersebut.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan orang yang mengaku-aku sebagai ahli ilmu pada zaman kita ini telah menampakkan kebohongan. Dia berpura-pura kenyang (dengan ilmu) padahal ilmu itu tidak diberikan kepadanya bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat.” (Sangat pantas jika) dikatakan kepadanya, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salla pernah bersabda di dalam hadits Jibril:

ู…َุง ุงู„ْู…َุณْุฆُูˆู„ُ ุนَู†ْู‡َุง ุจِุฃَุนْู„َู…َ ู…ِู†َ ุงู„ุณَّุงุฆِู„ِ.

‘Orang yang ditanya tentangnya tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’

Lalu mereka menyelewengkan makna yang sebenarnya, seraya berkata, “Maknanya adalah, ‘Aku dan engkau mengetahuinya.’”

Ini merupakan kebodohan yang paling besar, dan penyelewengan makna yang paling buruk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mengenal Allah, (maka tidak pantas) dia mengatakan kepada seseorang yang dianggapnya sebagai seorang badui, “Aku dan engkau mengetahui kapan Kiamat itu terjadi,” hanya saja orang bodoh itu berkata, “Sebelumnya beliau tahu bahwa dia adalah Jibril,” padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jujur dalam perkataannya, beliau bersabda:

ู…َุง ุฌَุงุฆَู†ِูŠْ ูِูŠ ุตُูˆุฑَุฉٍ ุฅِู„ุงَّ ุนَุฑَูْุชُู‡ُ ุบَูŠْุฑَ ู‡َุฐِู‡ِ ุงู„ุตُّูˆุฑَุฉِ.

“Tidaklah dia datang dengan satu rupa kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.” [8]

Dalam lafazh yang lain:

ู…َุง ุดُุจِّู‡َ ุนَู„َูŠَّ ุบَูŠْุฑَ ู‡َุฐِู‡ِ ุงู„ْู…َุฑَّุฉِ.

“Dia (Jibril) tidak pernah disamarkan kepadaku selain pada kesempatan ini.”

Sementara dalam lafazh yang lain:

ุฑُุฏُّูˆْุง ุนَู„َูŠَّ ุงْู„ุฃَุนْุฑَุงุจِูŠَّ…

“Bawa kepadaku orang badui itu…”

Lalu mereka pergi untuk mencarinya, akan tetapi mereka tidak mendapatkannya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia adalah Jibril setelah beberapa saat, sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar Radhiyallahu anhuma, “Lalu aku terdiam dalam waktu yang lama, kemudian beliau bersabda, ‘Wahai ‘Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?’” [9]

Orang yang menyelewengkan makna tersebut berkata, “Beliau mengetahui bahwa dia adalah Jibril sejak dia bertanya kepada beliau, sementara beliau tidak memberitakan Sahabat akan hal itu kecuali setelah selang waktu berlalu!”

Kemudian ungkapan dalam hadits: (ู…َุง ุงู„ْู…َุณْุฆُูˆู„ُ ุนَู†ْู‡َุง ุจِุฃَุนْู„َู…َ ู…ِู†َ ุงู„ุณَّุงุฆِู„ِ) mencakup setiap orang yang bertanya dan ditanya, maka setiap orang yang bertanya dan ditanya tentang Kiamat ini keadaannya adalah seperti itu (sama-sama tidak tahu). [10]

Demikian pula, tidak ada gunanya menyebutkan tanda-tanda dan mengabarkannya kepada penanya yang sudah mengetahuinya, lebih-lebih ketika ia tidak bertanya tentang tanda-tandanya.

Dan lebih aneh lagi dari pendapat ini adalah apa yang diungkapkan oleh as-Suyuthi dalam al-Haawi setelah mengungkapkan jawaban atas pertanyaan tentang hadits yang masyhur di kalangan manusia, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berdiam di dalam kuburnya selama seribu tahun?” Dia (as-Suyuthi) berkata, “Saya jawab bahwa hal ini adalah bathil tidak ada landasannya sama sekali.”

Lalu diungkapkan bahwa beliau menulis sebuah buku dalam masalah ini dengan judul al-Kasyfu ‘an Mujaawazati Haadzihil Ummah al-Alf, di dalamnya beliau berkata:

Pertama, hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwasanya masa umat ini lebih dari seribu tahun dan tambahannya tidak mencapai lima ratus tahun; karena diriwayatkan dari berbagai jalan bahwa umur dunia adalah tujuh ribu tahun, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di akhir tahun keenam ribuan.[11]

Kemudian beliau menyebutkan beberapa perhitungan yang kesimpulannya sama sekali tidak mungkin jika masanya itu seribu lima ratus tahun. Kemudian beliau menyebutkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang dijadikan landasan oleh beliau:

Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir dari adh-Dhahhak bin Zummal az-Zuhani, dia berkata, “Aku bermimpi, kemudian aku ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” selanjutnya beliau menuturkan hadits yang di dalamnya diungkapkan:

ุฅِุฐَุง ุฃَู†َุง ุจِูƒَ ูŠَุง ุฑَุณُูˆْู„َ ุงู„ู„ู‡ِ ุนَู„َู‰ ู…ِู†ْุจَุฑٍ ูِูŠْู‡ِ ุณَุจْุนُ ุฏَุฑَุฌَุงุชٍ، ูˆَุฃَู†ْุชَ ูِูŠ ุฃَุนْู„ุงَู‡َุง ุฏَุฑَุฌَุฉً. ูَู‚َุงู„َ: ุฃَู…َุง ุงู„ْู…ِู†ْุจَุฑُ ุงู„َّุฐِูŠْ ุฑَุฃَูŠْุชَ ูِูŠْู‡ِ ุณَุจْุนُ ุฏَุฑَุฌَุงุชٍ ูˆَุฃَู†َุง ูِูŠ ุฃَุนْู„ุงَู‡َุง ุฏَุฑَุฌَุฉً، ูَุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ุณَุจْุนَุฉُ ุขู„ุงَูِ ุณَู†َุฉٍ، ูˆَุฃَู†َุง ูِูŠ ุขุฎِุฑِู‡َุง ุฃَู„ْูًุง.

“Tiba-tiba saja aku di (dekat)mu wahai Rasulullah, di atas mimbar yang memiliki tujuh tangga, dan engkau berada di tangga yang paling tinggi,” kemudian beliau bersabda, “Adapun mimbar yang engkau lihat memiliki tujuh tangga dan aku berada di tangga paling tinggi, itu berarti bahwa (umur) dunia tujuh ribu tahun, dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” [12]

Beliau (as-Suyuthi) mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam ad-Dalaa-il, dan as-Suhail mengatakan bahwa hadits ini dha’if sanadnya, akan tetapi hadits tersebut diriwayatkan secara mauquf kepada Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma melalui jalan-jalan yang shahih, dan ath-Thabrani [13] menshahihkan landasan ini dan menguatkannya dengan beberapa atsar.

Kemudian as-Suyuthi menjelaskan bahwa makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “… dan aku berada di ribuan tahun yang terakhir.” Maksudnya adalah kebanyakan umat Islam berada pada tahun ketujuh ribu, agar sesuai dengan riwayat se-lanjutnya bahwa beliau diutus di akhir tahun keenam ribu. Seandainya beliau diutus di awal tahun ketujuh ribu, niscaya tanda-tanda Kiamat besar seperti Dajjal, turunnya Nabi ‘Isa, dan terbitnya matahari dari barat telah di jumpai lebih dari seratus tahun sebelum masa kita ini, karena Kiamat terjadi tepat pada tahun ketujuh ribu, sementara tidak terjadi apa pun pada saat itu, maka hal ini menunjukkan bahwa sisa dari tahun ketujuh ribu lebih dari tiga ratus tahun. [14]

Ini adalah ringkasan perkataan as-Suyuthi rahimahullah, dan (perkataannya ini) berbenturan dengan ungkapan yang jelas di dalam al-Qur-an juga hadits-hadits yang shahih; bahwasanya umur dunia tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Allah Ta’ala. Karena jika kita mengetahui umur dunia, niscaya kita akan tahu kapan terjadinya Kiamat. Anda telah mengetahui sebelumnya dari ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Nabawi bahwa Kiamat tidak diketahui kapan terjadinya kecuali oleh Allah Ta’ala.

Demikian pula, bahwa kenyataan yang ada menolak hal itu (pendapat as-Suyuthi). Karena kita berada di awal abad kelima belas Hijriyyah, sementara Dajjal belum keluar, dan Nabi ‘Isa belum turun. As-Suyuthi menyatakan bahwa ada riwayat yang menyebutkan Dajjal keluar di awal seratus tahunan dan ‘Isa Alaihissallam turun, lalu membunuhnya. Kemudian beliau berdiam di bumi selama empat puluh tahun, manusia berdiam di bumi setelah matahari terbit dari barat selama seratus dua puluh tahun, dan jarak di antara dua tiupan (Sangkakala) adalah empat puluh tahun, ini semua mesti terjadi dalam masa dua ratus tahun [15]. Lalu berdasarkan perkataannya, seandainya Dajjal keluar sekarang maka mesti dua ratus tahun, sehingga terjadinya Kiamat setelah tahun seribu enam ratus.

Dengan ini jelaslah kebathilah setiap hadits yang membatasi umur dunia.

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan dalam kitab al-Manaarul Muniif beberapa hal yang diketahui dengannya kepalsuan sebuah hadits. Beliau berkata, “Di antaranya adalah hadits yang menyelisihi nash al-Qur-an yang jelas, seperti hadits batasan umur dunia, yang mengatakan bahwa umur dunia hanya tujuh ribu tahun, sementara kita berada di masa ketujuh ribu tahun. Ini merupakan kebohongan paling jelas, karena seandainya hadits ini shahih, niscaya setiap orang tahu bahwa Kiamat akan terjadi dua ratus lima puluh satu tahun dari waktu kita sekarang ini.” [16]

Ibnul Qayyim hidup di abad kedelapan Hijriyyah, maka dia mengatakan perkataan seperti ini, dan telah berlalu dari perkataannya lebih dari enam ratus lima puluh dua tahun, akan tetapi dunia belum juga berakhir.

Ibnu Katsir berkata, “Adapun yang terdapat dalam kitab-kitab Israiliyyat (kisah-kisah yang bersumber dari bani Israil/Yahudi-ed.) dan Ahlul Kitab berupa pembatasan masa yang telah lalu dengan ribuan dan ratusan tahun, maka lebih dari satu orang ulama terang-terangan menyalahkan mereka di dalam hal itu, dan memperlakukan mereka dengan keras sementara mereka pantas untuk mendapatkannya, dan juga telah terdapat sebuah hadits:

ุงَู„ุฏُّู†ْูŠَุง ุฌُู…ْุนَุฉٌ ู…ِู†ْ ุฌُู…َุนِ ุงْู„ุขุฎِุฑَุฉِ.

“Dunia itu adalah satu pekan dari beberapa pekan di akhirat.”

Hadits ini sanadnya tidak shahih, demikian pula tidak shahih sanad setiap hadits yang menentukan waktu terjadinya hari Kiamat secara tepat.[17]

Sebagaimana tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari Kiamat, maka tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan muncul-nya tanda-tanda Kiamat. Riwayat yang menjelaskan bahwa pada tahun ini akan seperti ini, dan pada tahun ini akan terjadi hal ini, maka hal itu tidak benar, karena penanggalan belum dilakukan pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ‘Umar bin al-Khaththablah yang menetapkannya sebagai sebuah ijtihad dari beliau, dan awal perhitungannya dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.

Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya apa yang dikabarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah dan peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, dengan penentuan waktunya pada tahun tertentu membutuhkan cara yang benar (dalam menentukan keshahihan riwayat tersebut) yang bisa mematahkan segala ar-gumentasi, hal itu sebagaimana (menentukan) waktu terjadinya hari Kiamat, tidak seorang pun mengetahui pada tahun manakah ia akan terjadi, tidak juga pada bulan apakah? (Yang diketahui) bahwa ia akan terjadi pada hari Jum’at di akhir waktunya. Waktu di mana Allah menciptakan Adam Alaihissallam, akan tetapi Jum’at yang mana? Tidak seorang pun mengetahui tepatnya hari tersebut kecuali Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian pula masalah tanda-tanda Kiamat, tidak seorang pun mengetahui waktunya yang pasti, wallahu a’lam.[18]

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa’ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Al-Barzanji berpendapat bahwasanya Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam mengetahui kapan terjadinya Kiamat, akan tetapi dilarang mengabarkannya. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal.
[2]. Shahiih al-Bukhari, kitab al-Iimaan, bab Su-aalul Jibriil an-Nabiyya Shallallahu ‘laihi wa sallam ‘anil Iimaan wal Islaam wal Ihsaan wa ‘Ilmis Saa’ah wa Bayaanin Nabiyyi Shallallahu ‘laihi wa sallam lahu (I/114, al-Fat-h).
[3]. Musnad Ahmad (V/189, no. 3556), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.”
Sunan Ibni Majah (II/1365), tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi, al-Bushairi berkata dalam kitab az-Zawaa-id, “Ini adalah sanad yang shahih, rijalnya tsiqah.”
Dan Mustadrak al-Hakim (IV/488-489), beliau berkata, “Ini adalah hadits yang isnadnya shahih, akan tetapi keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Akan tetapi Syaikh al-Albani melemahkannya dalam kitab Dha’iif al-Jaami’ish Shaghiir (V/20-21, no. 4712).
[4]. Maksudnya adalah tidak ada makhluk hidup yang hidup pada malam itu hidup selama seratus tahun, hal ini tidak menafikan adanya makhluk hidup lahir setelah malam itu yang mengalami hidup selama seratus tahun sebagaimana diungkapkan oleh an-Nawawi.-pent.
[5]. Shahiih Muslim, kitab Fadhaa-ilush Shahaabah Radhiyallahu anhum, bab Bayaan Ma’na Qaulihi Shallallahu ‘laihi wa sallam ‘alaa Ra’-si Mi-atis Sanah la Yabqa Nafsun Manfuusah (XVI/90-91, Syarh an-Nawawi).
[6]. Shahiih al-Bukhari, kitab ar-Riqaaq, bab Qaulun Nabiyyi Shallallahu ‘laihi wa sallam Bu’itstu Ana was Saa’ah ka Haataini, (XI/347, al-Fat-h).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (III/526).
[8]. Musnad Ahmad (I/314-315, no. 374), tahqiq Ahmad Syakir, dan beliau berkata, “Isnadnya shahih.” Sementara lafazh Muslim adalah:
ู…َุง ุฃَุชَุงู†ِูŠ ูِูŠ ุตُูˆุฑَุฉٍ ุฅِู„ุงَّ ุนَุฑَูْุชُู‡ُ ุบَูŠْุฑَ ู‡َุฐِู‡ِ ุงู„ุตُّูˆุฑَุฉِ.
“Tidaklah dia datang dengan satu rupa pun kecuali aku mengenalnya selain rupa yang ini.”
[9]. Shahiih Muslim kitab al-Iimaan, bab Imaaraatus Saa’ah (I/159, Syarah an-Nawawi).
Ibnu Hajar t berkata, “Adapun yang disebutkan di dalam riwayat an-Nasa-i dari jalan Abu Farwah di akhir hadits:
ูˆَุฅِู†َّู‡ُ ู„َุฌِุจْุฑِูŠู„ُ ู†َุฒَู„َ ูِูŠ ุตُูˆุฑَุฉِ ุฏِุญْูŠَุฉَ ุงู„ْูƒَู„ْุจِูŠِّ.
‘Ia adalah Jibril yang turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi.’
Sesungguhnya ungkapan “turun dengan rupa Dihyah al-Kalbi” adalah Wahm, karena Dihyah adalah orang yang dikenal di kalangan mereka, sementara ‘Umar berkata, “Tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalnya.” Dan Muhammad bin Nashr al-Marwazi telah meriwayatkan dalam kitabnya al-Iimaan dengan bentuk (jalan) yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i, di akhir ungkapannya beliau hanya bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan masalah agama kepada kalian.” Inilah riwayat al-Mahfuuzhah (yang terjaga) karena kesesuaiannya dengan riwayat yang lainnya, (Fat-hul Baari I/125).
[10]. Al-Manaarul Muniif (hal. 81-82), tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat ta’liq Syaikh terhadap ungkapan Ibnul Qayyim, lihat pula Majmu’ al-Fataawaa’, karya Ibnu Taimiyyah (IV/341-342).
[11]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/86), karya as-Suyuthi, cet. II (1395 H), Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut.
[12]. Al-Haawi lil Fataawaa (II/88).
[13]. Lihat kitab Taariikhul Umam wal Muluuk, karya Abu Ja’far ath-Thabari (I/ 5-10) cet. Darul Fikr, Beirut.
[14]. Al-Haawi (II/88).
[15]. Al-Haawi (II/87).
[16]. Al-Manaarul Muniif (hal. 80) tahqiq Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Guddah, dan lihat kitab Majmu’ al-Fataawaa (IV/342), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]. An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/15) tahqiq Dr. Thaha Zaini.
[18]. At-Tadzkirah fii Ahwaalil Mautaa’ wa Umuuril Aakhirah (hal. 628), karya Syamsuddin Abi ‘Abdillah Muhammad Ahmad al-Qurthubi, disebarluaskan oleh al-Maktabah as-Salafiyyah, al-Madinah al-Munawwarah.

Sumber: https://almanhaj.or.id/3222-pengetahuan-tentang-hari-kiamat.html

Share:

CLICK TV DAN RADIO DAKWAH

Murottal Al-Qur'an

Listen to Quran

Jadwal Sholat

jadwal-sholat

Translate

INSAN TV

POPULAR

Arsip Blog

Cari