Dari Jundub bin Abdullah al-Azadiy radliyallahu anhu, dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ู َุซَُู ุงْูุนَุงِูู ِ ุงَّูุฐِู ُูุนَِّูู ُ ุงَّููุงุณَ ุงْูุฎَْูุฑَ َู َْููุณَู َْููุณَُู َูู َุซَِู ุงูุณِّุฑَุงุฌِ ُูุถِْูุกُ َِّูููุงุณِ َู َูุญْุฑُِู َْููุณَُู
“Perumpamaan seorang alim (berilmu) yang mengajarkan kebaikan kepada umat manusia dan melupakan dirinya sendiri adalah laksana sebatang lilin yang menerangi orang lain namun ia membakar dirinya sendiri”. [HR al-Khathib al-Baghdadiy, al-Bazzar dan ath-Thabraniy dari Jundub bin Abdullah radliyallahu anhu. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1]
Faidah hadits,
1. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menetapkan akan adanya orang alim yaitu orang yang berilmu.
Allah Azza wa Jalla memuliakan orang-orang yang berilmu dan setiap muslimpun wajib menghormati mereka sesuai dengan batas-batas syar’iy. Hal ini sebagaimana dalil-dalil berikut,
َูุฑَْูุนِ ุงُููู ุงَّูุฐَِูู ุกَุงู َُْููุง ู ُِููู َู ุงَّูุฐَِูู ุฃُูุชُูุง ุงْูุนِْูู َ ุฏَุฑَุฌَุงุชٍ َู ุงُููู ุจِู َุง ุชَุนْู ََُููู ุฎَุจِูุฑٌ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan. [QS al-Mujadilah/ 58/ 11].
ُْูู َْูู َูุณْุชَِูู ุงَّูุฐَِูู َูุนَْูู َُูู َู ุงَّูุฐَِูู َูุง َูุนَْูู َُูู ุฅَِّูู َุง َูุชَุฐََّูุฑُ ุฃُُูููุง ุงْูุฃَْูุจَุงุจِ
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. [QS az-Zumar/ 39: 9].
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa Allah ta’ala memuliakan orang mukmin yang memiliki ilmu dengan mengangkat mereka beberapa derajat kemuliaan dan membedakan mereka dengan orang-orang yang tidak berilmu dengan perbedaan yang terang.
Dari Ubadah bin ash-Shamit berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
َْููุณَ ู ِْู ุฃُู َّุชِู ู َْู َูู ْ ُูุฌَِّู َูุจِْูุฑََูุง َู َูุฑْุญَู ْ ุตَุบِْูุฑََูุง َู َูุนْุฑِْู ِูุนَุงِูู َِูุง (ุญََُّูู)
“Bukan termasuk umatku, orang yang tidak menghormati orang yang lebih tua dari kami, tidak menyayangi orang yang lebih muda dari kami dan tidak mengenal (hak) orang yang berilmu dari kami”. [HR Ahmad: V/ 323, ath-Thabraniy dan al-Hakim: 429 dengan lafazh ‘Bukan termasuk golongan kami’. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [2]
Begitu pula Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengancam orang yang tidak mau memuliakan orang yang berimu di antara mereka dengan tidak memasukkannya ke dalam golongan umatnya. Memuliakan orang berilmu diantaranya adalah dengan memberikan haknya sebagai pembimbing, penashihat, pengajar dan pemberi fatwa dan sebagainya dalam urusan-urusan agama kepada mereka. Tidak menghina, mengejek atau mengolok-oloknya dimanapun ia berada. Tidak membuat kegaduhan dikala ia sedang memberikan pengajaran dan taushiyah. Mendebatnya dengan penuh semangat lantaran ingin meruntuhkan kehormatannya. Mencari segala aib dan kekurangannya lalu mengghibahnya karena ingin menghilangkan kemuliaannya. Dan lain sebagainya.
2. Kewajiban orang berilmu adalah mengajarkan berbagai kebaikan kepada umat manusia dengan hujjah yang terang.
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu bahwa Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ู َุซَُู ุงَّูุฐِู َูุชَุนََّูู ُ ุงْูุนِْูู َ ุซُู َّ َูุง ُูุญَุฏِّุซُ ุจِِู َูู َุซَِู ุงَّูุฐِู َِْูููุฒُ ุงَْْูููุฒَ َููุงَ ُُِْูููู ู ُِْูู
“Perumpamaan orang yang menuntut ilmu lalu ia tidak mau menyampaikannya adalah seperti orang yang menimbun harta namun ia tidak mau menginfakkan sebahagian darinya”. [HR ath-Thabraniy di dalam al-Awsath dan Ibnu Abdil Barr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [3]
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ุนِْูู ٌ َูุง َُููุงُู ุจِِู ََْูููุฒٍ َูุง َُُْูููู ู ُِْูู
“Ilmu yang tidak disampaikan (kepada orang lain) itu sama seperti simpanan (harta) yang tidak diinfakkan”. [HR Ibnu Asakir dan Ibnu Abdul Barr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]
Dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ู َุง ู ِْู ุฑَุฌٍُู َูุญَْูุธُ ุนِْูู ًุง ََْูููุชُู ُُู ุฅَِّูุง ุฃُุชَِู ุจِِู َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ ู ُْูุฌَู ًุง ุจِِูุฌَุงู ٍ ู َِู ุงَّููุงุฑِ
“Tidaklah seseorang yang menghafal ilmu lalu ia menyembunyikannya melainkan akan didatangkan pada hari kiamat dalam keadaan diberi tanda dengan tanda dari api neraka”. [HR Ibnu Majah: 261. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [5]
Dari Hasan Al-Bashriy rahimahullah berkata, “Sungguh aku mempelajari satu bab dari ilmu lalu aku mengajarkannya kepada seorang muslim di jalan Allah (yaitu mempelajari dan mengajarkannya karena Allah semata) lebih aku cintai daripada aku mempunyai dunia seluruhnya”. [6]
Jika seseorang telah memiliki ilmu dengan baik dan benar sesuai dengan syar’iy yaitu tidak menyelisihi alqur’an dan hadits-hadits shahih dengan pemahaman ulama salafus shalih, maka hendaknya ia mengamalkan ilmu-ilmunya tersebut sebatas kemampuannya sebelum menyampaikannya kepada orang lain.
Lalu jika ia telah mengamalkannya, ia mesti menyampaikan ilmu yang ia ketahui itu kepada orang lain dalam rangka mencari keridloan Allah Subhanahu wa ta’ala dan melaksanakan perintah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Orang yang memiliki ilmu namun ia tidak mau menyampaikannya kepada orang lain itu seperti orang yang memiliki harta yang tidak mau menginfakkan sebahagian hartanya. Allah Subhanahu wa ta’ala kelak akan mencapnya pada hari kiamat dengan sebuah tanda dari api neraka. Ma’adzallah.
3. Hendaknya orang alim tersebut untuk mengamalkan apa yang diajarkan sebelum mengajarkannya kepada orang lain.
Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ูุงَ ุชَุฒُُْูู َูุฏَู َุง ุงุจِْู ุขุฏَู َ َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ ู ِْู ุนِْูุฏِ ุฑَุจِِّู ุญَุชَّู ُูุณْุฃََู ุนَْู ุฎَู ْุณٍ: ุนَْู ุนُู ْุฑِِู ِْููู َุง ุฃََْููุงُู َู ุนَْู ุดَุจَุงุจِِู ِْููู َุง ุฃَุจْูุงَُู َู ุนَْู ู َุงِِูู ู ِْู ุฃََْูู ุงْูุชَุณَุจَُู َู ِْููู َุง ุฃَََُْูููู َู ู َุง ุฐَุง ุนَู َِู ِْููู َุง ุนَِูู َ
“Kedua kaki anak Adam tidak akan beranjak pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya sehingga ditanya tentang lima perkara; tentang umur pada apa ia habiskan, kepemudaannya pada apa ia hancurkan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan dan apa yang telah ia kerjakan pada apa yang telah ia ketahui. [HR at-Turmudziy: 2416, Abu Ya’la, ath-Thabraniy, Ibnu ‘Adiy dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan ]. [7]
Dari Abu Barzah al-Aslamiy berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
ูุงَ ุชَุฒُُْูู َูุฏَู َุง ุนَุจْุฏٍ ุญَุชَّู ُูุณْุฃََู ุนَْู ุนُู ْุฑِِู ِْููู َุง ุฃََْููุงُู َู ุนَْู ุนِْูู ِِู ِْููู َุง َูุนََู َู ุนَْู ู َุงِِูู ู ِْู ุฃََْูู ุงْูุชَุณَุจَُู َู ِْููู َุง ุฃَََُْูููู َู ุนَْู ุฌِุณْู ِِู ِْููู َุง ุฃَุจْูุงَُู
“Kedua kaki hamba tidak akan bergeser hingga ditanya tentang; umurnya pada apa dia habiskan, ilmunya pada apa yang ia amalkan, hartanya darimana dia usahakan dan kemana dia belanjakan dan tubuhnya pada apa ia hancurkan”. [HR at-Turmudziy: 2417 dan ad-Darimiy: I/ 131. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]
Dalil-dalil diatas menjelaskan bahawasanya pada hari kiamat nanti setiap manusia akan ditanya tentang ilmu yang pernah ia dapatkan di dalam kehidupan dunia. Ilmu tersebut adalah ilmu yang berkaitan dengan masalah-masalah agama dan akhirat . Yakni dengan ilmunya, seseorang akan dimintai pertanggungjawaban, apakah ilmu-ilmunya tersebut sudah ia amalkan atau tidak?. Jika ia telah mengamalkan apa yang telah ia ketahui maka selamatlah ia darinya, tetapi jika ia abaikan maka rugi dan sengsaralah ia pada hari kiamat.
Sehingga Abu ad-Darda radliyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari apa yang mengkhawatirkanku adalah apabila aku telah bergantung dari hisab, akan dikatakan kepadaku, “Sungguh engkau telah mengetahui (berilmu), maka apakah engkau telah mengamalkan apa yang telah engkau ketahui itu?”. [9]
Dalam lain riwayat ia berkata, “Hanyalah yang kukhawatirkan dari Rabbku pada hari kiamat adalah ketika Ia memanggilku di tengah pemimpin para Makhluk. Lalu Rabbku berkata kepadaku, “Wahai Uwaimir!”. Aku menjawab, “Labbaika (Aku penuhi panggilan-Mu) wahai Rabb”. Lalu Allah berfirman, “Apakah engkau telah mengerjakan apa yang engkau telah ketahui?”. [Atsar riwayat al-Baihaqiy, ad-Darimiy: I/ 82 dan Ibnu Abdil Barr. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [10]
Berkata Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu, “Belajarlah kalian, belajarlah kalian. Apabila kalian telah berilmu maka beramallah!”. [11]
Berkata al-Fudloil bin Iyadl rahimahullah, “Senantiasa orang yang berilmu itu masih bodoh dengan apa yang ia ketahui sehingga ia beramal dengannya. Apabila ia telah beramal dengannya maka ia menjadi orang yang berilmu”. [12]
Katanya lagi, “Hanyalah yang diinginkan dari ilmu itu adalah amal. Dan ilmu itu adalah dalilnya amal”. [13]
Katanya lagi, “Wajib bagi manusia untuk mempelajari (ilmu). Apabila mereka telah berilmu maka wajiblah bagi mereka untuk beramal”. [14]
Jadi setiap orang itu mesti berilmu terlebih dahulu sebelum beramal dan berujar. Jika ia beramal tanpa ilmu maka akan sesat dan rusak segala amalnya. Lalu jika ia berujar tanpa ilmu maka akan menimbulkan penyesatan dan pengrusakan.
Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah,
ู َْู ุนَุจَุฏَ ุงَููู ุจِุฌٍَْูู ุฃَْูุณَุฏَ ุฃَْูุซَุฑَ ู ِู َّุง ُูุตِْูุญُ
“Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan kebodohan, dia telah membuat kerusakan lebih banyak daripada membuat kebaikan”. [15]
Oleh sebab itu al-Imam al-Bukhoriy membuat suatu bab tentang keutamaan ilmu atas ucapan dan perbuatan,
ุงْูุนِْูู ُ َูุจَْู ุงَِْْูููู َู ุงْูุนَู َِู
“Ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan”. [16]
4. Adanya larangan di dalam menyampaikan ilmu namun si penyampainya sendiri tidak (mau) mengamalkannya.
َูุง ุฃََُّููุง ุงَّูุฐَِูู ุกَุงู َُููุง ِูู َ ุชََُُููููู ู َุง َูุง ุชَْูุนََُููู َูุจُุฑَ ู َْูุชًุง ุนِูุฏَ ุงِููู ุฃَู ุชَُُููููุง ู َุง َูุง ุชَْูุนََُููู
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. [QS ash-Shaff/ 61: 2-3].
Ayat di atas menegaskan teguran Allah Azza wa Jalla kepada orang mukmin yang suka mengatakan, menyampaikan dan mengajak orang lain kepada suatu amalan, namun ia sendiri tidak mau mengamalkannya.
Siapapun orang yang mengucapkan sesuatu ajakan namun ia enggan untuk mengamalkannya maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan murka kepadanya, memasukkannya ke dalam neraka dalam keadaan ususnya terburai keluar dan lidah dan mulutnya digunting dengan gunting neraka. Na’udzu billah min dzalik.
Dari Usamah bin Zaid radliyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ُูุฌَุงุกُ ุจِุงูุฑَّุฌُِู َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ ََُْููููู َูู ุงَّููุงุฑِ َูุชَْูุฏَُِูู ุฃَْูุชَุงุจُُู ََููุฏُْูุฑُ ุจَِูุง َูู َุง َูุฏُْูุฑُ ุงْูุญِู َุงุฑُ ุจِุฑَุญَุงُู ََููุฌْุชَู ِุนُ ุฃَُْูู ุงَّููุงุฑِ ุนََِْููู َََُُْْููููููู: َูุง َُููุงُู ู َุง ุดَุฃَُْูู؟ ุฃََูุณْุชَ ُْููุชَ ุชَุฃْู ُุฑُ ุจِุงْูู َูุนْุฑُِْูู َู ุชََْููู ุนَِู ุงْูู َُْูููุฑِ؟ ََُُْููููู: :ُْูุชُ ุขู ُุฑُُูู ْ ุจِุงْูู َูุนْุฑُِْูู َู َูุง ุขุชِِْูู َู ุฃََْููุงُูู ْ ุนَِู ุงْูู َُْูููุฑِ َู ุขุชِِْูู
“Pada hari kiamat nanti, akan dibawa seorang lelaki lalu dicampakkan ke dalam neraka. Maka terburailah ususnya di dalam neraka, lalu ia berputar-putar seperti seekor keledai berputar-putar mengelilingi batu penggilingan. Maka penghuni nerakan berkumpul mendekatinya dan bertanya, “Wahai Fulan, mengapa engkau seperti ini?, bukankah dahulu engkau yang suka menyuruh kami kepada perbuatan ma’ruf dan melarang kami dari perbuatan mungkar?”. Maka ia menjawab, “Dahulu aku menyuruh kalian kepada perbuatan ma’ruf tetapi aku sendiri tidak melaksanakannya dan melarang kalian dari perbuatan mungkar namun aku sendiri melakukannya”. [HR al-Bukhoriy: 3267, Muslim: 2989 dan Ahmad: V/ 205, 207, 209. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [17]
Diriwayatkan dari Anas bin Malik berkata, Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ุฑَุฃَْูุชُ ََْูููุฉَ ุฃُุณْุฑَِู ุจِู ุฑِุฌَุงูุงً ุชُْูุฑَุถُ ุดَِูุงُُููู ْ ุจِู ََูุงุฑِْูุถَ ู ِْู َูุงุฑٍ َُْูููุชُ: ู َْู َูุคَُูุงุกِ َูุง ุฌِุจْุฑُِْูู؟ َูุงَู: ุงْูุฎُุทَุจَุงุกُ ู ِْู ุฃَู َّุชَِู َูุฃْู ُุฑَُْูู ุงَّููุงุณَ ุจِุงْูุจِุฑِّ َู َْููุณََْูู ุฃَُْููุณَُูู ْ َู ُูู ْ َูุชَُْْููู ุงِْููุชَุงุจَ ุฃَََููุง َูุนَُِْْูููู؟
“Pada malam isra’, aku melihat beberapa orang digunting mulut mereka dengan gunting neraka. Aku bertanya, “Siapakah mereka itu, wahai Jibril?”. Malaikat Jibril menjawab, “Mereka itu adalah para khatib dari umatmu, mereka menyuruh manusia kepada kebaikan namun mereka melupakan diri mereka sendiri, sedangkan mereka membaca kita (alqur’an). Tidakkah mereka berfikir?”. [HR Ahmad: III/ 120, 180, 231, 239, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, Abu Nu’aim dan selainnya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [18]
5. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah memisalkannya dengan sebatang lilin yang memberi penerangan kepada orang lain namun ia sendiri menghancurkan dirinya sendiri.
Terkadang Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam menjelaskan sesuatu hal, membuat beberapa permisalan agar dapat dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah Azza wa Jalla dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam banyak terdapat faidah dan pengajaran bagi orang yang memiliki hati, membuka mata dan mengarahkan pendengaran kepadanya.
Permisalan yang dibuat oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di atas adalah lilin, sebuah benda yang dapat menjadi penerang bagi orang di sekitarnya jika dinyalakan, namun ketika itu ia membinasakan dirinya sendiri yakni lilin itu akan hancur perlahan-lahan dimakan api.
َู ุชَِْูู ุงْูุฃَู ْุซَุงُู َูุถْุฑِุจَُูุง َِّูููุงุณِ َูุนََُّููู ْ َูุชَََّููุฑَُูู
Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. [QS al-Hasyr/ 59: 21
َู ุชَِْูู ุงْูุฃَู ْุซَุงُู َูุถْุฑِุจَُูุง َِّูููุงุณِ َู ู َุง َูุนَُِْูููุง ุฅَِّูุง ุงْูุนَุงِูู َُูู
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia, dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. [QS al-Ankabut/ 29: 43].
6. Mudah-mudahan Allah ta’ala menjauhkan kita dari perilaku yang buruk tersebut.
Dengan gambaran dalil-dalil dan penjelasannya di atas hendaknya kita selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar dijauhkan dari perilaku dan sifat seperti itu. Di antaranya, dengan meminta perlindungan kepada Allah ta’ala dari ilmu yang tidak bermanfaat yakni dari ilmu yang baik lagi benar tapi tidak bermanfaat buat diri pemiliknya lantaran tidak mengubah keadaannya menjadi lebih baik dan benar. Dan juga memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar menjadikan semua ilmu yang telah diberikan kepada kita menjadi bermanfaat dan agar Allah ta’ala juga melimpahkan ilmu yang bermanfaat buat kita. Aamiin yaa Mujiibas Saailiin…
Dari Zaid bin Arqom berkata, “Aku tidak akan berkata kepada kalian kecuali sebagaimana Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda. Beliau pernah bersabda,
ุงََُّูููู َّ ุฅِِّูู ุฃَุนُْูุฐُ ุจَِู ู ِْู ุนِْูู ٍ َูุง ََْูููุนُ َู ู ِْู َْููุจٍ َูุง َูุฎْุดَุนُ َู ู ِْู َْููุณٍ َูุง ุชَุดْุจَุนُ َู ู ِْู ุฏَุนَْูุฉٍ َูุง ُูุณْุชَุฌَุงุจُ ََููุง
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak pernah kenyang dan doa yang tidak dikabulkan”. [HR Muslim: 2722 dan an-Nasa’iy: VIII/ 260, 285. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [19]
Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berdoa,
ุงََُّูููู َّ ุงَْููุนِْูู ุจِู َุง ุนََّูู ْุชَِูู َู ุนَِّูู ِْูู ู َุง ََْูููุนُِูู َู ุฒِุฏِْูู ุนِْูู ًุง َู ุงْูุญَู ْุฏُ َِِّููู ุนََูู ُِّูู ุญَุงٍู َู ุฃَุนُْูุฐُ ุจِุงِููู ู ِْู ุนَุฐَุงุจِ ุงَّููุงุฑِ
“Ya Allah, berilah manfaat kepadaku terhadap apa yang Engkau ajarkan kepadaku dan ajarkanlah aku dengan apa yang akan memberi manfaat kepadaku. Tambahkanlah ilmu kepadaku, segala puji bagi Allah atas segala keadaan dan aku berlindung kepada Allah dari adzab neraka”. [HR Ibnu Majah: 251, 3833 dan at-Turmudziy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [20]
Semoga bermanfaat untukku, keluarga, kerabat dan para shahabatku serta kaum muslimin seluruhnya. Wallahu a’lam bi ash-Showab.
[1] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5831, 5837, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 126, 127 dan iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 70, 71
[2] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5443 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 96.
[3] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5835 dan Misykah al-Mashobih: 280.
[4] Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4023 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 118.
[5] Shahih Sunan Ibni Majah: 210, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5713 dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 116.
[6] Al-Majmu’ Syar-h Al-Muhadzdzab: I/ 21, karya Al-Imam An-Nawawiy.
[7] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1969, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7299 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 946.
[8] Shahih Sunan at-Turmudziy: 1970 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 7300.
[9] Jami’ Bayan al-Ilmi wa fadl-lihi: 752, halaman 248 dan Iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 53 halaman 41.
[10] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 125.
[11] Iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 10 halaman 22-23.
[12] Iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 43 halaman 37.
[13] Iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 44 halaman 37.
[14] Iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 45 halaman 37.
[15] Majmu’ Fatawa XXV/281.
[16] Fat-h al-Bariy: I/ 159.
[17] Shahihal-Jami’ ash-Shaghir: 8022, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 292, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 120 dan iqtidlo’ al-Ilmi al-Amal: 74 halaman 51-52.
[18] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 121 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 291.
[19] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 5044, 5011 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1286.
[20] Shahih Sunan Ibni Majah: 203, 3091, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2845 dan Misykah al-Mashobih: 3493.
sumber : https://cintakajiansunnah.wordpress.com/tag/keharusan-menyampaikan-ilmu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar