Lisan merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang amat berharga,
dan satu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa islam adalah agama
yang kaffah sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla (yang artinya), “Wahai Orang-Orang yang beriman masuklah ke dalam islam secara kaffah/menyeluruh
dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena
sesungguhnya dia adalah musuh (kalian) yang nyata”. (QS : Al Baqoroh [2]
: 208).
Seorang sahabat yang mulia sekaligus merupakan ahli tafsir dari kalangan sahabat Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Yang dimaksud Kaffah (dalam ayat di atas) adalah masuklah kalian ke dalam ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam secara menyeluruh”[1].
Jika hal ini telah kita fahami maka lihatlah betapa islam begitu
memberikan perhatian yang besar terhadap lisan melalui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam (yang artinya), “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata kata-kata yang baik atau ia diam”[2].
Al Imam An Nawawiy Asy Syafi’i rohimahullah mengatakan, “Makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di
atas adalah jika seseorang hendak berbicara dan hal yang akan
dibicarakannya itu adalah kebaikan yang ia akan diberi pahala atasnya
baik itu hal yang wajib atau sunnah, maka hendaklah ia berbicara. Namun
jika tidak demikian maka hendaklah ia menahan diri untuk tidak
berbicara baik hal yang akan dibicarakan itu adalah suatu perkara yang haram, makruh atau mubah yang berada di antara kedua ujung (antara halal dan haram).
Maka berdasarkan hal ini, perkataan yang hukumnya mubah dianjurkan
untuk meninggalkannya agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram atau
makruh”[3]. Namun sebagaimana dikatakan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah, perkataan yang baik itu ada dua macam perkataan yang baik jika [1] ditinjau semata-mata perkataan tersebut semisal dzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an dan [2] perkataan yang baik jika ditinjau dari apa yang diinginkan darinya
semisal perkataan yang hukum asalnya mubah namun hal yang diinginkan
dari perkataan tersebut adalah memberikan rasa gembira kepada teman
duduk[4].
Mengejek, Mengolok-olok Perkara yang Merupakan Bagian dari Islam
Jika demikian perhatian islam dalam masalah lisan maka bagaimanakah
hukum islam mengenai orang yang mengaku islam namun mengolok-ngolok
salah satu ajaran Islam?? Semisal perkataan seseorang kepada saudaranya
yang memelihara jenggot dengan sebutan si kambing, mengejek saudarinya yang menggunakan cadar dengan sebutan ninja, atau mengejek seorang muslimah yang memakai jilbab yang benar dengan mengatakan “Kemana-mana kok pakai baju sholat/mukenah” dan lain sebagainya.
Mengenai masalah ini hendaklah kita menilik pada Al Qur’an dan As Sunnah. Kita dapat menyaksikan dalam sebuah ayat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok?” “Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman”. (QS : At Taubah [9] : 65-66).
Ayat yang mulia di atas memiliki sababun nuzul, sebagaimana yang diriwayatkan melalui jalannya Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma[5],
“Ada seseorang yang berkata dengan nada mencemooh pada saat perang
Tabuk, “Aku tidak pernah melihat orang yang perutnya lebih besar (rakus
terhadap makanan[6]),
lebih suka berbohong serta pengecut ketika bertemu musuh dalam perang
dari pada ahli qiro’ah kami (yang dia maksudkan adalah Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan para sahabatnya rodhiyallahu ‘anhum[7])”. Maka berkatalah ‘Auf bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, “Engkau telah berdusta bahkan engkau adalah orang munafik, sungguh akan aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi was sallam”. Maka Auf pun pergi untuk menemui Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam namun ternyata Al Qur’an telah mendahuluinya. Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya kami melihat orang tersebut terseret-seret sambil memegang pelana unta Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan
batu-batu melukainya seraya mengatakan, “Wahai Rosulullah sesungguhnya
hal itu kami lakukan hanya untuk berbincang-bincang sekedar bergurau di
perjalanan dan kami tidaklah bermaksud mengejek atau mengolok-olok”.
Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam membacakan firman
Allah (yang artinya), “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya
kalian berolok-olok?” (QS : At Taubah [9] : 65). Dan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam tidaklah menghiraukan orang tersebut dan tidak berkata lagi padanya”[8].
Maka lihatlah kaum muslimin sekalian jika sebagian sahabat yang ikut perang bersama Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam melawan
bangsa romawi saja dianggap kafir karena mengucapkan satu kalimat
semisal di atas dengan tujuan hanya sekedar berbincang-bincang dan
bergurau di perjalanan tanpa maksud mengolok-olok maka jelaslah bahwa
orang-orang yang melontarkan kata-kata kekufuran karena takut hartanya
berkurang atau kehormatannya atau basa-basi lebih besar dosanya dari
pada orang yang melontarkan kata-kata tersebut dengan tujuan sebagaimana
dalam hadits di atas[9].
Berdasarkan ayat dan hadits di atas para ulama diantaranya Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah mengatakan, “Para ulama kaum muslimin ijma’/sepakat menetapkan kafirnya orang yang mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah Subahanahu wa Ta’ala (sedangkan ia tahu bahwa hal itu merupakan bagian dari agama Allah) sama
saja apakah hal tersebut dalam bentuk merendahkan ,hanya sekedar
main-main/gurauan, basa-basi dengan orang kafir atau selain mereka,
ketika bertengkar dengan seseorang, ketika marah, atau selain hal
tersebut”[10].
Sebagian ulama membagi masalah mengejek sesuatu yang merupakan bagian dari agama Allah dengan 2 jenis:
[1]. Pengolok-olokan terang-terangan, sebagaimana
sababun nuzul surat At Taubah 65-66 di atas, semisal dengan itu orang
yang mengejek tindakan orang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, orang yang mengerjakan sholat karena mereka mengerjakan sholat, orang yang memilhara jenggotnya dan seterusnya.
[2]. Pengolok-olokan yang tidak terang-terangan, seperti menjulurkan lidah, atau bibir, dengan isyarat tangan ketika disampaikan/dibacakan Al Qur’an dan Hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam, ketika amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan, maka hal ini pun termasuk kekufuran[11].
Merujuk Fatwa Ulama
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah, pernah menjabat ketua Lajnah Da’imah (semacam Komite Fatwa MUI) dan juga pakar hadits, pernah ditanyakan, “Saat
ini banyak di tengah masyarakat muslim yang mengolok-olok
syariat-syariat agama yang nampak seperti memelihara jenggot, menaikkan
celana di atas mata kaki, dan selainnya. Apakah hal ini termasuk
mengolok-olok agama yang membuat seseorang keluar dari Islam? Bagaimana
nasihatmu terhadap orang yang terjatuh dalam perbuatan seperti ini?
Semoga Allah memberi kepahaman padamu.”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Tidak diragukan lagi bahwa
mengolok-olok Allah, Rasul-Nya, ayat-ayat-Nya dan syariat-Nya termasuk
dalam kekafiran sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir
sesudah beriman.” (QS. At-Taubah 9: 65-66)
Termasuk dalam hal ini adalah mengolok-olok masalah tauhid, shalat,
zakat, puasa, haji atau berbagai macam hukum dalam agama ini yang telah
disepakati.
Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot,
yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal) atau semacamnya
yang hukumnya masih samar, maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap
orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.
Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok
seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen
dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan
perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini
dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Hendaklah seseorang takut
akan murka dan azab (siksaan) Allah serta takut akan murtad dari agama
ini sedangkan dia tidak menyadarinya. Kami memohon kepada Allah agar
kami dan kaum muslimin sekalian mendapatkan maaf atas segala kejelekan
dan Allah-lah sebaik-baik tempat meminta. Wallahu waliyyut taufiq.[12]
Penutup
Setelah diketahui bahwa bentuk mengolok-olok atau mengejek orang yang
berkomitmen dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk
kekafiran[13],
maka seseorang hendaknya menjauhinya. Dan jika telah terjatuh dalam
perbuatan semacam ini hendaknya segera bertaubat. Semoga firman Allah
Ta’ala berikut bisa menjadi pelajaran.
”Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap
diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (QS. Az Zumar 39: 53)
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Tanwirul Muqbas min Tafsir Ibni Abbas hal. 32, Asy Syamilah.
[2] HR. Bukhori no. 6475, Muslim no. 47.
[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh Al Imam An Nawawiy rohimahullah dengan tahqiq Syaikh Kholil Ma’mun Syiha hal. 209/II, , terbitan Dar Ma’rifah Beirut, Lebanon.
[4] Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 200 terbitan Mu’asasah Risalah, Beirut, Lebanon.
[5] Juga diriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qotadah. (ed)
[6] Lihat Al Quolul Mufid oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 273/II terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[7] Idem.
[8]
HR. Ibnu Jarir Ath Thobari dalam tafsirnya no. 16911 hal. 331/XIV, Ibnu
Abi Hatim dalam Tafsrinya no. 10538 hal. 475/XXXV. Syaikh Ahmad Muhammad Syakir mengatakan riwayat dari jalur Ibnu Umar ini shohih sebagaimana dalam tahqiq beliau untuk tafsir Ath Thobari.
[9] Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 73, terbitan Dar Shomi’i, Riyadh, KSA.
[10] Lihat Tahdzib Tashil Al Aqidah Al Islamiyah
oleh Syaikh Prof. DR. ‘Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin hafidzahullah,
hal. 96-97, terbitan Makatabah Mulk Fahd Al Wathoniyah. [Akh tolong
dicek ke kitab aslinya ana agak ragu dengan terjemahan ana, jazakumullah khoir]
[11] Lihat At Tanbihat Al Mukhtasoroh oleh Syaikh Ibrohim bin Syaikh Sholeh bin Ahmad Al Khuraisi hal. 74.
[12] Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hal.61-62 (ed)
[13]
Mohon dibedakan antara hukum masalah dan hukum perorangan. Sudah
dijelaskan bahwa perbuatan mengolok-olok ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah sesuatu kekufuran. Namun bagaimanakah mengenai hukum
perorangan? Jawabannya, ini mesti dilihat dari kondisi setiap orang dan
kita tidak bisa hukumi mereka itu kafir. Karena barangkali ada
penghalang atau syarat yang belum terpenuhi sehingga ia tidak dinyatakan
kafir. Wallahu a’lam. (ed)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar